HAPPY READING!
Waktu berjalan begitu sangat cepat, tidak terasa pernikahan Vano dan juga Chika datang. Minggu pagi keduanya melangsungkan upacara pernikahan di sebuah gereja, tidak ada sanak keluarga yang datang. Dan sampai sekarang keluarga Chika juga belum ditemukan. Chika sedih, dihari bahagia dirinya tidak ada yang mendampinginya.
Tamu undangan yang di undang juga sedikit. Pernikahan mereka sengaja Vano private dulu, dia tidak mau ambil resiko jika semuanya terbongkar. Untuk sekarang, Chika adalah prioritasnya. Keselamatan dan nyawa dia adalah tanggung jawab Vano.
Walaupun keduanya menikah tanpa ada ikatan cinta sama sekali.
Dan malam ini Chika berada di dalam kamarnya. Dia belum pindah kamar, gadis itu gugup. Takut dengan keadaan yang sangat canggung ketika berduaan bersama Vano.
Chika melirik kearah jam yang ada di dinding. Sudah masuk jam makan malam, dan Chika belum masak apapun. Gadis itu lagi malas, dia berniat mengajak Vano makan diluar, namun takut pria itu menolak.
Tok tok tok
Suara ketukan pintu dari luar kamar. "Chika, gue mau ngomong sesuatu. Gue tunggu diruang kerja," celetuk Vano dari luar.
Chika mematung, setiap mendengar suara Vano dia selalu menjadi gugup. Chika bangkit dan pergi keluar kamar untuk menemui Vano yang ada diruang kerja pria itu.
Tepat di depan pintu ruangan tersebut Chika masih tidak bergeming. Dia ragu, tapi dirinya juga sangat penasaran apa yang akan Vano bicarakan kepada dirinya itu.
Chika menghela nafas panjang. Ia memegang gagang pintu lalu membukanya perlahan. "Vano?" ucap Chika pelan.
Pandangan Vano teralih mengarah ke Chika. "Masuk." Gadis itu mengangguk dan menutup kembali pintu.
Langkah Chika mendekat kearah Vano. Dia duduk dihadapan pria itu. "Ada apa?" tanyanya lembut.
Vano menutup dokumennya. "Gue mau bicarain tentang kita," jawab Vano dengan nada yang serius.
Kening Chika mengerut. "M--maksudnya?" gugup gadis itu ketika tatapan Vano menatap dirinya dengan sangat intents.
Vano terdiam sejenak, dia sulit untuk mengungkap'kan kepada Chika sekarang. Mungkin karna dia tidak pernah bilang ini sebelumnya kepada siapapun, termasuk ke seorang gadis seperti Chika ini.
Hening. Ruangan itu menjadi hening, keduanya sama-sama terdiam. Chika hanya bisa menunggu apa yang akan dikatakan oleh Vano kepada dirinya. Penasaran? Banget. Apalagi sebenarnya, Chika orang yang sangat kepoan.
"Gue bakal buka hati buat lo. Dan gue akan belajar mencintai lo."
Deg
Tubuh Chika mematung mendengar apa yang barusan Vano katakan kepada dirinya. Gadis itu mendongakan kepalanya dan menatap Vano dengan tatapan sulit untuk diartikan.
"Van? Kamu serius?" tanya Chika yang tidak percaya.
Pria yang ada dihadapan Chika tersenyum tipis dan mengangguk. "Serius. Pernikahan bukan sebuah permainan. Pernikahan suatu hal yang sangat suci, di mana lo dan gue udah sama-sama ngucapin janji suci di hadapan Tuhan, pendeta dan semua saksi. Dan gue udah berani buat ngajak lo nikah, yang itu artinya gue serius dalam hal ini." Vano menjeda ucapannya.
"Bukan hanya melindungi lo dari musuh gue. Tapi gue juga akan melindungi lo dari semua orang jahat yang ada diluar sana, walaupun nyawa gue sebagai taruhannya. Gue nggak bisa ngucap janji, tapi gue akan buktikan ke lo semua yang udah gue ucapkan. Termasuk, menemukan keluarga lo," lanjut Vano serius.
