Sebentar lagi musim hujan akan datang, seperti tanah kering yang menginginkan hujan, aku juga sangat mengharapkan hujan segera datang untuk membasahi hatiku yang gersang.
Memang bisa? Bisa. Bagiku, hujan bagaikan pelipur lara. Sensasi dari rintik hujan yang menyentuh kulitku, dinginnya air yang mampu mendinginkan panasnya hawa tubuhku, dan yang paling penting, guyuran air dapat menyamarkan tangisanku.
Itu semua yang membuatku mencintai hujan.
Aku memakan makan siangku sendiri, di kantor, aku tidak begitu akrab dengan rekan kerjaku dan lebih senang menghabiskan waktu sendiri.
Drrttt
Pandanganku tiba-tiba beralih pada handphone-ku. Ada pesan masuk, segera ku cek pop up, jika tidak penting akan ku balas nanti, itu kebiasaanku.
^^^Dewi^^^
^^^Aya, sibuk?^^^
Aku mengernyit heran, dia tau betul jika saat ini aku sedang makan siang, karena kantorku dan kantor Dewi bersebelahan, kami sering menghabiskan waktu makan siang bersama.
Aku mengetikkan balasan, takut Dewi membutuhkan teman cerita atau lainnya.
^^^Enggak, kenapa?^^^
Tak lama setelah itu, panggilan telepon dari Dewi berdering di handphone-ku.
“Halo cintah” sapanya setelah aku menerima panggilannya, aku menjepitkan handphone diantara telinga dan bahuku, agar aku bisa tetap makan sembari menerima telponnya.
“Hmmm?” jawabku dengan makanan yang ku kunyah dalam mulutku.
“Lagi makan?”
“Iya, ada apa sih? Jangan bikin penasaran” tanyaku dengan sebal, dia tertawa. Dewi ini tidak biasanya berbelit-belit, dia tau aku orangnya selalu to the point.
“Ini ada orang mau kenalan katanya” aku mengenyit heran, siapa?
“Gak usah ngaco deh, kamu cuman mau godain aku kan?”
“Loh kok godain sih? Ini beneran ada yang mau kenalan sama kamu” gemasnya.
“Monyet di Uluwatu?” Dewi dan Alan tertawa terbahak-bahak, bukan tanpa sebab aku menimbulkan praduga ini, Dewi dengan segala kebiasaan uniknya membuatku selalu berprasangka padanya.
Mungkin saja ia ingin membagikan kisahnya yang sedang honeymoon di Bali dengan mengatakan ada yang ingin berkenalan denganku, padahal tidak. Siapa lagi kan? Sircle kami terlalu sempit.
“Galang” ini bukan suara Dewi, aku sontak menjauhkan ponselku dari telinga dan memastikan bahwa sambungan telepon kami masih terhubung.
Nama kontak Dewi yang tertera di layar ponselku.
“Tuh, udah denger sendiri kan? Dia sampe nyamperin aku dan Mas Alan ke Bali cuman buat dapetin nomor ponsel kamu” kata Dewi, yang di ikuti tawa dari Alan.
“Gak gitu kok Kanaya, kebetulan aja ketemu sama mereka, terus ke inget kamu”
“Buat apa minta nomorku?” tanyaku tanpa menghiraukan sanggahannya.
“Nanti akan ku sampaikan sendiri kalau aku sudah memiliki nomormu, boleh kan?”
“Eh udah dulu ya, jam istirahatku sudah habis” setelah mengatakan itu, sambungan telepon ku matikan sepihak, ini bukan jawaban, aku memilih menghindar dari pada menjawab permintaan dari Galang.
Aku tidak mau terlibat lebih jauh dengan lelaki lagi, luka dari hati patah yang lalu belum sepenuhnya sembuh, tidak ingin menambahkan luka baru di atas luka lamaku yang masih menganga.
Aku yakin dia hanya penasaran padaku, dia pasti sama dengan lelaki yang pernah singgah di hidupku, setelah rasa penasaran itu terjawab kemudian meninggalkanku yang sudah berharap banyak padanya.
Galang Prambudi.
Nama yang indah, dia juga tampan. Setiap ada ketidak sengajaan yang berulang seperti ini, aku selalu bertanya-tanya dalam hati, diakah jodoh yang sudah Tuhan siapkan untukku?
Aku menggeleng sembari sesekali memukul kepalaku dengan pelan untuk menghilangkan hayalanku. Belum tentu juga dia adalah jodohku. Aku selalu salah paham terhadap niat
Tuhan mempertemukanku dengan seseorang.
Seperti yang terjadi pada masa laluku.
Ah sudahlah.
Pekerjaan kantor di akhir tahun memang selalu banyak. Aku kembali fokus dengan berkas-berkas dan layar komputer yang selama ini menjadi donatur tetap dalam perjajanan dan skincare-ku.
