Sore setelah mengurus laporan keuangan bulanan supermarket dan butik, Berti menyempatkan diri untuk berbelanja pakaian serta ke salon.
Malam ini, adalah malam istimewa di mana ia akan bertemu dengan pria yang dijodohkan bersamanya. Sebenarnya dari tadi pagi bangun tidur, Berti merasa gugup. Jantung berdetak kencang menantikan pertemuan ini. Ia ingin lekas bertemu karena penasaran dengan calonnya, tetapi ia ingin menunda karena merasa belum siap.
Perasaan apa pun yang campur aduk di dalam benaknya, Berti harus bisa menghadapi semua itu. Ia tidak peduli asal pria yang menjadi calonnya adalah pria bertanggung jawab dan saat itu juga Berti akan menerimanya sebagai pasangan hidup.
Sekitar satu jam, Berti selesai mempersiapkan diri. Ia memakai gaun berwarna putih gading berlengan setengah siku dan panjang di atas lutut. Wajahnya dirias tipis, sedangkan rambutnya dibuat lurus mengembang.
"Sudah mau pukul enam. Aku harus bergegas pulang. Jam tujuh malam keluarga calon bakal datang," gumam Berti.
Berti bergegas keluar dari salon setelah membayar biaya perawatan diri. Ia membuka kunci mobil, masuk, lalu mengendarai kendaraan baja itu menuju kediaman Ilham Hartawan.
Pukul setengah tujuh malam, Berti sampai di rumahnya. Tumben sekali gerbang dan pintu depan dibuka lebar. Mungkin juga keluarga dari Aditama akan segera datang karena tadi saat di perjalanan, sang ibu menelepon Berti untuk segera pulang. Berti juga tidak menyangka kalau mobil sahabatnya telah berada di rumah. Entah kapan Sari datang, tetapi Berti senang sahabatnya dapat hadir.
"Bu! Berti pulang," serunya.
"Syukurlah kamu sudah balik. Bapak kira kamu mau lari dari pertemuan ini," sahut Ilham.
"Kok, lari, sih, Pak. Kan, Berti yang mau nikah."
"Dari mana, sih? Aku datang malah kamu enggak ada," sela Sari.
"Salon. Enggak lihat penampilanku?" tanya Berti sembari memutar tubuh, menunjukkan dirinya.
"Pantes pulang telat. Tapi malam ini, kamu cantik. Yakin, deh. Calon suamimu pasti jatuh cinta," kata Sari.
"Syukurlah, Nak. Kamu sudah pulang. Sekarang kamu sembunyi dulu di kamar. Kalau tamunya sudah datang, nanti Ibu panggil," ucap Santi.
"Tenang, Bu. Sari jagain Berti biar enggak ngintip."
Sari segera mengajak Berti menuju kamar yang berada di lantai satu. Keduanya akan berdiam diri di sana sambil menunggu tamu kehormatan yang akan datang.
"Tubuhku dingin. Apa volume pendingin ruangannya terlalu besar?" tanya Berti
"Kamu gugup. Tenang saja, kalau ada mobil datang, aku akan mengintip calonmu dan memberitahu parasnya," kata Sari.
"Boleh juga. Kalau sudah terlihat, mau bagaimanapun bentuknya, aku siap."
"Siap apa? Kamu enggak mungkin main terima begitu saja, kan?" kata Sari.
Berti tersenyum. "Aku sudah janji kepada orang tuaku. Siapa pun pilihan mereka, aku akan menerimanya."
"Yang menjalani kamu, Bert. Orang tua cuma mau anaknya bahagia. Siapa tau, tapi aku berharap, sih, enggak terjadi apa-apa. Semoga pernikahan kalian sesuai, seperti yang diharapkan. Maaf, aku bukan menakutimu," tutur Sari.
"Aku tau, Sar. Di dunia ini, mana ada pernikahan yang baik-baik saja. Permasalahan pasti ada. Hanya nanti bagaimana caranya dua insan yang sudah bersatu dalam ikatan pernikahan menghadapinya," kata Berti.
"Iya, deh. Kamu memang bijak. Aku doakan kamu bahagia dan calon suamimu tampan."
"Amin," balas Berti.
Sari mengintip di balik tirai mobil yang akan masuk ke halaman rumah Berti. Ia melirik jam yang melingkar di pergelangan, sudah pukul tujuh malam, tetapi belum ada tanda tamu itu akan datang.
"Kok, belum datang?" tanya Sari.
"Sebentar lagi kali," jawab Berti.
Apa yang diucapkan oleh Berti benar adanya. Dua mobil sedan masuk ke halaman rumah Ilham Hartawan. Sari memasang mata agar dapat melihat secara jelas empat orang dewasa yang keluar dari dalam mobil.
