"Enak juga ya ada disini. Jauh lebih tenang," kata Karin yang mulai lega dari perasaan sesaknya.
Rian memalingkan wajahnya melihat Karin. Karin yang menyadarinya, juga ikut melihat ke arah Rian. Mereka saling bertatapan.
Dibawah pohon rindang, angin sepoi-sepoi, sinar matahari yang tidak terlalu menyilaukan mata, membuat suasana terasa sejuk. Belum lagi, terdengar deru air danau yang mengalir, bagaikan musik alam yang menyejukkan hati siapapun yang sedang gundah gulana.
"Apa gue boleh dekat seperti ini setiap hari sama elu?" tanya Rian tiba-tiba.
"Mm," jawab Karin dengan sekali anggukkan.
"Apa gue juga boleh sesekali main ke rumah elu?"
Karin memalingkan wajahnya dan menatap langit-langit kembali. Seperti ada suatu beban dalam pikirannya.
"Gue gak yakin lu mau main ke rumah gue."
"Kenapa?"
"Karena rumah gue gak layak terima tamu siapapun itu."
"Lalu... Kalau lu yang ke rumah gue?"
Karin menatap Rian kembali dengan wajah seriusnya.
"Lu mau ajak gue ke rumah elu?"
"Iya!"
******
Pertemanan antara Karin dan Rian memang sudah dekat. Jauh lebih dekat daripada yang sebelumnya. Mereka suka ngobrol berdua saat jam istirahat di halaman belakang sekolah, tempat mereka awal bertemu.
Hari ini selepas pulang sekolah, Rian memboncengi Karin untuk main ke rumahnya. Rian sengaja membawa Karin ke rumahnya agar Karin tidak jenuh dengan masalah yang sering dihadapinya (masalah dalam rumah Karin).
Dalam kamar Rian
"Duduk aja dimana pun yang lu mau!" suruh Rian yang mempersilahkan Karin.
Karin masih melihat-lihat situasi ruang kamar Rian yang maskulin, dimana banyak gambar pembalap moto GP yang dipajang.
"Lu suka balapan?" terka Karin dengan asumsinya.
"Ya. Gue suka balapan, tapi udah lama gue gak balapan semenjak pindah ke sini."
Rian duduk di kursi gaming dekat meja belajarnya dan memperhatikan Karin yang sedang jalan sana sini didalam kamarnya.
"Karena disini gak ada teman?"
"Bukan," jawab Rian sambil berdiri menghampiri Karin. "Dalam balapan itu gak ada istilah teman," lanjutnya yang sudah ada disamping Karin. "Tapi musuh," bisiknya ditelinga Karin.
Karin mengernyitkan alisnya. "Sejak kapan suka balap?"
"Sejak...." Rian berpikir sebentar. "Gue kelas 9."
"Terus, ortu lu tau?"
"Awalnya gak tau. Tapi... pas udah tau, gue dipindahin kesini."
"Jadi lu pindah kesini, salah satu alasannya adalah agar lu gak balapan liar lagi?"
Rian hanya mengangguk.
"Gue sepakat sih dengan sikap bijak ortu lu."
"Kenapa lu bisa sepemikiran dengan mereka?" tanya Rian yang penasaran dengan perkataan Karin barusan.
"Bagaimanapun juga balapan liar itu gak diperbolehkan, karena bisa makan korban kapanpun dan gak ada yang tanggung jawab kalau hal buruk itu terjadi. Lagian kan lu masih kecil."
Rian tersenyum tipis. "Jadi menurut lu... kalau gue dah gede baru boleh balapan?"
"Kalau udah lulus, mending lu daftarin buat ikut kursus balapan sirkuit moto GP gitu," saran Karin.
Rian hanya tersenyum smirk, seolah-olah saran Karin tidak berarti.
'Tok! Tok! Tok!' suara ketukkan pintu kamar Rian.
"Bentar!" jawab Rian.
Rian membuka pintu kamarnya dan bik Sih (asisten rumah tangga) sudah berada didepan pintu sambil membawa nampan berisi cemilan dan dua gelas teh hangat.
"Den, ini cemilan dan teh yang aden pesan!"
"Trima kasih, bik! Biar aku aja yang bawa," kata Rian sambil mengambil nampan yang dipegang bik Sih.
