Menjelang siang meeting telah usai. Reffan memberikan kode pada Bayu untuk mendekatinya.
"Bayu, mana hasilnya tugas yang kuberikan tadi?"
"Tugas yang mana ya Pak?" wajah Bayu nampak berfikir
"Yang tadi pagi Baayuuuuu." Reffan melebarkan mata menatap tajam Bayu.
"Nanti sore Pak, Bapak akan mendapatkan hasilnya nanti sore." Luar biasa baru dua jam yang lalu bosnya memberikan tugas dan sekarang sudah meminta hasilnya.
"Kita ada waktu dua jam dua puluh menit sebelum bertemu Pak Yudistira untuk membahas kerjasama dengannya. Apakah Pak Reffan mau makan siang sekarang?"
"Nanti dulu Bayu, kamu urus tugas yang saya berikan ke kamu. Kita bertemu di restauran satu jam lagi." Tangannya mengisyaratkan agar Bayu meninggalkannya, matanya fokus memperhatikan kerumunan orang yang sedang istirahat makan siang. Ya, matanya fokus mencari seseorang namun Reffan tidak menemukan orang yang dicarinya.
"Kemana dia? Kenapa tidak ada di sini?"
Tanpa sadar Reffan melangkahkan kakinya mendekati kerumunan.
"Sudah solat Pak?" seseorang menepuk pundak laki-laki paruh baya di sampingnya.
"Belum Pak, ngisi perut dulu. hahaha.." ujarnya sambil mengelus perutnya yang membuncit. Dan dijawab gelak tawa temannya sambil mengacungkan jempolnya.
"Dia mungkin di mushola." Senyum di wajah Reffanpun mengembang. Tanpa berpikir lagi, dengan cepat Reffan melangkahkan kaki ke mushola di hotelnya. Reffan yakin akan menemukannya di sana.
Dan sekarang di hadapannya menampilkan pemandangan yang sangat indah, wajah ayu di antara para wanita yang sedang mengobrol dan wajah itu seakan bersinar memudahkan Reffan mendapati wanitanya tanpa harus meneliti satu per satu.
Safira melepas sepatunya dan menaruh di rak sepatu dengan rapi lalu dia beranjak masuk ke tempat wudhu perempuan. Seperti magnet Reffanpun langsung mengikuti melepas sepatunya dan masuk ke tempat wudhu laki-laki. Agak lama Reffan berdiam di tempat wudhu. Ya setelah dia menyadari apa yang dilakukannya sekarang. Dia akan berwudhu dan solat, hal yang pernah dilakukannya tapi bukan suatu rutinitas sebagaimana seharusnya. Dia hanya melakukannya saat dia ingat dan butuh, butuh pada Tuhannya. Dadanya bergemuruh saat air dari kran mengalir ke tangannya. "Ampuni aku Ya Allah, aku terlalu sombong. Aku melupakan kewajibanku." Tetesan airmatanya jatuh bersamaan dengan air wudhu yang membasahi wajahnya. Reffan melaksanakan wudhu dengan sempurna dan mengakhirinya dengan do'a yang dihafalnya dengan baik. Lihat Safira apa yang sudah kau lakukan padaku padahal baru beberapa jam yang lalu kita bertemu di dunia nyata. Wajah tampannya tersenyum mengingat Safira. Dan saat dia membetulkan kancing lengannya, terdengar suara yang menyebut-nyebut nama gadisnya.
"Mbak Safira wajahnya bersinar kalo pake mukena."
Tanpa sadar Reffan mengepalkan tangannya karena yang dia dengar adalah suara laki-laki. Reffan langsung keluar dari tempat wudhu menatap Safira yang wajahnya menunduk dan memerah. Tak ada satu katapun yang keluar dari mulutnya.
"Cantik ya Pak Bagas?" kali ini suara perempuan paruh baya.
"Ya jelas dong Bu." Jawab laki-laki yang akhirnya diketahui Reffan Bernama Bagas itu.
"Jadi ini laki-laki yang kurang ajar tadi. Beraninya dia mengatakan itu di depan banyak orang." Batin Reffan.
"Ah ciyeeee..." suara riuh para wanita kembali terdengar menggoda Safira yang wajahnya masih memerah.
"Brengsek!" umpat Reffan di dalam hati memandang tajam laki-laki yang masih tersenyum memandang wajah Safira.
"Lihat saja aku yang akan memilikimu Safira, dan wajahmu itu hanya untukku saja." Dada Reffan benar-benar terasa panas melihat laki-laki itu belum juga berhenti memandang Safira. Sekuat tenaga Reffan berusaha tidak mendekati dan melumpuhkan laki-laki bernama Bagas itu yang dia taksir usianya masih sekitar 28 tahun.
"Solat Pak, solat jangan godain anak orang mulu." Suara laki-laki di sebelah Bagas menghentikan laki-laki itu memandangi wajah Safira. Wajah Bagas cengar cengir kedapatan memandangi Safira.
"Monggo Pak jadi imam." tangan Bagas mengarah ke tempat imam mempersilahkan orang di sebelahnya itu untuk menjadi imam.
Rombongan Safira sudah keluar dari mushola dan Reffan masih ingin mengekorinya. “Dia pasti akan makan siang.” Duga Reffan. Dan tentu saja benar, Reffan mengamati setiap gerak gerik safira saat mengambil makanan lalu duduk di kursi barisan para wanita sambil tersenyum..
