"Iya, Ma. Kita memang baru berencana akan membicarakan masalah ini saat kita pulang, tapi kita malah mengalami kecelakaan."
Mendengar obrolan di dalam ruangan itu, membuat langkah Ami yang akan memasuki ruangan itu pun terhenti. Dia mematung di depan pintu dengan rasa ngilu di hantinya, secara perlahan dia memundurkan langkahnya dan berbalik tidak menlanjutkan lagi niatnya untuk bertemu dengan Zoya dan Daffin.
"Bi, ayo kita pulang sepertinya mereka baik-baik saja," ucapnya dengan berat.
Tini hanya mengagguk dan kembali melangkah, mengikuti langkah Ami yang sudah lebih dulu berjalan, nona-nya melangkah dengan bantuan tongkat di tangannya, dia menolak untuk dibantu olehnya.
Ami berjalan dengan langkah sembarangan, seluruh tubuhnya terasa mati rasa, bahkan saat menabarak orang-orang yang berada di dekatnya, tidak dihiraukannya.
Tadi dia bertekad akan menemui mereka dan menanyakan semuanya secara jelas, tapi setelah mendengar percakapan antara tunangannya ... ah ralat, mantan tunangannya.
Apakah masih pantas dia menyebut pria yang menjadi, ayah dari anak yang dikandung kakaknya itu sebagai tunangannya lagi, tentu saja tidak! Hubungan antara mereka kini sudah berakhir.
"Hati-hati dong, Mbak," ucap seorang wanita yang baru saja ditabraknya, hingga terdengar suara benda terjatuh ke lantai.
"Maafkan saya, saya tidak sengaja," ucap Ami yang baru sadar, jika dia telah merugikan orang lain.
"Non, baik-baik saja?" tanya Tini dengan khawatir dan memegang lengan Ami.
"Aku baik-baik saja."
"Maafkan majikan saya, Nona," ucap Tini sedikit membungkukkan tubuhnya, pada wanita yang baru saja Ami tabrak.
"Gak pa-pa, lain kali jangan biarkan dia jalan-jalan sendiri," sahut wanita itu dengan nada menyindir pada Ami dan pergi dari sana.
Ami menunduk saat mendengar sindiran dari wanita itu, meskipun dia tidak dapat melihat bagaimana ekspresi wanita itu, tapi dia sadar jika wanita itu menyindirnya, karena kekurangan yang dimilikinya.
"Non, ayo pulang. Ini sudah hampir subuh," ajak Tini, berusaha mengalihkan suasana hati Ami.
Ami hanya mengangguk dan mengikuti langkah Tini dengan pasrah, dia dituntun untuk memasuki mobil, tapi sebelum itu dia melipat tongkatnya terlebih dahulu, barulah mendudukkan dirinya dengan tenang di kursi mobil bersama dengan Tini.
Aku merindukanmu, nanti stelah slesai pertemuan terakhir dengan klien aku akan langsung pulang, biar besok pagi bisa segera bertemu denganmu. Masih terdengar dengan jelas di telinganya saat, Daffin mengucapkan kata rindu itu padanya.
Ya allah, ikhlaskan hatiku menerima semua ini, batinnya denga lirih.
Tak lama kemudian, mobil yang ditumpanginya berhenti. Dia yakin jika saat ini mereka telah sampai di rumah.
"Ayo, Non. Kita turun," ajak Tini.
"Iya, Bi." Ami mulai turun dari mobilnya dan melangkah, menuju ke ruamahnya.
"Bibi bantu ya, jalannya," tawar Tini yang masih khawatir dengan nona-nya itu.
"Tidak perlu, Bi. Ami bisa sendiri kok, Bibi bukakan saja pintunya ya," tolak Ami dengan halus, dia berusaha tetap tersenyum agar tidak terlihat menyedihkan di hadapan art-nya itu.
Tini segera melakuan apa yang Ami katakan, dia mengambil kunci yang ada di tasnya dan langsung membuka pintu utama rumah itu.
"Bi, Ami langsung ke kamar dulu ya," pamit Ami, setelah mereka memasuki rumah itu.
"Iya, Non. Sebaiknya istirahat dulu aja," sahut Tini.
Ami mengangguk dan pergi ke kamarnya, dia sudah hapal benar setiap sudut rumah itu, jadi saat di rumah dia tidak memerlukan bantuan untuk berjalan.
