Lembaran lamaran pekerjaan sudah disebar ke beberapa tempat kerja seperti cafe, kantor asuransi, restauran, kantor konsultan, dan lainnya. Namun belum ada satu pun yang memanggil via telepon kepada Elsa. Seminggu, sebulan, dua bulan, tiga bulan, Elsa hampir putus asa saat itu. Uang simpanannya lambat laun menipis. Entah apalagi yang harus ia lakukan untuk menghasilkan uang dan bertahan hidup ditengah-tengah masa sulitnya. Ibu yang hampir setiap hari meminta uang transferan untuk kebutuhan adik-adik Elsa. Dan Indra yang selalu datang mengancam dan merampas semua uangnya. Berat ternyata hidup seperti ini. Berulang kali Elsa menghela nafas dengan berat. Satu-satunya perhiasan yang ia punya kali ini tinggallah anting. Hari itu pun, Elsa sudah menjual anting kesayangannya seharga 5 juta. Elsa transfer 2 juta untuk kebutuhan ibu dan kedua adiknya dan ia simpan 2 juta di rekeningnya. Ia sembunyikan ditempat paling aman yang tidak akan pernah Indra sentuh. 1 juta lagi untuk biaya hidupnya sehari-hari.
Elsa berjalan gontai sendirian sepulang dari kampus menuju kostannya yang tinggal 30 langkah lagi. Senja tidak menyilaukan mata, awan gelap menutupi saga merah mentari. Semilir angin menusuk dingin ke dalam kulit. Namun Elsa tak peduli. Tubuhnya lelah dan lunglai. Ia ingin segera membenamkan diri dalam mimpi indahnya.
"Elsa...?" Tiba-tiba sebuah suara terdengar ngebas. Suara yang sangat Elsa kenal. Spontan ia menghentikan langkahnya. Menelan ludah. Melirik ke kiri dan ke kanan. Jantungnya berdegup lebih cepat. Pelan-pelan rasa takut menelisik ke pori-pori kulitnya. Ia tidak bisa mengatur nafasnya dengan baik. Indra menyunggingkan bibirnya, memicingkan matanya, mengeraskan rahangnya. Lelaki itu siap menguasai kelemahan Elsa.
"Mau apa kamu?" Suara Elsa bergetar, tampak sekali ia sangat takut.
"Mana uangmu?" Indra mengulurkan telapak tangannya. Seakan ia meminta haknya kepada Elsa.
"Aku nggak punya uang, Indra." Balas Elsa. Dendam, marah, kesal, jijik, dan rasa takut terhadap Indra menyatu bagaikan kobaran api. Elsa sangat membenci Indra. Dimatanya, Indra adalah seorang benalu yang tak tahu diri. Indra menarik tas kulit milik Elsa. Menggeledah tasnya, namun ia tidak menemukan uang didalam tas Elsa.
"Mana uang kamu." Indra meninggikan suaranya. Ia sangat geram karena tidak menemukan apapun.
"Aku nggak punya uang Indra." Balas Elsa membentak sambil merebut tasnya.
"Jangan bohong kamu. Aku tahu, kau sudah menjual perhiasanmu. Sekarang, aku minta uangmu." Katanya dengan paksa.
"Hubungan kita sudah selesai. Kau tidak berhak meminta apa-apa dariku." Ujar Elsa.
"Apa kau bilang?" Tangan Indra melayang dan mendarat di pipi Elsa.
"Jangan sekali-kali kau menampar aku. Bajingan." Kata Elsa menatap tanpa rasa takut. Indra menampar lagi, lagi dan lagi, tak puas dengan menampar pipinya. Indra pun menarik kerah baju Elsa lalu memukulnya tanpa belas kasian. Menyiksa sepuas hatinya.
"Kalau kau tidak mau memberiku uang, maka aku akan membuatmu menderita. Dan hubungan kita tidak akan bisa selesai begitu saja." Ujar Indra.
"Bajingan brengsek." Ketus Elsa.
"Apa kau bilang?" Elsa meludah ke sembarang, matanya merah padam, ada amarah yang sangat membara di dadanya. Indra kembali memukul Elsa tanpa henti. Tak hanya Indra yang memiliki amarah yang luar biasa. Bahkan Elsa pun sama, ia ingin sekali membunuh Indra.
"Kau tahu, ibumu dan kedua adikmu akan menderita jika kau tidak menuruti apa yang aku inginkan. Aku akan membunuh mereka, jika kau tidak memberiku uang untuk berfoya-foya." Ancamnya sambil menjambak rambut panjang Elsa.