Ting tong ting tong
Aku sempat terkejut, namun senyumku segera terbit, jam pulang sudah tiba. Ku bereskan semua barangku dan pulang dengan senyuman yang merekah. Waktu bahagiaku saat ini hanya tiga, saat jam pulang, saat gajian, dan saat libur.
Kali ini aku ingin pergi ke taman kota terlebih dahulu, sudah terngiang di pikiranku semangkuk mie ayam, dengan ceker, tumpahan saus dan sambal, serta segarnya es degan yang seperti me-recharge energiku kembali.
Sabtu malam minggu, waktuku untuk me time. Jika orang lain menghabiskan waktu dengan pasangan mereka, tapi tidak denganku. Sudah ku bilang kan? Aku suka menghabiskan waktu sendiri.
“Pak, mie ayam 1, plus ceker, dan es degan 1, ya!” pesanku saat sudah sampai kedai Mie ayam langgananku, Pak oto mengangguk sembari tersenyum, kemudian kembali pada kesibukannya membuatkan pesanan pelanggan yang datang sebelum diriku.
Aku duduk di bangku favoritku, dekat dengan pintu masuk dan menghadap jalan raya, dari sini aku bisa melihat kendaraan yang berlalu lalang, juga muda mudi yang dengan tidak sopannya bergandengan di hadapan singlelillah sepertiku.
Dulu aku tidak terlalu khawatir karena aku memiliki Dewi yang sama-sama belum menikah, saat Dewi sudah mengarungi bahteranya bersama Alan, aku kalang kabut, tidak ada lagi tameng yang bisa ku gunakan untuk pembelaan diri.
Right person in the right time.
Hanya kalimat itu yang terus menguatkanku hingga saat ini.
Aku tidak mau salah pilih, karena sudah cukup aku bersedih karena orang yang salah. Tidak salahkan?
“Silahkan Neng” karena terlalu asik melamun aku sampai tidak sadar pesananku sudah ada di hadapanku. Pak oto sendiri yang mengantarkan untukku, tidak seperti pelanggan lain, aku kenal baik dengan Pak oto karena sering makan di tempatnya, itu sebabnya, beliau menobatkanku dan Dewi sebagai pelanggan tetap yang di istimewakan. Kata beliau waktu itu.
“Terima kasih pak, kok gak pelayan aja yang anter, biar bapak gak capek bolak-balik”
“Gapapa Neng, kemana Neng Dewi? Biasanya udah seperti gula dan semut, nempel mulu” ucap Pak oto dengan mendekatkan jari telunjuk dan jempol sebagai simbol begitu dekatnya kami.
“Saya gulanya kan pak?” tanyaku, Pak Oto tertawa, di susul dengan tawaku.
Setelah menjelaskan bahwa Dewi sedang dalam masa Honeymoon karena baru saja menikah beberapa hari lalu, Pak Oto menitipkan ucapan selamat lengkap dengan do’a-do’a baik untuk kebahagiaan rumah tangga Dewi yang ku aminkan dalam hati.
Aku makan dengan khidmat, rasa dari Mi ayam ini tidak pernah berubah, selalu enak di lidah, dan kantongku tentunya.
Setelah selesai makan aku langsung membayar dan menuju toko donat yang berada di seberang kedai mie ini, aku senang menonton film dengan memakan donat, mama dan adikku juga menyukai donat di toko ini.
Aku memilih beberapa toping, kemudian membayarnya. Dan keluar dari toko dengan menenteng dua kotak donat berisi berbagai varian favorit keluargaku.
Saat akan keluar, tak sengaja tas ku tersangkut pada gagang pintu, ku goyangkan lenganku berharap kaitan itu dapat lepas, namun itu seperti tidak ada gunanya, aku menaruh kotak donatku di dekat pintu keluar untuk melepaskan kaitan itu lalu kembali memakai tasku dengan benar agar tidak kembali tersangkut pada apapun.
Untung saja toko kue ini sedang sepi, batinku.
Aku sedikit menunduk saat akan mengambil kotak donat yang ku letakkan sembarangan, tak sengaja aku melihat kilauan dari celah antara tempat sampah dan tembok toko ini. Setelah menenteng semua donatku untuk di bawa pulang, aku segera mendekat pada objek yang mencuri pandanganku tadi.
Sebuah gelang!
Perlahan aku menarik gelang itu keluar, gelang emas dengan taburan berlian dan bermata batu blue safir. Ini indah sekali! Aku celingukan untuk mengamati sekitar. Tidak ada orang. Aku memutuskan untuk membawa pulang gelang itu.
Rejeki anak sholehah! Kataku dalam hati, sembari berjalan dengan riang.
TBC
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 71 Episodes
Comments