Chika tidak bisa berkata apa-apa. Dirinya menatap Vano dengan tatapan lembut, airmata Chika jatuh tanpa sadar. Dia terharu, mencoba mencari sebuah kebohongan lewat Vano pun tidak dia temukan.
Vano bangkit dari duduknya dan menghampiri gadis itu. Dia menarik Chika ke dalam pelukannya untuk kedua kali. "Jangan pernah nangis, airmata lo terlalu berharga buat nangis. Apalagi tangisin gue, jangan pernah," bisik Vano lembut.
Gadis itu membalas pelukan Vano. "Van, makasih. Aku juga akan coba buka hati buat kamu, dan jadi istri yang baik buat kamu," ucap Chika lembut.
Keduanya melepaskan pelukan. Vano menatap manik mata istrinya yang sangat indah. Bola mata berwarna hazel. Vano menangkup pipi Chika, dia mendorong pelan gadis itu hingga mentok ditembok.
Cup
Vano mencium bibir Chika lembut. Bola mata Chika melotot, dia terkejut. Kedua kalinya mereka berdua ciuman. Pertama, saat di gereja tadi sebagai tanda kalo mereka sudah menjadi sepasang suami istri.
Ciuman tersebut hanya berlangsung selama 15 detik saja. Vano melepaskan ciumannya, dia mengelap sudut bibir Chika yang tampak basah. "Bibir lo bikin candu," kata Vano.
"Apa sih." Chika menundukkan kepalanya, dia sangat malu banget. Pipinya bersembu merah merona, Vano terkekeh pelan melihat Chika yang salting dihadapan dia.
Ia megenggam tangan Chika. "Kita makan malam, gue yang masak," ucap Vano.
Chika kaget. "E--eh? Aku lupa belum masak. Biar aku aja, kamu tunggu aja diruang keluarga," kata Chika.
Vano menggelengkan kepalanya. "Nggak. Gue lagi pengen masak, lo cukup liatin gue aja." Chika menatap Vano. "Tapi itu kan tugas aku sebagai istri kamu, masa kamu yang masak."
"Masak ataupun ngerjain pekerjaan rumah bukan hanya dilakukan oleh seorang istri. Suami juga boleh. Gue juga nggak masalah, lagian sesekali gue masakin lo," ucap Vano.
Chika pasrah. Dia mengangguk pelan lalu mengikuti langkah suaminya menuju dapur.
Di dapur Vano membuka kulkas dan mengambil bahan makanan yang akan dia gunakan untuk masak. Sedangkan Chika hanya duduk dan memperhatikan suaminya yang memasak untuk makan malam mereka.
"Kamu beneran nggak mau aku bantu?" Vano menggeleng lalu melirik kearah istrinya sekilas. "Lo duduk aja." Chika menghembuskan napas panjang. Suaminya sangat keras kepala, padahal Chika mau bantu.
Gadis itu berdiri dari duduknya lalu menghampiri suaminya. Chika memeluk Vano dari belakang yang membuat pria itu terkejut. "Kamu masak apa?" bisik Chika.
"Coba tebak," kata Vano. Sebenarnya, dengan posisi mereka yang seperti ini membuat Vano merasakan sesuatu.
Chika menatap masakan yang dibuat suaminya. "Yang pasti masakan Jepang, iya, kan?" Vano mengangguk. Dia membalikan tubuhnya dan menatap Chika. "Lo nakal," celetuk Vano gemas.
"Nakal? Emang aku ngapain?" balas Chika yang menunjukkan wajah polosnya.
Tanpa menjawab ucapan istrinya, Vano mencium Chika kembali dengan lembut. Kali ini, Chika membalas ciumannya. Dia melingkarkan tangannya dileher Vano.
Vano melepaskan ciuman mereka. "Ternyata lo jago juga dalam kissing," ucap Vano.
Chika tersenyum. "Kan diajarin kamu." Vano mengacak-acak rambut istrinya, dia kembali masak yang sempat tertunda.
Sedangkan Chika kembali duduk dikursi meja makan yang kosong. Sambil menunggu Vano selesai masak, gadis itu memilih untuk makan buah apel yang ada diatas meja yang sudah dia cuci.
