"Ndraaa ... buruan dong! Lama banget sih nyarinya?!" teriak Widia tak sabaran dari luar kamar.
"Masih belum ketemu juga, Ndra?" tanya Ivane ikut-ikutan.
"Kalau emang udah ketemu gue gak bakal selama ini nyarinya kali," balas Andra kesal, "lagian kenapa sih kalian bisanya teriak-teriak doang nyuruh gue cepet. Bukannya bantuin cari dompet gue kek. Siapa tahu kan kalau dibantuin jadi cepet ketemu," gusarnya sembari terus mencari-cari dompet kesayangannya di seluruh sudut kamar kos.
"Bukannya kita gak mau bantuin, Ndra. Cumaaaa kita males aja cari-cari dompet elo yang butut itu," balas Ivane.
"Untung orangnya gak ikutan butut," tambah Widia.
Keduanya cekikikan.
"Iya tuh. Kita malah lebih senang kalau dompet itu hilang beneran. Kan jadi bisa beli yang baru," cetus Widia. Mereka malah makin semangat tertawa.
Mendengar kalimat-kalimat nyinyir itu hati Andra jadi makin dongkol. Ia segera keluar kamar menemui dua orang sahabatnya yang kali pertama dikenalnya sejak awal kuliah.
Dengan wajah kesal dan siap ngomel-ngomel, Andra justru terkejut begitu melihat Widia memegang sesuatu di tangannya sambil terkekeh-kekeh. Seketika itu juga kedua sahabatnya berhenti tertawa dengan mulut masih menganga.
"Kok dompet gue bisa ada di tangan elo sih?" tanya Andra heran. Matanya menatap tajam. Ia rebut dompet itu.
"Eh?!"
Widia dan Ivane malah nyengir kuda dengan wajah tanpa dosa.
"Sialan! Kalian aslinya emang mau ngerjain gue ya?" Andra berang.
Dua gadis itu malah tertawa-tawa lagi seolah keusilan mereka sesuatu yang lucu.
"Pantes dari tadi cuek-cuek aja gak mau bantuin gue. Awas ya kalian berdua!!" hardik Andra makin kesal sambil merebut dompet itu dari tangan Widia.
"Sorry, Ndra. Kita cuma bercanda lagi. Jangan dimakan hati dong. Makan daging aja lebih enak lho," ujar Widia tak bisa serius. Ia terkekeh.
Tapi Andra malah cuek. Ia malas meladeni kelakuan iseng temannya lagi. Tangannya mengunci pintu kamar kost dan pergi meninggalkan keduanya begitu saja.
Widia dan Ivane saling pandang karena tak biasanya keusilan mereka diabaikan Andra. Lalu keduanya bergegas menyusul. Ketika Andra sampai di garasi kostan, ada beberapa motor bebek terparkir di sana. Salah satunya yang berwarna biru metalik dan abu-abu berplat D milik Andra sendiri. Tapi ia melewatinya begitu saja.
"Lho, Ndra motor lo kok dicuekin? Motor lo rusak lagi ya?" tanya Ivane bingung.
"Yah ... jadi kita gak bisa cenglu (bonceng telu) lagi nih ke kampus? Padahal kan gue lagi program ngirit buat nabung beli sepatu baru. Sedih deh gue," ungkap Widia kecewa.
"Lagian siapa juga yang mau ke kampus, Mbak? Gue kan mau ke Mall," balas Andra sambil berjalan santai diikuti terus dua sahabatnya. Mereka saling pandang.
"Ke Mall?!" ucap keduanya kompak.
"Yup!"
"Tapi sekarang jam berapa? Emangnya Mall udah pada buka? Ini kan masih pagi. Mending ke pasar aja yuk," cetus Widia.
"Yeee ngapain ke pasar? Emangnya kita emak-emak. Ngaco aja deh lo." Ivane menyikut pinggang Widia gemas.
"Hehehe ya kali aja mau sekalian belanja sayuran. Emangnya lo gak kuliah? Sebentar lagi kan kuliah Pak Ridwan mau dimulai, Ndra," ujar Ivane mengingatkan, "mana dia orangnya suka on time lagi."
