Malam telah berganti pagi. Sisa air hujan semalam masih bertetesan dari dedaunan pohon yang ada diluar sana. Burung - burung saling bersahutan.
Sinar matahari mengintip masuk kedalam ruangan gelap itu melalui celah tirai.
Srak~
Sama seperti orang yang membuka tirai itu, mungkin sinar matahari juga merasa lega karena telah berhasil melakukan tugasnya. Mengusir kegelapan.
Ruangan gelap itu kini terisi penuh oleh cahaya matahari. Gadis yang tengah terlelap itu perlahan mulai mengernyitkan dahinya.
Tangannya yang terhubung dengan selang berisikan cairan bening itu berusaha untuk memblokir sinar matahari agar tidak menerpa wajahnya.
"Maaf, apa aku membangunkan mu ? "
"Kamu..siapa kamu ? " tanya Yelena dengan suara serak khas bangun tidur.
"Aku Aiden,"
Jawabnya sembari menyodorkan segelas air putih yang baru saja dituangnya.
"Nggak usah, makasih," tolak Yelena sambil memalingkan wajahnya.
Aiden menatap Yelena sejenak, kemudian berbalik. Dia menghempaskan tubuhnya di sofa depan sana. Dia menghela napas panjang sembari membuka layar laptopnya.
Matanya mulai fokus pada layar didepannya. Seperti seorang profesional, jemarinya yang lincah itu menekan keyboard dengan cepat.
"Pfftt~" Aiden menahan tawanya saat mengetahui Yelena sedang menatapnya sedari tadi.
Yelena merasa jengkel juga malu karena hal itu.
Dia membalikkan badan, menghadap jendela. Namun sinar matahari terlalu silau untuk matanya. Rasa jengkelnya semakin meningkat. Ditendangnya selimut yang dikenakannya hingga hampir terjatuh.
"Ck!" decaknya.
"Kenapa? kamu tidak nyaman dengan kehadiranku?" tanya Aiden.
Tidak ada respon.
Aiden tersenyum miring, kemudian menutup laptopnya dan beranjak dari duduknya. Dia berjalan pada ranjang Yelena, dinaikkan kembali selimut yang hampir jatuh itu.
Sembari menyelimuti Yelena, Aiden mengambil kesempatan untuk meneliti wajahnya.
"Ck ck, benar - benar mirip," gumamnya.
"Mirip apa?" tanya Yelena .
"Mirip manusia?" Aiden memiringkan kepalanya dan tersenyum.
"Dasar gila," gerutu Yelena.
"Dimana tunangan ku?" lanjutnya.
Aiden membelalakkan matanya kaget. Namun dia menutupi ekspresi nya itu dengan membalikkan badannya.
Dia menatap ke luar jendela.
Hufftt~
Dihembuskan napas beratnya itu dengan pasrah. Dengan frustasi dia menyibakkan poninya ke atas dan memijat kepalanya.
"Ini membuatku gila," gumamnya.
"Apa kamu percaya begitu saja?" tanyanya sambil berbalik dan menatap Yelena dengan serius.
Yelena terkejut. Dia terdiam, tidak tahu harus menjawab apa.
"Aku tau kamu kehilangan ingatan mu. Tapi bukan berarti kamu kehilangan akal mu kan?" ujarnya.
"Dia berkata kalau kamu adalah tunangannya dan kamu percaya?"
Kalimat itu sudah cukup membuat Yelena goyah.
Mata Yelena terpaku pada sosok pria yang berdiri dihadapannya. Dia tidak dapat berpikir jernih.
Tanpa perintah bulir bening pun mulai menuruni pipinya. Membuat pria yang berdiri dihadapannya itu mengulurkan tangan menyeka air matanya.
"Kenapa kamu malah menangis. Kamu tau? air mata wanita adalah kelemahan ku!" tegur nya.
"Maaf," lirih Yelena.
"Jika aku bukan tunangannya. Lalu siapa sebenarnya diriku ini?" lanjutnya di sela isak tangisnya.
"Aiden!"
Bugh!
Pukulan keras sukses mendarat di wajah rupawan Aiden. Membuat sudut bibirnya mengalirkan darah segar.
Sean mencengkeram kerah baju Aiden dan memojokkannya ke dinding.
"Sudah aku bilang jangan ikut campur!" tekannya dengan tegas.
Aiden menyeringai, kemudian menyeka sudut bibirnya yang berdarah.
"Kakak keterlaluan," lirihnya.
Sean melepas cengkeramannya dengan kasar.
"Keluar!" bentak nya.
"Gak perlu kakak suruh aku juga udah mau pergi."
Brak!
Aiden membanting pintu kamar Yelena saat keluar.
"Sial!" decak Sean sembari memijat pangkal hidungnya.
"Maaf..." lirih Yelena.
Sean mendongak menatap Yelena dengan tatapan yang belum netral dari emosinya.
Deg!
Perasaan takut menjalar ke seluruh tubuhnya. Dia mencengkeram selimutnya dengan erat.
"Ah maaf," ucap Sean yang dengan secepat mungkin mengganti raut wajahnya.
