Andra langsung menjatuhkan tubuh di atas kasur begitu tiba di kamar kost. Ia telungkup sambil memeluk bantal. Wajahnya masih terasa panas dan debaran jantungnya pun masih belum normal. Ada perasaan tak asing di hatinya. Ada apa ini? Pikir Diandra bingung.
Ia mencoba menenangkan hati dan pikiran. Walaupun masih terbayang jelas kejadian di perpustakaan tadi yang membuatnya merasakan lagi desir-desir aneh menggelayar di hati. Ia mulai terseret arus yang ditakutinya sendiri.
Ada perasaan senang, tak percaya, khawatir, bingung, dan berdebar-debar berkumpul menjadi satu. Hal itu membuatnya panik sendiri.
"Ya Allah. Mungkinkah aku?" tanyanya sambil membalikkan tubuh. Terlentang. Menerawang langit kamar.
Ia meraba dadanya yang masih saja terasa berdegup kencang. Terbayang tatapan mata sendu itu membuatnya jadi tersenyum sendiri. Lalu cepat-cepat ditepisnya dengan tangan yang mengoyak udara.
"Enggak! Ini gak boleh terjadi lagi. Gue harus bisa mengontrol diri. Sebelum semuanya terlambat. Besok gue jangan sampai ketemu dia lagi," ujar Andra mantap. Ia merasa harus konsisten dengan janjinya untuk tidak jatuh cinta lagi. Entah sampai kapan.
***
Esok hari setelah semua mata kuliah selesai diikuti, rupanya Widia mengajak Andra kembali ke perpustakaan. Katanya masih ada data yang kurang yang harus kembali dicatat.
Awalnya sih Andra merasa enggan. Ia khawatir bertemu Aydan lagi seperti kemarin. Tapi Widia terus mendesaknya. Ragu-ragu ia mengikuti ajakan temannya itu dengan terpaksa mengiyakan.
Begitu menjejakkan kaki di perpustakaan, matanya lebih dulu mencari sosok yang berhasil membuatnya berdebar-debar kemarin Andra bernapas lega saat pemuda itu ternyata tidak ada.
"Huuuft syukurlah," ucapnya.
Kembali ia mengambil buku yang sama dengan yang kemarin dibacanya. Ikut mencatat hal-hal yang belum sempat ditulis kemarin seperti Widia.
Saat ia fokus menulis, ekor matanya menangkap seseorang tengah melintas di depan. Lalu duduk di meja seberang. Andra tak peduli siapa pengunjung perpustakaan itu. Ia terus saja menulis hingga selesai.
"Sudah selesai," ucapnya lega ketika mengakhiri tulisannya beberapa menit kemudian.
Ia mengangkat kepala sambil merebahkan punggung lelahnya ke sandaran kursi. Seketika itu juga matanya melihat ke depan. Ada Aydan persis di depan sana lagi. Sedang duduk membaca buku sambil menulis, sama seperti kemarin.
Andra terkesiap. Ia menahan napas sesaat karena shock. Mencoba menarik napas perlahan agar debaran jantungnya tidak kembali kencang sambil meraba dada. Namun, usahanya gagal. Debaran itu justru makin menguat saat Aydan malah mengangkat kepalanya dan melihat ke depan. Kedua netra mereka saling bertemu lagi. Mata sendunya menatapnya lagi. Lebih dalam. Tubuh Andra mendadak kaku seperti patung. Ia tidak bisa mengalihkan pandangan. Seolah tersihir, terus terpaku pada mata Aydan di sana. Jantungnya seolah mau lepas. Sementara pemuda itu juga tak mau kalah. Terus saja memandangi Andra yang canggung menatapnya.
"Andra! Sudah selesai nyatetnya?" Widia menabok bahunya. Sihir itu sirna. Ia tersadar lalu pergi tergesa-gesa meninggalkan Widia sendiri.
"Kenapa tuh anak?" tanyanya heran sambil melihat kepergiannya.
Sementara Aydan terpaku melihat reaksi Andra tadi. Ia menatap sosoknya yang berjalan terburu-buru hingga bayangannya pun sirna di balik rak buku. Anehnya ia malah tersenyum sendiri dan geleng-geleng kepala.
***
"Kemarin kenapa sih? Kok malah pulang duluan? Gue ditinggal sendiri di perpustakaan. Tega ya," protes Widia esok harinya saat mereka bertemu di kampus.
"Sorry, Wid. Sorry," sesal Andra.
"Mendadak perut gue mules banget. Jadi gue gak sempet ngasih tahu. Pikiran gue udah kacau balau sama perut," jawabnya bohong.
"Serius lo karena mules? Bukan karena yang lain?" Widia tak percaya.
