Episode Empat

Elsa mengernyitkan dahinya, sebenarnya ia bingung, kenapa Sam bisa menjadi CEO di kantor itu. Aneh. Pikirnya. Namun, ia tidak terlalu memperdulikan bagaimana Sam menjadi CEO perusahaan. Yang terpenting baginya adalah ia dapat bekerja dengan upah yang saat itu sudah mencukupi kebutuhannya.

Elsa membawa buku panduan perusahaan ke kostan. Mempelajarinya satu persatu. Membaca setiap poin penting yang harus ia patuhi. Aturan-aturan yang ia baca itu membuatnya melotot berulang kali.

"Elsa...?" Seru Naina dan Niken mengetuk pintu kostan. Elsa bersiap membuka pintu.

"Kalian. Hai...? Yuk, masuk." Balas Elsa dengan ceria.

"Sa...? Aku dengar kamu pindah kelas ke kelas karyawan ya." Pungkas Naina tiba-tiba. Elsa mengangguk yakin.

"Sa, kamu yakin? Ntar kita nggak bareng lagi dong." Tambah Niken.

"Yakin Na, Ken. Aku udah memikirkan ini sejak beberapa hari yang lalu. Aku rasa, aku. memang harus kerja. Aku nggak bisa lagi bergantung lagi sama keluargaku. Dan terutama aku nggak bisa terus-terusan berhutang sama kalian." Balas Elsa.

"Kita nggak bakalan bisa hangout bareng dong." Keluh Naina.

"Bisa kok Na. Aku janji, bakalan sering-sering datang ke kostan kalian. Aku bakalan sering cerita ke kalian. Karena cuma kalian sahabat aku." Tukas Elsa dengan mengembangkan senyumnya.

"Janji ya, Sa." Elsa menganggukkan kepalanya.

"Iya aku janji. Oh ya. Kalian tahu nggak aku kerja sebagai apa?" Ucap Elsa.

"Apa Sa...?"

"Sekretaris." Balasnya.

"Serius?" Naina terbelalak mendengar sahabatnya dapat bekerja sebagai sekretaris di kantor. Begitupun dengan Niken. Elsa mengangguk dengan yakin.

"Dan kalian tahu siapa atasanku. Itu adalah kak Sam. Kakak tingkat kita waktu ospek." Ujar Elsa. Naina dan Niken melotot lagi, hampir tak percaya.

"Kok bisa?" Tanya Naina tak percaya.

"Ya, aku juga nggak tahu. Tapi bodo amatlah. Yang penting aku bisa kerja." Jawab Elsa.

"Kamu yakin bisa kerja disana, Sa?" Niken khawatir. Elsa mengembangkan senyumnya dengan santai.

"Kenapa emangnya?"

"Eng... gimana kalau nanti..." Naina segera mengikut lengan Niken.

"Ssst... Elsa tidak akan ingat." Bisik Naina.

"Mudah-mudahan kak Sam berubah jadi baik ya." Harap Niken.

...***...

Elsa sudah mulai bekerja dikantornya Sam. Hari senin itu, Sam sudah menjelaskan beberapa poin penting untuk Elsa ingat sebagai sekretarisnya. "Berapa bahasa yang bisa kamu kuasai?" Tanya Sam.

"Ummm, saya bisa menguasai Bahasa Inggris, Perancis, Mandarin, dan Jepang." Jawab Elsa.

"Mulai sekarang, kamu harus belajar bahasa Rusia, Korea, Arab, India, Portugis, dan Spanyol." Ujar Sam seakan tak menerima kemampuan bahasa Elsa yang sudah luar biasa itu. Elsa menelan ludah. Sebanyak itu? Batin Elsa. "Tidak ada bantahan. Dan tidak ada protes." Elsa menganggukkan kepala.

"Baik pak."

"Jika aku membutuhkanmu kapanpun itu. Kau harus selalu siap dan saya tidak suka kau menjawab tidak." Lanjut Sam.

