Di rumah Duka.
Ayu tak hentinya menangis histeris saat dia mendengar kabar kalau Ridwan kecelakaan dan meninggal. Dia tidak percaya dan berharap kalau orang itu bukan suaminya. Namun dia harus tetap menerima kenyataan pahit itu. Jenazah suaminya sekarang berada tepat didepannya. Para tetangga datang melayat, membacakan do'a dan ucapan bela sungkawa.
Rasanya Ayu ingin sekali bertemu dengan orang yang sudah menabrak suaminya. Dia ingin memaki dan mengumpat orang yang menyebabkan suaminya meninggal dunia.
...
Jenazah Ridwan baru selesai dimakamkan. Ayu masih berada disana, saat orang-orang sudah pergi meninggalkan pemakaman. Ayu menatap batu nisan suaminya, rasanya dia masih tidak percaya suaminya telah pergi dari dunia ini, meninggalkan dirinya dan kedua anaknya yang masih sangat kecil, dan sangat butuh kasih sayangnya.
Ayu tidak bisa membayangkan hidup tanpa suaminya. Bagaimana bisa dia menghidupi diri dan anaknya tanpa suaminya. Itulah yang dipikirkan Ayu saat ini. Ayu mendoakan suaminya, sebelum akhirnya dia pulang.
Bada Ashar Ayu mengadakan tahlilan yang dihadiri kerabat dan juga tetangganya. Ayu merasa terharu karena ternyata banyak tetangganya yang datang mendoakan suaminya, baik saat ini atau saat menyolatkan dan mengantarkan Ridwan ke pemakaman.
Kurang lebih dua jam kemudian, atau bada maghrib. Ayu kedatangan tamu yang tidak dikenal. Dari penampilannya Ayu tahu mereka adalah orang kaya. Siapa mereka? Dan untuk apa mereka datang kerumahnya?. Tanya Ayu dalam hati.
"Perkenalkan nama saya Lubis, dan ini klien saya pak Damar dan bu Ambar." Ucap pengacara Damar kepada pak Tholib, orang tua Ayu.
"Maaf, bapak-bapak ini siapa ya?." Tanya pak Tholib.
"Saya....saya adalah orang yang sudah menabrak korban." Sahut Damar, membuat Ayu langsung menoleh ke arahnya dengan tatapan tajam dan benci. "Dan maksud kedatangan saya kemari, saya ingin bertanggung jawab." Jelas Damar
"Anda ingin bertanggung jawab?." Tanya Ayu sinis."Memangnya apa yang bisa anda lakukan?. Apa anda bisa mengembalikan nyawa suami saya?." Ucap ayu dengan suara bergetar dan tertahan. Bahkan air matanya sudah lebih dulu berjatuhan sejak tadi.
"Ayu!! Panggil pak Tholib."Maafkan anak saya pak."
"Kenapa bapak harus minta maaf?." Tanya Ayu pada bapaknya.
Damar dan Ambar mengerti perasaan Ayu saat ini. Dia pasti sangat terpukul karena kematian suaminya. Dia pasti marah pada Damar.
"Sebaiknya kamu masuk Yu, biar bapak dan bapak kamu yang bicara sama mereka." Titah pak Dede, mertua Ayu yang baru saja datang dari mesjid. Pak Dede dan pak Lubis sudah bertemu sebelumnya di kantor polisi.
"Tidak pak, saya mau tetap disini." Tolak Ayu.
Pak Lubis lalu mengatakan secara terperinci maksud kedatangan mereka kesana. Damar akan memberi sejumlah uang yang cukup besar pada Ayu, sebagai bentuk pertanggung jawabannya atas kecelakaan yang merenggut nyawa Ridwan.
Pak Dede dan pak Tholib sedikit tercengang mendengar nominal yang disebutkan pak Lubis. Tapi tidak dengan Ayu. Dia langsung menolak dan memotong ucapan pak Lubis yang belum selesai dengan kata-katanya.
"Tidak...saya tidak tertarik dengan uang anda. Anda pikir saya mau menukar nyawa suami saya dengan uang anda?. Tidak pak!! Berapa banyak pun uang anda, tidak akan membuat suami saya hidup kembali." Sarkas Ayu.
"Saya tahu itu saudari Ayu. Berapa pun banyaknya uang yang kami berikan, tidak akan bisa mengembalikan nyawa suami anda. Kami disini tidak bermaksud menukar nyawa suami anda. Kedatangan kami hanya ingin mempertanggung jawabkan apa yang sudah terjadi.
Tidak satu orang pun di dunia ini yang mau celaka, begitu juga dengan pak Damar. Dia juga tidak mau kejadian ini terjadi. Tapi siapa yang tahu rencana Tuhan. Bukankah jodoh, hidup dan mati seseorang sudah ditentukan oleh Tuhan?." Ujar pak Lubis.
"Saya juga tahu itu pak. Tapi saya tetap mau orang yang menabrak suami saya dipenjara." Sahut Ayu.
Tiba-tiba terdengar tangisan si kembar yang terbangun karena lapar. Ayu menggendong satu anaknya, sedang yang satunya digendong ibu mertuanya. Ayu ingat kalau susu si kembar sudah habis. Dia pamit pada ibu mertuanya ke mini market untuk membeli susu, ditemani adik iparnya.
