Makan malam berlangsung tenang. Sesekali diiringi obrolan, tetapi Berti dan Cakra tetap diam. Cakra bahkan tidak melirik dirinya sedikit pun. Hanya Berti yang selalu memandang wajah calon suaminya. Tampang dari Cakra sungguh sayang untuk dilewatkan. Terlalu tampan hingga tiada bosan untuk memandangnya terus menerus.
"Masakan Bu Santi sangat enak," puji Widya.
"Biasa itu. Berti juga jago masaknya. Setiap arisan dia selalu yang bantu buat menyediakan menunya," sahut Santi.
"Benar! Saya juga kangen sama puding yang dia buat waktu itu."
"Tenang saja, Bu Widya. Berti sudah buat pudingnya. Dia khusus mempersiapkan ini semua," Santi menjawab sembari menyuruh bi Inah membawakan menu pencuci mulut untuk semua yang hadir di meja makan.
"Calon menantu kita sangat cocok, kan, Pak. Cakra juga senang sama wanita yang pandai urusan dapur," celetuk Widya.
Wajah Berti memerah mendengarnya. Ia ingin sembunyi atau menghilang dalam sekejap. Pujian itu terlalu berlebihan, ia wanita biasa yang memang bisa berkutat dalam urusan dapur. Meski terlahir sudah menjadi kaya, orang tuanya tetap mengajarkan cara hidup yang sederhana.
Cakra melirik Berti, ia tersenyum setelah itu melanjutkan kembali menyantap puding yang telah disediakan oleh bi Inah. Sekilas Berti melihat senyuman itu begitu manis. Dibalik wajah kaku Cakra, pria itu juga pandai tersenyum.
"Setelah makan, lebih baik kita lanjutkan perbincangan," ucap Ilham.
"Kita berikan kesempatan buat keduanya. Mereka baru bertemu dan harus saling mengenal," kata Santi.
"Saya setuju. Biarkan mereka menghabiskan waktu sebentar," sahut Adithama.
"Bert, kamu bawa Cakra ke taman. Kalian harus saling dekat sebelum pernikahan," ucap Santi.
"Iya, Bu," jawab Berti.
Masing-masing beranjak dari kursi makan. Selain Cakra dan Berti, semuanya kembali ke ruang tamu. Berti mempersilakan Cakra untuk mengikuti langkahnya menuju taman belakang rumah.
Jantung Berti berdegup kencang. Seakan benda kehidupan itu ingin keluar dari dalam sana. Kegugupan melanda. Pikiran tiba-tiba kosong, bibir tidak dapat mengucapkan satu patah pun kata. Suasana menjadi canggung, dan membisu menyertai keduanya.
"Duduklah," ucap Berti mempersilakan.
"Aku berdiri saja. Melihat air mancur ini begitu asik."
"Enggak nyangka kita bakal ketemu lagi."
"Iya," jawab Cakra.
Berti meremas kedua tangannya, bingung untuk membuka obrolan lain. Ia sudah memancing, tetapi Cakra menjawabnya dengan menutup perbincangan itu sendiri.
"Kamu setuju dengan perjodohan ini?" tanya Berti spontan.
Terserah Cakra ingin menganggapnya kebelet nikah. Berti hanya ingin tahu kalau calon suaminya juga menginginkan hal sama. Mereka harus menikah dengan kesepakatan bersama.
"Tentu saja. Untuk apa aku datang kemari kalau enggak setuju."
"Memangnya kamu enggak punya pacar?" tanya Berti.
"Kalau aku punya pacar, untuk apa aku setuju dengan pernikahan ini?" balik Cakra bertanya.
Astaga! Apa ini pertanyaan yang dibalas pertanyaan? Cakra tipe pria yang tidak suka obrolan basa-basi atau lelaki yang berdiri di samping Berti itu terlalu menganggap pertanyaan yang dilontarkan terlalu bodoh? Berti hanya ingin menghilangkan kecanggungan, tetapi Cakra malah ingin membuat rasa itu tercipta di antara mereka.
"Artinya, kamu memang ingin menikahiku, kan?" tanya Berti.
Cakra menoleh ke samping, menatap Berti dengan lekat. "Iya, aku setuju."
"Kita bisa bertukar nomor kontak kalau kamu mau."
Cakra mengeluarkan ponsel dari saku celananya, lalu memberikannya kepada Berti. "Simpan saja nomormu di sana. Nanti aku akan menghubungimu."
Berti meraih ponsel itu kemudian menyimpan nomornya di sana. Ia juga menjadikan namanya sebagai daftar favorit di dalam gawai milik Cakra.
"Ini ponselmu," kata Berti.
