"Apa benar kamu yang namanya Teungku Arif..?" Tanya bu Ineke memastikan.
Arif kaget mendengar bu Ineke menyebut namanya dengan lengkap.
Apakah Aini menceritakan perihal kedekatan mereka pada Ibunya..? Demikian yang muncul di benak Arif.
"Iya nyonya saya.." Jawab Arif membungkukkan badannya tanda hormat.
Bu Ineke kembali menatap Arif dengan penuh selidik. Seolah sedang meneliti sesuatu sebelum memutuskan suatu hal.
Bu Ineke menghampiri meja di samping Aini terbaring sakit. Membuka laci nakkas dan mengambil sesuatu disana.
Bu Ineke mengulurkan buku Diary milik Aini itu pada Arif.
"Ini.. Ini buku catatan Aini yang gak sengaja papanya temukan di bawah bantal di kamarnya.. Disini ada nama kamu.." Jelas bu Ineke.
Meski tak pantas memberikan buku itu pada orang lain tanpa sepengetahuan Aini, namun bagi bu Ineke Arif harus tahu tentang perasaan putrinya pada lelaki yang bernama Arif.
Baginya, kebahagiaan Aini yang terpenting. Tak peduli apapun saat ini.
Dengan ragu Arif mengangkat tangannya menyambut buku catatan di tangan bu Ineke.
"Bacalah.. Setelahnya kamu akan tau kenapa saya memberikan buku itu pada kamu.." Ucap bu Ineke menatap buku yang kini berpindah di tangan Arif.
Arif pun menuruti perintah bu Ineke. Setelah membaca lembar demi lembar tulisan tangan Aini disana, betapa Arif ingin bisa mengulang waktu jauh kebelakang.
Andai dia tahu Aini menaruh hati kepadanya selama ini, maka dia pastikan selalu ada kapanpun ketika Aini membutuhkannya. Terlebih saat-saat seperti ini.
Ketidak kerelaan semakin memberontak di jiwanya. Dengan berurai air mata, tangannya mencoba meraih wajah Aini dan mengelusnya dengan lembut.
Dengan tangan gemetar, Arif menyalurkan perasaannya lewat sentuhan di wajah pujaan hatinya itu.
Sedangkan bu Ineke yang duduk di sofa dengan memainkan ponselnya, sengaja memberikan waktu pada Arif sambil mengawasi.
Sementara Arif sendiri seolah lupa akan kehadiran bu Ineke di ruangan itu.
Merasa terusik, Aini akhirnya membuka kedua matanya perlahan.
"Mama.." Suara serak Aini terdengar memanggil mamanya.
Bu Ineke yang mendengar anaknya memanggilnya, segera menghampiri penuh khawatir.
Arif berdiri dari tempat duduknya dan mundur selangka untuk memberikan ruang pada bu Ineke.
"Iya sayang ada apa..? Mau apa sayang..? Tanya sang Ibu lembut.
Setelah penglihatannya sudah jelas, Aini melihat sosok lelaki berdiri tepat di belakang sang Ibu.
"Arif..? Kamu disini..?" Lirih Aini.
Aini berusaha tersenyum menutupi rasa sakit yang ada dalam tubuhnya. Senyum yang selalu dia tunjukkan masih tak berubah.
Tetap manis meski wajahnya terlihat begitu pucat.
Aini beralih menatap ke arah sang Ibu.
"Ma, Aini boleh ngobrol berdua sama Arif..?" Lirih Aini meminta izin.
Bu Ineke menoleh ke arah Arif dan kembali menatap wajah sang anak. Ibunya tahu, Aini merindukan teman dekatnya itu.
"Iya udah mama keluar dulu ya..? Kalau ada apa apa, mama ada di depan, minta Arif panggilin mama.." Jawab sang Ibu penuh pengertian kemudian mencium pipi putrinya penuh sayang sebelum keluar.
Setelah bu Ineke keluar kamar rawat Aini, Arif pun mendekat ke ranjang Aini dan duduk kembali di kursi yang berada di sisi ranjangnya.
“Maafkan aku, ku mohon, tetaplah kuat.." Ucap Arif lembut.
Aini hanya tersenyum tanpa menjawab.
"Kenapa kamu gak pernah membalas pesan ku..? Kenapa kamu menghindari ku padahal kamu menyukaiku.." Tanya Arif greget.
Aini mengerutkan keningnya. Bingung? jelas! Dari mana Arif tahu akan perasaannya itu.
" Ini.. Aku sudah tau semuanya.. Tapi aku ingin mendengar langsung dari kamu Aini..?" Tanya Arif lirih.