"Please Safira jangan tersenyum begitu. Senyummu terlalu manis, apa kau sengaja membuat laki-laki yang melihatnya jatuh cinta padamu. Jangan genit Safira, berhenti tersenyum!"
Dan benar saja Bagas mendekat ke arah Safira menyeret kursi lain yang kosong di tangan kanannya, sementara tangan kirinya memegang piring dan menempatkan kursinya itu di dekat tempat duduk Safira lalu dia duduk tanpa rasa bersalah sedikitpun. Safira langsung diam dan senyumnya memudar.
“Aku yakin saat ini laki-laki itu pasti menggodanya karena wajah Safira mulai memerah dan dia tidak terlihat nyaman. Sial, laki-laki itu dengan terang-terangan mengibarkan bendera perang denganku. Lihat saja, aku akan segera mengikatmu Safira, aku yang akan memilikimu seutuhnya.” Rasa panas kembali menjalari dada Reffan.
“Aku harus segera pergi dari sini. Pemandangan di depanku benar-benar membuat emosiku naik ke ubun-ubun. Jika aku masih di sini, bisa aku pastikan aku akan melempar kursi ke arah pemuda itu. Sebaiknya aku menenangkan diriku dan memikirkan cara agar memenangkan perang ini dengan cepat. Aku sungguh tak sanggup melihat laki-laki lain memandangmu sedekat itu.”
Reffan meraih ponselnya, "Bayu aku tunggu di lobby sekarang!"
"Bapak, tidak makan siang?"
"Nanti saja, kita makan siang di luar. Cepat kemari!"
"Baik Pak! saya sedang berjalan ke lobby sekarang."
Reffan makan di luar bersama Bayu karena dadanya bergemuruh melihat Safira didekati pria lain. Dan saat itu dia tidak bisa menghentikannya, itu sangat menyiksanya. Maka dia memilih pergi dan menyelesaikan agendanya hari ini, agar setelahnya dia bisa fokus memikirkan cara untuk memiliki Safira. Segera.
Waktu telah menunjukkan pukul lima sore, raker yang diikuti Safira baru saja usai untuk hari ini. Karena raker akan berlangsung dua hari di hotel ini sehingga masih berlanjut sampai besok, perusahaannyapun telah mem-booking beberapa kamar hotel untuk menginap karyawannya malam ini.
Baru saja Safira akan menaiki lift menuju kamarnya, seorang wanita mendekatinya dan mengajaknya berbicara di suatu tempat.
"Ra, kamu ke kamar duluan deh, nanti aku nyusul ya." ucap Safira pada Ira sahabatnya.
"Yah, kamu gak papa sendirian gitu?" ujar Ira sahabatnya menimpali.
"Gak papa insyaAllah." jawab Safira meyakinkan Ira sahabatnya.
"Ya sudah deh, jangan kejebak di lift lagi ya... hahaha.." Ira menggoda Safira.
"Jangan jauh-jauh dari hp kamu ya. Kalo aku kejebak lagi kamu yang aku hubungi." Safira melemparkan senyum ke sahabatnya lalu mengikuti wanita yang mengajaknya tadi.
"Perkenalkan Ibu Safira, saya Diana dari manajemen hotel ini." Ucap wanita cantik dengan make up yang cukup tebal setelah dia memastikan Safira duduk dengan nyaman di depannya. Wajahnya selalu tersenyum ke arah Safira.
"Begini Ibu Safira, kami meminta maaf atas ketidaknyamanan Ibu pagi ini karena terjebak di lift."
"Tidak papa." ujar Safira sambil tersenyum manis.
"Sebagai permintaan maaf kami, ini adalah voucher menginap di hotel kami khusus untuk Ibu Safira. Ini adalah kamar terbaik kami Bu Safira, sudah lengkap dengan breakfast dan dinner-nya dan waktunya akhir pekan ini." tangan Diana menyodorkan beberapa kertas memanjang ke arah Safira.
Safira melirik kertas di depannya, ada tiga buah kertas dengan tulisan voucher menginap, breakfast, dan dinner. Dan di masing-masing kertas tersebut tertulis namanya.
"Saya tidak papa kok, tidak perlu kompensasi seperti ini." ujar Safira pada Diana dengan suara lembutnya.
"Ini sudah keputusan kami dari manajemen hotel Bu Safira, saya sangat senang jika Ibu mau menerimanya dan kembali menginap di sini akhir pekan ini." Diana berusaha meyakinkan Safira untuk menerima tawarannya.
"Tapi tidak papa kan jika saya tidak menerimanya. Saya sungguh berterimakasih karena sudah diberikan kompensasi ini tapi sepertinya saja tidak bisa. Mohon maaf ya." Safira masih tersenyum dan kedua tangannya di depan dada seperti orang yang benar-benar meminta maaf.
Tapi kali ini tangan Diana sudah menarik tangan Safira dan menggenggamnya.
"Ibu saya mohon terima tawaran ini. Tolong bantu saya! Saya bisa dipecat jika Ibu menolaknya." Suara Diana terdengar mengecil dan mirip rengekan.
Mata Safira terbelalak mendengar penuturan Diana.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 125 Episodes
Comments