>>>>>>>>>>>>>>
Pagi pun datang, Chika bangun terlebih dahulu daripada suaminya. Mereka berdua memutuskan untuk satu kamar. Vano tidak mau pisah kamar dan ranjang dengan Chika. Walaupun masih sama-sama canggung, tapi nggak masalah.
Chika melirik kearah samping, di mana suaminya yang masih tertidur dengan memeluk dirinya.
Cup
Gadis itu mencium kening Vano lama.
Chika mengelus rambut Vano lembut. "Van, bangun, yuk." Chika membangunkan suaminya dengan nada lembut.
Tidak ada sahutan sama sekali. Vano yang masih terlelap dalam tidurnya membuat Chika kesal. Pria itu sangat sulit untuk di bangunkan setiap pagi. "Vano bangun." Lagi, gadis itu membangunkan suaminya.
"Dasar kebo. Susah banget sih disuruh bangun, mimpi apa kamu sampe nggak mau bangun gini?" kesal Chika.
Gadis itu memukul pelan lengan suaminya.
"Mimpi dicium bidadari," ucap Vano dengan mata yang masih terpejam.
Perlahan matanya terbuka dan menatap Chika yang sudah kesal dengan dia. Vano merubah posisinya, pria itu menaikan sebelah alisnya. "Kenapa hm?"
"Kamu susah dibangunin. Udah jam setengah 7 tau," ucap Chika.
"Terus kenapa kalo udah setengah 7?" tanya Vano yang semakin membuat sang istri kesal.
Chika mencubit lengan Vano kuat. "KENAPA? KAMU NGGAK KE KANTOR? KEMARIN KAMU SENDIRI YANG BILANG MAU KE KANTOR, KAN?!" pekik Chika.
Vano meringis pelan. Suara dan cubitan istrinya sangat pedas banget, dia baru tau kalo sisi buruk istrinya adalah galak.
"Iya sayang. Ini mau ke kantor kok," kata Vano gelisah karna tatapan maut dari sang Istri.
Tanpa mengucapkan apa-apa lagi, Vano bangkit dari ranjangnya dan berlari menuju kamar mandi. Tatapan maut istrinya membuat nyali Vano menciut. Dia tak sangka, jika Chika sangat galak. Padahal kalo orang liat termasuk dirinya, Chika sangat lemah lembut.
Chika menggelengkan kepalanya. Dia membereskan tempat tidurnya yang dia dan Vano gunakan untuk tidur.
Setelah merapihkan kasur, Chika lanjut menyiapkan pakaian Vano untuk ke kantor. Sudah pasti pria itu memakai tuxedo. Apalagi, katanya dia ada rapat nanti jam 8 sampai jam makan siang.
Berapa menit kemudian Vano keluar dari dalam kamar mandi dengan handuk yang di lilitkan di pinggang. Ketika Vano keluar dia tidak melihat keberadaan istrinya, tapi ia melihat pakaian kantornya yang sudah di siapkan oleh Chika.
Jika biasanya dia menyiapkan sendiri, sekarang beda. Pagi ada yang bangunin, siapin pakaian kantornya dan disiapin sarapan oleh Chika. Vano merasa beda saja, dia senang? Mungkin. Karna selama ini dia melakukan apapun sendiri, walaupun Vano punya banyak pekerja.
Tak mau berlama-lama lagi, Vano mengambil pakaian kantornya lalu segera bersiap.
Di dapur Chika tengah membuatkan sarapan. Gadis itu akan membuat sarapan untuk dirinya dan juga Vano pastinya.
Sebuah tangan melingkar diperut Chika. "Masak apa?" bisik Vano lembut.
Chika tersenyum. "Sandwich kesukaan kamu. Aku tau kalo kamu lebih suka sarapan sama sandwich daripada sarapan nasi goreng."
Mendengar hal itu membuat Vano semakin mengeratkan pelukannya. "Tau aja sih."
"Tau dong, kan itu tugas aku sebagai istri."
Vano tertegun dengan ucapan Chika. Dia melepaskan pelukan. "Chik, harusnya lo nggak perlu capek-capek lakuin ini. Kita bisa pake maid, kan?" ujar Vano.
Chika melirik kearah suaminya. "Gapapa." Gadis itu menampilkan senyuman manis.
