Sesampainya dirumah. Aku melihat bunda sudah menyambutku didepan pintu. Aku mencoba tersenyum seperti biasa untuk menutupi mataku yang sembab. Aku harap bunda tak menyadari aku habis menangis.
Ah, seperti nya bunda sudah tahu. Aku bisa melihat dari raut wajahnya saat menatapku.
"Ada apa? Kenapa kamu menangis?" tanya bunda lembut. Aku menggeleng.
"Ara capek bun, Ara mau istirahat."
"Tidak mau cerita dengan bunda?" Bunda menyentuh pundakku dan menatapku penuh dengan kasih sayang.
"Bunda ikut Ara sebentar." ucapku menarik tangan bunda ke kamar. Aku tidak mau Azka dan Papah tahu apa yang terjadi.
"Ada apa? Masalah Alan?" Aku mengangguk, dan menunduk karena mataku kembali memanas.
"Alan akan melamar seseorang bun. Wanita itu teman sekelas Ara, dia seorang model." ucapku mulai sesegukan. Saat mengatakan itu, hatiku semakin sakit. Aku mendengar bunda menghela nafas. Lalu bunda memeluk ku begitu lembut. Hatiku sangat tenang, kehangatan bunda membuat hatiku lebih tenang.
"Itu artinya dia sudah menemukan wanita yang cocok untuk dijadikan pendamping hidup. Kamu tidak perlu menagis. Allah akan menggantikan laki-laki yang jauh lebih baik dari Alan. Mungkin kalian belum berjodoh." ucap bunda mengelus kepalaku.
"Bunda tahu kan, dari kecil kita selalu bersama. Ara suka Alan dari dulu bun, Ara kira Alan juga sama. Tapi Ara salah, Alan cuma anggap Ara sahabat. Tidak lebih."
"Apa Ara tidak cantik ya bun? Apa Alan tidak suka Ara karena Ara gak pinter make up?" ucapku saat menyadari penampilanku selama ini, sangat jauh berbeda dengan Jihan. Aku melihat bunda tersenyum. Apa aku salah?
"Ada-ada saja kamu ini. Siapa bilang anak bunda tidak cantik?Cantik itu tidak dilihat dari pintar Make up atau tidak. Ikut bunda deh." bunda menarik tanganku menuju meja rias. Bunda menyuruh aku berdiri dan menatap diriku sendiri.
"Kamu lihat. Mata kamu cantik, hidung mancung, bibir merah alami, alis tebal, pipi merah menggemaskan yang paling bunda suka. Apa lagi yang kamu keluh kan?" ucap bunda menunjuk semua bagian wajahku. Aku menatap diriku dengan seksama. Bunda benar, aku cantik.
"Cantik itu bukan hanya dari fisik. Tapi disini juga harus cantik." ucap bunda kembali menunjuk dadaku. Aku membalikan tubuhku dan menatap mata teduh bunda.
"Inner beauty seorang wanita itu lebih penting dari pada penampilan fisik." bunda mencubit pipi ku dengan gemas. Aku mengerti sekarang, kecantikan itu tidak harus dari fisik atau wajah. Tapi hati ini juga harus cantik. Bunda juga selalu cantik. Aku juga tidak pernah melihat bunda memoles wajahnya. Bunda cantik alami, dan kelembutan bunda membuat kami jatuh cinta. Apa papah juga jatuh cinta karena kelembutan bunda? Ah, sungguh manis jika di bayangkan.
"Ara faham sekarang bunda. Terima kasih." ucap ku memeluk bunda. Kesedihan pun lenyap seketika. Mulai sekarang, aku akan tetap jadi diriku sendiri.
"Ya sudah, jangan sedih lagi. Sekarang ganti baju, setelah itu bantu bunda buat kue. Malam ini kita akan kerumah nenek." ucap bunda.
"Beneran bun? Ok, Ara ganti baju dulu. Cuma dua menit." ucapku dengan semangat. Aku sudah sangat merindukan nenek, nenek yang paling aku sayang.
***
Sepertinya matahari semakin terik. Aku melihat keatas, benar saja. Matahari sudah berada di atas kepalaku. Pantas saja suhunya semakin panas. Tapi aku harus tetap semangat. Aku harus membantu kakek menghabiskan jualannya.
"Ayok - ayok, dibeli sayurannya. Murah meriah, dibantu kakek nya. Mari buk, sayurnya seger banget loh." teriakku dengan semangat. Sudah menjadi kebiasaan bagiku untuk membantu sang kakek yang berjualan di depan kampus. Rasanya sangat bahagia bisa membantu orang lain.
"Mas, mbak ini pisangnya. Masih seger, gak pake pengawet. Murah lagi, manis lagi kayak saya Hehe.. Becanda mbak." tawarku sambil menggoda beberapa orang yang lewat. Sepertinya apa yang aku lakukan sangat lucu. Sampai-sampai kakek ikut tertawa. Senang deh melihat kakek tertawa.
"Sudah cukup nak, ini sudah panas. Lagian jualan kakek sudah mau habis. Terima kasih nak Ara selalu membantu kakek setiap hari." ucap kakek melihat penampilanku yang sudah cukup berantakan. Keringat pun kini sudah membanjiri tubuhku. Lihat, bahkan jilbab yang aku kenakan sudah sangat basah.
"Ahhh.. Capek juga ya kek cari uang? Kakek hebat banget bisa jualan ini tiap hari. Ara mah cuma taunya minta uang sama papa." ucapku duduk disebelah kakek. Kakek sudah cukup tua, tapi beliau tetap semangat untuk mencari nafkah. Aku salut padanya.