Aini menatap buku catatannya yang di tunjukkan Arif. Terlihat Aini menarik napas dan menghembuskannya pelan.
" Maafkan aku.. Sekarang tanpa aku jawab, kamu tentu sudah tau jawabannya.." Tutur Aini pelan.
Arif menggeleng menatap Aini dengan tatapan sendu.
"Apa kamu mencintaimu..?"
Perasaannya yang di aduk aduk, membuatnya tak mampu menahan semuanya.
Aini tersenyum tanpa menjawab.
“ Menikahlah dengan ku Aini.. Anggap saat ini aku sedang melamar mu.. Aku ingin kita lewati semuanya bersama. Sungguh aku tulus..” Ujar Arif tanpa ragu.
Aini menatap Arif dengan intens. Kenapa Arif bisa memiliki pemikiran seperti itu tanpa memikirkan dampak dari ucapannya.
" Gak Rif, aku gak bisa.." Jawab Aini cepat.
" Karena kamu sakit..?" Tanya Arif memancing kejujuran Aini kenapa menolaknya.
Melihat diamnya Aini, Arif pun tidak peduli.
Arif beranjak dari duduknya menghampiri orang tua Aini untuk mengutarakan niat baiknya itu.
Arif tahu ini terlalu cepat. Bahkan Aini tidak siap akan hal itu. Namun bagi Arif, memberikan seluruh hidupnya di sisa umur Aini, adalah wajib baginya.
Di luar ruangan, tepat di depan pintu kamar rawat Aini, Arif memohon pada bu Ineke untuk memberinya restu.
Dia bahkan melupakan siapa dirinya dan siapa Aini. Melupakan sesuatu tentang perbedaan yang jauh bagai langit dan bumi.
Pak Samsul yang kebetulan baru saja tiba di depan kamar rawat Aini, melihat istrinya sedang bercengkrama dengan seorang anak muda, bergegas menghampiri keduanya.
Arif tak mau membuang buang waktu dan kesempatan. Hingga pembahasan pun semakin alot dan berakhir adu drama karena tekad Arif untuk mendapatkan restu keduanya.
***
“Anak ku, tak satupun kejadian di dunia ini yang luput dari kehendak-Nya. Jodoh, maut, semua sudah kehendak-Nya."
"Jika benar umur Aini tak banyak lagi di dunia ini, maka bahagiakan putriku. Buatlah dia terus tersenyum. Kami Ridho nak." Ucap pak Samsul pada akhirnya.
Pak Samsul melihat kesungguhan di mata Arif. Dan dari penglihatannya, Arif adalah anak yang tidak neko neko.
"Jangan ngomong begitu pa. Aini pasti akan sembuh. Dokter boleh memvonis apapun, tapi mama percaya Allah punya kuasa pa" Ucap bu Ineke tak terima.
Arif yang mendengar itu pun ikut menyangkal dalam hati. Dirinya tidak terima vonis dokter yang seolah mematahkan hatinya.
"Bahagiakan dia dan bersabarlah..” Ucap Ayah Aini sambil menepuk pundak Arif.
Arif mengangguk mantap tanpa ragu. Akhirnya dia bisa bernafas lega karena niatnya di sambut dengan baik pada akhirnya.
Setelah mendapat restu, Arif menghubungi kedua orang tuanya untuk menyusul kesana.
Arif menunggu kedatangan orang tuanya di lobi depan dengan antusias.
Sebelumnya orang tua Arif memang sudah mengetahui rencana anaknya yang melamar Aini dari semalam.
Sesekali dia menarik nafas dan menghembuskannya dengan pelan untuk sekedar menetralkan perasaannya. Ayah nya pun mengerti apa yang Arif rasakan.
“Bismillah, semangat nak..” ucap Ayahnya sambil menepuk pundak kiri Arif memberi semangat.
Dengan tangan gemetar Arif membuka handle pintu dan mendorongnya pelan. Maksud kedatangan orang tuanya tiada lain untuk lamaran kedua dan membahas kesepakatan bersama yang ikut melibatkan antara dia dan Aini.
“Assalamualaikum..” ucap Arif dan orang tuanya bersamaan.
“Waalaikumsalam, mari masuk..” jawab orang tua Aini dengan senyum sambil mempersilakan Arif dan orang tuanya masuk.
Perhatian Arif tertuju pada sosok pujaan hati yang tengah terlelap di ranjangnya. Cantik meski terlihat pucat.
"Apa aku boleh menemui Aini sebentar..? Tanya Arif ragu.