"Tau gak, hari ini tuh gak ada kuliahnya Pak Ridwan. Tadi malam dia SMS gue, katanya untuk kuliah lansekap hari ini ditiadakan karena ada urusan mendadak dan akan digantikan hari Jumat pagi," terang Andra yang kini sudah berdiri di pinggir jalan menunggu angkot.
"Beneran tuh?" tanya Widia dengan mata berbinar-binar. Serasa baru saja mendapatkan kiriman uang bulanan.
"Terserah elo deh percaya apa enggak."
"Tapi kok bisa sih Pak Ridwan SMS elo, Ndra? Elo sering ya SMS-an sama dia? Hiks... gue aja yang ngarep gak pernah tuh dihubungi beliau," ucap Ivane sedih.
"Ngapain lo ngarep dihubungi dosen itu?" cibir Widia heran.
"Pak Ridwan kan dosen paling cakep, masih muda, lajang gitu lho. Siapa tau lagi cari jodoh."
"Yeee! Dasar jomblowati!!"
"Yeee elo juga," balas Ivane tak mau kalah.
"Diandra juga. Emang kita Trio Jomblowati. Baru nyadar?" tukas Ivane lagi membela diri, "ah gue jadi iri sama elo, Ndra."
Bibir Ivane merengut.
Tiba-tiba Andra tertawa terbahak-bahak membuat kedua sahabatnya saling pandang untuk kesekian kalinya.
"Kenapa elo, Ndra? Ada yang lucu?" tanya Widia heran.
"Ada orang bego kena tipuuu...."
"Maksudnya?!" tanya mereka kompak lagi.
Bukannya menjawab, Andra malah tertawa lagi. Setelah beberapa menit akhirnya mereka baru sadar Andra baru saja mengerjai mereka.
"Ah sialan nih. Jadi lo bohong ya, Ndra? Pantesan dari tadi gue udah curiga sama elo. Kayaknya gak mungkin banget tuh Pak Ridwan SMS macam itu ke elo," hardik Widia.
"Eh mungkin aja lagi. Cuma masalahnya emangnya Pak Ridwan tau nomer HP gue? Kan enggak. Eh tapi bisa aja sih nyari di bagian administrasi kampus kalau mau atau nanya ke mahasiswa lain."
"Jadi itu bohong kan ya? Udah gue kira. Alhamdulillah Ya Allah. Sainganku berkurang," ucap Ivane penuh syukur. Ia menengadah kedua tangannya sambil bibirnya komat kamit lalu mengusap ke wajah
"Udah deh soal itu lupain aja. Sekarang kalian mau ikut gak ke Java Mall?" ajak Andra.
"Elo beneran mau bolos?" tanya Widia memastikan. Ia masih tak percaya.
"Iya lah ... gue lagi males kuliah nih. Kalian mau ikut gue enggak?" tanyanya lagi.
"Mau sih. Tapi kenapa harus ke Java Mall? Kita ke Ciputra Mall aja kan lebih gede," usul Widia.
"Gue ke Mall bukan buat jalan-jalan atau belanja temanku, Sayang. Tapi gue mau liat pameran pendidikan di sana. Terutama stand kampus kita. Ngerti?"
"Ooh gitu ...," balas keduanya terperangah.
Tak berapa lama sebuah mobil angkutan umum berhenti di depan mereka.
"Arep numpak angkot, Mbak?" tanya si supir dari dalam mobil.
"Enggak, Pak. Maunya sih naik pesawat," jawab Ivane dingin.
"Yen arep numpak montor ora neng kene. Mrana menyang bandara. Aneh," sahut si supir jutek.
"Ya ora bisa numpak montor mabur ing pinggir dalan, Pak," balas Widia sambil terkekeh.
"Ah, udah. Ayo cepat naik!" seru Andra sambil masuk mobil. Ia berpikir bakalan panjang urusannya kalau terus diladeni.
"Jarene... kok malah numpak angkot, Mbak? Iki dudu arah menyang bandara sampeyan ngerti?" Si supir bingung.
"Dereng wonten montor mabur dhateng Java Mall, Pak. Ayo maju!" sahut Widia gemas.
