Dengan langkah berat, Tini mulai mendekati pintu ruangan tempat Daffin dirawat. Dalam hati, dia berdoa semoga apa yang ada dalam pikirannya itu, tidak terjadi, semoga kecurigaan dirinya tentang Daffin tidak benar-benar nyata.
Dia membuka pintu dengan perlahan, saat pintu terbuka, ritme detakkan di jantungnya kian meningkat, tatkala matanya melihat wanita yang kini tengah terbaring dengan mata terpejam, di ranjang rumah sakit itu.
Bagaimana bisa semua itu nyata, apa yang harus dia katakan pada Ami. Bagaimana hancurnya Ami, jika dia mendengar kabar yang akan dia dapatkan darinya sebentar lagi.
Tini rasanya tidak sanggup untuk mengatakan kenyataan yang ada di depannya itu, dia tidak sanggup melihat Ami, lagi dan lagi bersedih karena orang yang sama untuk kesekian kalinya.
"Bi, kenapa diam? Bagaimana wanita itu?" tanya Ami masih di posisinya, dia menunggu dengan rasa penasaran yang teramat di hatinya.
Dia menatap ke arah depannya dengan tatapan kosong, di sisi lain dia sangat penasaran dengan seperti apa wanita yang dokter anggap sebagai istri tunangannya itu. Namun, di sisi lain hatinya merasa sakit meskipun dia belum tahu kenyataan yang sebenarnya.
"I-iya Non, maaf bibi kaget lihat wanita itu," jawab Tini dengan gugup.
Dia kemudian berjalan mendekati kursi tempat Ami duduk, diusapnya pundak Ami dengan perlahan, untuk memberikan ketenangan pada nona-nya yang sudah dia rawat sejak kecil itu.
"Kenapa kaget Bi, Bibi kenal sama wanita itu?" tanya Ami mendongakkan wajahnya karena tahu, jika Tini sedang berdiri di sampingnya.
"I-iya, Bi-Bibi kenal wanita itu ... sangat kenal," sahut Tini mengangguk meskipun Ami tidak akan melihat anggukkannya itu.
"Apa Ami juga mengenalnya? Siapa dia, Bi?" tanya Ami dengan wajah polosnya.
"Di- dia—" Suara Tini seolah tertahan di kerongkongannya, lidahnya terasa kelu untuk mengatakan apa yang dilihatnya.
"Kenapa, Bi? Kenapa Bibi tidak melanjutkan perkataannya," ucap Ami yang masih menunggunya untuk berbicara.
"Wanita itu adalah non Zoya," lirih Tini menatap nanar Ami yang tubuhnya kini telah berubah menegang, raut wajah yang semula sedih, kini semakin terlihat sedih dan tak percaya.
Mendengar apa yang Tini ucapkan itu, membuat waktu seolah terhenti untuk beberapa saat, bahkan tongkat yang digenggamnya pun terlepas begitu saja dari tangannya, apakah ini benar-benar mimpi. Bagaimana bisa dia mendapatkan dua kabar yang menyesakkan dada secara bersamaan, dia ingin bangun, tidak ingin berada di mimpi itu lagi.
"A-apa Bi? Apa Bibi tidak salah lihat?" tanya Ami menggenggam dengan erat tangan Tini yang masih berada di pundaknya.
"Itu kenyataannya, Non. Wanita itu adalah non Zoya," sahut Tini dengan nada yang nyaris seperti bisikan.
"Jadi, wanita yang dokter kira istri Mas Daffin itu, kak Zoya?" tanya Ami lagi, memastikan jika pendengarannya baik-baik saja.
"Kak Zoya, Mas Daffin, mereka." Ami menggeleng tak percaya dengan kesimpulan yang ada dipikirannya.
Bisakah dia menyanggah kabar itu saat ini, apakah ini hanyalah mimpi buruknya saja. Sunnguh wanita itu tidak ingin percaya dengan apa yang baru saja didengarnya itu.
Namun, rasanya semakin dia menolak percaya, hatinya semakin bertambah sesak dan sakit, seolah ada tangan tak kasat mata meremas hatinya itu.
"Kak Zoya tidak munkin sejahat itu 'kan, Bi?" tanyanya dengan air mata sudah menganak sungai di pipinya.
"Bukankah beberapa jam yang lalu, Mas Daffin juga masih bilang dia mencintaiku dan hubungan kita baik-baik saja, tapi kenapa sekarang jadi seperti ini?" tanya Ami semakin menggenggam erat tangan Tini.
"Apa karena Ami memiliki kekurangan, jadi mas Daffin berpaling," lirihnya lagi dengan suara yang sudah mulai serak.
Melihat kerapuhan dari nona-nya itu, Tini langsung merengkuh tubuh yang kini bergetar karena tangis itu, diusapnya dengan lembut punggung Ami, berusaha untuk memberikan ketenangan.
