Satu minggu sudah sejak kemunculan Intan di kelasku. Maksudku, sejak Intan masuk ke kelasku. Apa yang dikatakan hantu cowok berkepala bolong waktu itu, masih terus kupikirkan hingga saat ini. Enggak! Bukan dipikirkan. Tapi, aku mulai memperhatikan Intan si anak baru. Kalau-kalau kata hantu itu benar, kan aku bisa antisipasi.
Hari ini tepat hari jum'at. Hari kesukaanku. Karena apa? Karena hari ini sekolah pulang lebih awal. Yeyyy!!!
"Intan! Tugas kelompok kita mau dikerjain kapan?"
Suara yang hampir seumur hidup kudengar itu mengalun merdu di telinga, bagai diiringi alunan musik biola. Itu suara Al.
Aku memperhatikan Al yang berbincang akrab dengan si anak baru. Entahlah, apa yang mereka bicarakan? Tapi, tawa renyah Al benar-benar mengusikku. Seakan seperti pusaran air yang menyeret pandanganku untuk sampai padanya.
"Indigo suka sama sahabat sendiri...hihihi..."
"Bisa diam gak sih?"
"Sayangnya gak bisa. Kan sudah tugas bangsa kami untuk menggoda bangsa manusia...hihihi..."
Aku menyembunyikan wajah dalam lipatan tangan. Malas meladeni makhluk di sampingku. Tak ada yang lebih baik kah, dari si kunti kaparat ini? Kenapa selalu dia yang sering muncul di depan mataku?
Kenapa bukan hantu tampan berkepala bolong itu?
Eh? Omong-omong soal hantu berkepala bolong, kenapa dia tak pernah muncul lagi, ya? Aku kan belum faham maksud perkataannya waktu itu.
👻👻👻👻👻
"Kin, ke kantin yuk!" Al menepuk pundakku pelan.
"Eh, a--" Intan muncul dari samping, Al. Entah mengapa aku merasa tak suka dengan kedekatan mereka, "a--aku ada urusan!"
"Lho? Kamu gak lapar?"
"Urusanku lebih penting dari pada lapar yang masih bisa ditunda!"
Aku membereskan semua alat tulisku dan segera keluar meninggalkan Al dan Intan. Aku sebenarnya tak memiliki urusan. Hanya saja, aku pengen marah. Tapi, entah marah karena apa?
Aduh, aku ini kenapa sih??
Sambil memukul pelan keningku, aku tak tahu kalau sedari tadi aku berjalan ke arah perpustakaan. Ah, setidaknya ini lebih baik dari pada aku ke lapangan atau gudang sekolah, kan?
Sambil berjalan menyusuri rak buku, mataku dengan cermat memindai semua judul buku. Mencari judul buku yang ingin aku baca, setidaknya untuk saat ini.
Setelah menemukan buku yang akan kubaca, aku mendudukkan diri di bangku paling pojok perpustakaan. Bangku yang terlihat sepi pengunjung. Tak heran sih, bangku pojok tak banyak mendapat sinar matahari dari luar karena terhalang rak buku. Lagi pula, tempat paling pojok itu jauh dari meja penjaga perpus sekaligus jauh dari pintu masuk. Makanya, tak heran kalau bangku pojok tak banyak diminati pengunjung perpus.
"Tak lama lagi, Indigo..."
Eh? Sebentar-sebentar!
Sepertinya, aku kenal dengan suara ini. Suara yang pernah sekali aku dengar. Suara hantu tampan berkepala bolong. Hantu yang memberitahu kalau akan terjadi teror jin di sekolah.
Tunggu!
Apa aku baru saja mengingat hantu berkepala bolong itu?
Aku mengalihkan pandangan ke samping. Tepat ke arah seseorang yang memang sangat ingin kutemui.
"Baru kali ini lho aku merasa merindukan hantu," aku menatap sosok di sampingku lekat, "eh? Omong-omong....maksudnya teror jin yang kamu bilang waktu itu apa? Aku nggak ngerti, deh."
Si cowok berkepala bolong menatap lurus ke depan, "Hentikan teror itu, Indigo....setidaknya....jangan biarkan banyak korban berjatuhan...."
Aku mengerutkan kening, berusaha mencerna maksud perkataan sosok di hadapanku ini, "Bentar...bentar. Aku beneran gak ngerti sama teror yang kamu maksud itu!"
"Kamu harus berusaha, Indigo...kami berharap kamu mampu menghentikan teror itu...."
"Mana bisa begitu? Memang apa hubungannya denganku? Itu kan masalah kalian! Lagian aku juga gak ngerti sama teror-teror atau apalah itu, yang kamu maksud," kataku ketus. Entahlah, bicara dengan makhluk beginian memang selalu bikin tensi naik.
"Tentu saja ada!" sosok di hadapanku tiba-tiba berbalik memandangku dan membuatku tercekat. Mendadak, suasana perpus yang memang selalu sepi--karena setiap pengunjung dilarang berisik dan juga lokasi dudukku yang berada di tempat terpencil--mendadak menjadi hening dan mencekam. Bahkan tak terdengar suara apapun dari luar. Tak ada angin dari luar yang masuk ke dalam, pun ruangan ini tak memiliki fasilitas penyejuk udara, tapi udara mendadak menjadi dingin dan sedikit lembab bila bersentuhan dengan kulit telanjang. Dalam sekejap, tubuhku meremang dan bulu kudukku berdiri semua, "kalau kamu membiarkan itu terjadi...aku sendiri yang akan... membunuhmu!"
Terjadi keheningan antara kami beberapa saat, sebelum angin berhembus kencang meniup gorden dan menutup buku yang terbuka di atas meja. Bahkan saking kencangnya, beberapa rak buku yang berhadapan langsung dengan jendela memuntahkan muatannya.
