Aima berpikir keras, apakah dia mengenal ketiga tamu tersebut. Namun tetap saja dia merasa memang tidak mengenal mereka.
Mengerti dengan tatapan anaknya, bu Ineke sang Ibu menghampiri Aima dan mengelus lengannya.
“Sayang, kenalin.. Ini pak Malik dan ini istrinya bu Nana, dan itu Arif anaknya, teman adik kamu..” ucap Ibunya menjelaskan.
Aima menatap setiap siapa yang di kenalkan oleh sang mama kemudian kembali menatap sang mama.
"Mereka kesini mau menjenguk adik kamu." Bohong sang mama dengan nada pelan.
Aima menganggukan kepala mengerti kemudian menatap ketiganya dengan senyum.
" Maaf karena saya tidak tau" Ucap Aima sungkan karena merasa tidak enak hati.
" Iya tidak apa apa.." Jawab Bu Nana. Sedangkan pak Malik hanya tersenyum mengangguk.
Berbeda dengan Arif. Dirinya sibuk dengan pikirannya sendiri yang entah apa.
“Ma, aku ke Aini dulu ya..?” Ucap Aima kemudian.
Tanpa menunggu jawaban dari sang Ibu, Aima langsung berjalan menghampiri adiknya yang terbaring di ranjang pasien, tengah terlelap.
Sejak dari mereka datang, Aini tertidur akibat efek dari obat.
“De, apa kabar..? Ini kakak..” Sapa Aima mencium pipi sang adik penuh sayang.
Sejak dari usia mereka masih kecil, Aima memang sangat menyayangi Aini. Begitupun sebaliknya.
Hanya saja mereka jarang untuk bersama sejak usia mereka mulai remaja.
Mendapati adiknya yang tidak merespon, Aima mengecup pipi Aini berkali-kali.
"Aima, adiknya jangan di ganggu dulu. Biarkan dia istirahat dulu.." Tegur kakek Anugrah dari tempatnya duduk.
Sementara yang lain sedang asik bercengkrama satu sama lain.
Aima bukannya kasihan melihat sang adik di pembaringan rumah sakit. Justru dirinya mengusili Aini.
Aini yang rupanya sudah bangun sejak tadi, namun karena masih merasa lemas, dirinya terpaksa memilih diam di pembaringan.
“Kebiasaan deehh ahh..” Ucap Aini cemberut menatap sang kakak yang sedang tersenyum mengelus pipinya.
Aini memejamkan matanya kembali tanpa menghiraukan Aiman yang duduk di sisi tempat tidurnya itu.
Padahal sejak tadi dirinya menunggu kedatangan sang kakak tersayangnya itu.
"Mereka memang selalu seperti itu. " Ucap pak Samsul mendapati Arif yang diam memperhatikan keduannya.
Arif mengangguk menatap pak Samsul mengerti.
“ Gimana keadaan mu Dek..? Mana yang sakit biar kakak ilangin rasa sakitnya. Biar kakak buang jauh jauh..” Tanya Aima tersenyum memandangi wajah adik kesayangannya.
Dengan terus mengusap lembut wajah adiknya, Aima selalu memperlakukan Aini seperti anak kacil yang masih balita.
Meski keduanya tinggal terpisah sejak Aini masih kecil, namun keduanya selalu punya cara unik setiap bertemu.
“Gak ada kak.." Ucap Aini membuka matanya menatap kakanya yang sejak tadi tak henti membelai wajahnya yang puca
"Kak. Kakak makin cantik aja..” puji Aini setelah memperhatikan wajah sang kakak sesaat.
"Ada maunya kalau sudah muji begitu" Ucap Aima dengan menyipitkan mata menggoda.
Aini tergelak melihat ekspresi Aima yang terlihat lucu di matanya. Hal seperti inilah yang selalu dia rindukan dari sang kakak.
Canda, tawa, keusilan, kasih sayang, selalu dia rindukan setiap waktu. Hanya saja selalu dia pendam karena tak ingin mengganggu kesibukan kakak nya.
“Cucu kakek satu ini juga makin cantik aja.. Iyakan nek..?” ucap kakeknya menyela obrolan kedua cucunya setelah ikut berdiri di samping Aima.