"Yang lain? Ya terserah kalau gak percaya," kilahnya sembari mengangkat bahu.
Widia memandang serius wajah Andra yang berusaha tenang.
"Kenapa sih emangnya?" tanya Andra heran.
"Kata penjaga perpus, elo pergi buru-buru kayak habis lihat setan. Masa sih di kampus kita ada penampakan?" ungkapnya cemas.
"Ya ampun ... kan gue udah bilang mendadak perut gue sakit. Udah gak bisa ditahan-tahan lagi, Wid. Kan repot kalau sampai kebobolan di jalan. Emangnya elo mau bantuin bersihinnya?"
"Ih jorok lu," balas Widia sambil menyeringai.
"Apanya yang jorok? Kebobolan aja belum."
"Ya itu nyaris buang air di celana. Kayak bocah."
"Hadeeuuuh. Udah ah gak usah dibahas. Jorok."
"Kan tadi gue udah bilang jorok!" timpalnya serius.
Andra melirik ke atas. Kesal.
"Ngomong-ngomong Ivane ke mana ya? Kok dari tadi belum lihat dia?" tanya Andra sambil celingukan.
"Lupa ya? Kan hari ini dia lagi asistensi STUPA-nya," ungkap Widia.
"Oh iya ya ...." Andra menepuk dahi.
Lalu dari arah seberang tempat duduk mereka berdua, ada Merry and the gengs terdengar paling ramai sendiri di antara kumpulan mahasiswa lain. Sampai Widia memandang sebal ke arah mereka.
"Gak di sekolah, gak di kampus, orang-orang tukang rumpi kayak mereka selalu aja ada. Bikin dunia jadi sumpek," keluh Widia kesal.
"Aalaaah cuekin aja. Selama gak ngomongin kita."
"Tapi pendengaran kita jadi terganggu gara-gara suara cempreng mereka. Ya Allah, tolong lakukan sesuatu dengan mulut atau suara cempreng mereka. Biarkan dunia ini tenang tanpa kehadiran gosipers mania seperti mereka," harap Widia sambil menengadahkan tangan.
"Kenapa sih elo kayaknya sebel banget sama mereka?"
"Gimana enggak. Tiap hari kerjaan mereka cuma ngeghibah tau. Soal artis, senior, teman sendiri, sampai cowok-cowok uwu di kampus kita. Sedangkan kuliah kayaknya cuma buat sampingan aja," beber Widia sebal.
Andra hanya menghela napas lelah. Malas mengomentari lagi soal Merry and the gengs. Namun, nampaknya apa yang dikatakan Widia benar adanya. Tampaknya obrolan seru mereka terdengar begitu nyaring dan lantang di taman kampus. Saat Merry berkelakar, teman-temannya lantas tertawa terbahak-bahak sampai gaduh dan mengganggu orang-orang di sekitarnya.
Tiba-tiba keadaan berubah sunyi. Tawa dan suara berisik itu mendadak senyap. Andra dan Widia merasa begitu damai, tapi juga aneh. Saat dilihat, Merry dan temannya kompakan memandang ke satu arah di depan mereka dengan senyum dan tatapan berbinar. Andra pun jadi penasaran.
Ia ikut menoleh ke arah yang dilihat Merry. Matanya terpana dan tiba-tiba darahnya berdesir. Lagi. Nampak Aydan dan temannya -- Yoga -- sedang berjalan bersama ke gedung B. Ke arahnya. Dengan gaya yang sama setiap harinya, yaitu menggendong tas Adidas di bahu kiri. Tak lupa earphone menggelantung di lehernya. Rambut pendeknya sedikit berantakan. Mencuat ke sana sini seolah lupa disisir terus.
Lelaki itu berjalan tenang melewati taman kampus sambil mengobrol dengan Yoga. Tak tahu jika sedang diperhatikan oleh banyak sepasang mata. Termasuk Andra sendiri. Hingga seorang temannya menyapa saat berpapasan. Aydan tersenyum ramah. Memperlihatkan sedikit giginya yang tampak putih dan rapih. Pemandangan itu membuat Andra terkesan.
Ketika Aydan dan Yoga melewati Merry and the gengs, beramai-ramai para gadis centil itu tanpa rasa malu menyerukan namanya berkali-kali. Sayangnya, yang dipanggil tampak tak peduli atau mungkin pura-pura tak mendengar. Sebab Andra dan Widia sendiri bisa mendengarnya dengan jelas.
Begitu langkah kaki Aydan mendekati tempat duduk Andra, gadis itu malah mengalihkan pandangan. Ia tak mau ketahuan sedang memperhatikannya sejak tadi. Sebaliknya Aydan malah melirik ke arah Andra dan tersenyum pada Widia yang baru saja melambaikan tangan menyapa.