"Nona tenanglah dulu ya, mungkin saja itu hanya kebetulan, mereka bertemu saat di perjalanan, jadi mereka bersama saat ini." Tini berusaha menghibur Ami, meskipun dia sendiri ragu dengan ucapannya itu.
Sebenarnya sudah beberapa kali, dia memergoki Zoya dan Daffin sedang berinteraksi, tidak seperti calon ipar, saat Daffin berkunjung ke rumah. Semula dia mengira bahwa itu hanyalah perasaannya saja yang berlebihan, tapi kini dia mengerti, jika kecurigaannya itu bukan hanya kecurigaan semata.
Ami tidak bicara lagi, dia hanya sibuk dengan pikirannya, hingga dia merasakan sebuah tarikan di tangannya dan sebuah tamparan mendarat di pipinya yang mulus, hingga membuatnya meringis.
"Kamu ... ngapain kamu di sini hah! belum cukup kamu buat anakku celaka. Aku sudah menduganya, jika kamu hanya akan jadi sumber masalah bagi anakku!" hardik seorang wanita paruh baya yang tidak lain adalah mamanya Daffin.
"Ma ...,'' ucapan Ami langsung dipotong oleh Ratna.
"Jangan panggil aku mama, sampai kapan pun aku tidak akan sudi kamu menjadi menantuku," tegas Ratna.
"Ma, sudah jangan ribut, sebaiknya kita lihat dulu kakak di dalam," ucap adik Daffin lalu menarik mamanya pergi dari hadapan Ami dan Tini.
Setelah kepergian mama dan adiknya Daffin, Tini menuntun Ami untuk kembali duduk di kursi semula, Ami hanya menurut dengan pikiran kosong, dia mendudukkan dirinya bersama dengan Tini.
"Non, kita obati dulu pipinya yuk," ajak Tini.
"Tidak Bi, Ami baik-baik saja, ini hanya luka kecil," sahut Ami menggeleng pelan.
"Atau sebaiknya kita pulang dulu," ajak Tini yang masih dijawab gelengan keala oleh Ami.
"Ami, mau di sini dulu Bi, setelah memastikan Kak Zoya dan Mas Daffin baik-baik saja, Ami baru akan pulang," lirih Ami.
"Tapi, Non—"
"Ami, baik-baik saja, Bi. Ami akan merelakan apa pun kebenarannya nanti," ucap Ami tersenyum dengan hati yang terasa kebas.
Meskipun dia berkata seperti itu, tidak dapat dipungkiri rasa sakit yang dirasa sulit untuk dijabarkan, ingin rasanya dia menghilang dari situasi ini, bahka jika bisa dia ingin hilang ingatan, agar dia tidak dapat lagi mengingat apa yang terjadi saat ini.
Sulit ... sangat sulit, orang yang kita percayai dan orang yang sangat dekat dengan kita, ternyata menghianati kita di belakang. Apalagi yang lebih menyakitkan, selain dari penghianatan yang dilakukan oleh orang yang merupakan saudara kita sendiri.
Tak lama kemudian, dokter kembali mendekati ruangan itu, Ami hanya diam, dia saat ini seolah raga yang kosong. Tidak ada lagi senyum yang terpatri di bibir tipis itu, hanya ada tatapan kosong, binar hidupnya seolah ikut pergi seiring dengan lenyapnya angan yang selama ini menemani kekosongan dalam dirinya.
"Non, kita pulang saja dulu yuk. Non lupa ya, pagi ini tuan pulang. Nanti tuan khawatir jika tidak siapa pun di rumah," bujuk Tini pada Ami.
Ami tersadar dari lamunannya, benar saja. Papanya akan pulang dari perjalanan bisnisnya, papanya pasti akan khawatir.
"Baiklah, Bi. Kita pulang, kita harus menyambut Papa nanti." ucap Ami setelah berpikir beberapa saat.
"Ami mau bertemu dengan Kakak sama Mas Daffin dulu, siapa tau mereka sudah siuman," ucap Ami lagi, lalu dia berdiri dan langsung diikuti oleh Tini.
"Baiklah, ayo bibi antar." Tini mengabil tongkat Ami dan memberikannya pada Ami.
Mereka berjalan menuju ke ruang rawat Daffin dan Zoya dengan langkah pelan, bertepatan dengan dokter yang baru saja keluar dari ruangan itu, dokter tersenyum pada Tini dan melanjutkan langkahnya pergi dari sana.
Saat sampai di depan pintu Zoya , Ami mendengar percakapan antara Daffin dan mamanya itu.
"Baguslah, kalau kalian sudah memutuskan untuk menikah, mama bisa tenang. Nanti kita menemui papanya Zoya untuk membahas masalah pernikahan kalian."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 100 Episodes
Comments
mamak"e wonk
aduh ..sesak..😔😔🥺🥺🤧🤧🤧
2022-04-14
0