Part 3

Mamaku Hantu

Part 3

***

“Selamat pagi pejuang masa depan gemilang.” Silvia menyapa pegawai-pegawai yang sedang sibuk menyiapkan pesanan dari pelanggan.

“Pagi juga Ibu Bos baik hati yang seharusnya membawa jajanan pasar untuk makhluk mengerikan di dalam perut gue.” Rania menjawab sapaan Silvia dengan candaan.

Silvia menyerahkan bungkusan berisi jajanan pasar dan juga sarana sembahyang kepada Rania, lalu berjalan menuju tangga mengarah ke lantai dua.

“Ibu Bos kita ini emang yang terbaik.” Rania lalu mengalihkan pandangannya kepada Senja yang berjalan di belakang Silvia.

“Eh ada Senja. Bagaimana keadaan Mama?” Rania langsung menembak Senja dengan pertanyaan tentang Mamanya.

“Masih sama seperti kemarin, Tante.” Sahutnya singkat, tidak lupa menambahkan senyuman manis untuk pegawai Mamanya itu.

“Duduk sini, Senja.” Rania menepuk sofa nyaman yang memang sengaja diletakkan di tengah-tengah toko, untuk mempermudah pelanggan saat memilih model pesanan yang mereka inginkan.

Senja menuruti tawaran Rania.

“Gimana keadaan toko, Tante?” Senja mencoba membuka topik pembicaraan.

“Ada saja yang pesan bunga, Ja. Sudahlah, kamu jangan ikut pusing-pusing dengan urusan toko. Kamu harus jaga kondisi ya supaya tidak sakit.”

“Terima kasih, Tante. Minta bantuan doa untuk Mama supaya cepat sadar ya, Tante.”

Silvia kemudian muncul membawa pot berisikan bunga cantik berwarna ungu dengan daun hijau seperti semak belukar.

“Yuk, kita pulang, Ja.”

Senja lalu beranjak mengikuti Silvia.

“Mau ke rumah ya, Silvi?” Tanya Rania.

“Iya, ke rumah Mbak Agia. Antar Senja untuk mengambil beberapa keperluan untuk di rumah sakit.” Silvia menyahut dengan tangan tetap bergerak membuka bagasi mobil dan meletakkan pot bunga di dalam sana.

“Bunganya mau di bawa kemana, Sil?”

“Nanti mau gue antar ke pelanggan. Mau dipelihara di rumahnya sih katanya. Berhubung kita punya banyak, yang ini gue berikan saja.

***

Agia berdiri menatap suami dan anak bungsunya yang sedang berpelukan penuh kesedihan. Tak menyangka, bahwa suami dan anak-anak begitu mencintai dan menantikan kehadirannya.

Kemudian Senja dan Silvia masuk ke dalam ruang perawatan. Agia merasa sangat tersentuh melihat perhatian yang diberikan orang kepercayaannya itu kepada anak-anak dan suaminya.

Agia berharap semoga Silvia bisa mendampingi mereka sampai dirinya tersadar kembali. Mungkinkah Agia akan kembali seperti sedia kala? Ataukah dirinya akan meninggalkan suami dan anak-anak untuk selamanya?

Agia berjalan mengikuti Senja dan Silvia saat mereka meninggalkan ruang perawatan. Tapi sayang, Agia tidak bisa keluar dari ruang perawatan.

Agia merasa sangat tidak berguna.

“Pa, Sena enggak suka sama Tante Silvi.” Agia mendengar anak bungsunya menyampaikan keluhan kepada Bagi.

“Kenapa?” Bagi pun terlihat tertarik dengan keluhan yang disampaikan Sena.

“Enggak suka aja, Pa. Kayaknya Tante itu pura-pura baik.”

Bagi menatap lurus dua manik yang mengerjap sendu. Bagi tidak mau menyepelekan keluhan orang-orang terdekatnya. Bagi mengajarkan istri juga anak-anaknya untuk selalu menyampaikan apapun yang mereka rasakan. Bagi tidak mau menjadi orang tua seperti Kakeknya yang terlalu mengekang psikis keluarganya.