Sean berjalan mendekat pada Yelena, tangannya membelai lembut wajahnya. Namun Yelena memalingkan wajahnya. Membuat pemilik tangan itu mengeraskan rahang.
"Apa aku benar - benar tunangan mu?" tanya Yelena.
Sean tercengang dengan kalimat yang baru saja dilontarkan oleh Yelena. Dia menarik kembali tangannya, dan membuat kepalan erat dibawah sana untuk meredam emosinya.
Dia menghela napasnya dengan kasar. Kemudian berjalan ke arah jendela.
"Mendengar kalimat itu keluar dari mulutmu membuat hati ku terasa sakit," ucapnya sembari membuka jendela.
Angin pagi berhembus memasuki ruangan kamar. Berkat hembusan angin, ruangan yang penuh dengan hawa panas itu menjadi lebih sejuk.
Yelena terdiam menatap punggung Sean. Rasa bersalah sedang menyerbu hatinya. Dia terpaksa menanyakan hal itu karena dia tidak dapat mengingat apapun. Dan ucapan masuk akal Aiden membuatnya goyah.
Sudah tiga hari. Namun setiap kali dia mencoba memaksa otaknya untuk mengingat, yang didapat hanya rasa setruman dalam kepalanya.
Saat ini satu-satunya hal yang dapat dia lakukan hanyalah mempercayai pria yang berdiri membelakanginya itu.
"Maaf, sudah mengecewakan mu," lirihnya.
Sean berbalik dan melangkah mendekat. Dia mengangkat tangannya.
'Apa dia akan memukulku?' batinnya.
Karena pikiran itu, refleks Yelena memejamkan matanya.
Cup! Sean menyiah rambut Yelena keatas dan mencium keningnya.
"Kamu hanya perlu percaya padaku . Semakin kamu mencoba mengingat, semakin kamu akan merasakan sakit . Aku tidak ingin kamu menderita karena hal itu," ucap Sean
Perlahan Yelena membuka mata. Jantungnya berpacu dengan cepat.
'Perasaan ini...mungkin aku benar-benar tunangannya.' batinnya.
Yelena menatap lekat pada bola mata Sean. Namun dia tidak tahu kemana arah bola mata itu menatapnya. Yang jelas bukan menatap matanya.
"Apa perawat sudah mengirim sarapan?"
Yelena menggeleng.
"Aku akan memintanya untukmu."
"Nanti ada Bibi April yang akan menjaga dan mengurus mu. Aku harus kembali ke kantor," lanjutnya sembari membelai pipi Yelena.
Kali ini pun tetap sama. Yelena hanya menjawabnya dengan anggukan dan senyuman tipis. Seperti seekor hewan peliharaan yang sangat patuh terhadap majikannya.
Diliriknya punggung Sean yang semakin menjauh dan hilang dari balik pintu sana. Dia memejamkan mata dan menghela napas beratnya.
"Tidak dapatkah dia menatap mataku? mengapa? bukankah aku tunangannya?" gumamnya.
......................
"Kak!" panggil Aiden yang ternyata masih menunggu diluar ruangan.
"Bukankah aku sudah menyuruhmu untuk pergi!?" tegas Sean.
"Apa memori kepalamu sudah rusak? kakak hanya menyuruh ku keluar!"
Sean menarik napas panjang dan menghembuskan nya dengan kasar. Kemudian berlalu dari hadapan Aiden tanpa menghiraukannya.
"Amnesia Disosiatif. Hilang ingatan akibat rasa trauma,"
Langkah Sean terhentikan oleh satu kalimat yang terlontar dari mulut Aiden.
"Amnesia itu hanya berlangsung selama beberapa hari, bisa juga beberapa bulan atau bahkan mungkin beberapa tahun. Kakak tau apa yang akan terjadi kalau tiba-tiba ingatannya kembali? dia akan pergi. Kakak mungkin juga akan terlibat masalah karena hal itu." lanjutnya.
Sean masih tidak memberi respon.
"Pikirkan hari ini. Bagaimana jika saat ini juga dia mengetahui bahwa dia hanya seorang pengganti? yang tidak lain hanya seorang pelampiasan."
"Apa kamu mengancam ku?" Sean berbalik menatap Aiden.
"Aku tinggal membuatnya tidak bisa mendapatkan ingatannya kembali saja, apa susahnya?" lanjutnya.
Aiden mengepalkan tangannya. Perlahan dia berjalan menghampiri Sean.
"Bukankah sebelumnya aku aku sudah mengatakannya? tinggal membuat hal itu menjadi nyata, lalu menceraikannya kapan saja." ucap Sean tanpa beban.
Bugh!
"Itu balasan untuk tadi!" bisik Aiden.
"Ha~" Sean menyeringai.
Kedua tangannya mencengkeram kerah baju Aiden. Seperti membalik halaman buku, secepat itu Sean mengganti raut wajahnya. Mata tajamnya, rahangnya yang mengeras, siapa saja yang melihatnya pasti akan gemetar.
"Ini terakhir kalinya aku mengulang ucapan ku. Jangan ikut campur! atau Vivian tidak akan pernah kembali ke Negara ini!" ancam Sean yang kemudian menghempas tubuh Aiden.
BERSAMBUNG...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 118 Episodes
Comments