Sinar mentari mulai menyeruak masuk, melalui celah gorden yang menutupi jendela kamar tempat Ami masih dalam buaian mimpi. Wanita yang baru terlelap saat sudah hampir subuh itu, merasa terganggu dengan terpaan sinar mentari yang menyapa wajahnya.
Kelopak matanya mulai terbuka dengan perlahan, segera dia dudukan tubuhnya dan meraba wajahnya.
"Bengkak, Papa pasti akan tau, jika aku habis menangis," gumamnya saat menyetuh kelopak matanya yang tidak seperti biasanya
Dia kemudian menghembuskan napas kasar, memikirkan alasan apa yang akan dia berikan pada papanya tentang kondisinya itu.
Tanpa berlama-lama, dia kemudian menurunkan kakinya dari ranjang, saat akan mulai melangkah ke kamar mandi. Pintu kamar diketuk oleh Tini yang mengatakan, jika papanya sudah menunggu di meja makan untuk sarapan bersama.
"Iya, Bi. Setengah jam lagi, aku keluar!" sahut Ami setengah teriak, agar Tini dapat mendengar suaranya.
Tini menyahutinya dan kemudian pergi dari kamar itu, kembali ke dapur untuk menyiapkan sarapan untuk Denis— papanya Ami.
Karena tidak ingin membuat papanya terlalu lama menunggu dirinya untuk sarapan, dia melakukan ritual mandi itu dengan cepat.
Ami berjalan keluar dari kamar, kali ini dia tidak menggunakan tongkatnya, karena jika sedang di rumah dia jarang menggunakan alat itu.
"Pagi, Pa," sapanya saat sudah berada di pintu masuk yang menjadi penghubung ruang makan dan ruang utama rumah itu.
"Pagi," sahut Denis tersenyum pada anak bungsunya. "Tumben kamu telat bangunnya," sambungnya lagi.
"Semalam Ami, tidur agak larut karena gak bisa tidur," jawab Ami.
"Papa, sampai jam berapa? Maaf Ami gak nyambut Papa," ucap Ami pura-pura tidak tahu kapan papanya pulang. Dia mendudukkan dirinya, tepat di hadapan papanya itu.
"Papa nyampe rumah jam setengah empat, iya gak pa-pa tadi kamu pasti tidur, jadi gak nyambut papa."
Ami hanya mengangguk dan tersenyum lebar, berusaha menunjukkan jika dia baik-baik saja saat ini pada papanya. Namun, Denis sebenarnya tahu jika dia tidak dalam kondisi baik.
Denis memilih tidak langsung bertanya dan meminta anaknya untuk sarapan terlebih dahulu, setelah sarapan dia baru akan menanyakan apa yang terjadi pada anaknya itu.
"Sekarang makanlah dulu sarapannya," ucap Denis.
"Iya, Pa."
Saat menyuapkan sarapan pertama, Ami sedikit meringis karena bibirnya terasa perih saat terkena makanan, dia berusaha untuk terlihat baik-baik saja, agar papanya tidak curiga.
Setelah sarapan selesai, tiba-tiba saja Denis kembali berbicara, hal yang membuat tubuh Ami menegang.
"Kenapa matamu bengkak dan bibirmu terluka seperti itu?" Apa yang Ami takutkan, ternyata terjadi. Papanya bertanya, bodohnya ia berharap papanya itu tidak melihat keadaannya.
"I-ini, mungkin karena semalam Ami tidur terlalu larut dan tadi pas sikat gigi Ami tidak sengaja menggigit bibir," alibi Ami berusaha bersikap tenang.
Dia tidak sanggup untuk mengatakan, apa yang sebenarnya pada papanya. Dia akan membiarkan Zoya atau Daffin yang mengatakannya secara langsung, pada papanya.
"Apa ada yang kamu sembunyikan dari papa, Mi?" tanya Denis menatap anaknya dengan curiga.
"Tidak ada, Pa," sahut Ami dengan menggeleng cepat.
"Baiklah kalau gitu," sahut Denis tidak bertanya lagi, meskipun dia merasa ada yang disembunykan oleh anaknya itu.
"Papa gak kerja?" tanya Ami mengalihkan pembicaraan.
"Tidak, hari ini papa diberi ijin untuk libur dulu, besok baru mulai ke kantor, tapi beberapa hari ke depan, papa harus pergi lagi karena masalah di cabang perusahaan di tempat papa kerja, belum sepenuhnya teratasi dan papa diberi tanggung jawab untuk mengatasi masalah itu hingga selesai."