Akibatnya apa? Hingga akhir hayatnya Om Deni, adik laki-laki Papanya tidak pernah menemukan kebahagiaan. Sejak kecil segala urusan telah disusun rapi sesuai dengan keinginan Kakek dan Neneknya.

Dirinya juga meyakini Nenek sangat bosan dengan kediktaktoran Kakek sehingga membuat Nenek mangkir dari janji suci pernikahan.

“Memangnya Sena pernah punya pengalaman kayak gitu sama Tante Silvi?” Bagi berusaha menempatkan diri sebagai anak dengan usia sembilan tahun.

Sena mengganggukkan kepala. “Pernah, Pa. Waktu Mama ke bandara jemput Tante Stevina, Sena dan Kakak kan dijemput sama Tante Silvi. Beberapa kali mobilnya lewat depan sekolah, Pa. Tapi Tante Silvi enggak berhenti. Sampai semua teman Sena dan Kakak sudah pada pulang.” Agia dan Bagi terkejut mendengar penuturan anaknya itu.

“Mungkin Sena salah mengira mobil Tante Silvi.”

“Enggak, Pa. Sena ingat nomor plat kendaraannya Tante Silvi.”

“Terus, alasan Tante Silvi terlambat jemput karena apa?”

“Ada pelanggan yang datang ke toko. Padahal Sena sudah lapar sekali, Pa.”

“Sena cerita ke Mama?”

“Enggak. Kata Tante Silvi jangan cerita ke Mama. Dia jadi ngerasa enggak enak katanya.”

Bagi terdiam memikirkan penyampaian Sena.

Begitupun Agia. Tiba-tiba prasangka buruk tentang Silvia Dalayanti menguar dari dalam pikirannya.

“Pa, boleh Sena minta uang?” Agia mengalihkan lagi konsentrasinya kepada Sena.

“Untuk apa, Nak?”

“Mau beli camilan di kantin rumah sakit, Pa.”

“Boleh dong. Sekalian beli maem ya, Sena. Kamu dua hari ini maemnya berantakan. Nanti Mama marah lo.” Bagi menyodorkan selembar uang berwarna biru untuk Sena.

Sena lalu mengalihkan pandangannya ke arah tubuh Agia yang masih enggan membuka matanya.

“Ma… Sena mau belanja camilan. Antar Sena yuk, Ma. Sena takut kesasar nanti.” Sena meminta izin kepada Agia seperti kebiasaan yang selalu dia lakukan. Mendapati tidak ada sahutan dari Mamanya, Sena beranjak menuju pintu ruang perawatan.

Agia memutuskan untuk menemani Sena sesuai dengan permintaannya. Ajaibnya, Agia bisa keluar dari ruang perawatan.

Agia mengerling ceria karena bisa mengikuti dan menjaga Sena.

***

“Senja, berani kan masuk ke rumah sendirian?” Silvia membuka pintu gerbang rumah Agia dan Bagi.

“Berani, Tante.” Senja bergegas membuka pintu rumah dan berlari ke dalam.

Silvia pun bergegas mengambil pot berisi bunga yang sama seperti sebelumnya di toko.

“Temannya Mama Senja, ya?” Ibu Ragil mendekati rumah Agia dan Bagi.

Silvia mempercepat aktivitasnya memasukkan pot bunga ke dalam bagasi mobil.

“Iya, Bu. Antar Senja ambil perlengkapan untuk di rumah sakit.”

“Kenapa pot bunga itu dibawa, Bu?”

“Ada pelanggan yang mau membeli bunga jenis ini, Bu. Tapi di toko kekurangan stok. Jadi ambil di rumah Mbak Agia dulu. Pasti beliau tidak keberatan kok kalau untuk pelanggan.”

Ibu Ragil menganggukkan kepala tanda mengerti.