"Ini mata pencaharian kakek nak. Lagian kakek jualannya cuma duduk aja. Ada yang beli alhamdulillah, gak ada yang tetap alhamdulillah." Aku tersenyum mendengar pemaparan kakek.
"Tenang aja kek, selagi Ara ada waktu. Ara akan bantu kakek jualan. Semangat kek." ucapku dengan semangat. Aku tidak pernah bohong, aku akan terus membantu kakek jika aku punya waktu kosong. Lalu aku melihat jam yang melingkar indah di tanganku. Ternyata waktu zuhur sudah hampir tiba. Aku harus pulang. Lagian barang jualan kakek tinggal sedikit. Sepertinya aku sudah bisa meninggalkan kakek sendiri.
"Ah iya kek, Ara harus pulang dulu. Nanti sore ada jadwal kuliah. Semangat ya kek, semoga mudah rezekinya. Assalamualaikum kek." ucapku berpamitan untuk pulang. Aku mencium tangan kakek dan langsung beranjak pergi.
***
Setelah mata kuliah yang ku ambil usai. Aku berniat untuk langsung pulang. Lagian tidak ada hal penting yang harus aku kerjakan di kampus. Aku membuka pintu mobil. Namun tiba-tiba seseorang menarik tanganku. Aku sangat terkejut.
"Alan? Apaan sih main tarik-tarik. Kalau Ara jatuh, terus lecet gimana?" omelku. Ya, siapa lagi yang menarik tanganku kalau bukan Alan. Si pengganggu hidupku.
"Aku yang obatin. Cerewet." ucap Alan menyentil hidungku. Lihat, betapa jahil nya dia.
"Huaaaaaaa... Idung ara merah Alan." teriakku tak terima. Hidungku pasti akan sangat merah.
"Shhuut, jangan teriak. Nanti orang kira aku apa-apain kamu lagi." ucap Alan kesal. Aku mengerucutkan bibir ku. Kenapa dia yang kesal. Seharusnya aku yang kesal.
"Ada apa?" tanya ku ketus. Aku masih sangat kesal padanya. Grep! Ya ampun apa ini? Kenapa dia memelukku. Apa maksudnya? Aku kembali tersadar, ku dorong tubuhnya cukup keras. Ini salah, dia tidak berhak untuk memelukku.
"Ih Alan, jangan peluk-peluk Ara. Kasian tahu calon suami Ara, masak iya jatahnya kamu ambil. Alan jahat." omelku sedikit mundur untuk menjauh darinya.
"Ck, siapa juga cowok yang mau sama anak kecil kayak kamu. Dasar."
Apa itu benar? Tidak ada yang mau denganku? Kenapa hatiku sangat sakit mendengar Alan mengatakan hal itu. Apa aku terlalu kekanak-kanakan? Mataku juga mulai memanas. Tidak Ara, kamu tidak boleh cengeng.
"Ra, aku minat maaf. Aku gak ada maksud... "
"Enggak kok Lan, kamu benar. Mana ada cowok yang mau sama aku, aku ini kekanak-kanakan, cerewet dan kupel. Jauh banget sama cewek diluar sana." ucapku menghapus air mataku yang berhasil lolos dari pertahanan. Aku melihat Alan terdiam. Entah apa yang sedang ia pikirkan.
"Maaf aku cengeng ya?" imbuh ku sambil tersenyum. Aku tidak mau terlihat lemah di depannya. Walaupun kenyataannya aku memang sangat lemah.
"Ck, aku juga minta maaf." ucapnya hendak memelukku. Aku sangat terkejut dan langsung menghindar. Mungkin dulu aku tidak akan menolak Alan memelukku. Karena dalam pikiranku, Alan adalah calon imam masa depanku. Tapi itu salah, ternyata Alan hanya lah sahabat. Sahabat terbaik yang pernah aku kenal. Sedikit demi sedikit aku juga mulai belajar dari bunda tentang hubungan dan batasan antara laki-laki dengan wanita yang bukan mahram. Aku harus menjauh darinya. Jangan sampai perasaan ini semakin dalam. Sehingga sulit untuk keluar dari sana.
Alan menatapku cukup lama. Aku sangat gugup.
"Kamu berubah Ra, aku perhatikan sekarang kamu banyak menghindar dari aku. Apa aku menyakiti hati kamu Ra?" pertanyaan darinya membuat ku tersentak. Jadi dia menyadari itu. Aku memang berusaha untuk menghindarinya. Tapi aku tidak mau Alan kecewa. Dengan cepat Aku menggeleng.
"Bukan begitu Lan, bunda bilang kita sudah dewasa. Jadi kita harus menjaga jarak, aku gak mau ada kesalah fahaman jika kita terlalu dekat. Aku harap kamu ngerti." ucapku tersenyum. Aku mencoba memberi penjelasan.
"Aku harus pulang sudah sore. Selamat atas keberhasilan kamu. Semoga selalu bahagia. Assalamualaikum." aku langsung pergi meninggalkannya. Aku takut perasaan ku semakin kacau.
Menjauh adalah caraku untuk bisa melupakanmu. Jarak kita sudah tidak bisa sedekat dulu. Jalan kita berbeda. Maaf sudah lancang memiliki perasaan lebih untuk mu.
Huh, aku menarik nafas dalam-dalam. Aku mencoba menetral kan perasaanku yang bergejolak. Ku sandarkan kepalaku di kursi. Rasanya sangat aneh. Ada sesuatu yang hilang, suatu yang tak tahu wujudnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 91 Episodes
Comments
Ika Sartika
👍👍👍👍👍
2021-11-01
1
Mira Wati
akhirnya bisa lanjut g bc disini
2021-10-19
1
Su Sin
sukak karakter ara
2021-10-10
1