"Aku tidak takut dengan ancamanmu. Aku akan melaporkanmu ke polisi Indra. Aku tidak takut." Bentak Elsa. Amarah Indra menyulut lagi, ia kembali memukul Elsa hingga babak belur, lalu meninggalkannya seorang diri di jalanan beraspal. Elsa berteriak sekeras-kerasnya, menangis sejadi-jadinya, menggeram penuh dengan penderitaan. "Kenapa tidak kau bunuh saja aku Indra? Kenapa? Kenapa kau lakukan ini kepadaku?" Teriak Elsa. Lalu sebuah bayangan memasuki ruang ingatan Elsa. Hitam gelap, teriakan yang sangat keras, jeritan, tangis yang penuh dengan kepiluan, darah, hujan, dan kesakitan yang sangat dalam. Elsa memukul kepalanya dengan keras.
"Aaarrrrgggghhh. Arrggghh. Argggh. Sakit.... Sakit...." Ia memukul dadanya. Penuh dengan kesesakan.
...***...
"Aku akan datang untukmu." Kalimat itu selalu terngiang didalam ingatannya. Selalu hadir didalam mimpinya. Elsa berharap suara itu akan menyelamatkannya dari penderitaannya saat ini. Namun pada kenyataannya, ia tetap seperti ini. Elsa memutuskan untuk pindah kost, tanpa memberitahu ke-4 sahabatnya.
"Girls, ada yang tahu Elsa pindah kemana?" Tanya Naira kepada ketiga sahabatnya. Ia panik bukan main saat mendengar dari ibu kost kalau Elsa sudah pindah.
"Elsa pindah? Pindah kemana?" Via balik bertanya. Mereka tidak ada yang tahu tentang kondisi psikis Elsa sekarang. Naira, Naina, Niken dan Via mencari keberadaan Elsa. Tapi, sudah beberapa hari ini Elsa tampak menghindar. Mereka tidak menemukan Elsa di kampus, bahkan nomor ponselnya pun tidak tersambung.
Elsa termenung sendirian sore itu. Menatap warna orange senja yang penuh dengan goresan tangan Tuhan. Warna awan putih tebal menyelimuti langit yang cerah. Membuatnya tak pernah memikirkan masa depan. Rencana, tujuan bahkan harapan yang selalu hidup dirinya kini sirna. Saat ini, hidupnya bagaikan di neraka. "Yah, kenapa ini semua terjadi sama kita sih? Kenapa ayah melakukan penyuapan itu sih? Kenapa, Yah? Kenapa ayah nggak mikirin ibu, aku dan adik-adik." Batin Elsa. Sore itu lalu lintas padat dengan kendaraan. "Mungkin kalau aku mati. Aku tidak akan menderita seperti ini." Pikirannya kacau dan Elsa berjalan gontai, ia berdiri ditengah jalan ketika sebuah mobil melaju cepat. Ia ingin tubuhnya melayang ke udara, berlumur darah, dan jiwanya melayang ke angkasa. Elsa memejamkan kedua matanya. Berharap sebuah mobil menghancurkan tubuhnya. Dan ia bisa bertemu dengan Tuhan yang menciptakannya. Tapi tiba-tiba seseorang menarik lengannya. Elsa terjatuh tanpa sadar. Tubuhnya serasa dipeluk seseorang. Elsa membuka mata, dan ia melihat seorang lelaki menyelamatkan hidupnya.
"Kau tidak apa-apa?" Tanya lelaki itu.
"Kka-kkau." Elsa terbelalak ketika melihat lelaki yang menyelamatkannya. "Kak Sameer."
"Masih mengenaliku? Kenapa kau diam ditengah jalan? Kau mau bunuh diri?" Tukasnya. Elsa segera berdiri, merapikan bajunya. Tanpa berkata-kata, ia meninggalkan lelaki yang menolongnya.
...***...
"Sa, maafin aku ya. Aku ingin ketemu sama kamu. Aku tunggu di Plaza Hotel ya. Ada yang mau aku bicarakan." Sebuah pesan masuk dari Indra. Elsa menghela nafas berat. Namun ia tetap pergi menemui Indra.
Hari itu Elsa mengajak Niken. Tak sengaja mereka juga mengenali satu dan dua wajah saat di Plaza Hotel. "Bukannya itu Irshan. Ehh ada Kafka juga." Ketus Elsa lalu melirik Niken. Niken pun menoleh, lalu langkahnya tertuju kepada kedua lelaki yang mereka kenali.