Setelah lelaki itu menjauh, Andra baru berani melihatnya lagi. Ia menghela napas lega. Membuat Widia keheranan.
"Elo kenapa lagi?"
"Gue? Enggak kenapa-kenapa," jawab Andra berusaha tetap tenang.
"Bohong lo! Tadi gue perhatiin dari tadi ngeliatin senior itu terus sama kayak Merry. Hayooo ngaku....!" pinta Widia sambil menatap tajam.
"Ih ngaku apaan lagi?"
"Ngaku aja kalau elo udah ketularan Merry," tuduh Widia sambil menunjuk hidung Andra.
"Ketularan gimana? Enak aja. Emangnya kena virus?" Andra benar-tidaknya tidak paham maksud sahabatnya itu.
"Ah pura-pura nih."
"Aduh gak ngerti maksud lo apaan, Wid. Gue cuma kepo aja tadi gara-gara Merry dan temannya itu ngeliatin senior itu. Cuma itu doang," dalih Andra tegas.
"Ya udah deh. Terserah elo aja."
"Ya emang terserah gue. Masa terserah elo?" protesnya.
Perdebatan kecil itu harus diakhiri karena jam masuk kuliah sudah tiba. Andra merasa terselamatkan saat ini dari kecurigaan Widia.
Saat dua gadis itu melewati ruang kuliah di lantai satu, Aydan sempat melihat penampakan Diandra dan Widia berjalan di koridor. Matanya tak beralih sedikit pun sampai bayangan keduanya menghilang.
"Liatin siapa, Dan?" celetuk Yoga yang duduk di sebelahnya.
"Itu yang barusan lewat."
"Ooh cewek itu? Si Andra sama Widia?"
"Elo kenal?"
"Kenal doang. Soalnya ada gosip si Andra itu gak suka cowok."
"Hah?! Masa sih?" Aydan terperangah.
"Iya. Kalau dideketin cowok dia jadi galak dan jutek banget, tapi sikapnya berbeda kalau sama cewek. Suka meluk-meluk gitu."
"Ya wajar kali cewek pelukan. Kalau cowok pelukan baru aneh."
"Bukan gitu, Dan. Maksud gue, dia itu ...."
Yoga berbisik di telinga Aydan. Wajahnya berubah kaget.
"Gak mungkin ah?"
"Iya. Gue aja dulu pernah mau deketin dia di tahun pertama."
"Terus?"
"Jutek abis. Gue dikacangin, Bro. Lama-lama jadi malesin. Udah aja gue incer adik kelas yang lain," ungkap Yoga seraya terkekeh.
"Dia gak suka aja kali sama elo." Aydan terkikik.
"Bisa jadi? Padahal gue ganteng begini lho." Yoga menyentuh dagunya dengan jempol dan telunjuk. Membayangkan betapa tampannya dia.
"Kalo elo ganteng, kenapa gagal mulu dapetin cewek, Bray," sindir Aydan terkekeh.
"Ah asyem lo. Terlalu jujur amat," desah Yoga nelangsa.
Lalu keduanya tertawa bersama.
"Nah elo sendiri kenapa jomblo terus? Nemenin gue ya?" tambah Yoga.
"Emang dosa ya kalau jomblo?"
"Ya kagak lah. Kan biar lebih seru aja. Adik kelas kita kan banyak juga yang cakep. Apalagi dari jurusan sebelah tuh Sipil sama Plano. Mau lebih luas lagi ada jurusan Kesehatan Masyarakat tuh banyak ceweknya," papar Yoga bersemangat.
"Ya ampun. Elo sampai hapal begitu. Mau ada banyak cewek cakep kalau gue belum ketemu yang klik mau bilang apa, Bray?"
"Ah elo sih gitu. Terlalu fokus sama kuliah. Nanti masa muda lo lewat gitu aja baru nyesel. Masa muda penuh warna, Dan."
"Iya iya. Lagak lo udah kayak orang tua aja, Bray." Aydan geleng-geleng kepala.
"Ya pokoknya sebelum gue lulus nanti setidaknya gue harus ngerasain namanya jatuh cinta dan dicintai, Bro," ungkap Yoga penuh harap.
"Aamiin."
"Elo juga kan?"
"Gak tau juga. Gimana nanti aja gue sih," jawab Aydan santai.
"Payah lo. Jangan terlalu serius. Jangan nongkrong di perpustakaan terus. Di sana jarang ada cewek cantik."
"Kata siapa?"
"Emang ada?" tanya Yoga jadi penasaran.
Aydan hanya tersenyum sembari membuka buku kuliahnya.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 70 Episodes
Comments