Keseruan keduanya membuat kakek Anugerah ikut bergabung, tidak ingin melewatkan moment itu.
Sedangkan sang nenek yang ikut bergabung, hanya tersenyum mengusap puncak kepala Aini penuh sayang.
Sesekali Rani sang nenek mencium kening Aini.
Jauh di lubuk hatinya, ada tangis yang tersimpan. Betapa sakit hati sang nenek mengetahui cucu tercintanya sedang menderita penyakit yang mematikan itu.
Nenek Rani berharap dalam doa, semoga cucunya itu bisa lebih lama lagi berada di tengah-tengah mereka.
Meski raut wajah sang nenek terlihat sedang tersenyum, namun Aini tahu neneknya sedang bersedih.
Aini berusaha tersenyum di depan mereka untuk menyamarkan ke khawatiran karena sakit yang di deritanya.
Namun semenit kemudian, rasa sakit mulai menyerang tubuhnya lagi. Aini perlahan mulai memejamkan matanya. Genggaman tangannya dengan sang kakak pun perlahan mulai melemah.
Mendapati itu, Aima mulai panik di ikuti kepanikan yang lainnya. Arif yang sejak tadi hanya diam menyaksikan interaksi mereka, langsung berlari memanggil dokter dan para medis.
Dengan perasaan frustasi, Arif beberapa kali mengusap wajahnya dengan kasar. Rasa takut mulai menyelimuti perasaannya.
"Ya Allah, selamatkan Aini.. Cabutlah rasa sakit di tubuhnya ya Allah, aku mohon.." Arif terus bermunajat dalam kegelisahannya.
Tanpa lelah, Arif terus mondar mandir menunggu dokter dan para medis lainnya selesai menangani Aini di dalam ruangan.
Sementara yang lainnya termasuk kakak dan orang tua Aini yang juga berada di luar ruangan yang sama, juga terlihat saling menguatkan dan terus berdoa dan berharap semua baik-baik saja.
Sudah hampir 20 menit berlalu, belum juga ada tanda tanda pintu akan di buka.
Membua Arif semakin di landa frustasi.
Sejam berlalu, akhirnya dokter dan tim medis lainya muncul dari balik pintu.
Serentak semua mata tertuju di satu titik yang sama. Dan bergegas menghampiri dokter Marcel yang menangani Aini.
“Alhamdulillah pasien sudah siuman. Kami sudah memberikan penanganan pada pasien. Tapi karena pasien masih dalam kondisi lemah, kami belum bisa menyarankan untuk melakukan kemoterapi.
Kita tunggu dulu hingga besok pagi. Jika pasien sudah kembali stabil, kami akan melakukan pemeriksaan lebih lanjut agar bisa memutuskan melakukan tindakan medis pada pasien.” Jelas Dokter panjang lebar.
Aima langsung memeluk nenek Rani dan menangis di pelukan sang nenek. Sedangkan pak Samsul berusaha terlihat tegar agar bisa menguatkan sang istri.
“Baik Dok, terima kasih banyak..” ucap pak Samsul sopan.
“Apa kami sudah boleh masuk Dok..?” tanya Arif yang membuat mata Aima menyipit tidak suka.
“Iya silakan, tapi pasiennya jangan di ajak ngobrol dulu.. Biarkan dia istrahat.." Pesan dokter Marcel, dokter spesialis onkologi itu dengan santun.
"Iya dok.." Ucap Arif mengangguk mengerti.
“Dan jika ada apa-apa, segera tekan Nurse cell, tombol yang berada di bagian sudut kanan, biar perawat bisa segera sampai di ruangan..” Lanjut dokter Marcel lagi mengingatkan.
Sebab kelakuan Arif tadi sungguh sangat mengejutkan siapapun yang berada disana.
"Iya dok.. Terima kasih banyak.." Ucap pak Samsul menanggapi.
"Baiklah, saya permisi dulu, mari.." Ucap dokter Marcel berlalu pergi.
Di ruang perawatan, Aini meminta suster membantunya untuk duduk bersandar.
