Aku meneguk air putih sembari duduk di bawah naungan pohon yang rindang, di hari minggu pagi, aku selalu menyempatkan diri untuk lari pagi di taman komplek.
Kebiasaanku yang suka makan dan ngemil membuatku harus menjaga postur tubuhku dengan berolahraga. Aku mengedarkan pandangan pada jejeran pedagang kaki lima, aku selalu sarapan di sini setelah jogging.
Kali ini, aku memilih nasi uduk sebagai menu sarapanku.
Perpaduan antara nasi yang gurih karena santan dan kering tempe yang sedikit manis, ditambah sambal yang pedas mampu menggoyangkan lidahku pagi ini. Jangan lupakan serundeng dan komponen lainnya, ah, nikmatnya hidup ini.
Ku lirik jam tanganku, jam 8.
Aku harus segera pulang, atau mama akan menyusul ke sini dan menyeretku pulang.
Setelah menghabiskan nasi uduk aku langsung menandaskan teh hangat dan membayar semua yang ku pesan.
Aku berjalan kaki menuju rumah, aku tidak memiliki agenda apapun hari ini, tugas bersih-bersih yang ditugaskan padaku sudah selesai sebelum aku pergi jogging.
Senangnya, bisa bersantai di hari minggu.
“Assalamu’alaikum” salamku begitu memasuki rumah. Aku terpaku setelah melihat Ayah, Mama, dan Adikku sudah berpakaian rapi. Mau kemana mereka?
“Kemana aja sih Mbak? Ayah telfonin dari tadi gak diangkat” omel Ayahku dengan lancar, aku meringis.
“Mbak kan gak pernah bawa Handphone kalau lagi jogging, Yah” aku menatap adikku, Manggala Candrawan, yang biasa kupanggil Awan dengan sengit, heran ya, dia itu laki-laki tapi doyan banget ngadu.
“Emangnya ada apa?” tanyaku mengalihkan topik sebelum Ayahku mengomel kemana-mana.
“Kamu gak baca pesan Mama kemarin, Mbak?” aku menggeleng sembari mengingat, pesan apa? Yang mana?
“Duh, ini anak ya, besok Ayah jual Handphone kamu Mbak, punya handphone kok gak ada gunanya” aku menggaruk tengkukku yang tidak gatal, sementara adikku? Dia sudah tertawa senang saat aku di omeli seperti ini.
“Udah sana ganti baju, Mama udah siapin baju kembaran buat kita semua” aku semakin tak mengerti.
“Iya, tapi kita mau kemana sih? Penting banget ini Naya harus keluar pas weekend kayak gini?” mama mengangguk mantap yang mengartikan bahwa aku harus meninggalkan singgasanaku hari ini.
“Kita mau ke acara reuni keluarga, kan ini sudah di agendakan ber bulan-bulan lalu, kamu sih gak mau bantuin sepupu-sepupumu yang lain buat nyiapin acaranya” tiba-tiba tatapanku memelas pada Mama dan Ayahku, aku tidak menyukai acara ini, ku rasa semua wanita yang seusia dan senasib denganku juga tidak menyukai acara tidak bermutu ini.
“Kemarin kamu sudah Alpha, masak sekarang gak ikutan lagi” ucap Ayahku dengan tegas.
“Tapi kan Naya gak suka Yah ketemu Bu Dhe, Pak Dhe yang sering mojokin Naya dengan pertanyaan ‘Kapan Nikah?’ Naya malu, emangnya Ayah gak malu karena belum juga mantu sampai sekarang?” keluhku yang hampir saja berurai air mata, dua tahun lalu saat aku berusia 25 tahun, omongan Bu dhe dan Pak dhe yang pedesnya kayak saos samyang membuatku malas untuk menghadiri acara reuni keluarga sampai kapanpun.
Masih teringat jelas di benakku betapa kejamnya perkataan mereka padaku waktu itu.
‘Kanaya, kamu tuh sesekali merawat diri, jangan kucel gini penampilannya, gimana mau punya pasangan kalau kamu kayak gini, percuma karir bagus kalau gak punya pasangan, lihat ayah dan mamamu, mereka sudah pengin nimang cucu, bukan pengin kamu beliin ini itu’
Sakit sekali hatiku, ditambah lagi melihat tatapan terluka dari kedua orang tuaku. Semua orang boleh menyakitiku, aku tidak peduli, tapi jika itu tentang kedua orang tuaku, aku rela menukar apapun demi kebahagiaan mereka.
“Nggak, Ayah sama sekali gak malu, memangnya Mama malu?” Mamaku menggeleng, menghampiriku, dan memelukku.
“Kami gak pernah malu sama kamu, Sayang, justru sebaliknya, kami sangat bangga padamu, banyak orang yang menginginkan posisimu, Nak, kamu harus mensyukuri itu” aku menatap kedua orang tuaku dengan haru.
“Tapi Mama sama Ayah sedih kan karena sampai sekarang belum juga dapat mantu?” ayahku duduk di hadapanku.
“Ayah sama Mama memang sedih tapi bukan karena itu”
“Lalu?”
“Kami sedih karena khawatir, siapa yang akan menjagamu jika kami sudah tiada, siapa yang menenangkanmu seperti ini jika kami sudah tiada, siapa yang akan menghapus air matamu saat kamu sedang sedih dan terluka, kamu anak kebanggaan Ayah dan Mama, putri kecil Ayah yang sekarang sudah dewasa” Ayah menerawang ke depan, semua ucapannya tidak bohong untuk sekedar menenangkanku, rupanya itu yang membuat mereka sedih.
