Naluri Seorang Ibu

  "Ya Allah! Tolong selamatkanlah pemuda itu! Jangan sampai kejadian yang dulu Aku alami, terulang kembali!" Ucapnya dalam hati. Setelah sesaat ia merenung, tanpa membuang waktu lagi lelaki itu pun berjalan dengan cepat menuju bagian administrasi.

  Sementara itu, keadaan di kampung halaman Hari, malam itu terlihat sangat sunyi sepi. Hanya terdengar suara katak-katak dari arah persawahan. Memang setiap matahari telah tenggelam, keadaan di desa itu terlihat hening.

  Di dalam rumah Hari, terlihat Fera di ruang keluarga sedang melipat pakaian yang telah selesai dijemur. Suara radio yang menjadi temannya. Sedangkan emak sedang membuat secangkir kopi hitam di dapur.

  Ketika emak sedang membawa cangkir yang berisi kopi hitam yang telah selesai dibuatnya, tanpa diduga-duga olehnya, nasib malang tengah menghampirinya. Emak terpeleset di atas lantai ubin yang dipijaknya, ketika ia berjalan menuju ruang keluarga.

  Ppprrraaaaannnnnggggg......!!!

  Tak ampun lagi. Secangkir kopi hitam yang dipegangnya terlepas dari genggaman tangan emak dan jatuh di lantai dalam keadaan pecah berkeping-keping.

  Mendengar suara pecahan cangkir yang cukup keras, Fera langsung berlari ke arah suara itu berasal. Adik kandung Hari itu, sangat kaget ketika melihat emaknya terkapar di atas lantai dengan ceceran kopi hitam pada pakaian yang emak kenakan dan di atas lantai ubin.

  "Innalilahi, Emak!!! Kok bisa jatuh!!!" Teriak Fera dengan histeris.

  "Emak kepeleset, Fer!" Balas Emak merintih kesakitan.

  "Hati-hati Emak kalau jalan!" Pintanya sambil menghampiri tubuh emak. Fera pun membantu mengangkat emak berdiri dan menopang tubuh emaknya menuju kamar emak.

  "Lebih baik sekarang Emak istirahat! Mungkin Emak kecapaian!"

  "Iya Fer! Mungkin Emak tadi terlalu lama kepanasan saat menjemur padi! Jadi kepala Emak sedikit pusing!" Balasnya. Dibantu oleh anak bungsunya, emak berbaring di atas dipan yang beralaskan kasur yang dilapisi dengan selembar seprei.

  "Pusing kok Emak bukannya istirahat malah membuat kopi! Ini kan sudah larut malam! Sudah jam sepuluh kurang!" Kata Fera sambil memijat kaki emaknya.

  "Emak kepikiran Hari! Dia sudah sampai kos-kosan apa belum ya? Perasaan Emak tidak tenang!" Ucap Emak sambil membayangkan wajah anaknya.

  "Kayaknya sudah sampai Mak! Emak jangan memikirkan Mas Hari terus! Kan ada Fera disini! Besok kalau libur dan sudah sempat, kan Mas Hari bisa pulang lagi, Mak!" Fera berusaha menenangkan hati emaknya.

  "Tapi kali ini rasanya beda, Fer! Emak merasa gelisah dan tidak bisa tidur! Makanya Emak buat kopi hitam biar bisa menemani Kamu sambil mendengarkan radio. Tapi malah kepeleset!" Air mata seketika menetes di pipi emak.

  "Insha Allah Mas Hari baik-baik aja, Mak! Ada yang sakit nggak Mak?"

  "Tangan Emak yang sebelah kanan sedikit sakit! Mungkin keseleo. Soalnya tadi buat  menyangga."

  "Ya sudah besok Fera panggilkan Bu Suripah untuk memijat Emak! Kalau sekarang nggak enak. Soalnya sudah malam!"

  "Iya Fer. Besok pagi saja."

  "Kalau begitu lebih baik sekarang Emak istirahat! Tenangkan pikiran Emak! Insha Allah besok kalau sudah sempat kan Mas Hari mengirim surat." Fera menutupi tubuh emaknya dengan selembar selimut.

  "Iya Fera. Kamu juga tidur ya! Besok kan harus berangkat mengajar! Biar besok Emak saja yang melipat pakaiannya!" Pintanya.

  "Sebentar lagi juga selesai kok Mak! Ya sudah, Fera tinggal dulu ya!"

  "Iya."

  Setelah tiga hari sejak kepergian Hari dari rumah, emak selalu menunggu di teras depan rumah. Emak tampak melamun membayangkan sosok anak laki-laki yang sangat dicintai dan dirindukannya. Emak terlihat seperti sedang menunggu seseorang.