Setelah suster menyetel bad pasien untuj Aini, Aini meminta suster mengambilkan buku yang ada di nakas tak jauh dari tempat dia berbaring.
Sebuah buku diary yang selama ini menjadi teman setianya.
“Terima Kasih Sus” tuturnya tulus dengan senyum manisnya yang di angguki Suster tersebut.
“Loh adek, ko bangun..?” panik Aima di ambang pintu dan segera berlari berhambur memeluk adik kesayanganya.
“Pusing gak..? Mana yang sakit..?” tanyanya lagi dengan panik.
Aini tersenyum menanggapi kekhawatiran kakaknya itu. Sementara kedua orang tua dan kakek neneknya juga tak kalah khawatir dengan meminta dia untuk segera rebahan.
Sementara Arif hanya diam terpaku di sudut ruangan menatap nanar pujaan hatinya.
Sesekali Arif menundukan kepalanya. Perasaannya saat ini sulit untuk di definiskan.
“Rif, kamu masih disini..?” Tanya Aini tiba-tiba ketika matanya tak sengaja menangkap bayangan Arif berdiri di sudut ruangan.
Semua yang berada di ruangan itu menoleh mengikuti arah mata Aini memandang.
“Iya sayang, aku masih disini..” jawab Arif berusaha tersenyum di balik kesedihannya.
“Sayang..? Maksudnya..?” tanya Aima meminta penjelasan pada sang adik dengan terus memandangi Arif dan Aini secara bergantian.
Bukan hanya Aini, Arif pun mendadak kaku saat mendapati pertanyaan itu. Arif merutuki dirinya yang tidak bisa mengontrol mulutnya karena terbawa perasaan.
Seolah kompak, keduanya sungguh tidak memiliki stock kata untuk meluruskan ucapan Arif yang membuat semuanya menjadi canggung.
“Begini nak..”
“Pa.. Biar Aini yang jelasin..” cegah Aini memotong ucapan pak Samsul.
Sang ayah pun mengangguk paham.
“Aini mau bicara sama kakak berdua..” pintanya lagi.
"Tapi nak, kamu kan harus istrahat.. Kondisi kamu masih sangat lemah.." Cegah sang Ibu karena khawatir.
"Aini mohon ma.." Pinta Aini lesu.
"Nanti saja ya sayang? Benar kata mama, kamu istrahat dulu." Ucap Aima menimpali.
"Aini gak kenapa napa kak. Aini mau sekarang." Tegas Aini tak mau tahu.
Semua yang ada di ruangan itu, termasuk Arif akhirnya mencalah dengan keinginan Aini, Mereka pun keluar meninggalkan kakak beradik itu untuk memberi mereka ruang.
"Pa.. Kenapa papa tidak bsrusaha mencegah..? Mama tau perasaan Aini selama ini.. Mama tidak ingin Aini mengubur semua inginnya pa.. Mama ingin dia bahagia.." Liri bu Ineke setelah mereka duduk di kursi depan ruangan Aini.
Pak Samsul tertunduk lesu di depan ruangan Aini. Dia tidak tahu harus berbuat apa. Di lain sisi dia menyetujui ucapan istrinya.
Di sisi lainnya juga dia ingin mengabulkan permintaan anaknya. Bagaikan makan buah simalakama memang. Pak Samsul hanya bisa berharap yang terbaik untuk kedua anaknya.
Sementara itu, Arif dan kedua orang tuanya mulai merasa canggung berada di antara mereka.
Rentetan kejadian demi kejadian, membuat mereka tak rahu harus apa.
Ingin pamit, tapi tak enak hati karena kondisi Aini yang seperti itu.
Ingin bertahan tetap berada disana, merasa tak canggung karena mereka bukanlah anggota keluarga. Bahkan ini adalah pertemuan mereka pertama kalinya.
Terlihat pak Malik mulai merasa tak nyaman dengan kondisi yang ada. Dan gal itu terlihat jelas di mata Arif.
"Pa, ma, Kalau papa sama mama mau pulang, pulang aja.. Aku masih mu disini dulu sebentar.." Ucap Arif yang tak tega melihat kedua orang tuanya.
...**BERSAMBUNG.....
**
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 65 Episodes
Comments