Ketiga anak muda itu bergegas ke rumah sakit dimana Dovi dibawa.
"Korban kecelakaan atas nama Dovi Pramudya dirawat di kamar mana, Sus?" Hanya Billy yang masih bicara, lalu bertanya pada perawat di meja depan.
Kedua gadis yang bersamanya menangis tanpa henti hingga tidak bisa mengeluarkan kata apa apa.
"Sebentar," Suster itu mengetikkan sesuatu dikomputernya.
"Kalian keluarganya?" Tanya perawat itu yang mungkin merasa heran, kenapa hanya anak-anak seperti mereka itu yang datang.
"Orang tuanya mana?" tanya perawat Itu lagi.
"Mamanya diluar negeri, sedangkan Papanya lagi sakit. Kalau sudah mendingan kata papanya, nanti dia menyusul kesini," Billy terpaksa berbohong.
Berkali-kali Billy menelpon papanya Dovi, tapi tidak disambutnya. Awalnya dia mengira papa Dovi sudah berada di rumah sakit, ternyata... orang tua tidak berguna, pikirnya.
"Pasien kondisinya kritis. Dia masih didalam ruang operasi. Kalian bisa menunggu didepan ruang operasi," Kata suster itu.
Billy dan kedua teman perempuannya itu lalu berlari mencari ruang operasi yang dikatakan suster tadi.
"Itu, disitu!" kata Billy.
Mereka bertiga lalu duduk di kursi yang ada disitu.
Tidak merasa tenang, Billy mencoba untuk menelpon papa Dovi lagi sambil berjalan mondar mandir.
"Tidak diangkatnya!" kata Billy yang sudah kesal.
Dia kembali memencet tombol panggilan di handphonenya.
Dinda yang memeluk Mita sudah berhenti menangis. Dia berusaha tegar agar bisa menenangkan Mita. Gadis itu mengelus punggung sahabatnya yang masih terisak-isak.
"Sabar... Kita harus sabar... kita berharap Dovi akan baik-baik saja," kata Dinda. Gadis itu tidak berhenti mengelus punggung Mita.
Beberapa waktu berlalu, lampu emergency dipintu ruang operasi sudah dimatikan. Tak lama kemudian, beberapa orang perawat terlihat mendorong ranjang pasien.
Dovi terbaring disitu masih tidak sadarkan diri. Ketiga sahabat itu menyusul dari belakang sampai akhirnya tiba disalah satu kamar perawatan.
"Biarkan pasien istirahat dulu, ya?! Jangan berisik! Kondisinya mulai stabil tapi masih dalam efek bius, makanya pasien belum sadar" kata salah seorang perawat yang kemudian berlalu keluar kamar.
Ketiga muda mudi itu, melihat Dovi dari dekat. Mita masih menangis, tapi dia berusaha sekuat tenaga tidak mengeluarkan suaranya. Hanya air mata yang tidak berhenti mengalir diwajahnya.
Dinda dan Billy lalu berbisik bisik di sofa, membiarkan Mita duduk disamping Dovi.
"Papa Dovi sudah bisa dihubungi?" tanya Dinda.
"Belum, aku sudah chat lewat WA juga belum dibaca," Billy terlihat sangat kesal "Mungkin masih mabuk," pemuda itu mengerutkan alisnya.
"Aku sudah chat Mamanya. Mamanya memintaku untuk menemani Dovi. Dia lagi mencari penerbangan tercepat ke sini," kata Billy.
Pemuda itu lalu melihat kearah sahabatnya yang terbaring dan masih belum sadar.
Kaki Dovi diperban sampai paha. Bagian kepalanya juga berbalutkan perban. Disana sini kulit Dovi banyak sekali luka lecet. Kedua matanya terlihat bengkak dan membiru.
Tidak tega rasanya dia melihat kondisi sahabatnya itu.
Hampir tengah malam, mereka semua masih disitu.
"Kalian pulang saja istirahat dirumah, biar aku menjaganya," kata Billy. Dia kasihan melihat dua gadis itu yang terlihat kelelahan namun tetap memaksakan diri untuk terjaga.
"Nggak apa-apa. Kami akan tetap disini. Aku tadi sudah memberitahu orangtua ku dan Mita, kalau kami menemani Dovi dirumah sakit denganmu," kata Dinda.
"Kalau begitu, aku mau keluar mencari minum, ada yang kalian inginkan?" Billy sudah berdiri dari kursinya bersiap pergi.
"Americanonya dua, sama camilannya terserah aja," jawab Dinda.
Billy pun mengangguk dan berlalu pergi.
"Kenapa dia masih belum bangun?" Mita tidak sabar, dia sangat gelisah melihat kondisi Dovi.
"Aku juga nggak tau. Kita tunggu aja dulu," kata Dinda.
Tapi akhirnya gadis itu lalu melangkah keluar
"Aku panggil perawat dulu untuk memeriksanya,"
Mita tertinggal berdua dengan Dovi. Gadis itu memegang tangan pacarnya itu erat, sambil mengusap usap lengan pemuda itu.
"Kamu harus kuat ya sayang...! Kita 'kan sudah janji mau ke Australia bersama," Mita berbisik pelan ditelinga Dovi.
Perawat memeriksa Dovi.
"Tidak apa-apa, semua stabil. Dia masih ingin tidur saja,"
Setelah perawat itu pergi, Billy sudah kembali sambil membawa tiga gelas kopi dan sekantong camilan.
"Ini minumnya. Disitu juga ada egg roll kalau kalau kalian lapar," kata Billy sambil menunjuk kantong plastik diatas meja.
Mita dan Dinda mengambil segelas kopi dan menyeruputnya sedikit. Kopi nya masih sangat panas.
Tak lama terdengar suara erangan pelan. Dovi sudah mulai sadar.
"Dov-Dovi... Ini kami!" kata Billy, Dinda dan Mita hampir serentak.
Dovi membuka matanya. Matanya melihat kearah datangnya suara. Dia melihat Billy dan Dinda. Dia lalu melirik kesisi sebelahnya dan melihat Mita yang mulai menangis lagi.
"Kenapa kamu nangis? kalo gitu aku tidur aja deh!" kata Dovi menggoda Mita pacarnya. Meskipun badannya sakit nggak karu-karuan, dia tidak mau Mita bersedih.
Mita tersenyum. Dia menyandarkan kepalanya ditangan Dovi. Gadis itu sangat senang melihat Dovi yang sudah sadar dan masih bisa menggodanya lagi.
Mereka lalu mengobrol santai seperti biasa saat mereka berkumpul, seolah tidak ada yang merasa sakit.
Sudah hampir subuh, semuanya tidak mampu lagi menahan kantuknya. Mereka lalu tertidur di kamar rumah sakit itu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 110 Episodes
Comments