Bik Sih tampak mempertahankan nampannya. Ia masih memegangnya dengan kuat, sehingga Rian tidak bisa merebutnya.
"Biar bibik aja, den," kata bik Sih bersikukuh ingin membawa nampan tersebut masuk kedalam kamar majikan mudanya.
Rian melihat gelagat aneh pada bik Sih. Karena tidak mau berdebat, Rian mempersilahkannya masuk saja. Bik Sih masuk dengan nampannya sambil memperhatikan seluruh ruang kamar Rian seraya menyelidik rasa penasarannya.
"Bik, taruh di meja sana aja!" suruh Rian yang menunjuk ke meja belajarnya.
'Bukankah harusnya ada tamu? Tapi kok gak ada orang sama sekali di kamar ini selain den Rian? Mana mungkin aden habisin semua ini?' batin bik Sih yang bingung sendiri.
Bik Sih menuruti perkataan Rian yang menaruh nampannya diatas meja belajarnya. Bik Sih tampak berat hati langsung keluar dari kamar Rian.
"Kenapa lagi, bik?" tanya Rian menghampiri bik Sih yang masih diam.
Bik Sih masih menyelidiki seluruh ruangan dengan kedua mata elangnya.
"Nyari siapa?"
"Nngg.. itu... den..." kata bik Sih ragu.
Rian mengikuti arah gerak bola mata bik Sih yang sedang menyelidiki ruangannya.
"Cari tamunya ya?" terka Rian yang mewakili rasa pensaran bik Sih.
Bik Sih hanya bisa tersenyum tipis, karena malu Rian dapat menerkanya dengan tepat.
"Dia di kamar mandi," jawab Rian sambil menunjuk dengan pandangannya ke arah kamar mandinya.
"Oooo..." respon bik Sih dengan mulut berbentuk O-nya.
Bik Sih belum mau keluar juga. Sepertinya rasa penasaran bik Sih sangat tinggi, hingga membuat Rian kalang kabut karena takut dilaporin ke ortunya.
"Bik, balik gih ke dapur!" seru Rian seraya mengusir bik Sih.
"Cewek atau cowok, den?" tanya bik Sih dengan volume kecil.
Rian terperangah dengan pertanyaan bik Sih. Sejak kapan bik Sih penasaran dengan kehidupannya?
"Cewek."
Kedua bola mata bik Sih terbuka lebar.
"Emangnya... aden sama dia habis ngapain? Kok dia lama banget di kamar mandinya?"
Rian tampak frustasi dengan bik Sih. Ia memegang keningnya yang sebenarnya tidak pusing, tapi mengisyaratkan rasa frustasinya saja.
"Kami gak habis ngapa-ngapain, bik. Emang dianya aja yang pengen buang air kecil. Gau usah mikir yang aneh-aneh!"
"Bibik mau lihat orangnya, den. Boleh?"
Rian mendorong punggung bik Sih pelan, agar segera keluar dari kamarnya. Dengan perawakan bik Sih yang bongsor, membuat Rian agak kewalahan mengusirnya karena tenaganya cukup kuat untuk melawan Rian.
"Udah! Udah! Urus dapur aja sana!" usir Rian lagi terang-terangan.
"Kan bik Sih pengen kenalan aja, den. Masa gak boleh?"
Bik Sih sesekali menghentikan jalannya, walaupun Rian tidak sekuat tenaga mendorong tubuhnya.
"Udah, buruan keluar!"
'Klik!' suara pintu yang terbuka.
Tampak Karin baru saja keluar dari pintu kamar mandi. Ia bingung disambut dengan kehadiran bik Sih.
"Halo!" sapa Karin dengan sikap ramahnya pada bik Sih.
Bik Sih dengan wajah datarnya, tidak merespon sama sekali.
'Apa gue salah ya?' batin Karin bingung dengan sikap dingin bik Sih.
Rian menyenggol lengan tangan bik Sih dengan siku tangannya dan membuat bik Sih sadar dari lamunannya.
"Eh... iya," respon bik Sih sungkan. "Bibik keluar dulu ya," pamitnya sambil jalan menuju pintu kamar.
Karin memperhatikan kepergian bik Sih yang sesekali meliriknya saat mau menutup pintu kembali.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 20 Episodes
Comments