"Ken, kita pulang aza yuk." Ajak Elsa menahan Niken.
"Enggak, Sa. Aku mau tahu mereka ngapain disini." Kata Niken.
"Mungkin mereka lagi ada acara kali." Balas Elsa. Tapi hati Elsa tidak berkata demikian. Elsa berusaha mencegah langkah Niken. Elsa tahu betul, lantai yang dituju oleh kedua lelaki itu adalah kamar hotel.
"Niken, ayo kita pulang. Oh ya, Indra udah ada di lobi. Yuk ah." Kata Elsa.
"Nanti dulu Elsa. Aku mau tahu, mereka ngapain." Balas Niken. Lift terbuka dilantai 10. Niken dan Elsa saling berpandangan. Tidak tahu kemana mereka harus mencari kedua lelaki itu.
"Aku kesana, kamu kesana ya." Kata Elsa. Niken mengangguk. Elsa menemukan sebuah kamar hotel tanpa dikunci. Pintunya terbuka sedikit, ia penasaran dengan apa yang ada didalam. Mata Elsa terbelalak ketika melihat pemandangan yang sangat mengerikan itu. Spontan Elsa menutup mulutnya lalu melangkah mundur sebelum mereka menyadari bahwa Elsa tak sengaja mengintip. Ia harus bergegas keluar. Menutup mulut semua perilaku Irshan dan Kafka. Ia tahu betul bagaimana Via sahabatnya sangat mencintai Irshan (*Baca novel Without You). Dan Kafka yang mematahkan fobianya Niken. (*Baca novel One Summer Night).
"Kenapa, Sa?" Tiba-tiba Elsa di kejutkan oleh suara Niken. Elsa menggelengkan kepala dengan cepat.
"Yuk kita pergi aja." Kata Elsa berusaha menahan Niken. Namun Niken melepaskan tangan Elsa. Niken mengikuti naluri rasa penasarannya. Ia mengintip sedikit, lalu membuka pintu. Sekujur tubuh Niken terasa membeku. Matanya berkaca-kaca. Hatinya terasa tertusuk ratusan belati.
"Jangan dibuka, Niken. Jangan..." Cegah Elsa. Namun sudah terlanjur. Niken menahan tangisnya, lalu ia berlari menyusuri koridor hotel. Elsa mengejarnya.
"Naira, kamu dimana? Okey. Kalau Niken pulang, kabari ya." Niken meninggalkan Elsa di hotel. Elsa tahu, kalau Niken sangat sedih karena Kafka melakukan hubungan **** dengan seorang perempuan. Elsa menghembuskan nafas dengan berat lalu ia menerima pesan lagi dari Indra.
"Aku ada di restauran." Katanya. Elsa mengikuti arah panah menuju restauran. Ia mendapati Indra yang menggapaikan tangannya.
"Hai sayang..." Seru Indra. Elsa menghampirinya. "Kenalin ini pak Rinto. Dia seorang pengusaha kaya raya lho, sayangnya dia seorang duda. Dia kehilangan sesuatu dirumahnya." Kata Indra sambil memicingkan matanya. Elsa mengulurkan tangannya. Indra dan lelaki yang bernama Rinto itu saling berbisik.
"Kamu ikut pak Rinto gih." Kata Indra.
"Ngapain?" Tanya Elsa.
"Udah ikut aja sana."
"Yuk." Kata Rinto sambil mengulurkan tangannya.
"Saya bisa sendiri." Tukas Elsa. Elsa menurut dan mengikuti Rinto dari belakang. Elsa merasakan ada sesuatu yang tidak beres. Lift tertutup dan menuju lantai 10. Elsa memutar bola matanya ke kanan dan ke kiri. Ia merasakan sebuah ketakutan yang amat besar. Ada apa ini? Batinnya. Rinto membuka pintu kamar hotel, mempersilahkan Elsa masuk.
"Kenapa kita kesini?" Tanya Elsa.
"Udahlah, kita masuk aja dulu. Kita ngobrol-ngobrol dulu yuk." Jawab Rinto. Elsa enggan, ia memperhatikan Rinto sedari tadi. Ia memiliki firasat yang buruk. Saat Elsa memandang ke seluruh bagian sudut kamar, tiba-tiba lengannya disentuh oleh Rinto.
"Bapak mau ngapain?" Bentak Elsa.
