"Apa maksudnya ini, kenapa kita harus membahas masalah Zoya dan Daffin?"
"Zoya saat ini, sedang hamil dan aku adalah ayah dari anak yang Zoya kandung."
Bagaikan tersambar petir, saat Denis mendengar ucapan yang baru saja keliar dari mulut Daffin itu. Dia menatap tak percaya pada Zoya anak sulungnya, berharap semua itu salah, anaknya itu tidak mungkin melakukan hal yang menyakiti adiknya sendiri untuk kesekian kalinya.
Zoya tidak mengeluarkan suara, dia hanya memalingkan wajah ke arah lain tidak berani menatap papanya.
"Anda tidak perlu khawatir untuk masalah pernikahannya, biar pihak kami yang mengurus semuanya. Saya ingin acaranya diadakan dua minggu lagi, apa anda keberatan Pak?" tanya Ratna dengan tatapan seriusnya pada Denis.
"Nak," panggil Denis dengan nada lirih pada Ami yang duduk di sampingnya.
Membuat si empu mulai mengangkat wajahnya dan memalingkan wajahnya ke asal suara papanya, dia kemudian tersenyum dan mengangguk samar.
Tidak ada yang perlu dipertahankan antara dirinya dan Daffin, tidak ada gunanya dia berusaha untuk melanjutkan hubungan mereka yang telah hancur, dari semenjak pria itu menghianatinya bersama Zoya.
Melihat Ami tidak berkomentar, pria paruh baya itu, menghela napas pasrah. "Baiklah, saya setuju dengan pernikahan antara Daffin dan Zoya."
Mendengar jawaban Denis, Zoya dan pihak Daffin merasa lega. Sedangkan Denis dilanda kekecewaan yang teramat, kecewa pada Zoya dan pada dirinya sendiri yang merasa tidak bisa mendidik anak pertamanya dengan baik dan tidak bisa memberikan kebahagiaan pada anak bungsunya.
"Baiklah, jika begitu kita lanjutkan membahas rencana acara pernikahannya," ucap Ratna.
Ami yang merasa sudah tidak dibutuhkan kehadirannya, memilih untuk pamit pergi dari sana. Meninggalkan semua orang yang akan membahas, acara untuk hari bahagia Zoya dan Daffin.
Dia lebih memilih menghabiskan waktunya di teras belakang rumahnya menikmati udara yang kini sudah mulai menyengat karena sinar matahari sudah mulai meninggi.
Dia duduk di sebuah kursi gantung, yang berbahan rotan dengan memeluk ke-dua kakinya.
Wanita itu termenung, memikirkan saat pertama kali pertemuannya dengan Daffin, "Ternyata aku terlalu percaya diri, bisa mendapatkan cinta tulus dari seseorang dengan kekurangan yang aku miliki ini," gumamnya dengan lirih.
Sementara itu di ruang tamu, setelah kepergian Daffin dan keluarganya pergi. Terjadi perdebatan antara Zoya dan Denis, hingga membuat Ami merasa terganggu dengan suara keributan itu.
Tidak ingin terjadi masalah yang tambah panjang, dia pun kembali menuju ke ruang keluarga, berusaha menghentikan perdebatan antara kakak dan papanya itu.
"Papa, dari dulu gak pernah adil. Yang Papa sayangi dan Papa anggap anak itu cuma Ami doang 'kan!" sentak Zoya yang kini suara berdiri.
"Papa dari dulu tidak pernah membedakan kamu dan Ami, papa menyayangi kalian dengan adil!"
"Bohong! Apa yang Papa katakan itu hanya kebohongan saja. Dari dulu Papa selalu melakukan yang terbaik untuk Ami, saat Ami berbuat salah Papa selalu membelanya, sedangkan aku apa? Papa justru sengaja mengasingkan aku ke tempat lain!"
"Apa kamu masih belum sadar juga, dengan kesalahan kamu Zoya? Apa kamu ... ughh." Denis memegang dadanya dengan napas memburu.
"Pa, Papa kenapa?" tanya Ami khawatir dia segera duduk di samping papanya.
"Bi!" teriak Ami.
"Iya, Non."
"Bi, ambilkan obat Papa, penyakitnya kambuh," Perintah Ami.
"Iya, Non."
"Kak, kenapa Kakak berteriak seperti itu, pada Papa. Kakak 'kan tau Papa tidak boleh terlalu emosi," ucap Ami yang sudah mulai menangis karena khawatir pada papanya.
"Salahin diri kamu sendiri, Papa seperti ini karena dia ngebalin kamu terus," ketus Zoya.
"Kak, sampai kapan kakak akan membenci Ami seperti ini, apa salah Ami pada Kakak?" tanya Ami dengan sedih.
"Sampai kapan pun, aku akan membencimu. Karena kamu penyebab mama meniggal, hingga aku tidak dapat merasakan kasih sayang seorang ibu lagi, kamu juga penyebab Papa tidak memperhatikan aku dan hanya fokus padamu!" bentak Zoya menatap tajam Ami.
"Jangan lupa apa yang telah kamu lakukan pada adikmu, kalau bukan karena kamu ...," ucapan Denis terhenti karena Ami menggenggam tangannya erat dan menggeleng sebagai isyarat agar papanya tidak melanjutkan perkataannya, dia tidak ingin papanya membahas masa lalu itu lagi.