Ketiganya sudah masuk mobil angkot. Sementara si supir melaju dengan wajah kebingungan.
"Wis ngerti arep numpak angkot nggo takon maneh," gerutu Widia kesal.
***
Lima belas menit kemudian ketiga sahabat baik itu sampai di Java Mall. Saat mereka tiba di sana Mall-nya baru saja buka karenanya masih nampak lengang.
"Masih sepi nih," komentar Ivane begitu kaki mereka menjejakkan di lobby Mall.
"Gak apa-apa. Yang penting Mekdinya udah buka. Gue mau sarapan dulu. Udah laper nih. Kalian mau ikut gak?" ungkap Andra tak kuasa menahan perutnya yang mulai perih. Tadi pagi ia tak sempat sarapan gara-gara sibuk mencari dompet.
Tapi Widia dan Ivane cuma bengong.
"Kenapa kok diem aja? Kalian lagi bokek ya?" Andra terkikik. "Ketauan deh biasa makan di warteg juga sih," sindirnya senang mengejek dua temannya yang suka usil itu. "Untung kiriman uang bulanan gue dikirim lebih cepat."
"Siapa bilang kita bokek? Siapa bilang juga kita suka makan di warteg walaupun emang kadang-kadang sih. Orang kita maunya makan di pizza. Iya gak, Van?" Widia membela diri sambil menyikut lengan Ivane.
"Serius lo mau ke PH? Gue belum dikirim duit nih untuk bulan ini. Bayarin dulu ya!" bisik Ivane pada Widia cemas.
"Tenang aja kita gak beneran ke PH kok. Cuma pura-pura doang," balas Widia berbisik di telinga Ivane.
"Yaah ... kirain beneran. Gue udah seneng banget," ucap Ivane kecewa.
"Ya udah bagus deh kalau gitu. Gue gak perlu keluar banyak duit nih. Padahal kan rencananya tadi mau traktir kalian makan. Mumpung lagi banyak duit nih. Hehehe...," ungkap Andra sambil menepuk-nepuk dompet bututnya.
Dua sahabatnya saling pandang lagi. Bingung antara tetap mau berpura-pura atau mengakui kalau mereka sedang bokek akhir bulan.
"Untung aja dompet butut yang suka kalian hina ini isinya jauh lebih baik daripada dompet kalian yang bagus tapi sering kosong duitnya," sindir Andra merasa menang.
Dua gadis itu mendengus sebal. Mau protes pun percuma karena itu memang kenyataannya.
"Jadi gimana kalian tetap mau makan sendiri ke PH?" Andra mengedipkan matanya. Menggoda kedua temannya itu yang nampak terpancing.
"Bilang kek dari tadi!" protes Widia menyerah akhirnya.
"Siapa suruh gengsi-gengsian. Rugi sendiri kan. Udah deh kita kan sobatan, nyantai aja lagi."
Widia dan Ivane kini tertawa malu.
"Ayoooo ...!!!" ajak Andra sambil melangkah ke pintu masuk gerai Mekdi. Diikuti dua temannya dengan senyum sumringah.
Kira-kira setengah jam kemudian Trio Jomblowati itu menyelesaikan makannya dengan lahap. Lalu mereka kembali ke hall utama Mall di mana digelar stand pameran pendidikan yang berisi kampus-kampus berbagai jurusan dan fakultas dari berbagai universitas di seluruh Semarang.
Kebetulan posisi stand kampus Teknik Arsitektur mereka tak jauh dari Mekdi. Jadi saat mereka masih makan di sana, ketiganya bisa melihat stand kampus yang mulai ramai dikunjungi pengunjung.
"Wah keren ya maketnya," komentar Ivane saat melihat maket karya senior angkatan paling atas di stand kampus.
"Gimana gak keren. Desain TA-nya (Tugas Akhir) aja udah keren," ucap Widia menimpali.
"TA gue bisa sekeren ini gak ya nanti?" gumamnya.
"Elo lagi nonton apaan sih, Ndra?" tanya Widia penasaran saat diliriknya Andra tengah asyik sendiri di depan layar TV. Ivane ikutan beralih ke samping Andra.