“Awan suatu saat akan memiliki keluarga sendiri, meski Ayah selalu mewanti-wantinya untuk selalu menjagamu sekalipun kalian semua sudah berkeluarga, kamu tetap butuh orang yang 1 x 24 jam ada untukmu, mensuportmu, menjadi sandaranmu, pembimbingmu, yang mengantikan tugas Ayah untukmu, jika kami sudah tidak ada, siapa yang akan melakukan itu?” tambah Ayah sembari menatap ku, Mama beralih ke samping Ayah untuk gantian menenangkan Ayah, sementara itu, aku menangis karena sudah salah paham pada orang tuaku.
“Maaf Yah, Ma, Naya sudah salah paham, Nay-Naya pikir, Ayah malu karena Naya belum juga menikah di umur Naya sekarang” ucapku dengan tergugu, kami sudah lama tidak deep talk seperti ini, wajar saja jika ada ke salah pahaman di antara kami.
“Taukah kamu apa yang menjadi kekhawatiran terbesar kami?” tanya Ayah yang ku hadiahi gelengan sembari menghapus air mata yang mengucur deras dari pelupuk mataku.
“Kami lebih khawatir jika kamu menikah dengan orang yang salah karena terburu-buru dan asal memilih pasangan demi membungkam mulut orang-orang usil seperti Pak dhe dan Bu dhe mu” ucap Ayah dengan nada lesu.
“Kami tidak ingin itu terjadi, Kanaya, orang yang menjadi suamimu nanti harus mengerti kalau kamu princess kecil ayah yang tidak boleh di sakiti secara fisik dan hati” mata Ayah berkaca-kaca, aku berhambur ke pelukan Ayah dan Mamaku, aku merasa berdosa sekali jika membuat kedua orang yang paling ku sayangi ini bersedih karena ku.
“Kamu tidak mendapatkan apapun selain ketidak bahagiaan kalau tidak dengan orang yang tepat, kita manusia hanya bisa berusaha dan berdo’a nak, semuanya sudah diatur kita hanya menjalaninya, jadi bukan salahmu jika sampai saat ini belum menikah” ucap Ayah lagi.
“Sekarang terserah kamu, mau datang atau tidak, Ayah juga tidak mau kamu sedih karena omongan orang sekalipun itu saudara kandung kami sendiri” aku kembali menatap ayah tak percaya.
Tapi dari perkataan Ayah tadi, aku menangkap satu poin penting yang bisa ku jadikan senjata untuk membantah perkataan nyelekit dari Pak dhe dan Bu dhe ku nanti, lihat saja. segera ku hapus air mataku.
“Kanaya ikut yah, tolong tunggu sebentar” aku menghela nafas dalam dan bangkit untuk bersiap.
Aku bisa melihat senyuman tulus dari kedua orang tua dan adikku, rupanya bukan hanya aku yang tersakiti oleh perkataan mereka, keluarga kecilku ini juga sakit melihatku sedih seperti sebelumnya.
Aku mandi dan berdandan semaksimal mungkin, aku tidak mau terlihat lemah lagi di hadapan mereka.
Kami berangkat dengan tenang, tidak ada kegaduhan antara aku dan Awan seperti biasa, entahlah, kami sibuk dengan pikiran masing-masing.
Aku dan Awan berjalan di belakang Ayah dan Mama, gedung ini sudah di hias dengan indah.
Di depan sana aku melihat para sepupu yang sudah melambaikan tangan padaku, aku membalasnya dengan senyuman, tanpa ku sadari, orang yang berniat ku hindari kini ada di sisiku. Aku menyaliminya sebagai tanda hormatku.
“Sehat Kanaya?” sapa Bu dhe, ini basa-basi yang paling memuakkan bagiku.
“Baik Bu Dhe”
“Kamu sendiri lagi?” aku mengangguk sopan, yang sebenarnya dalam hatiku ada bola-bola api yang siap ku lemparkan pada Bu Dhe ku yang bermulut pedas ini.
“Mbok ya kamu itu bawa pasangan tho, lihat itu Jani, dia lebih muda dari kamu tapi sudah berani bawa tunangannya kemari” tuh kan benar, dia membandingkanku dengan anak bungsunya sendiri.
“Yang menikah aja bisa cerai Bu Dhe” Bu Dhe menatapku nyalang, aku tidak peduli, tangisanku tadi dan tatapan nelangsa Ayah dan Mama waktu itu harus terbayar hari ini.
“Bu Dhe seperti ini karena sayang sama kamu, lihat kamu sudah umur berapa, perempuan itu ada masa expired-nya, susah hamil kamu nanti” aku tersenyum meremehkan, lagaknya sudah sepertituhan saja berani memvonis seperti itu.
“Memangnya Bu Dhe tau kapan Bu Dhe mati? Nggak kan? Jodoh, rezeki dan maut itu di tangan tuhan, kita ini sama-sama manusia loh” tanpa kata Bu Dhe segera meninggalkanku dengan raut kesalnya.
Yess! Berhasil!
Ku lihat para sepupu yang tidak jauh dari tempatku berdiri mengacungkan jempol padaku, lihatkan, bahkan semua sepupuku tidak menyukai Bu dheku.
TBC
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 71 Episodes
Comments
Park Kyung Na
👍👍
2022-10-05
0