  "Mak, kok dari tadi pagi masih duduk disini? Emak kan dari tadi belum mau sarapan!" Ucap Fera begitu keluar dari dalam rumah dan melihat emaknya duduk melamun.

  "Emak lagi tidak nafsu makan, Fer!" Balas Emak tanpa memandang wajah anaknya. Kedua matanya masih menatap ke arah jalan depan rumah.

  "Tapi ini sudah jam sembilan lebih, Mak! Kalau Emak nggak sarapan nanti sakit! Nanti asam lambungnya kambuh lagi!"

  "Emak belum lapar, Fera!"

  "Jangan nunggu lapar Mak! Emak makannya harus teratur! Biar Fera ambilkan ya!" Fera hendak kembali masuk ke dalam rumah. Namun emaknya dengan cepat melarangnya.

  "Tidak usah Fera!!! Kalau Emak bilang belum lapar, ya jangan dipaksa!!!" Teriak Emak sambil menengok ke arah Fera. Mendengar bentakan emaknya yang cukup keras, Fera pun kaget bukan main.

  "Mak, apa salah Fera? Apa Fera salah kalau menyuruh Emak sarapan?" Tanya Fera sedih. Seketika air matanya langsung menetes di pipinya.

  "Kamu sama sekali tidak salah Fera! Emak minta maaf kalau tadi membentak Fera!" Emak kembali menatap ke area persawahan yang berada di seberang rumahnya.

  "Lantas Emak kenapa? Lagian Fera kan nggak ingin melihat Emak sakit lagi! Tangan Emak kan juga baru sembuh!" Fera pun duduk di samping kanan emaknya.

  "Emak sedang menunggu petugas kantor pos datang kesini, Fera!" Jawabnya datar.

  "Apa Emak menunggu kiriman uang pensiunan? Bukankah biasanya harus diambil Emak sendiri di kantor pos?" Fera merasa heran.

  "Bukan Fera. Emak bukan menunggu uang pensiunan. Tapi Emak sedang menunggu surat dari Masmu!" Air mata yang sejak tadi ditahannya, akhirnya jatuh dikedua pipi emak.

  "Oh, sejak tadi Emak duduk disini untuk menunggu petugas kantor pos?" Tanya Fera dengan terkejut.

  "Iya Fer. Emak kepikiran Hari terus! Sejak kepergian Hari beberapa hari yang lalu, Emak jadi tidak nafsu makan. Bahkan Emak susah untuk memejamkan mata!"

  "Jangan terus menerus dipikirkan, Mak! Insha Allah Mas Hari sudah selamat sampai Jakarta. Mungkin Mas Hari masih sibuk kerja sampai malam. Jadi belum sempat untuk mengirimkan surat ke Emak!" Fera berusaha menenangkannya.

  "Apa mungkin begitu, Fer?" Emak seolah masih tidak percaya dengan ucapannya.

  "Iya Mak! Mas Hari mungkin lagi banyak lemburan di pabrik! Lagian kan sekarang kan tanggal merah, Mak! Kantor pos tutup! Walaupun Emak nunggu sampai matahari terbenam, nggak akan mungkin ada petugas kantor pos yang datang!"

  "Oh tanggal merah ya, Fer! Emak sampai tidak sadar!" Seru emak.

  "Iya Mak! Mungkin besok kalau Mas Hari masuk malam, Mas Hari baru bisa mengirimkan surat untuk Emak!"

  "Iya ya! Kalau masih masuk pagi terus, jadi tidak ada waktu untuk pergi ke kantor pos ya!"

  "Iya betul Mak! Jadi, lebih baik sekarang Emak sarapan dulu! mumpung masih pagi!" Pinta Fera sambil memegang lengan kanan emaknya. Mereka pun berdiri dengan perlahan.

  "Kamu juga sarapan ya Fera!"

  "Aku sudah dari tadi sarapannya, Mak!" Balasnya. Mereka pun masuk ke dalam rumah. Fera sambil memegangi lengan emaknya.

  Ketika emak sedang menikmati sarapan, tiba-tiba terdengar suara seseorang mengucapkan salam.

  "Assalamu'alaikum."

  "Wa'alaikumsalam!" Jawab emak dan Fera berbarengan!" Fera yang sedang menyapu lantai bergegas menuju pintu depan rumahnya.

  "Oh, Mba Fatimah! Kirain siapa!" Serunya ketika melihat seseorang yang datang bertamu ke rumahnya ternyata adalah Fatimah. Perempuan yang belum lama dilamar oleh kakaknya.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!