"Ayolah, jangan begitu. Kita happy happy saja dulu. Kamu cantik. Sayang kalau nggak dipake." Katanya. Elsa menelan ludah. Matanya berkaca-kaca. Ada perasaan takut yang menyelinap ke dalam dadanya. Pak Rinto mendekati wajah Elsa. Namun Elsa membuang muka. Lantas Rinto menarik wajah Elsa mencoba mencium bibirnya. Elsa membuang muka lagi. Jijik. Begitu pikir Elsa. ******* nafas Rinto yang kesal pun menjadi marah. Lelaki itu berusaha keras mendapatkan apa yang ia inginkan, memaksa Elsa untuk tidur di kasur dan menyetubuhinya. Air mata Elsa mengalir pelan, Rinto hampir mencicipi leher Elsa. Elsa mampu merasakan ******* nafas yang jijik itu lagi. Elsa berusaha menolak dan mendorong lelaki itu. Lalu menendang ******** Rinto dengan keras. Lelaki itu geram dan menampar Elsa. Elsa melempar semua barang yang ada di dekatnya. Ia berlari menuju pintu, tapi terkunci. Lagi-lagi Elsa dibawa ke kasur, ia meludahi lelaki itu. Elsa dipukul berkali-kali, Elsa tidak memiliki tenaga untuk melawan. Saat Rinto mencumbunya, mata Elsa tertuju pada botol anggur yang masih utuh. Dan Elsa memukul kepala Rinto dengan botol anggur tersebut. Kepala Rinto berdarah, ia terkapar di kasur. Lalu Elsa mencari kunci yang ada disaku celana Rinto. Elsa berhasil melarikan diri. Ia bergegas pergi meninggalkan hotel Plaza. Namun tiba-tiba Indra menyerunya.
"Elsa...?" Seru Indra dari kejauhan. Elsa berlari secepat mungkin, tapi sayangnya Indra berhasil menangkapnya.
"Mana Rinto...?"
"Dia sudah mati." Ketus Elsa dengan nafas pendek.
"Hah? Kau gila? Susah payah aku menjualmu, lantas kau pergi begitu saja." Tukas Indra.
"Kau brengsek Indra." Bentak Elsa.
"Aku ingin banyak uang. Makanya aku menjualmu. Kalau kau membunuhnya. Maka tamatlah riwayatku." Kata Indra.
"Aku tidak peduli." Indra geram, emosinya naik pitam hingga ia menampar dan memukul Elsa berulang kali. Tiba-tiba ponsel Indra berdering. "Hallo. Pak Rinto? Anda tidak apa-apa? Baik, saya ke sana sekarang." Indra menghentikan aksi kekerasannya.
"Bersyukurlah dia tidak mati. Kalau tidak, kau yang akan mati." Ujarnya. Elsa tertawa.
"Lalu kenapa kau tidak bunuh saja aku?" Tantang Elsa. Indra pergi meninggalkannya. Sementara itu Elsa berusaha kabur dari jeratan mereka.
Keesokan harinya, Elsa mendapatkan kabar dari Naira bahwa Via mengalami penculikan. Elsa, Naira dan Naina berusaha membantu pihak polisi mencari keberadaan Via malam itu. Namun sampai pada pukul 1 malam pencarian mereka terhenti karena tiba-tiba saja Elsa berteriak histeris.
"Jangan.... Jangan... Aku mohon hentikan. Tidak.... Jangan...." Naira dan Naina saling menatap satu sama lain. Seluruh tubuhnya bergetar hebat. Bayangan yang memasuki ingatannya itu membuat Elsa sangat kesakitan. Luar biasa hebatnya. Elsa meninju dirinya tanpa henti. Memukul-mukul kepalanya dengan keras. Hingga membuat Naina dan Naira ketakutan.
"Elsa...? Sadar Sa. Kamu kenapa?" Naina dan Naira memeluk Elsa. Menahan kedua tangan sahabatnya untuk tidak melukai dirinya sendiri.
Naina dan Naira membawa Elsa pulang ke kostannya. Elsa sudah terlelap dalam buaian angin malam. "Semoga kau mimpi indah." Bisik Naina ke telinga Elsa.
"Apa jangan-jangan Elsa mengingat kenangannya sama Sam?" Tebak Naira.
"Ssst... Jangan kencang-kencang. Kita udah janji kan sama orangtuanya Elsa untuk tidak membeberkan semuanya." Balas Naina.
