Siangnya, Berti menunggu Cakra untuk menjemputnya di kantor. Ia sengaja tidak membawa mobil karena pagi tadi, Cakra mengirim pesan, mengajaknya makan siang bersama, sekalian mencari cincin pertunangan.
Detik-detik sebelum waktu yang ditentukan tiba, Berti merasa kegelisahan yang ia sendiri tahu apa penyebabnya. Hari ini, debut pertamanya bersama Cakra.
Menyebut kencan pertama sebagai debut? Memang benar adanya. Saat ini Berti terkena demam cinta, panas dingin, seperti ia akan menghadap ribuan penonton dalam panggung besar. Berti memang bukan penyanyi, tetapi ia pernah merasakan hal ini ketika berpidato di depan para staf karyawan untuk yang pertama kalinya. Ia pernah merasakan panas dingin ketika berpidato di depan semua teman kampusnya ketika masa pendidikan.
Namun kali ini, Berti hanya menghadapi satu orang, yaitu Cakra. Tubuhnya seakan meleleh membayangkan apa yang akan terjadi nantinya.
Telepon milik Berti berdering, sebuah panggilan dari Cakra. Tarikan, embusan napas Berti lakukan. Ia mengibaskan tangan ke wajah agar panas yang menjalar hilang setelah itu menekan tombol warna hijau, lalu mendekatkan ponsel ke telinga.
"Halo," ucap Berti.
"Aku sudah di depan kantormu."
"Tunggu sebentar, aku segera turun," kata Berti.
Panggilan itu langsung diputus. Berti memakai blazer, meraih tas dan segera keluar dari ruang kerja. Ia berjalan cepat menuju lift kemudian masuk setelah pintu logam terbuka.
Gedung perusahaan Berti hanya terdiri dari lima tingkat. Hanya sekejap saja, wanita itu sampai di lantai dasar dan bergegas menuju depan. Berti tersenyum saat melihat sosok tinggi tegap bersandar di badan mobil.
"Hai! Maaf sudah menunggu," ucap Berti.
Cakra menegakkan tubuh, membuka kacamata hitam yang ia kenakan. Pria itu langsung membuka pintu mobil dan mempersilakan Berti untuk masuk ke dalam.
"Apa dia marah karena menunggu?" gumam Berti pelan.
Cakra masuk ke dalam mobil, memasang sabuk pengaman di tubuhnya, menghidupkan mesin, lalu mengendarai kendaraan roda empat itu menuju jalan raya.
"Kamu tidak marah karena menunggu, kan?" tanya Berti.
"Kenapa aku harus marah? Kamu tidak telat," jawab Cakra.
Berti tersenyum, lalu berkata, "Kirain."
Cakra fokus ke depan dengan mengendarai mobil. Sementara Berti mencari bahan obrolan agar kecanggungan di antara mereka hilang. Namun, sudah berpikir keras pun ia ragu. Cakra seperti tidak mau bicara padanya.
"Kita mau ke mana? Maksudku, kita ke mall mana?" ralat Berti ketika Cakra melirik dirinya.
"Milik keluargaku."
"Kamu punya mall?" tanya Berti.
Cakra kembali melirik calon istrinya. "Kamu tidak tau siapa calon suamimu?"
"Bagaimana aku tau kalau kamu tidak memberitahunya?" batin Berti. "Aku taunya kalian punya hotel," ucapnya kemudian.
Cakra tidak menjawab, melainkan kembali fokus menyetir mobil menuju sebuah mall keluarga miliknya. Berti baru tahu jika pusat perbelanjaan yang sering ia kunjungi rupanya milik dari calon suaminya.
Kaya bukan menjadi soal sekarang. Berti bukanlah Sari yang memilih berdasarkan materi, tetapi ia ingin sosok pria yang bertanggung jawab dan setia.
"Biar aku yang membuka pintu mobil untukmu," kata Cakra.
Pria itu melepas sabuk pengaman, lalu keluar dari dalam mobil. Cakra berlari kecil menuju sisi sebelahnya untuk membuka pintu dan mempersilakan Berti keluar.
"Aku tidak sangka kalau mall ini milik keluargamu," kata Berti.
"Lebih baik kita makan siang lebih dulu," sahut Cakra.
Berti memaksakan senyum terbit di bibirnya. Ia mengikuti Cakra ke mana pun pria itu membawanya. Keduanya sampai di lantai empat, tempat restoran yang Cakra inginkan berada.
"Pesan saja," kata Cakra.
"Apa makanan kesukaanmu?" tanya Berti.
"Aku suka semuanya."