"Bukan apa-apa. Cuma lagi nonton film independen tentang kehidupan kampus kita karya senior 2001," balasnya tanpa menoleh ke arah mereka.
Akhirnya keduanya ikutan sibuk menonton film tersebut.
"Boleh juga nih. Senior kita keren-keren ya. Eh maksudnya kreatif gitu," puji Ivane.
"Ya iya lah anak arsitektur harus kreatif dong," cetus Widia.
"Eh barusan yang tadi siapa sih tokoh utamanya? Ndut begitu perutnya. Gak ada yang lebih baik apa senior kita? Yang six pack gitu kayak roti sobek," komentar Ivane blak-blakkan. Ia kecewa selama penayangan lebih banyak senior gendut itu yang jadi modelnya.
Untung saja saat itu yang jaga stand adalah teman seangkatan mereka sendiri, bukan senior angkatan 2001. Kalau enggak pastilah Ivane sudah dipelototi.
"Iya juga ya. Padahal senior kita banyak juga yang bisa dijadikan pencuci mata." Widia menambahi.
"Pencuci mata?! Kayak boorwater dong," sahut Ivane terkekeh-kekeh. Widia pun terkikik.
"Wid, yang itu siapa ya?" tanya Andra yang sejak tadi tak banyak bicara. Ia menunjuk pada layar.
"Yang mana? Yang pake kacamata maksud lo?" Widia memicingkan matanya agar lebih fokus. Karena orang yang dimaksud berada di antara banyak mahasiswa.
"Iyalah. Di sana yang pakai kacamata kan cuma dia."
"Ooh kalau dia sih gue tau. Kalau gak salah namanya ..." Widia berusaha mengingat-ingat, "duh siapa ya? Sering lihat sih. Kayaknya gue belum kenalan sih sama senior itu. Nanti kalau sudah kenalan gue kenalin juga sama elo deh. Gimana?"
"Yeee kirain tau. Enggak ah. Gue cuma iseng aja pengen tau namanya doang. Gak usah seserius itu."
"Yeee bilang aja malu kenalan sama senior. Pura-pura nih Andra," goda Ivane, "kan makin banyak kenalan makin banyak gebetan. Hehehe ...."
"Itu mah kalian bukan gue. Sorry aja ya. Gue males punya gebetan. Urusan tugas aja sudah menyita waktu gue."
Widia dan Ivane ngakak. Dua cewek itu emang paling suka menggoda Andra. Mereka tahu Andra belum mau punya pacar lagi. Ia takut patah hati lagi.
"Masalahnya ya gaes beberapa hari lalu gue ngeliat dia sama temen-temennya Kak Robi lagi di-shoot di tangga kampus. Jadi gue tebak mereka sedang membuat film dokumenter tentang kampus dan ternyata bener tebakan gue," ungkap Andra mencari alasan.
"Ooh begitu ...," sahut dua sahabatnya kompak lagi sambil manggut-manggut. Mereka tertawa lagi.
"Padahal kalau dia beneran tertarik dengan senior kacamata itu juga gak apa-apa ya. Pake ngeles segala," bisik Widia pada Ivane.
"Iya. Masih jaim aja tuh bocah." Ivane geleng-geleng kepala.
Sementara orang diobrolinnya mulai beralih ke tempat lain. Keduanya mengekor.
"Emangnya kenapa sih dia gak mau punya pacar lagi?" tanya Ivane diam-diam pada Widia.
"Bukan gak mau punya pacar. Tapi gak mau jatuh cinta lagi. Dia takut sakit hati," balas Widia pelan.
"Tapi kan gak semua cowok itu brengsek, Wid."
"Masalahnya bukan di cowoknya tapi di diri dia sendiri, Van. Dia masih trauma tau."
"Emang gak bisa ya traumanya hilang?"
"Yang bisa ngehilangin trauma itu ya diri mereka sendiri. Butuh waktu yang bervariasi tiap orang. Paham, Nak?"
"Paham Bu Guru," jawab Ivane setengah bercanda.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 70 Episodes
Comments
IG. @Ar_Inthan99
lanjut thorrr....
keren❤️
2022-04-11
1