“Tadi siang saya sudah ke rumah sakit. Kasihan ya Mama Senja jadi begitu. Masak sih minum teh bisa jadi enggak sadarkan diri sampai dua hari begini?” Ibu Ragil membuka perbincangan dengan Silvia.

Silvia tercengang mendengar penuturan tetangga bosnya itu.

“Minum teh?”

“Iya, kata Papanya Senja tubuh Mama Senja ada senyawa apa gitu namanya saya lupa. Jadi tubuhnya melemah dan enggak sadarkan diri. Saya juga enggak ngerti deh, Bu.”

Silvia enggan menanggapi informasi yang diberikan oleh Ibu Ragil.

“Maaf, Bu. Bukan bermaksud untuk tidak sopan, saya ke dalam dulu ya. Barangkali Senja perlu bantuan. Saya permisi dulu ya.” Silvia tidak menunggu respon dari Ibu Ragil. Dia bergegas meninggalkan Ibu Ragil.

***

“Hei, hei, hei. Jangan bertengkar terus. Masih pagi kok sudah ribut begitu.” Bagi muncul menenangkan pertengkaran antara Senja dan Sena.

Sena menangis semakin keras, parahnya lagi Senja dengan sengaja membuka kaca jendela mobil dan tertawa sekencang-kencangnya.

“Senja, sudah jangan menggoda Sena terus.” Bagi membuka pintu gerbang sebelum mengeluarkan mobilnya dari garasi.

Senja lalu menekan tombol membuka kunci dari dalam, segera dalam satu gerakan dia pindah ke sebelah kursi kemudi.

Masih dengan sisa tangisan, Sena membuka pintu penumpang bagian belakang sebelah kanan, dan mendudukinya.

Bagi kemudian mengambil alih kursi kemudi.

“Masih mau lanjut berantem atau berangkat sekolah?” Bagi membuka pembicaraan di dalam mobil dengan Senja dan Sena.

Tidak ada yang menyahut. Hanya terdengar sisa tangis dari Sena yang telah mereda. Sementara Senja berpura-pura asik melihat ke arah luar.

Bagi mulai memundurkan mobil agar keluar dari garasi rumah. Mereka kemudian bergerak pelan menuju sekolah.

“Nanti siang kalian dijemput Tante Silvia. Papa nanti ada audit jadi enggak bisa jemput.”

“Oke, Pa.” Sahut Senja. Tidak dengan Sena. Dia hanya diam tanpa mau menanggapi ucapan Papanya.

“Ma.. Sena maunya Mama aja yang antar dan jemput sekolah. Sena enggak mau Tante Silvi terus yang jemput kalau Papa sibuk.” Ujar Sena didalam hatinya dengan mata mengarah ke luar mobil. Tanpa terasa tiga bulan sudah mereka hidup tanpa Agia.

Sangat sulit. Bagi harus pintar membagi waktu antara anak-anak dan pekerjaan. Tidak ada lagi yang menyiapkan segala kebutuhan rumah tangga. Bagi kewalahan. Beberapa kali mertuanya datang membantu dan meringankan sedikit beban Bagi, namun semua tidak lagi sama.

Mereka memerlukan sosok ibu. Hanya Agia saja yang mampu melengkapi kekosongan relung kalbu Bagi, Senja dan Sena.

Terpopuler

Comments

Bambang Setyo

Bambang Setyo

Udah 3 bulan aja agia gak sadar.. Jangan sampai si silvi punya kesempatan dalam kesempitan..

2023-04-26

0

Sekar Sekar

Sekar Sekar

ulah Silvi yg ingin mencelakai Agia
dngan menaruh bunga itu d rmh..
mngkin saja bunga itu mempunyai kandungan racun JK di taruh d rmh karna udara terhirup bagi yg mempunyai keluhan sakit tertentu🤭

2022-06-10

3

Else Widiawati

Else Widiawati

om deni meninggal kenapa thor?

2022-05-24

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!