"Maafkan sikap menantu saya pak. Mohon dimaklumi, dia masih sangat kehilangan dan terpukul dengan kejadian ini."
"Iya pak, tidak apa-apa. Kami mengerti."
"Saya dan istri saya selaku orang tua korban sudah menerima dan mengikhlaskan apa yang terjadi pada anak kami. Kami sadar sepenuhnya semua sudah takdir. Mungkin jalanya memang harus seperti ini. Tapi mungkin memang menantu saya belum bisa menerima." Ujar pak Dede.
"Iya pak, kami mengerti. Mungkin saya juga akan bersikap seperti itu, seandainya saya ada di posisi anak bapak. Sekali lagi saya dan suami saya memohon maaf dengan sangat atas kejadian ini. Suami saya benar-benar tidak sengaja dan sangat menyesali semuanya.
Saya mohon terima pemberian kami ini, walau mungkin jumlahnya tidak sebanding dengan rasa sakit atas kepergian almarhum. Dan kami tidak bermaksud dan menganggap ini sebagai pengganti nyawa almarhum. Jadi mohon diterima ya." Kali ini Ambar yang berbicara sembari menyerahkan amplop coklat berisi uang dengan nominal yang disebutkan pak Lubis.
Pak Tholib dan pak Dede menerima uang itu, tanpa sepengetahuan Ayu. Mereka tahu, Ayu memang sangat membutuhkan uang ini, untuk biaya hidupnya dan anak kembarnya.
....
Ayu sangat marah saat tahu bapak dan bapak mertuanya ternyata menerima uang pemberian Damar.
"Jangan salah paham Yu, kami sama sekali tidak bermaksud menjual nyawa suamimu. Sadarlah nak, semua ini sudah takdir, kamu harus bisa menerimanya."
"Ayu juga sadar semua sudah takdir, tapi dengan menerima uang itu, Ayu merasa sudah menjual nyawa bang Ridwan pak. Jangan mereka pikir setiap masalah bisa diselesaikan dengan uang. Pokoknya Ayu mau orang itu dipenjara."
"Tidak nak, itu tidak benar. Bapak dan mertua kamu tidak mungkin menjual nyawa suamimu. Semua yang terjadi sudah takdir, kamu harus ikhlas. Harusnya kamu bersyukur karena orang yang menabrak suami kamu itu mau bertanggung jawab.
Kalaupun kamu bersikeras mau memenjarakannya, kamu gak akan bisa. Mereka orang kaya, uang mereka banyak. Kalaupun orang itu dipenjara, dia bisa saja keluar dengan mudah, dan kamu akan semakin dirugikan karena kalau dia dipenjara, dia pasti gak akan memberikan uang ini sama kamu."
"Oh jadi bapak lebih mementingkan uang daripada perasaan Ayu?."
"Bukan begitu. Tapi bapak lebih berpikir realistis. Kamu jangan lupa saat ini kita memang sangat membutuhkan uang ini. Kamu jangan lupa, sudah tiga bulan kita nunggak bayar kontrakan rumah ini, dan kamu juga masih punya hutang sama bang Tora. Jadi terima saja uang ini. Bapak dan mertuamu tidak butuh uang itu. Kamu yang lebih berhak dan lebih membutuhkannya. Bapak tahu kamu bersedih dan sangat kehilangan, tapi hidup harus terus berjalan.
Kamu harus pikirkan anak-anak kamu. Dengan uang itu, setidaknya kamu bisa memberikan kehidupan yang lebih baik untuk si kembar, dan melunasi hutang-hutang kamu. Kamu tidak perlu pinjam uang kesana kemari untuk beli susu si kembar. Jadi terima dan pakailah uang itu." Ucap Pak Tholib.
Ayu mengakui yang dikatakan bapaknya memang benar, tapi dia masih merasa dan berpikir dengan menerima uang itu, sama saja mereka mengganti atau menukar nyawa suaminya.
.
.
.
Dirumah Damar.
"Makasih sayang, kamu udah ngertiin dan membela aku tadi." Ucap Damar.
"Membela?. Aku tidak membela kamu mas. Aku hanya mengatakan yang sebenarnya. Dan aku juga mengerti perasaan siapa tadi namanya ..."
"Ayu."
"Iya, Ayu. Aku mengerti pasti dia sangat kehilangan dan terpukul. Tapi aku yakin lambat laun, dia juga akan menerima semua ini dan menerima uang dari kita. Apalagi melihat kondisinya. Mereka tinggal di rumah sempit seperti itu. Aku tidak bermaksud merendahkan mereka, tapi kamu lihat sendiri kan kondisi mereka. Aku yakin dia pasti akan sangat membutuhkan uang itu, apalagi dia mempunyai anak kembar."
"Iya kamu benar. Tapi jujur saja, aku semakin merasa bersalah saat melihat dia menangis, apalagi saat melihat anaknya menangis. Bagaimana nasib anak-anak itu tanpa kehadiran ayahnya." Ucap Damar lemah, sembari menatap lurus kedepan.
"Tapi ngomong-ngomong anak-anak itu sangat lucu ya mas. Kalau saja tadi situasinya tidak seperti itu, aku ingin sekali menggendong mereka." Ucap Ambar. Damar hanya tersenyum mendengar ucapan Ambar.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 95 Episodes
Comments