"Baik pak." Elsa mengangguk lagi. Menuruti perintah.

"Sebelum saya masuk. Meja kerja dan ruangan saya harus bersih, rapi dan wangi." Elsa menghembuskan nafasnya. Apa dulu juga dia seperti ini? Batin Elsa sambil mencatat beberapa poin penting yang harus Elsa ingat dan patuhi. Hari itu Elsa sudah mulai sibuk dengan tugas-tugasnya sebagai sekretaris. Mulai dari mengatur jadwal perusahaan, mengatur dokumen dan file, menjadwalkan rapat dan konferensi, menjawab dan mengarahkan panggilan masuk, mengatur dan mendistribusikan pesan, dan yang lainnya.

Setelah pulang kerja, Elsa bergegas berangkat menuju kampus. Begitu seterusnya, hingga ia selalu kelelahan sepulang kuliah. Tak pernah sempat lagi untuk hangout bersama ke-4 sahabatnya. Dunia Elsa sudah berbeda. Sudah berubah. Bukan lagi princess yang bisa seenaknya pergi jalan-jalan, shopping dan menghambur-hamburkan uang. Kali ini Elsa justru menghemat untuk kebutuhan sehari-harinya.

Satu bulan berlalu. Elsa menerima upah pertamanya. Betapa bahagianya Elsa saat ia bisa mendapatkan uang hasil dari kerja kerasnya. Elsa mengabarkan hal itu kepada ibunya. Setelah selesai bekerja, Elsa bergegas berangkat kuliah. Di perkuliahan itu, Elsa tampak sangat lelah. Ia ingin segera pulang dan merebahkan diri diatas kasur. Namun dalam perjalanan yang tinggal 2 menit lagi sampai didepan kostannya. Elsa mendengar sebuah siulan yang sudah ia hapal. Siulan yang sering ia dengar saat bersama Indra. Ya benar, Indra berdiri didepan pagar kostan Elsa. Pelan-pelan ia memperlambat langkahnya. Elsa menarik slempang tasnya. Takut. Ia bertanya pada dirinya sendiri, dari mana Indra tahu kostannya yang baru. Elsa menelan ludah, ia tidak yakin akan selamat dari bahayanya. Elsa yakin bahwa Indra akan meminta uang lagi kepadanya. Bertemu dengan Indra, bagaikan bertemu dengan iblis bagi Elsa. Tapi, Elsa tidak bisa menghindar dari lelaki itu.

"Ngapain kamu disini?" Tanya Elsa dengan hendak membuka pagar. Indra menarik lengannya.

"Nggak sopan banget kamu ya. Aku minta uang." Tukas Indra.

"Yang nggak sopan tuh kamu. Datang-datang minta uang." Balas Elsa.

"Ehhh urusan kita belum selesai ya." Katanya.

"Apaan sih, Indra. Aku capek." Indra menarik lengan Elsa sekuat-kuatnya. Ia mencoba merampas uang yang Elsa miliki. Tapi di dompetnya hanya tersisa uang 200ribu rupiah.

"Hanya ini?" Indra berdecak kesal.

"Aku nggak punya uang." Ucap Elsa.

"Bohong kamu. Dimana Kamu menyimpan uangnya?" Teriak Indra. Lalu memukul wajah Elsa. Indra menarik lengan Elsa, masuk ke kostan, tanpa aba-aba, Indra langsung menghajar Elsa habis-habisan. Elsa tak punya tenaga untuk membalas. Ia hanya diam dengan tangis getirnya.

Begitulah dunia Elsa yang menggetirkan. Sebulan berlalu, tiga bulan berlalu, setahun, dua tahun berlalu. Tiga tahun berlalu. Elsa menerima nasibnya. Ia tak tahu bagaimana caranya untuk keluar dari jeratan Indra yang semakin hari semakin menjadi-jadi. Apalagi beberapa bulan terakhir ini, Indra semakin menggila dengan membawa wanita ke kostan Elsa. Berganti-ganti. Ingin sekali ia membunuh lelaki itu. Ingin menyiksanya dan memasukkannya ke penjara. Namun apalah dayanya. Ia hanya seorang wanita yang lemah dan tak berdaya. Masih bisa menghirup udara segar saja sudah bersyukur begitu Elsa pikir.

