Episode 4. Sahabat pendorong semangat

Walaupun Lia menjadi asisten bos, dia tidak meninggalkan kebiasaan berkumpul dengan teman di ruang lobi, mereka ngobrol menjelang pulang.

Suasana di ruang lobi perusahaan ramai ketika para sales girl melakukan absensi digital dan persiapan akan pulang biasanya mereka berkumpul lebih dahulu.

“Hai, Lia, aku telah menyelesaikan  pekerjaanmu, " lapor Shinta.

“Mengapa kamu dipanggil pimpinan?” tanya salah satu teman penjual

“Promosi jabatan, ya? sela salah satu teman penjual yang lain lagi.

“Hem..." Dia memberi jawaban dengan senyuman tipis di bibir yang melankolis.

“Waow...senyuman yang memabukkan.Cepat jawab pertanyaan kami, " kata salah satu sales girl yang ingin tahu dia tinggi."

“Pertanyaan siapa yang kujawab lebih dahulu? Kalian nanti akan tahu sendiri pada waktunya.”

“Ah, sombong. Jangan buat kami penasaran, " kelakar yang lain.

“Ha...ha...ha, " serentak semuanya tertawa.

“Kalau jadi pimpinan nanti jangan sia siakan kami, tolong kami, " salah satu teman bergaya merintih. Walaupun dia berkelakar tetapi kata kata itu mengingatkan Lia pada saat dia merintih dan meratapi penderitaan.

“Tidaklah. Aku orang susah. Kalian adalah sahabat penyemangat aku dan tanpa kalian aku bukan apa apa dan bukan siapa siapa." Semuanya diam.

“Nah,...sudah layak kamu jadi pemimpin, buktinya perkataanmu membuat kami diam terpesona, " Ika membuka suara. Mereka tertawa lagi. Kemudian satu per satu mereka pulang, tinggal Shinta dan Ika yang ada.

“Ayo, kita ke kantin. Ada sesuatu yang indah buat kalian."

“Baik, ayo, " kata Ika.

Di kantin Lia menceritakan semua yang dialami bersama nyonya Ana kepada mereka.

“Selamat."

“Terima kasih, Ika."

“Aku ikut berbahagia”, ucap Shinta.

“Ya. Berkat dorongan semangat kalian sejak dahulu sampai sekarang, kalian mendampingi."

“Kita tiga serangkai, bukan?”

“Maaf ya, saudara, aku duluan, ojek sudah menunggu, " mereka bertiga berpelukan,

kemudian lia pergi sambil melambaikan tangan.

Setelah Lia berlalu, Shinta dan Ika masih di tempat menunggu waktu bertemu dengan klien

di luar jam kerja.

“Syukurlah kalau Lia mendapat promosi jabatan.” Ucap Shinta tulus.

“Lho, mengapa kamu tidak bersama Lia?"

“Aku ada janji dengan dr. Sarah.”

“Aku juga akan kunjungan ke Salon Florentia. "Kalau dugaan kita benar, dan dia menduduki posisi di atas Ratih, nanti kasihan dia."

“Iya juga ya,.saya memikirkan hal yang sama dengan pemikiran kamu."

“Ya. Kita lihat saja nanti, karena sejak pertama yang kutangkap kesan Ratih terhadap dia. Ada kebencian yang terpendam.”

“Tetapi saya yakin, dia mampu mengatasi, karena dia yang saya kenal, adalah gadis yang telah mengenyam pahit getir kehidupan baik oleh karena keadaannya sendiri juga keadaan orang tuanya. Pembelajaran hidup dia petik dari pengalaman hidup. "

“Ada apa dengan orang tuanya? Yang aku tahu, ibunya sudah meninggal dunia.”

“Ya. Sepeninggal ibunya, ayahnya sakit.  Dia bekerja keras dan hasilnya untuk biaya hidup dan pengobatan."

“Hebat dia, aku kagum. Penampilan yang selalu ceria seolah olah hidup tanpa beban.”

“Ya. Tertawa dalam tangis dan dia melakukan itu tidak semudah membalikkan telapak tangan, melalui penderitaan dan perjuangan panjang."

“Untung, ada kamu. Dia mendapatkan teman sebagai sahabat yang tepat."

“Ada kamu juga. Saya pikir bukan keberuntungan atau kebetulan. Tapi berkat atau

berkah bagi Lia."

“Mengapa?”

“Kalau kamu dengan pujian, dan aku hanya dengan kata kata membujuk dan memberi semangat hidup."

“Nah, itulah kekuatan kata kata, seperti pekerjaan kita dengan kata kata, mereka mau memakai produk CBM”

“Ya.Tapi kita menunjukkan barang dan kita memberikan harapan akan hasil, lebih gampang. Kalau dia, kita mengubah  pola pikir dan persepsi, melibatkan perasaan dan harapan di dalam bayangan atau angan angan."

“Kamu hebat. Nyatanya berhasil."

“Ah, belum, garis akhir masih di depan. Ini pun didukung oleh hobby dia yang suka membaca karya bijak dan kisah orang orang cacat. Tapi Aku heran dengan diriku sendiri. Setiap saat dia ada masalah walaupun tidak cerita tetapi perasaan ku peka sekali terhadap dia."

“Mungkin karena kamu bergaul sejak kecil dan setiap hari kamu bersama, sehingga terbiasa dengan sikapnya."

“Mungkin kamu benar. Selain itu, kata kata yang keluar dari mulutku itu mengalir sendiri

mengarah pada pembentukan karakter dan tidak aku pikir sebelumnya.”

“Kamu saja heran, apa lagi aku yang mendengarkan, sudah mari kita berangkat menemui klien kita." Mereka tertawa dan meninggalkan tempat itu.

Pergaulan merupakan salah satu faktor yang dominan dalam pembentukan karakter seseorang. tidak biasa menjadi kebiasaan karena dipengaruhi oleh pergaulan. Pergaulan mereka bertiga berperan serta dalam pembentukan karakter Lia untuk mengubah takdir.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!