"Enggak kelihatan," ucap Sari. "Cuma kelihatan kepala sama pakaian saja."
"Sudahlah, kita tunggu ibu atau bibi yang panggil saja," kata Berti.
Sari mengangguk lemah dan terpaksa menunggu seseorang yang akan memanggil mereka turun saja. Setengah jam berlalu semenjak tamu itu datang, belum ada tanda-tanda panggilan dari bawah.
"Ibu sama bapak lupa, kali, ya. Malam ini pertemuan keluarga," kata Berti.
"Lah, kamu juga enggak sabaran rupanya."
Berti tertawa kecil. "Aku penasaran."
"Bentar, aku intip dulu."
"Jangan!" sanggah Berti. "Tunggu sebentar lagi."
Baru saja disebut, terdengar suara langkah kaki mendekat. Sebuah ketukan yang ditunggu-tunggu akhirnya datang juga. Sari lekas membuka pintu, menarik Berti untuk keluar kamar.
"Orangnya cakep, Bu?" tanya Sari.
"Jaga sikap kalian. Lihat saja di bawah. Pokoknya Ibu setuju Berti nikah sama dia," kata Santi.
Sari menepuk pundak sahabatnya. "Selamat."
"Ucapanmu terdengar angker," kata Berti.
"Memangnya aku hantu. Ayo, kita turun."
Ketiganya turun secara bersamaan. Berti berjalan seraya menundukkan kepala. Ia malu terlebih saat sofa tamu mulai dekat. Kegugupan semakin menjadi, kedua tangan Berti dingin, tubuhnya terasa hawa panas. Seperti seorang insan yang baru pertama kali mengenal cinta.
"Nak, kenalkan. Ini Pak Adhitama dan Bu Widya. Kamu pasti sudah kenal sama Ibu Widya," kata Santi.
Berti mengangkat kepalanya, lalu mengulurkan tangan. "Berti, Pak, Bu."
"Kita sudah lama enggak ketemu, Bert. Kamu sibuk terus," kata Widya. "Sini duduk dekat Ibu. Nah, kenalin calon suamimu, Cakra Adhitama."
Berti tersenyum, lalu mengulurkan tangan dan melihat pria yang menyambutnya. Seketika Berti terpaku dengan calon suaminya.
"Cakra," ucap pria itu.
"B-berti."
Pria itu tersenyum sembari menarik jabatan tangannya. "Dia adikku, Daffa."
"Halo Daffa," sapa Berti.
"Kita sering ketemu, Kak, waktu antar Mama arisan."
Berti mengangguk. "Iya."
"Kita lanjut makan malam dulu. Setelah itu baru bahas masalah pernikahan," kata Ilham.
Semuanya setuju untuk makan malam bersama. Berti merasa takdirnya dipermainkan. Bukankah pria yang bernama Cakra adalah sosok yang semalam satu lift bersamanya. Memang dunia begitu sempit.
"Sebentar, Bert," hadang Sari.
"Apa? Kita mau makan malam."
"Kok, wajah calon suamimu terasa familiar, ya? Rasanya pernah ketemu."
"Cowok itu yang di restoran," jawab Berti.
"Oh, iya!"
Berti segera menutup mulut Sari, lalu berbisik, "Pelankan suaramu."
Sari mengangguk. "Serius, Bert. Calon suamimu ganteng abis."
Rambut hitam lebat. Alis hitam memanjang dengan sorot mata tajam. Hidung mancung, rahang tegas. Bahu lebar, tubuh tegap terlihat dari posisi pria itu duduk. Penuh wibawa dan terkesan angkuh.
"Memang sangat tampan," ucap Berti.
"Tapi, aku merasa dia sedikit sombong."
Rupanya bukan Berti sendiri yang merasakan itu, sahabatnya juga sama. Cakra seperti sosok pria yang tidak tersentuh. Pria yang terkesan menjaga jarak.
"Kita saja baru kenalan. Belum tentu orangnya begitu," kata Berti.
"Benar juga. Tapi Cakra memang tampan. Apa wajahnya yang membuat aura menakutkan?"
"Aku dengar, ayah dari Bu Widya keturunan belanda," bisik Berti.
"Pantesan. Lebih baik kita cepat menyusul ke ruang makan," kata Sari.
Bersambung
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 80 Episodes
Comments
pipi gemoy
mampir lagi Thor
2024-05-17
0
☠☀💦Adnda🌽💫
ternyata dunia sempit y, berti dijodohin sama cakra yg ketemu di restoran ☺
2022-10-21
0
Ma2 VinKa
Novel ini kol dikit amat yg ngelike ya,,biasanya kak Renita tuh klo nulis novel sll dn sll bagus bngt semua novel yg udh end udh aq baca tinggl 2 , yg satu masih mulai membaca ya ini
2022-08-31
0