Berti menunjukkan menu yang ia inginkan kepada pelayan begitu juga Cakra. "Sebutkan sesuatu hal yang kamu suka kepadaku."
"Aku sudah bilang. Aku suka semuanya."
"Kenapa kamu ingin menikah denganku?" tanya Berti.
"Bagaimana denganmu?"
"Aku bertanya kepadamu," ucap Berti.
"Aku mau tau alasanmu juga," sahut Cakra.
Satu hal yang Berti tahu adalah. Jangan menjaga imej di depan Cakra. Tunjukan diri yang sebenarnya agar pria itu juga menunjukan hal yang sama.
"Karena aku memang ingin menikah," jawab Berti.
"Aku juga sama."
"Bagaimana tipe istrimu?" tanya Berti ingin tahu.
Cakra menatap Berti. "Kamu tidak bersungguh-sungguh dengan pertanyaan itu, kan?"
"Kenapa? Aku cuma ingin tau tipe calon istrimu."
"Jika aku mengatakan kriteria calon istriku, untuk apa aku menyetujui perjodohan ini?" ucap Cakra.
Berti ingin menyembunyikan diri di lubang terkecil hingga Cakra tidak akan bisa menemukannya. Ia malu, dan kenapa ia mengajukan pertanyaan itu? Cakra memang benar, untuk apa menanyakan kriteria wanita idaman kalau pria itu saja sudah menyetujui perjodohan mereka.
"Kalau kamu bagaimana?" tanya Cakra.
"Sama sepertimu. Untuk apa kamu menyanyakan hal yang sama?"
Cakra menarik sebelah sudut bibirnya. Menganggap remeh apa yang diucapkan Berti. "Jelas beda. Orang tuamu yang pertama mengajukan perjodohan ini."
Sungguh! Berti ingin menyembunyikan diri. Wajahnya pasti sudah merah karena malu. "Orang tuaku ingin aku cepat menikah, dan aku menerima pria mana pun asal baik, setia dan bertanggung jawab."
"Yakin cuma itu? Baik, setia dan tanggung jawab?" tanya Cakra.
"Tentu saja."
Cakra mengangguk. "Pilihan bagus."
Pelayan datang dengan membawa makanan pesanan Cakra dan Berti. Keduanya makan bersama dalam diam.
Cakra mengeluarkan dompet dari sakunya. Mengambil satu kartu warna emas, lalu menyodorkan kartu itu ke hadapan Berti.
"Ambil ini untuk memenuhi kebutuhanmu," kata Cakra.
"Maksudmu apa?" tanya Berti.
"Ini untuk membeli perlengkapan pernikahan kita. Kamu perlu semuanya, kan? Aku sibuk dan mungkin tidak bisa menemanimu berbelanja."
"Kalau begitu, aku tidak ragu mengambilnya," jawab Berti, dengan meraih kartu itu, lalu memasukkannya ke dalam tas.
Setelah makan siang bersama, keduanya melanjutkan hal yang menjadi utama dalam perjalanan ini. Cakra membawa Berti ke toko perhiasan.
"Aku ingin pesan cincin pertunangan," kata Berti.
"Lebih baik kita beli langsung. Kalau untuk cincin nikah, sebaiknya pakai pesan saja," usul Cakra. "Pertunangan akan dilangsungkan seminggu lagi."
"Apa? Kenapa aku tidak tau?"
"Aku baru memberitahumu," jawab Cakra.
"Ini terlalu terburu-buru," kata Berti.
"Apanya yang buru-buru? Aku malas untuk pacaran lagi. Lebih baik langsung nikah."
"Begitu, ya?"
Cakra meraih cincin bulat dengan mata berlian kemudian menyematkan benda itu ke jari manis Berti. Ia menimbang sesaat sembari memperhatikan tangan calon istrinya.
"Aku rasa ini cocok. Bagaimana menurutmu?" tanya Cakra.
"Aku rasa ini pilihan bagus," jawab Berti.
"Pilih perhiasan lain yang kamu inginkan. Aku tidak mau kamu menerimanya secara paksa."
"Ini bagus, kok. Aku juga menyukainya," kata Berti.
Cakra menarik bibirnya sedikit. "Jika sudah, kita bisa pulang."
"Tapi kita belum pesan cincin untuk pernikahan."
"Pesan saja dengan bentuk yang kamu. Aku suka apa pun," jawab Cakra.
Bersambung
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 80 Episodes
Comments
Raffa Iskandar
cakra kulkas 10 pintu datar dan dingin
2023-01-15
0
Mommy_Èlla💖💐
Mbingungi nek lanang model ko iki....
2022-11-25
0
Nadira angraini
lempeng kyk jln tol...
2022-11-21
0