Berbeda jika dia, sedang berada di luar, dia membutuhkan orang lain untuk membantunya karena dia tidak akrab dengan dunia luar.
Setelah sampai di kamarnya, Ami langsung menjatuhkan dirinya di kasur empuknya dengan air mata yang kembali berjatuhan, hingga membasahi seprai berwarna biru muda itu.
Dia meringkuk dengan tubuh mulai bergetar karena tangisan yang berusaha dia tahan, agar tidak sampai mengeluarkan suara.
Ternyata dia tidaklah sekuat apa yang dia harapkan, meskipun dia belum pernah melihat, bagaimana penampakan pria yang beberapa waktu mengisi hatinya, tapi tetap saja, kini hatinya terasa kosong kembali.
Dia ingin berteriak sekeras yang dia bisa, ingin marah. Namun, suaranya seolah tidak ingin keluar dari kerongkongannya, kini yang bisa dilakukannya hanya menangis tanpa suara, meredam suara isakkan tangis itu sekuat tenaga.
"Kenapa ... kenapa, aku diberikan mimpi yang indah itu. Seharusnya aku sadar dan bangun dari awal, jangan terlalu lama terbuai dengan mimpi indah itu, sehingga aku tidak akan pernah merasakan sakitnya, jatuh seperti ini. Benar-benar sakit," lirihnya.
Dia menggigit bibirnya dengan sekuat tenaga, hingga rasa asin mulai terasa di indera perasannya, darah segar mulai mengalir di bibir ranum itu.
Aku mencintaimu Zamira Azliana dan selamanya akan tetap seperti itu, ucapan Daffin yang lagi-lagi terngiang dengan jelas di telinganya, seolah lantunan lagu yang selalu membuatnya merasa jadi wanita yang paling beruntung, kala itu.
Namun, ternyata semua itu hanyalah angan kosongnya, ucapan yang membuatnya serasa berada di atas awan kini seperti sebuah pisau yang menyayat hatinya, secara perlahan.
Entah berapa lama Ami larut dalam kesedihannya itu, tiba-tiba saja dia mendengar suara di luar kamarnya, suara yang sangat di kenalnya.
"Mi, kamu masih tidur?"
Ami tidak menyahuti suara panggilan di luar kamarnya itu, dia tidak ingin papanya melihat penampilan dirinya yang tidak baik-baik saja itu.
Dia tidak ingin papanya khawatir, jika dia memperlihatkan keadaannya sekarang. Terdengar papanya berbicara dengan Tini, hingga suaranya semakin menjauh dari kamar itu.
"Maafkan Ami, Pa. Ami tidak ingin Papa lihat kondisiku sekarang, Ami belum siap berhadapan dengan Papa. Nanti aku akan menemui papa saat aku sudah lebih siap," lirih Ami, menutup mulutnya dengan dengan ke-dua tangannya.
Setelah dirasa puas, menumpahkan air matanya, Ami beberapa kali menarik napas dan mengeluarkannya secara perlahan, setelah merasa sedikit tenang, dia pun bangun dan turun dari ranjang.
Dia melangkah dengan perlahan menuju ke kamar mandi, untuk membasuh wajahnya dengan air dan mengelap wajahnya dengan handuk kecil yang berada tidak jauh dari wastafel.
Setelah itu, Ami kembali melangkah menuju ke ranjang. Dia merebahkan tubuhnya, menutupinya dengan selimut, lalu mulai memejamkan mata.
Dia berusaha keras untuk menjemput ketenangan tubuh, hati dan pikirannya. Setelah matahari mulai menggantikan rembulan nanti, dia sudah harus siap dengan masalah yang harus dihadapi dengan tenang, meskipun dia yakin itu tidaklah mudah.
Ami berdoa dalm hati agar dia, diberikan ketegaran nantinya, cukup sekarang saja dia terus nangis sampai seperti itu, hari esok harus kembali, jadi Ami yang sebelumnya.
...----------------...
Makasih buat kakak-kakak yang udah mampir ke cerita ini, di bab-bab awal aku mau ceritain tentang Ami dulu ya.
Karena buat yang udah baca cerita Ingin Cinta Suamiku, pasti sudah tau sebagian, tentang kehidupan Faris sebelumnya, semoga gak bosan sama ceritanya ya🙏
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 100 Episodes
Comments
mamak"e wonk
👍👍👌👌👌
2022-04-14
0
TePe
siap thorrr
2022-04-09
0