"Kamu tau, Zoy. Sekarang papa benar-benar kecewa padamu," ucap Denis disertai hembusan napas lirih.
"Bukankah, aku tidak pernah benar di mata Papa. Yang Papa lihat hanya Ami, Ami dan Ami, padahal Zoya juga anak Papa," decak Zoya.
"Apa salahnya kalau Zoya mencintai Daffin, dia juga mencintaiku, jadi gak ada yang salah 'kan? dengan itu," sambungnya lagi sambil berkacak pinggang.
"Kamu ...." Denis tidak sanggup melanjutkan ucapannya karena dadanya kembali terasa sakit.
"Kak, aku mohon berhenti berdebat, kondisi Papa tidak baik-baik saja. Papa juga kecapean baru pulang dari luar kota, Kakak juga pasti harus istirahat, lebih baik Kakak istirahat ya," ucap Ami mencoba menenangkan kakaknya.
Mendengar ucapan Ami, Zoya hanya memutar mata malas dan mendengkus, dia selalu merasa adiknya itu, selalu mencari muka dengan berpura-pura bersikap baik.
"Dasar sok perhatian dan pintar cari muka," cibir Zoya setelah itu melangkahkan kakinya, menuju ke kamarnya yang terletak di lantai dua rumah itu.
"Ya Tuhan, kenapa kakak kamu, makin lama makin menjadi," ucap Denis dengan mengusap dadanya.
"Papa jangan terlalu emosi lagi ya dan jangan terlalu memikirkan masalah Kakak, nanti penyakit Papa kambuh lagi," ucap Ami dengan lembut, dia menggenggam tangan papanya yang ada di dada itu.
Hanya papanya yang dia miliki sekarang, dia tidak ingin pria yang selama ini menjadi papa dan mama untuknya kenapa-kenapa.
Tak lama kemudian, Tini datang dengan membawa nampan yang berisi obat dan air putih, setelah papanya selesai meminum obat. Ami menuntun papanya untuk istirahat di kamar.
*****
Gedung megah yang penuh dengan hiasan dan pernak-pernik pernikahan, kini ramai oleh orang-orang yang menjadi saksi ikatan suci, antara Zoya dan Daffin yang tengah tersenyum tanpa beban, menyalami setiap tamu yang mengucapkan selamat pada pasangan pengantin itu.
Ami duduk dengan tenang di salah satu tempat duduk yang tersedia di sana dengan ditemani Tini yang sejak tadi tidak jauh dengannya, karena Denis berdiri di samping Zoya di atas pelaminan.
"Bi, bagaimana hiasannya, apakah bagus?" tanya Ami dengan berbisik pada Tini.
"Bagus, Non," sahut Tini yang berbisik juga.
"Kalau gaunnya, Bi?"
"Bagus juga, Non. Gaun yang dipakai sekarang, gaun berwarna emas, sesuai dengan tema pestanya."
"Kakak pasti bahagia saat ini," ucap Ami diiringi sebuah senyuman yang terbit di bibirnya.
Tini menatap Ami yang menatap kosong ke sembarang arah itu dengan iba, harusnya yang saat ini berada di pelaminan adalah dirinya, tapi ternyata takdir tidak berpihak pada wanita yang kurang beruntung itu.
"Apa Non sedih?"
Ami menggeleng samar dan sedikit memalingkan wajahnya ke arah Tini berada lalu berucap, "Ami sudah tidak sedih lagi Bi, Ami sadar dengan kekurangan yang Ami miliki."
Ami kembali tersenyum dan melanjutkan kembali ucpannya itu, "Dan mungkin Mas Daffin memang bukan jodohku, aku merasa lega karena aku yakin Mas Daffin orang yang bisa menjaga Kakak nantinya, semoga saja nanti mereka menjadi keluarga yang sakinah mawaddah dan warohmah."
Ami mengatakan hal itu dengan tulus dari dalam hatinya, jujur saja. Awalnya memang dia sakit hati saat mengetahui dia telah dihianati, tapi akhirnya dia sadar, bukankah lebih baik jika Daffin bersama dengan Zoya.
Dia sadar akan kekurangannya itu, Ami juga berpikir, bagaimana kehidupan yang akan mereka jalani nantinya, bukankah nanti dia hanya akan menjadi beban untuk Daffin sesuai dengan apa yang selalu Ratna ucapkan.
Ami juga berpikir, pasti akan lebih menyakitkan, saat Daffin menyesali hubungan antara mereka saat mereka sudah menikah dan memiliki anak nantinya.
Setidaknya saat ini hanya dirinyalah yang sakit hati karena hal itu, karena jika mereka menikah dan memiliki anak. Terus Daffin melakukan hal itu, pasti akan ada anaknya juga yang menjadi korban dari perpisahan mereka.
Dia yakin, Tuhan sudah mengatur segalanya dengan sedemikian rupa, karena Tuhan telah menyiapkan kebahagiaan lain untuknya, di masa yang akan datang yang ingin dia lakukan sekarang, hanya kembali menjalani kehidupan seperti sebelumnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 100 Episodes
Comments