Hingga suatu waktu...

"Elsa, bisa foto copy dokumen ini?" Pinta Sam.

"Baik pak." Balas Elsa.

"Wajah kamu kenapa?" Itu kali pertama Sam memperhatikan sekretarisnya, biasanya ia selalu cuek dan tak peduli. Karyawan yang lain justru sangat perhatian keadaan Elsa, mengapa Elsa sering lebam-lebam? Mengapa Elsa jarang makan siang? Ia tampak sekali tidak segar. Semakin hari, tubuhnya semakin kurus dan ringkih. Penyiksaan Indra terhadap dirinya tidak bisa terhitung lagi. Tapi Elsa bisa apa? Beberapa kali ia lapor polisi, berkali-kali itu pula Indra lolos dengan dalih bahwa mereka sudah menikahlah, saling mencintailah, atau apapun itu yang membuat Indra lolos begitu saja. Elsa tidak punya bukti yang kuat untuk menjebloskan Indra ke penjara. Saat ia menyerah dengan menghukum Indra. Saat itu pula Elsa berusaha mengakhiri hidupnya dengan cara bunuh diri, tapi saat ia terbangun, ia masih saja selamat dari maut yang ingin ia tulis sendiri.

"Nggak apa-apa pak."

"Kamu sakit?" Elsa menggelengkan kepala, lalu merebut dokumen yang dipegang oleh Sam. Beberapa hari terakhir ini, Elsa seringkali begadang. Dan pulang pukul 3 pagi. Tapi di kostan ia harus siap menghadapi pacarnya yang temperamental dan emosional.

"Elsa..." Berulang kali Sam memanggilnya. Tapi Elsa tidak berseru. Ia merasakan sekujur tubuhnya dingin. Rasa berat di kepalanya sangat mengganggu. Dan rasanya seluruh benda yang ada di ruangan ini bergetar dan memutar.

"Elsa, pak Sameer memanggilmu." Santi menyenggol lengan Elsa.

"Huh? Ohhh iya." Elsa berjalan gontai menuju ruangan Sam. Ia merasa akan jatuh.

"Kamu punya telinga nggak sih? Sudah berapa kali saya panggil." Bentak Sam. Matanya melotot ke arah Elsa. Namun Elsa sedang tidak fokus. Ia siap dicaci maki oleh bosnya. Siap dihantam dengan puluhan besi. Sebab rasa frustasi yang ia alami sudah ada di titik paling rendah. Elsa merasa sudah tidak punya kesempatan untuk hidup. Ia benar-benar merasa frustasi dan depresi.

"Maaf pak. Ini berkasnya..." Wajah yang pucat pasi itu sudah tidak bisa ia tutupi dari siapapun. Walau pun ia bermake-up dengan tebal pun tetap akan terlihat.

"Kamu tahu kan aku tidak suka dengan orang yang lamban." Cercau Sam Sambil merebut berkas yang dipegang Elsa. Namun begitu berkas itu direbut, brukkk. Elsa jatuh dihadapan CEO-nya. Sam segera menangkap tubuh Elsa. Ia panik bukan main ketika Elsa pingsan. Sam membopongnya dan bergegas membawa Elsa ke rumah sakit.

"Bagaimana dok?" Tanya Sam.

"Anda keluarganya?"

"Iya saya keluarganya." Aku Sam.