"I know Naina. Tapi kasian Elsa. Pasti sakit sekali. Bahkan menurutku yang harusnya dirawat di rumah sakit jiwa itu bukan Elsa tapi ibu dan ayahnya. Mereka yang gila. Aku malahan senang melihat ayah dan ibu Elsa menderita sekarang. Karena mereka sudah sangat kejam kepada Elsa. Tapi melihat Elsa menderita begini, aku jadi nggak tega." Jelas Naira.
"Hemmmmhhh..." Naina mendesah pelan.
"Kenapa?"
"Semua yang kita lalui kenapa begini ya?" Ujar Naina.
"Kita semua nggak normal gitu? Kita sadar kalau kita butuh psikolog, itu alasan mengapa aku, kamu, Niken, Elsa dan Via masuk jurusan psikologi. Karena kita saling membutuhkan. Na, it's gonna be okay. All is well koq. Kita akan menemukan kebahagiaan masing-masing. Termasuk Elsa." Balas Naira.
"Tega banget nggak sih?" Sebulir air mata jatuh tak terasa ke pipi Naina. Naira memeluk sahabatnya itu. Ia tahu semua ini akan berat. Elsa akan mengalami banyak kesulitan.
Suara alarm berbunyi kencang. Naina dan Naira terbangun begitu mendengar bunyi alarm.
"Elsa...?" Naira terkejut ketika mendapati Elsa sudah tidak ada di tempat tidur. Begitupun dengan Naina. Keduanya panik bukan main. Mereka mencari Elsa ke seluruh penghuni kostan.
***
Elsa terbangun saat mendengar sebuah bisikan memanggil namanya. Pukul 4 pagi. Ia memandang Naina dan Naira yang sudah terlelap di bawah tempat tidur yang beralaskan karpet. Elsa bergegas meninggalkan mereka. Dan berjalan seorang diri di jalanan lalu lintas. Masih sepi. Bagaimana kalau sekarang ia melakukan percobaan bunuh diri lagi? Mungkin akan berhasil. Pikir Elsa. Namun ia menatap kosong jalanan itu.
"Aku mencintaimu.... Aku mencintaimu Elsaaaa......" Elsa tidak tahu siapa lelaki itu. Lelaki yang selalu masuk ke dalam ingatannya. Ia menangis lagi. Lalu Elsa naik ke sebuah atap gedung perusahaan. Ia menatap langit yang dengan maha karya-Nya berubah seketika. Semburat fajar yang membentuk oase merah jingga. Semu aurora bersinar di permukaan langit. Lalu muncul sembulan mentari pagi yang menghangatkan jiwa. Elsa duduk seorang diri disana. Hingga ia tak sadar, waktu sudah menunjukkan pukul 9.00 pagi.
Ponselnya yang sejak tadi mati, kini dinyalakan. Banyak panggilan masuk dari Naina dan Naira. Namun ia abaikan. Tiba-tiba ponselnya berdering keras.
"Elsa kau dimana? Via sedang kritis. Dia ada dirumah sakit saat ini. Dia mengalami pelecehan. Cepat kau datang kesini." Kata Naira saat telepon sudah tersambung.
Elsa terkejut setengah mati, ia baru saja akan kehilangan harga dirinya sebagai perempuan. Tapi mengapa hal ini terjadi kepada Via. Elsa bergegas pergi meninggalkan tempat itu.
"Di rumah sakit mana? Aku akan ke sana sekarang." Balas Elsa.
...***...
Elsa tiba dirumah sakit, tempat dimana Via dirawat. Kondisinya belum bisa dipastikan. Via ditemukan tidak mengenakan sehelai kain. Miris. Elsa teringat kejadian saat di hotel. Mungkin kalau ia tidak melawan. Nasibnya akan sama seperti Via.
"Elsa, Elsa..." Seru Naira.
"Huh ada apa?
"Kau kemana tadi? Tanya Naira.
"Tidak kemana-mana." Jawabnya sekenanya.
"Bagaimana dengan Via?" Lanjut Elsa bertanya.
"Via masih kritis."
Malang benar nasib Via. Elsa masih bersyukur karena ia mampu melawan lelaki brengsek itu. Tapi Via, dia benar-benar terpuruk saat ini. Persahabatan mereka sedang diuji dengan berbagai permasalahan hidup. Saat Via sudah siuman, ia sudah berulang kali melakukan percobaan bunuh diri. Tapi selalu gagal.
Sama terpuruknya dengan Elsa, yang selalu takut untuk keluar rumah. Takut bertemu dengan Indra.
...***...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 39 Episodes
Comments
asih Asih
Sering isiksa,dipalak dan dijual mantan kekasih kok gk lapor polisi namanya bego
2023-03-24
0