Mendengar perkataan papanya itu, Ami tersenyum. "Papa pasti bisa segera mengatasi masalah itu dengan sangat baik," ucap Ami memberikan dukungan pada papanya itu.
"Iya, papa harus bisa segera mengatasi masalah ini dan jika papa bisa mengatasinya dengan cepat. Kamu tau, papa akan mendapatkan bonus, mudah-mudahan dengan bonus itu tabungan papa cukup untuk biaya penyembuhan mata kamu," ucap Denis dengan semangat.
"Ami, tidak apa-apa seperti ini Pa," sahut Ami yang kembali memasang wajah sedih.
"Tidak, Nak. Kamu masih muda, jalan hidup kamu masih panjang, kamu harus bisa menjalani hidup dengan normal lagi.
Ami tidak menyahutinya lagi, dia hanya diam dengan pikiran kosongnya, melihat anaknya seolah tidak memiliki semangat, Denis berpindah tempat menjadi duduk di samping Ami.
" Kamu tidak bisa seperti ini terus, Nak. Suatu saat nanti kamu akan menikah dan memiliki anak, apa kamu tidak ingin mengurus anakmu sendiri, nantinya."
Denis mengusap lembut punggung Ami, sedangkan Ami memalingkan wajahnya ke arahannya, beberapa detik kemudian kembali menduduk.
"Tapi, biaya untuk itu sangat mahal 'kan, Pa. Apalagi sebentar lagi kak ...." Ami tidak melanjutkan lagi perkataannya, dia hampir saja kelepasan bicara masalah Zoya dan Daffin yang pasti akan segera menikah.
"Pa, Ami mau ke belakang ya, lupa belum menyiram tanaman," pamit Ami yang langsung berdiri dan pergi dari sana.
Denis menatap punggung anak bungsunya itu dengan heran, entah kanapa dia merasa, jika ada yang anaknya itu sembunyikan darinya.
Denis baru saja, berniat memanggil Tini untuk bertanya, tapi niatnya terhenti karena suara dari pintu utama mengalihkan perhatiannya.
"Kalian?" Denis mematap para tamu itu dengan heran, karena melihat Daffin beserta ibu dan adiknya. Dan yang membuatnya semakin heran adalah kehadiran Zoya yang kini berdiri di samping Daffin yang notabene-nya adalah tunangan putri bungsunya.
"Pak, maaf sebelumnya bisa kita bicara, ini masalah yang sangat serius," ucap Ranta.
"Baiklah, silakan masuk." Meski tidak mengerti dengan apa yang terjadi, Denis mempersilakan mereka untuk menuju ke ruang keluarga.
"Bi, panggilkan Ami dan tolong buatkan minuman," perintah Denis pada Tini, dia berpikir jika kedatangan Daffin dan keluarganya untuk membahas kelanjutan hubungan Ami dan Daffin.
Daffin duduk beserta mama dan adiknya di sofa yang cukup untuk mereka bertiga, sedangkan Zoya duduk di sofa tunggal yang berada di samping Daffin.
Ami memasuki ruangan itu dengan langkah berat, dia sudah menebak maksud dari kedatangan Daffin dan keluarganya, jangan tanya kondisi hatinya saat ini, bahkan dia sendiri tidak dapat menggambarkan lagi, sesakit apa kondisi hatinya itu.
"Sini, Nak." Denis menrik lembut tangan Ami agar duduk di sampingnya.
Ami pun menurut dan duduk di samping papanya, meskipun dia tidak dapat melihat bagaimana situasi di sana, tapi dia dapat merasakan, jika situasi di sana sangatlah mencekam.
"Saya, tidak akan banyak kata, maksud kedatangan saya ke sini beserta anak saya. Saya ingin membatalkan pertunangan antara anak saya dan Ami," papar Ratna langsung ke intinya.
"Apa! Kenapa tiba-tiba membatalkan pertunangan mereka, apa ada masalah. Jika ada masalah kita bisa membicarannya terlebih dulu, jangan terburu-buru seperti ini," sahut Denis tidak terima dengan perkataan Ratna.
"Tidak ada yang perlu dibicarakan lagi, antara mereka," ucap Ratna menatap ke arah Ami dengan sinis.
"Sekarang yang harus kita bahas adalah, hubungan antara Zoya dan Daffin."
Denis manatap bingung pada Ratna, kemudian pada Daffin dan Zoya. Setelah mengerti arah pembicaraan Ratna dia pun menatap tak percaya pada anak pertamanya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 100 Episodes
Comments
Agustin
first
2022-04-06
1