Pak Samsul Ayah Aini mengangguk memberi izin. Dengan langkah pelan Arif mendekat ke arah Aini.
“Sayang, apa kabar..? Lihatlah, Aku datang membawa keluargaku kesini.. Aku bermaksud untuk melamar kamu."
"Kamu mau kan jadi istriku..?” ucap Arif mencoba untuk tersenyum meski hatinya sedih melihat wajah pucat Aini.
Merasa tidurnya terusik, perlahan Aini membuka matanya. Semua perlakuan dan ucapan Arif tak luput dari penglihatan orang tua mereka.
Aini hanya diam menatap Arif. Aini menoleh ke arah Ayahnya yang sedang duduk di sofa.
Melihat tak hanya ada orang tuanya disana, Aini yakin bahwa Arif membawa orang tuanya untuk melanjutkan permintaannya waktu beberapa hari lalu.
"Pah.." Aini mengisyaratkan agar Ayahnya mendekat ke arahnya.
“Ada apa nak..?” tanya sang Ayah menghampiri.
“Pa, Aini ingin bicara sama papa dan mama sebentar boleh..? hanya bertiga pa..” ucap Aini pelan seperti sedang menahan rasa sakit.
Dengan cepat sang Ayah menganggukkan kepala dan memberi isyarat kepada Arif untuk memberi mereka ruang.
Arif yang paham, mengangguk dan mengajak orang tuanya keluar ruangan sebentar sampai mereka selesai.
***
“Pa, aku takut kalau Aini menolak lamaranku..” ucap Arif dengan lirih setelah mereka duduk di kursi depan kamar Aini.
“Aku takut dia mengira aku melamarnya karena kasihan dengan apa yang dia alami saat ini. Aku benar-benar mencintainya pa..” sambungnya lagi.
Mendengar itu, pak Malik Ayah Arif hanya bisa menguatkan dan memberi semangat dengan menepuk pundak anaknya.
Karena pak Malik pun bingung harus berkata apa. Terlebih pak Malik tahu anaknya tidak pantas menikahi anak dari pengusaha sukses dan kaya raya itu.
Sementara sang Ibu hanya bisa mengusap lengan anaknya turut merasakan kegundahan hati sang anak.
Tanpa menunggu lama, pintu kamar rawat Aini pun terbuka. Pak Samsul mempersilakan Arif dan orang tuanya kembali masuk ke dalam ruangan.
“Begini pak Malik, hari ini Aini belum ingin ada lamaran dulu. Dia masih mau menunggu kakaknya datang"
"Mereka sedang menuju kesini. Mungkin gak lama lagi kakaknya sampai..” kata pak Samsul tanpa basa basi.
Arif yang mendengar itu langsung menatap wajah pak Samsul dengan ekspresi bingung.
Jelas Arif bingung karena merasa tidak ada kaitannya dengan meminta dia dan orang tuanya keluar ruangan jika hanya membahas kedatangan kakaknya saja. Tentu ada hal lain yang mereka bahas.
Dan lebih bingung lagi kenapa harus menunggu kakaknya dulu baru Aini mau di lamar olehnya.
Melihat ekspresi bingung Arif, Ayah Aini akhirnya menjelaskan bahwa Aini ingin menjawabnya setelah kakak dan kakek neneknya tiba di rumah sakit.
Karena ini adalah menyangkut hal penting, maka harus pula melibatkan keluarga besar termasuk kakak satu-satunya yang sangat dia sayangi.
Terdengar sedikit masuk akal, sehingga Arif akhirnya mengangguk sebagai tanda mengerti.
“Assalamualaikum..” Tak berselang lama, yang di tunggu pun tiba.
Aima langsung menghampiri kedua orang tuanya dan mencium punggung tangan dengan takzim.
Begitu sebaliknya, pak Samsul dan Ibu Ineke melakukan hal yang sama kepada Mandala dan Rani Ibu dari pak Samsul, kakek nenek dari Aima dan Aini.
Sedangkan Arif dan kedua orang tuanya hanya tersenyum ikut menyambut kedatangan mereka sedikit merasa canggung berada di antara keluarga pengusaha kaya raya itu.
Melihat ada orang lain selain orang tuanya di ruangan tersebut, Aima menatap wajah Ayah Ibunya secara bergantian.
.
.
...**BERSAMBUNG.....
...MOHON DUKUNGANNYA TEMAN TEMAN.....
...TERIMA KASIH SEBELUMNYA.. 🙏🙏💖**...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 65 Episodes
Comments