Cakra mengambil telepon genggam itu dari tangan Berti, lalu melihat sebentar nama yang tersimpan dalam kontaknya. Ia hanya menatap, lalu memasukan kembali gawai itu ke dalam saku celana.
"Besok siang, sediakan waktu untuk kita berdua," kata Cakra.
Berti terkesiap. "Ada apa memangnya?"
"Kita cari cincin pertunangan."
"Apa?" tanya Berti.
"Bukannya tujuan pertemuan ini agar kita cepat menikah? Lebih cepat lebih bagus," jawab Cakra, lalu melangkah masuk ke dalam rumah.
Berti segera menyusul calon suaminya. Semakin heran ia dengan semua ini. Cakra setuju begitu saja, lalu pria itu tidak menanyakan tentang dirinya sama sekali.
"Sudah kembali rupanya. Bagaimana? Kalian setuju untuk menikah?" tanya Ilham.
"Iya, kami setuju untuk menikah. Besok, aku akan mengajak Berti untuk membeli cincin pertunangan," kata Cakra.
"Baguslah kalau kalian setuju. Kita segera saja langsungkan acara pertunangan," sahut Adithama.
"Betul. Niat baik jangan ditunda sama sekali," kata Widya.
"Kita bicarakan ini di pertemuan selanjutnya. Sudah malam, sebaiknya kami pulang dulu," pamit Adithama.
Semua beranjak dari duduknya, saling berpamitan satu sama lain. Cakra langsung keluar dari rumah tanpa menyapa Berti kembali.
"Kalian berdua belum halal. Jangan berharap dia akan mengecup keningmu," bisik Sari.
"Apaan, sih? Aku tidak mengharapkan itu."
Keluarga Ilham mengantarkan calon besannya sampai ke depan rumah. Setelah kendaraan roda empat keluar dari gerbang, Berti menarik Sari agar mengikutinya masuk ke dalam kamar tidur di atas.
"Ada apa kamu menarikku?" tanya Sari.
"Cakra itu dingin banget. Aku tanya dia jawab."
"Lah, kalau kamu tanya, bagus, dong, dia jawab," kata Sari.
"Maksud aku bukan begitu. Dia sangat irit bicara. Aku berusaha untuk memancing obrolan, tetapi dia terkesan apa yang aku katakan hanyalah omong kosong belaka."
"Malu kali. Ini pertemuan pertama kalian. Wajar canggung. Setelah menikah, kalian akan rukun," ucap Sari. "Eh, kamu serius mau menerima dia jadi suamimu?"
"Menurutmu bagaimana?" tanya Berti.
"Dari luar sangat oke. Tampan dan mapan sudah menjadi kriteria yang memenuhi. Tapi aku enggak tau dalamnya."
"Apa perlu penjajakan dulu? Maksud aku pacaran."
"Kalau pacaran, buat apa diadakan pertemuan ini? Tujuan dari kedua keluarga adalah kalian menikah," jawab Sari.
"Benar juga."
"Lebih baik kalian menikah secepatnya. Selain untuk membahagiakan orang tua dan ibadah, pernikahan ini dilangsungkan agar kamu tidak mendapat cap perawan tua," kata Sari.
"Awalnya aku memang menikah karena orang tua, sih. Baiklah, aku setuju dengan perjodohan ini. Masalah yang akan datang, pikiran saja nanti," sahut Berti.
*****
Sesampainya di rumahnya sendiri, Cakra langsung menatap ponsel dengan nama Berti di dalamnya. Nomor yang sudah menjadi favorit dengan stiker love.
"Wanita ini, belum menikah saja dia sudah ingin memonopoliku. Dia tidak malu menambahkan nomornya di daftar favoritku. Saat bertemu di dalam lift, dia begitu pemalu. Apa ini sikapnya yang sebenarnya?" Cakra menjatuhkan diri di atas tempat tidur. "Tidak peduli, dia sudah setuju menikah denganku."
Bagi Cakra tidak buruk dengan penampilan Berti. Wajahnya cukup cantik, tubuhnya lumayan. Hanya sayangnya, Berti juga pandai menjalankan bisnis. Kriteria Cakra hanya ingin punya istri yang tinggal di rumah. Fokus menjadi ibu rumah tangga yang baik.
Bersambung
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 80 Episodes
Comments
ferdi ferdi
owh cakra si gunung es
/Facepalm//Facepalm//Facepalm/
2024-11-20
0
🇵🇸Kᵝ⃟ᴸ
aku irt cak, sini sm aku sj ya 😂
2023-05-20
0
Raffa Iskandar
pasti ntar cakra udah nikah bikin ulah ya ka😂
2023-01-15
0