Menanti Hari Esok

Menanti Hari Esok

Saat Perpisahan

...1995...

  Pagi itu cuaca terlihat sangat cerah. Matahari menerangi sebuah desa yang tidak jauh dari Kota Surakarta. Terdengar suara kicauan burung-burung, diantara rimbunnya pepohonan yang rindang di sepanjang jalan desa tersebut. Di sebelah kanan dan kiri jalanan yang belum diaspal itu, terhampar luas area persawahan dengan padi yang menguning layaknya sebuah permadani. Padi-padi itu tampak melambai-lambai tertiup angin yang berhembus.

  Di sepanjang jalan yang teduh dan asri itu, terlihat anak-anak sekolah SLTP dan SMU tengah mengayuh sepedanya di tepi jalan menuju sekolah mereka masing-masing. Terlihat pula beberapa orang laki-laki memakai caping yang terbuat dari bambu, tengah berjalan menuju salah satu sudut persawahan. Para petani itu hendak memanen padi milik salah seorang warga yang memberikan kepercayaan kepada mereka.

  Di perkampungan yang terletak di sebelah selatan jalan tersebut, tampak rumah-rumah yang jaraknya antara satu dengan yang lainnya cukup jauh. Pada sebuah rumah sederhana yang berdinding batu bata, beratap genteng, serta beralas ubin, terlihat seorang laki-laki sedang menikmati sarapan pagi dengan menu nasi, tempe goreng, dan sambal tempe.

  "Kalau lagi di Jakarta, yang dirindukan ya begini! Sarapan dengan lauk sambal tempe!" Seru lelaki berwajah tampan, berkulit kuning langsat.

  "Emak mau belikan ayam, katanya Kamu bosen makan ayam! Malah minta sarapan sama sambal tempe!" Balas perempuan yang berumur kira-kira lebih dari setengah abad, yang sedang membuat segelas teh hangat.

  "Iya Mak! Di pabrik tiap hari makannya ayam sama daging terus! Makanya Aku jadi bosen makan ayam!"

  "Mumpung Kamu masih di rumah, puas-puasin sarapan sama sambal tempe, Hari!" Perempuan yang dipanggil Emak, datang menghampiri lelaki yang bernama Hari, dengan membawa segelas teh hangat.

  "Betul yang dikatakan Emak! Kalau perlu Mas Hari bawa bekal sambal tempe!" Celetuk perempuan berjilbab yang baru saja keluar dari dalam kamarnya.

  "Wah, Fera Adekku yang dulu pas kecil suka nangis kalau minta sesuatu, sekarang sudah jadi guru TK ya! Mas bangga sekali sama Kamu!" Seru Hari sambil menengok kearah perempuan yang bukan lain adalah adik kandungnya.

  "Semua ini kan berkat Mas Hari yang tiap bulan mengirimkan uang untuk biaya kuliah Fera! Betul kan Mak?" Ucap perempuan manis yang bernama Fera.

  "Betul sekali yang Kamu katakan, Fera! Emak bersyukur sekali kepada Allah! Karena Allah telah melancarkan rizkimu, Hari! Sehingga Kamu bisa membantu kebutuhan Emak dan Fera!" Jawab Emak dengan berlinang air mata.

  "Tapi maaf kalau Hari belum bisa merenovasi rumah ini, Mak!" Kata Hari.

  "Masalah itu tidak perlu Kamu pikirkan, Har! Yang penting kan Emak dan Fera tidak kepanasan dan kehujanan! Lagian rumah ini masih cukup layak untuk tempat tinggal!" Balasnya.

  "Iya Mak!"

  "Mulai sekarang, lebih baik uang gajianmu ditabung untuk biaya pernikahanmu besok! Biaya pernikahan kan tidak sedikit, Har!" Nasihatnya.

  "Iya Mak, Hari tahu! Hari juga sudah nabung! Alhamdulillah tiap hari ada lemburan. Jadi Hari bisa ngirimin Emak dan Fera!" Hari tersenyum bahagia.

  "Tapi kan kemarin Kamu sudah lamaran! Terus pernikahannya tidak berapa lama lagi!" Balas Emak yang duduk di hadapan Hari.

  "Iya Mas! Alhamdulillah sekarang kan Fera sudah bekerja! Walaupun gajinya masih sedikit, tapi dikit-dikit bisa membantu Emak! Fera menimpalinya.

  "Iya Har! Lagi pula Emak masih dapat pensiunan almarhum Bapakmu!" Ucap Emak lagi.

  "Tapi Hari ikhlas kok Mak! Hari juga percaya, kalau memberikan rizki Kita kepada orang tua Kita, itu nggak membuat Kita miskin! Melainkan Allah akan melancarkan rizki Kita! Bukankah begitu kata Pak Kyai, Mak?" Tanyanya.

  "Betul sekali Hari anakku yang shaleh! Emak bersyukur sekali mempunyai anak seperti Kalian!" Katanya. Air matanya seketika langsung menetes di pipinya yang sudah tampak keriput.

  "Hari juga bersyukur mempunyai Emak!" Balasnya.

  "Emak, Fera berangkat dulu ya! Takut telat!" Ucap Fera sambil mengulurkan tangan kanannya.

  "Ya Nak! Hati-hati di jalan ya! Jangan lupa, bilang Pak Lik Marto disuruh mengantar Hari ke stasiun Balapan!" Pinta Emak sambil menyambut tangan kanan anak bungsunya.

  "Iya Mak!" Balasnya. Fera pun mencium belakang telapak tangan emaknya.

  "Mas, Fera berangkat ngajar dulu!" Fera mengajak Hari bersalaman.

