Belakangan ini Andra jadi merasa terusik dengan sesosok lelaki yang mulai sering hadir dibenaknya sejak dua hari lalu.
Bahkan, pagi ini pun ketika Andra mandi, tanpa sadar wajah senior berkacamata itu berseliweran di kepalanya lagi. Akhirnya waktu mandi dihabiskan untuk melamun. Ketika disadarkan oleh suara ketukan keras di pintu kamar mandi, Andra terhenyak. Ia segera mandi cepat dengan rasa kesal.
"Aneh deh gue. Dari tadi malam kok gue keingetan dia mulu ya?" tanya Andra pada diri sendiri sembari memakai pakaiannya.
"Jangan-jangan gue dipelet dia lagi?" gumamnya heran.
"Tapi ... kan dia gak kenal gue. Ngobrol aja belum pernah. Eh, tunggu siapa tahu dia emang beneran diem-diem kenal gue nih," terkanya begitu percaya diri.
"Hahaha tentu aja dia kenal gue. Kita kan satu kampus. Paling juga dia taunya gue itu juniornya. Bego amat sih gue."
Andra menepuk dahinya lalu cekikikan sendiri di kamar.
"Tapi kayaknya gak mungkin deh. Gue yakin dia nggak kenal gue. Ngeliat tampang gue juga gak pernah. Terus kenapa dong?" Ia mengetuk-ngetuk bibirnya.
Sejenak Andra terdiam, berpikir lagi dan tersenyum.
"Kalau dipikir-pikir dia itu lain sendiri dibandingkan dengan teman-temannya. Parahnya gue juga gak tau apa bedanya." Ia membayangkan sosok seniornya itu lagi yang berjalan santai dengan gayanya yang khas. Rambutnya yang selalu terlihat agak berantakan.
"Ah bego amat sih gue. Bisa-bisanya bicara begini. Padahal kenal aja enggak."
Ia tertawa kecil menyadari tingkah anehnya pagi itu.
"Pagi ini gue jadi gila. Ngomong sendirian di depan cermin. Kalau dilihat Ivane dan Widia, gue pasti udah diketawain lagi deh."
Andra ngakak mencemooh dirinya sendiri yang diluar kebiasaannya.
***
Siang itu, jam kuliah pertama berakhir. Trio Jomblowati dan mahasiswa lainnya duduk-duduk santai di bangku taman depan gedung, menunggu jam kuliah berikutnya. Widia sibuk bermain ponsel sendiri.
"Ndra, STUPA elo kemarin gimana?" tanya Ivane penasaran, "Gue gak ditanyain kan sama Pak Gilang?"
"Nanya sih, gue bilang elo sakit. STUPA gue harus direvisi total kayaknya," jawab Andra tak semangat.
"Lho kenapa? Menurut gue punya elo udah oke deh."
"Ya menurut elo. Menurut gue juga. Tapi menurut beliau mah kagak. Katanya konsep gue kurang kuat," beber Andra.
"Yah sayang dong dirubah total. Padahal udah keren lho. Eh, tapi bagus ding. Dengan begini saingan gue jadi berkurang," ujarnya senang sambil terkikik.
"Ih dasar elo ya! Jangan keburu senang dulu. Gue belum menyerah. Desain dan konsep gue harus goal. Lihat aja nanti!" balas Andra tak mau kalah.
Ivane mencubit gemas lengan Andra. Ia mengerang kesakitan. Ketika tangan satunya mengusap-ngusap lengannya yang memerah, mata Andra menangkap bayangan seseorang di depan sana.
"Eh senior berkacamata?!" gumamnya spontan.
Ivane dan Widia mendelik. Ia melihat ke arah mana sahabatnya itu melihat. Seorang pemuda tinggi bertubuh langsing sedang memanggul tasnya di bahu kiri, kacamata berbingkai hitam, earphone terpasang di telinganya, rambut terlihat kurang disisir rapih, tengah berjalan ke arah mereka. Wajah tanpa ekspresinya membuat Andra tertegun memandangi.
Ketika senior itu melewati kumpulan mahasiswi baru, tanpa komando semua mata mereka mengarah padanya. Lalu bibir mereka mulai saling berbisik-bisik genit dan cekikikan. Membuat gaduh tanpa sadar. Namun, kegaduhan itu tak lantas membuatnya menoleh. Ia terus saja melangkah dengan cueknya sambil menarik tas gendong Adidasnya yang sedikit melorot di bahu.
Sampai akhirnya, senior itu pun menjauh, tapi mata para mahasiswi masih saja terus melihatnya tanpa bosan. Tak peduli walaupun usaha mereka untuk menarik perhatiannya telah gagal.
Andra yang memperhatikan dari jauh tersenyum senang. Ada sedikit rasa puas dihatinya dan hal itu dirasa aneh di mata kedua sahabatnya.
"Kenapa elo senyum-senyum sendiri sih?" tanya Widia heran.
"Eh?! Enggak kok. Enggak kenapa-kenapa. Cuma tadi tiba-tiba tadi keingetan aja sesuatu yang lucu gitu," jawab Andra tak mengaku.
"Apaan tuh?" tanya Ivane ingin tahu.
"Ah udah deh gak usah dibahas lagi. Gak penting. Kita masuk kuliah aja yuk," ajak Andra mengalihkan pembicaraan.
"Tuh kan dosennya datang," tunjuk Andra pada arah gedung A. Pak Johan, dosen mata kuliah Struktur dan Konstruksi telah muncul. Ia terselamatkan.
Ivane dan Widia saling pandang dalam tanda tanya.