"Yaudah. By the way, nanti gue pulang telat, lo makan malam jangan nungguin ya?" kata Vano.
"Oke, tapi jangan lupa makan," ujar Chika.
Vano berdeham pelan saja. Dan tak lama kemudian sandwich buatan Chika pun jadi, dia memberikan Vano sandwich tersebut. Keduanya menjadi hening, mereka fokus dengan makanan masing-masing. Vano dan Chika tipe orang yang kalo makan tidak mau bicara, karna itu di anggap tidak sopan banget.
Setelah sarapan mereka kembali ke kamar. Chika memakaikan jas Vano, tidak lupa dia mengancingkan jas tersebut agar tampak rapih nantinya. Chika melirik kearah Vano yang sejak tadi memperhatikan dirinya terus.
"Kenapa kamu natap aku kayak gitu?" tanya Chika heran.
Cup
Vano mencium sekilas bibir Chika. "Gapapa, cuman mau kasih morning kiss buat lo," jawab Vano.
Chika berjinjit agar bisa menyamakan tinggi dia dengan Vano. Ia mencium suaminya sekilas. "Semangat kerjanya, jangan lupa makan siang ya. Terus jangan genit sama sekertaris kamu dikantor, awas aja kalo genit, aku nggak izinin kamu tidur dikamar," kata Chika kepada suaminya.
Sedangkan Vano terkekeh pelan karna perkataan istrinya. "Lo lupa ya? Sekertaris gue aja laki-laki." Chika menepuk jidatnya, dia lupa jika sekertaris suaminya itu laki-laki dan bukan perempuan.
"Hehehe lupa." Vano menggelengkan kepalanya.
Dengan gemas Vano memeluk tubuh Chika erat. Ia mencium aroma rambut istrinya yang sangat wangi, dia suka dengan Chika yang wangi seperti ini. Benar-benar membuat dia nyaman dan betah banget, apalagi Vano juga tipe orang yang bersih dan tidak suka hal yang jorok.
Chika melepaskan pelukan suaminya. "Udah sana berangkat ke kantor, nanti telat loh kamu," ucap Chika.
"Entar, meeting diubah. Jadi, gue bisa lebih lama di sini. Lagian siapa juga yang mau marah kalo gue telat? Gue bos mereka dikantor," ujar Vano santai.
Chika mencubit perut suaminya. "Ya, walaupun kamu bos mereka tapi harus kasih contoh yang baik dong. Datang nggak boleh telat, harus tepat waktu ke kantor. Gimana mereka mau contoh yang baik kalo bosnya aja modelan kayak kamu," ketus Chika.
"Lo bawel banget jadi cewe." Vano menatap Chika datar, mungkin dia belum terbiasa dengan ocehan gadis itu di pagi hari untuk dirinya. Karna memang biasanya tidak ada yang berani marah jika dia telat.
Sang istri mencibirkan bibirnya. Chika menatap Vano tak kalah datar, ia tidak suka dengan sikap pria itu yang seenaknya. "Terserah kamu deh." Chika pasrah, dia tidak mau berdebat dengan suaminya di pagi hari.
Gadis itu memilih untuk duduk ditepi ranjang dan meninggalkan suaminya. Vano menatap Chika yang mendadak menjadi diam, dia mendekati gadis itu. "Maaf, jangan marah."
"Nggak marah."
"Bohong."
Vano mengangkat dagu Chika lalu mencium bibir gadis itu lama. Keduanya memejamkan mata mereka, Chika mengalungkan tangan dia dileher suaminya lalu dia bangkit dari duduknya. Vano memegang pinggang ramping istrinya itu.
Keduanya hanyut dalam ciuman yang keempat kalinya di pagi ini. Bohong kalo Vano tidak suka dengan ini, dia laki-laki normal. Apalagi dia melakukan ini bersama istrinya, melakukan hal lebih? Belum ada dilintas Vano serta Chika untuk melakukan itu yang sering dilakukan pasangan suami-istri.
Pasokan udara yang hampir habis keduanya melepaskan ciuman. Vano mengelap sudut bibir istrinya. "Maaf untuk hal tadi, gue tau yang lo omongin emang bener. Gue cuman belum terbiasa aja," ucap Vano lembut.