Beberapa pengunjung berteriak disertai gumaman-gumaman yang masih terdengar jelas di telinga, membuatku mengalihkan pandangan ke semua penjuru yang bisa dicapai pandangan mataku. Saat, aku mengembalikan fokusku ke satu titik, sosok hantu berkepala bolong itu telah lenyap.
Beberapa kepala menyembul dari rak-rak buku, sebagian lagi keluar dari dinding dan plafon ruangan dengan wajah khas bangsa mereka, pucat dan sebagian besar berdarah-darah. Sejenak, aku hampir lupa, sedari tadi saat aku berinteraksi dengan si sosok berkepala bolong, tak ada satupun sosok lain yang menampakkan diri.
"Hihihi.....gak sabar deh nunggu Indigo jadi salah satu dari kita....hihihi...."
Perempuan bermata ciplong yang sering menampakkan diri, terbang mengitari tempatku duduk. Kali ini, bola matanya yang tinggal satu tak keluar.
"Apa maksudmu!" aku menggeram kesal.
"Tentu saja perkataan si cowok tampan itu....hihihi...." si kunti duduk di atas meja tepat di depanku. Wajahnya sejajar dengan wajahku dengan jarak satu jengkal. Dengan jarak sedekat ini, aku bisa melihat di dalam lubang matanya yang bolong ada banyak hewan kecil berwarna putih kekuningan menggeliat, "kalau kamu membiarkan itu terjadi...aku sendiri yang akan... membunuhmu! Hihihi...." katanya lagi menirukan intonasi si sosok berkepala bolong.
Sial! Sosok ini meledekku.
"Kamu nguping?!" kudekatkan wajahku dengan wajah si kunti. Saking dekatnya, wajahku bahkan bisa menembus ke dalam isi kepalanya yang tak memiliki setetes darah pun. Heran deh, di luar mukanya darah terus merembes. Tapi, dalam tubuhnya tak ada stok darah barang sedikitpun. Apa jangan-jangan, dia nyuri kantong darah dari PMI terus disimpan di dalam tubuhnya???
"Indigo mesum ih, intip-intip...hihihi..." si kunti sedikit menjauhkan wajahnya dari hadapanku.
Aku memutar bola mata jengah dengan perkataan makhluk satu ini. Dikira aku perempuan apaan doyan ngintipin hantu? Eh! Eh! Jangan salah paham dulu! Ya kali, yang bukan hantu aku intipin!! Bukan gayaku banget itu.
"Kamu nguping, kan? Ngaku!"
"Hihihi.....Indigo pernah dengar kalimat kalau tembok juga punya telinga, gak?"
"KAMU KAN BUKAN TEMBOK??!!!" teriakku kelewat histeris. Serius ya, hilang sudah kesabaranku meladeni makhluk satu ini, "kubunuh sekali lagi, mau?" desisku.
"Kabur, ah...mentang-mentang habis diancam mau dibunuh, Indigo mau bunuh aku....hihihi..." kata si kunti, berlalu terbang ke atas dan hilang menembus plafon.
Huft.
PRAAK!!
"Eh, kuntilanak!"
"Kamu ngatain saya kuntilanak, Kinar?!"
Mampus!
Suara siapa tuh?
Aku memejamkan mata rapat dan berbalik, menghadap sumber suara. Perlahan, kubuka satu mata dan mengintip sosok yang baru saja membenturkan gagang kemoceng dengan permukaan meja. Aku berkedip sekali dan memasang cengiran tak berdosa.
"Kamu ngapain masih di sini?! Bel masuk sudah berbunyi sejak sepuluh menit lalu! Atau, kamu mau bantuin saya beresin buku-buku yang berserakan ini?!" kata ibu penjaga perpus sambil menunjuk lantai dengan gagang kemoceng.
Aku menatap obyek yang ditunjuk ibu penjaga perpus dan wajahnya bergantian, "Ya enggak lah, Bu. Saya sekolah mah bayar bukan dibayar."
"Kinar!!"
Aku berlari meninggalkan ibu penjaga perpus sampil tertawa. Sesekali aku berlari sambil menengok ke belakang, waspada kalau-kalau mendadak kemoceng bisa terbang dan membentur kepala.
Dugh!
Aku mengusap kening yang baru saja membentur dagu Al. Sama halnya denganku, Al juga mengusap dagunya, mungkin giginya terbentur. Salahkan Al yang menghalangi jalan. Lagian ini juga sudah bel masuk masih aja berkeliaran.
"Kamu ngapain lari-larian di sini sih, Kin?! Sekedar mengingatkan, ini koridor bukan lapangan!"
"Yeee.....lha situ ngapain halangin jalan?"
"Terserahku, dong!"
"Ya, sama. Aku lari-larian juga terserahku, dong!" kataku sewot. Ini, Al kenapa jadi ngeselin sih sekarang? Atau....aku masih kesel gara-gara mau istirahat tadi, ya?
Di tengah gerutuanku, aku merasakan tanganku ditarik seseorang. Aku menatap Al bingung.
"Udah masuk."
Entah sejak kapan, tarikan di tanganku berubah menjadi genggaman. Melihat tanganku yang berpegangan erat dengan tangan Al membuat sesuatu dalam diriku berdesir. Suara biola yang pernah aku dengar kini kembali terdengar. Rasanya seperti yang dirasakan Mayor Raam Sharma ketika berpapasan dengan dosen yang ia taksir dalam film Main Hoon Na.
Ah, sial!!!
Wajahku memanas.
👻👻👻👻👻
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 46 Episodes
Comments
tintakering
kunti nyebelin😊
2022-12-03
0