***
Di akhir mata kuliah, Andra mengajak dua sahabat baiknya itu ke perpustakaan kampus. Rencananya Andra akan mencari referensi untuk tugas STUPA-nya dengan mencari sumber literasi dari tugas senior yang terdahulu. Namun, sayangnya Ivane menolak ikut. Ia harus segera pulang, menyelesaikan tugas maketnya yang belum juga kelar.
Suasana perpustakaan siang itu terlihat sepi. Hanya ada beberapa orang saja selain pengurus perpustakaan. Ketika kaki melangkah lebih dalam, Andra berdecak. Jantungnya berdegup lebih cepat. Matanya terpaku pada senior berkacamata yang tengah serius membaca, di mana ia duduk sendiri di meja paling ujung dekat jendela. Ia tak menyangka akan bertemu senior itu lagi di perpustakaan.
"Ndra, udah ketemu belum referensinya?" tanya Widia mengagetkan.
"Eh?! Be-belum, Wid," jawabnya gugup, "elo udah ya?"
"Iya gue udah dapat."
"Gue masih mau nyari-nyari lagi di sebelah sana. Elo duluan aja gih!"
"Kalau gitu gue duduk di sana ya." Telunjuk Widia mengarah pada meja di dekat jendela. Tak jauh dari meja senior itu.
Andra tersenyum mengangguk.
"Oh iya, sekalian cari bahan buat tugas Sejarah Arsitektur kita ya, Ndra. Hehehe ...." Widia meringis.
"Iya deh," balas Andra pasrah.
Sejurus kemudian, ia mulai sibuk menyusuri tiap rak buku. Di sela-sela jejeran buku yang tertata rapih, mata Andra masih bisa melihat sosok senior itu duduk tenang di kursinya. Debaran jantungnya pun masih belum reda.
Setelah lima buku berhasil ia dapatkan, Andra menyusul Widia. Ia duduk di sampingnya. Tepat berada di depan senior berkacamata itu.
Tiap lembar kertas dibukanya selembar demi selembar dengan hati-hati. Seolah ia takut gesekan kertas itu akan menarik perhatian senior itu. Mulanya ia masih bisa fokus membaca isinya. Tapi beberapa menit kemudian, matanya tak bisa diajak berkonsentrasi. Berkali-kali malah melirik diam-diam pada senior di depannya itu.
Wajahnya tampak begitu serius. Ia terus saja menunduk membaca buku sambil mendengarkan sesuatu dari earphone-nya seperti biasa. Mungkin musik favoritnya.
'Dia sedang mendengarkan apa ya?' batin Andra, 'ah seandainya aku tahu siapa namanya.'
"Aydan!" Seseorang baru saja berteriak keras. Pemuda itu langsung menoleh ke asal suara. Andra pun ikut menoleh. Seorang teman seniornya yang lain baru saja datang.
"Oh ternyata namanya Aydan," gumam Andra.
"Gue udah selesai nih. Kamu udah belum?" tanya temannya. Yang seingat Andra bernama Ryan.
"Belum selesai. Kalau mau pulang duluan aja," balas Aydan.
"Ya udah. Aku balik duluan ya."
Aydan mengacungkan jempol. Sebelum Ryan pergi, ia sempat menepuk bahu Aydan. Kemudian kembali berkutat pada bukunya dengan ekspresi santai tapi serius. Andra pun terpana.
'Ya ampun dia tuh kalem banget sih,' gumam Andra lagi.
Untuk beberapa saat ia malah asyik memandangi wajah Aydan. Sampai seruan Widia tak terdengar sama sekali.
"Andra!!!" pekik Widia kesal sambil menabok pundak.
Andra terperanjat. Begitu pun Aydan. Pemuda itu langsung mendongak ke arahnya. Andra jadi belingsatan. Sejenak kedua netra mereka saling beradu dalam diam. Andra jadi canggung. Secepatnya mengalihkan pandangan karena tak sanggup ditatap lebih lama oleh mata sendu itu.
"Ada apa sih, Wid? Bikin kaget aja?"
"Nah, elo yang dari tadi gue panggil-panggil gak respon. Malah bengong sendiri," ungkap Widia.
"Iya maaf. Ada apaan nih?"
"Elo udah sampe mana nyatetnya? Dari tadi gue perhatiin malah bengong aja liatin senior itu," balas Widia sambil berbisik dan melirik pada Aydan. Senior itu sudah kembali menunduk membaca buku.
Seketika Andra jadi gelisah karena ketahuan.
"Iya ini gue mau mulai nyatet nih. Sabar, Non." Ia berusaha menghilangkan kecanggungannya. Tak mau Widia sampai tahu jika belakangan ini dirinya jadi sering melamun soal senior itu yang kini telah diketahui namanya, Aydan.
Sebelum mulai fokus dengan niatnya semula, Andra menarik napas perlahan. Berusaha mengatur debar jantungnya yang sempat tak karuan.
Hingga setengah jam kemudian keduanya sudah selesai menulis informasi untuk bahan referensi. Andra dan Widia mulai beres-beres mengembalikan buku pada tempatnya. Namun, Aydan masih bertahan di meja. Masih sibuk membaca dan menulis dengan tenang.
'Heran. Betah amat dia di sana berlama-lama?' pikir Andra takjub.
"Woi jangan ngelamun lagi! Buruan pulang! Sudah sore nih," protes Widia saat Andra kembali bengong.
Ada semburat merah di wajah Andra saat Aydan kembali menoleh ke arahnya karena teriakan Widia yang berisik. Gadis itu bergegas pergi menyusul temannya yang sudah menunggu di depan. Begitu Andra melintas di depan meja Aydan tergesa-gesa, pemuda itu masih saja menatap dari ekor matanya. Bahkan ia pun tersenyum samar.
"Jadi namanya Andra," gumam Aydan sambil tersenyum simpul.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 70 Episodes
Comments