"Iya, aku juga minta maaf kalo udah bawel."
Vano hanya mengangguk pelan saja. Dia suka-suka aja jika istrinya bawel, lagian kalo bawel artinya sayang bukan? Daripada Chika acuh dan cuek, mending dia bawel.
>>>>>>>>>>>>>>>
Waktu menunjukan pukul 12 siang, Vano yang baru saja selesai rapat dengan para karyawannya. Pria itu kembali ke dalam ruangan untuk mengecek beberapa berkas lagi sebelum dia makan siang, bagaimanapun dia tidak akan lupa dengan ucapan Chika untuk makan siang nanti.
Ketika Vano masuk ke dalam ruangannya ternyata ada Letnan. "Loh, Letnan."
Pria paruh baya itu melirik kearah Vano. "Sudah selesai rapatnya?"
"Sudah, kapan sampai? Lama ya nunggunya," tanya Vano kepada pria itu.
"Ah, tidak."
James Narendra a.k.a Letnan. Dia adalah kembaran dari Jack yang di mana mereka hanya beda 10 menit. James yang termasuk Paman Vano, dia dan Jack sangat menyayangi anak itu dari dulu hingga dia sudah beranjak dewasa menjadi laki-laki yang bijaksana, mandiri, dan berwibawa.
Pria itu menepuk pundak Vano. "Maaf, sampai sekarang Letnan belum menemukan keberadaan keluarga istrimu. Kalo menurut Letnan, sepertinya mereka pindah ke luar negri. Karna kalo emang masih dalam negara Inggris pasti cepat ditemukan."
Mendengar hal itu membuat Vano terdiam. "Apa mungkin mereka ke Indonesia?"
"Bisa saja. Apalagi istrimu kuliah di sana," kata Letnan kepada Vano.
"Aku boleh minta tolong lagi?" ucap Vano.
James mengangguk. "Tentu."
"Kerahkan semua anggota team B untuk cari keluarga Chika di Indonesia. Kalo perlu mereka telusuri semua kota dan provinsi untuk mencari keberadaan keluarga Chika," ujar Vano.
"Baiklah, Letnan akan kerahkan semua team B untuk mencari keberadaan keluarga istrimu." Vano tersenyum tipis.
"Terimakasih Paman." James hanya mengangguk pelan lalu menelpon kembaran dia yang ada Indonesia untuk memberikan informasi kepadanya.
Vano kembali ke tempat duduknya. Dia mengecek semua data perusahaan yang harus di cek. Mungkin hanya sedikit saja, karna pria itu harus makan siang. Jika tidak, maka Chika akan kembali mengoceh nanti.
Setelah memberikan informasi kepada kembarannya, James duduk dihadapan Vano yang seperti sangat sibuk. "Bagaimana rumah tanggamu dengan Chika? Baik-baik saja?" tanya pria itu.
"Baik, memang kenapa?" Vano kembali bertanya kepada Pamannya.
"Hanya bertanya. Paman jadi nggak sabar akan ada Vano junior diantara kalian, dan pastinya ada penerus keluarga Narendra juga," kata James.
Mendengar hal itu membuat Vano berhenti mengetik. "Aku belum melakukan itu dengan Chika, jadi mungkin jangan terlalu berharap banyak kalo kami akan punya anak dalam waktu dekat," ceketuk Vano yang berkata jujur.
Dia memang belum menyentuh Chika. Hanya sebatas kiss, no having ***. Vano masih bingung, apa dia perlu menyentuh istrinya sekarang juga? Dan apa Chika mau punya anak diusia dia yang masih 21 tahun?
"Why? kalian belum siap? Atau jangan-jangan kamu hanya menikahi Chika sebatas kontrak? Vano, pernikahan bukan permainan. Kalo kamu hanya mau melindungi dia dari Arthur tidak perlu menikahi dia," ujar James.
Vano menghela nafas panjang. "Bukan itu, aku belum berani menyentuh dia sampai kesitu. Chika juga belum siap pastinya, aku nggak mau maksa dia," ucap Vano.