  "Iya Fer, bekerja yang rajin, ikhlas, dan disiplin! Seberapapun gajinya yang penting halal! Jadi harus disyukuri! Di luar sana masih banyak orang yang membutuhkan pekerjaan! Jadi Kamu nggak boleh menyia-nyiakan pekerjaanmu!" Nasihat Hari sambil membalas tangan kanan adiknya.

  "Iya Mas! Insha Allah Fera akan selalu ingat pesan Mas Hari! Mas Hari hati-hati di jalan ya! Kalau sudah sampai kos-kosan, jangan lupa untuk mengirim surat ya Mas!" Pintanya. Air matanya langsung mengalir di pipinya.

  "Iya Fera adikku yang manis!" Seru Hari sambil mencubit pipi kiri Fera.

  "Ya sudah Mak, Mas, Fera berangkat dulu! Assalamu'alaikum!" Salamnya. Fera pun berjalan menuju pintu depan rumahnya.

  "Wa'alaikumsalam." Jawab Emak dan Hari berbarengan. Belum lama Fera pergi meninggalkan rumah menggunakan sepedanya, tiba-tiba terdengar suara seorang perempuan mengucapkan salam.

  "Assalamu'alaikum."

  "Wa'alaikumsalam."

  "Biar Emak lihat! Kamu terusin saja makannya!" Kata Emak sambil bangkit berdiri dan berjalan menuju pintu depan rumah.

  "Mak, gimana kabarnya?" Sapa seorang perempuan cantik yang berdiri di depan pintu.

  "Oh Fatimah, kirain siapa! Alhamdulillah Emak baik-baik saja!" Balasnya. Mereka pun bersalaman dengan erat.

  "Mas Hari belum berangkat kan Mak?" Tanyanya sedikit khawatir.

  "Belum. Orangnya lagi sarapan! Mari masuk Fatimah!" Pinta Emak. Fatimah pun masuk ke dalam rumah dengan perlahan. Begitu kedua kakinya menginjak lantai yang berada di dalam rumah, ia bergegas memberikan plastik hitam kepada emak.

  "Mak, ini ada sedikit oleh-oleh buat Mas Hari, dari Bapak dan Ibu!"

  "Terima kasih ya Fatimah! Pakai acara repot-repot segala! Bilangin Bapak dan Ibumu, terima kasih oleh-olehnya!"

  "Iya Mak!"

  "Mari Fatimah!" Emak kembali mengajak calon menantunya menuju ruang makan. Hari yang sudah selesai makan dan baru muncul dari arah dapur, langsung terlihat sangat bahagia, ketika melihat emaknya berdiri di hadapannya bersama seorang wanita yang dicintainya. Senyum lebar pun terpancar dari wajahnya.

  "Kirain tamu siapa! Ternyata tamu istimewa!" Celotehnya.

  "Mas Hari bisa aja!" Balas Fatimah malu-malu.

  "Har, ini ada oleh-oleh dari kedua orang tuanya Fatimah!" Emak menaruh plastik hitam berisi makanan di atas meja.

  "Jadi ngrepotin kedua orang tuamu, Dek!"

  "Nggak kok Mas! Cuma jajan sedikit."

  "Bilangin Bapak sama Ibu, terima kasih jajannya ya!" Pintanya.

  "Iya nanti Aku sampaikan. Mas Hari mau berangkat ke Jakarta sekarang?" Tanya Fatimah dengan berlinangan air mata.

  "Iya Dek! Soalnya Aku cuma libur tiga hari. Besok pagi sudah masuk kerja lagi!" Jawab Hari sedih.

  "Hati-hati di jalan ya Mas! Sebenarnya Aku masih kangen sama Kamu Mas!" Air mata jatuh di pipi Fatimah.

  "Mas juga masih kangen Kamu Dek! Rasanya sangat berat buat meninggalkan Kamu, Emak, dan Fera! Tapi mau gimana lagi! Keadaan yang membuat Kita harus berjauhan!" Hari pun ikut meneteskan air mata.

  "Kapan Mas pulang lagi?"

  "Insha Allah kalau sudah sempat, Dek! Semoga lebaran tahun depan, Kita bisa menikah ya Dek!"

  "Aamiin. Aku akan selalu merindukanmu, Mas!" Air mata membanjiri wajah Fatimah yang cantik alami. Emak pun ikut menangis.

  "Aku juga akan selalu merindukanmu, Dek! Alhamdulillah kemarin Kita sudah mengikat tali cinta Kita! Nggak lama lagi Kita akan menjadi suami istri, Dek! Jadi Kita bisa bersama setiap hari!" Hari mencoba menghiburnya.

  "Iya Mas." Balasnya. Belum sempat Hari kembali bersuara, tiba-tiba terdengar suara orang mengucapkan salam.

  "Assalamu'alaikum!"

  "Wa'alaikumsalam!" Jawab mereka berbarengan.

  "Kayaknya itu Pak Lik Marto!" Ucap emak. Emak pun kembali menuju pintu depan rumahnya.

  "Ya sudah mari Kita ke depan, Dek! Kasihan kalau Pak Lik Marto harus nunggu kelamaan!" Hari memasukkan plastik berisi makanan pemberian dari kedua orang tuanya Fatimah, ke dalam ranselnya yang berwarna hitam. Setelah menggendong ransel itu, Hari mengambil kardus yang sudah diikat dengan tali rafia dan membawanya ke arah pintu depan rumah. Sedangkan Fatimah berjalan di belakangnya. Hari terlihat keren dengan memakai jaket parasut berwarna biru, celana jeans panjang yang juga berwarna biru, dan sepatu sneaker berwarna merah.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!