"Suhunya 39 derajat. Ia demam. Namun ada yang ingin saya tanyakan kepada Anda. Dia mengalami lebam yang sangat parah diperutnya. Perawat menemukan banyak luka dan lebam di seluruh tubuhnya. Apakah pasien sering mengalami kekerasan?" Tanya dokter curiga. Sam mengernyitkan dahinya. Kekerasan? Kali ini Sam juga berpikir begitu. Beberapa hari yang lalu, Sam juga tak sengaja melihat luka dibagian sudut bibir Elsa.

"Emmm itu juga saya tidak tahu." Jawab Sam. Dokter menggiringnya ke ruangannya. Beliau menjelaskan soal keadaan fisik dan kemungkinan terbesarnya pasien mengalami sakit psikis juga. Dokter menyarankan untuk memeriksa Elsa ke ahli kejiwaan atau ke psikolog.

"Terimakasih dok." Tukas Sam.

"Sama-sama."

Sam menghembuskan nafasnya. "Kamu kenapa? Apa aku terlalu memberatkanmu dalam melakukan pekerjaan? Kamu selalu begitu. Selalu menyembunyikan semuanya dariku. Aku tidak bisa membuka identitasku sekarang. Karena akan terlalu mengejutkanmu. Tapi menerimamu sebagai sekretarisku. Membuatku merasa nyaman karena selalu dekat denganmu. Kalau aku terlalu keras kepadamu, aku minta maaf." Batin Sam. Ia menyeka sebulir air yang hendak turun ke pipinya.

Elsa membuka kedua matanya pelan-pelan. Ia melihat ke sekeliling. "Dimana aku?"

"Kamu di rumah sakit." Jawab Sam. Elsa terkejut begitu mendengar suara CEO-nya. Ia melirik ke sumber suara.

"Pak Sam." Elsa bergegas menahan tubuhnya untuk duduk. Sam membantu Elsa untuk menyandarkan punggungnya, menaikkan ranjang untuk Elsa bersandar.

"Ehhh makasih."

"Kalau kau sakit bilang. Tidak perlu sok kuat dihadapan saya." Decak Sam. Elsa menghembuskan nafasnya.

"Terimakasih karena sudah menolong saya. Dan saya minta maaf karena telah merepotkan Anda." Balas Elsa. Elsa berusaha mencopot selang infusnya. Ia tidak mau dirawat di rumah sakit. Biaya perawatan itu mahal. Ia tidak punya uang untuk itu. Uangnya sudah habis untuk dikirim kepada ibunya. Dan dihabiskan oleh Indra.

"Kau gila?" Sam melotot.

"Saya harus pergi."

"Kau harus dirawat."

Elsa menggelengkan kepala, "tidak perlu. Saya tidak apa-apa." Jawab Elsa.

"Kamu memang nggak apa-apa. Tapi saya yang harus bertanggungjawab kalau kamu kenapa-napa. Kamu sekretaris saya." Jelas Sam.

"Anda tidak perlu merasa bertanggungjawab. Itu akan membuat saya berhutang budi kepada Anda." Balas Elsa.

"Udah deh jangan keras kepala." Kata Sam. Elsa menghembuskan nafas lagi dan ia berhasil melepaskan infusannya. Meski terasa sangat sakit.

"Terimakasih." Elsa berusaha berdiri meskipun ia sangat lemah untuk bisa berlari. Ia lalu keluar dari ruangan.

"Elsa... Elsa..." Sam berseru. Elsa menghiraukan panggilan bosnya. Diraihnya lengan Elsa, lalu ia menggenggamnya. "Ikut saya." Katanya.

"Pak saya tidak mau dirawat. Saya bisa istirahat di rumah. Tolong pak jangan paksa saya." Ujar Elsa memohon.

Mereka kembali ke ruangan. Sam mengambil tasnya dan menyodorkan tas milik Elsa. "Didalamnya sudah ada obat. Aku sudah memasukkannya tadi. Dan hasil pemeriksaan dokter." Tukas Sam. Elsa melongo, dia pikir, Sam akan menahannya untuk di rawat di rumah sakit. "Aku akan mengantarmu pulang."

***

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!