"Tapi mau sampai kapan? Paman tidak yakin kalo kamu bisa menahan hasrat kamu, kamu laki-laki normal bukan? Kalo kamu tidak tergoda dengan istrimu sendiri, maka kamu tidak normal," sarkas James.
Vano mendelik sinis. Kalo dia tidak normal tidak akan mungkin mencium Chika terus menerus, apalagi dia sampe mau menikahi Chika.
"Paman!!! Vano masih normal, ayolah. Aku nggak harus punya anak sekarang, kami juga masih muda, lagian kalo punya anak sekarang waktu aku dan Chika untuk berduaan pasti nggak akan bisa," ujar Vano.
James menaikan sebelah alisnya. "Masa? bilang saja kamu tidak tau cara melakukan hal itu kepada Chika."
"Vano tau, cuman belum waktu yang pas aja buat melakukan hubungan intim dengan Chika, jika kami mau nanti malam juga bisa," ucap Vano.
James mencibir kesal. "Ayolah, Pamanmu ini ingin menggendong anak dari kamu dan Chika. Kalian juga masih bisa berduaan nantinya, biar Paman nanti yang jagain anak kalian berdua," ucap James terus mendesak ponakannya agar cepat punya anak.
"Kenapa tidak paman saja yang punya anak? Lagian paman sudah tua, kenapa nggak nikah? Vano saja udah nikah tuh," ejeknya.
"Yeuhh malah ngejek. Lagian ya, Paman tuh nggak minat buat menikah, melihat kamu bahagia sudah cukup buat paman." James tersenyum, baginya melihat Vano bahagia, dia juga akan bahagia.
Sedangkan Vano sudah tidak tau respon seperti apa, bingung. Sebenarnya, dulu juga dia berpikir tidak mau menikah karna tidak mau meninggalkan kedua pamannya yang sudah merawat dia dari umur 10 tahun ketika kedua orang tuanya meninggal.
Diluar ruangan Chika tak sengaja mendengar percakapan mereka. Ada rasa bersalah dalam benaknya karna belum memberikan haknya kepada Vano, dia sebenarnya mau punya anak, namun dia takut melahirkan. Rasanya pasti sakit banget.
Chika menghela napas panjang, gadis itu datang kesini karna membawakan makan siang untuk suaminya. Dia mengetuk pintu ruangan, dari dalam suara Vano menyuruh masuk dengan suara dingin.
Ketika Chika masuk membuat Vano bingung. "Ada apa? tumben kesini," tanya pria itu.
Chika menghampiri mereka. "Aku bawain makan siang buat kamu. Jangan lupa dimakan ya, kalo gitu aku pamit. Aku harus ke toko buku dulu buat ngerjain tugas kampus," kata Chika.
Vano menahan tangan istrinya, dia bangkit dari duduknya lalu mencium Chika dihadapan pamannya. Bola mata James melotot, bisa-bisanya Vano berciuman dihadapannya.
"Dasar bocah baru kenal cinta," ketus James yang berasa jadi nyamuk diantara keduanya.
Ekhmm, James berdeham kencang.
Keduanya tersadar masih ada James di sini, Chika menunduk malu. Suaminya memang tidak tau tempat, ia mencubit perur Vano. "Kamu tuh kalo mau cium jangan di sini!!!" bisik Chika.
Vano menggaruk tekuk lehernya. "Maaf, aku kelupaan kalo masih ada Letnan diantara kita hahaha," kata Vano.
"Yaudah, aku pulang dulu. Letnan, Chika pulang dulu ya, permisi...." Chika pun keluar dari ruangan suaminya dengan cepat, dia masih malu mengingat hal tadi.
Letnan menatap datar keponakannya. Untung saja dia sayang dengan Vano, jika tidak sudah ia buang karna ciuman dihadapannya. Sungguh tidak sopan. Tidak tau apa? Kalo dia punya paman yang jomblo.
Vano hanya menunjukkan senyuman tanpa dosa. Dia tau sekarang pamannya sedang mengambek kepada dirinya, cuman mau bagaimana lagi? Siapa suruh masih di sini. Sudah tau kalo Vano dan Chika akan ciuman, ya walaupun sebentar doang.
......•••••••••••••••••••......
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 45 Episodes
Comments
Na Jaemin Gff
ngeri
2022-06-07
1