Curhat

Rian membawa Karin ke suatu tempat yang tidak jauh dari lokasi sekolahan mereka.

7 menit kemudian

"Disini, tempatnya?" tanya Karin yang sudah jalan melihat sekitaran lokasi.

Danau kecil buatan yang dipenuhi dengan beberapa macam bunga dan beberapa pohon yang rindang. Setidaknya dapat membantu menutupi dari panasnya terik matahari.

Rian menghampiri Karin yang sedang berdiri ditepian danau. Menghirup udara bersih adalah hal terbaik saat ini.

"Udah pernah kesini?"

"Sekali," jawab Rian singkat dan terdengar cuek.

"Sama pacar?" terka Karin.

Rian tersenyum tipis saat mendengar lontaran pertanyaan Karin barusan.

"Apa nanti pacar elu bakalan nyusul kesini juga?" tanya Karin lagi sambil menyelidik sekitaran dengan wajah polos sedikit panik.

Rian menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Oh... aman dong!" ujar Karin lega.

"Aman kenapa?"

"Aman karena pacar lu gak nyusul kesini."

"Hahaha...." tawa keras Rian.

Rian berjalan ke salah satu pohon rindang yang tidak jauh dari mereka berpijak. Dia duduk diatas rumput hijau sambil meluruskan kedua kaki jenjangnya. Karin mengikutinya.

"Kok lu malah ketawa sih? Emang ada yang salah?"

"Gue belum punya pacar," aku Rian.

Tampak wajah Karin diantara kaget, malu, dan salah tingkah tapi akhirnya dia terdiam.

"Gue dibawa sama sopir gue main kesini sekali, karena gue lagi pengen cari tempat buat menyendiri."

"Emang lu ada masalah?"

"Gak ada masalah, hanya kesepian saja."

Rian mulai membaringkan tubuhnya diatas rerumputan dan salah satu tangannya dijadikan penyanggah kepalanya.

"Emangnya lu selalu sendirian di rumah?"

"Ya. Ortu gue sibuk kerja dari waktu gue kecil. Jarang ada waktu buat kita kumpul bersama."

"Saat ultah lu, mereka juga gak ngerayain buat elu?"

Rian meresponnya dengan menggelengkan kepalanya pelan.

"Kasian!" kata Karin spontan.

"Kasian kenapa? Kan emang merekanya yang sibuk. Gue juga udah terbiasa. Lagian apa istimewanya cuma ulangtahun doang?" selanya sok cool.

"Alahhh... Lu tuh butuh kehadiran orang terdekat elu, kan? Cuma lu gengsi aja ngakuin itu semua," celutuk Karin yang hanya dapat lirikan dari kedua mata Rian.

Sorot mata Rian memang memberi pernyataan setuju dengan apa yang Karin terka barusan.

"Lu sendiri? Kenapa tumben lu gak mau langsung pulang ke rumah?"

"Gue juga bete. Tiap kali gue pulang ke rumah, gue stress bawaannya," jawab Karin dengan wajah bete dan bercampur kesal.

"Kok bisa?"

"Ortu gue selalu berantem dari perkara hal kecil hingga dibesar-besarkan. Kadang, barang didekat mereka pun ikut-ikutan jadi amukkan luapan mereka."

"Setiap hari?"

"Iya!" jawab Karin dengan lirikan tajamnya ke Rian.

"Gak usah lihat gue seperti itu juga kali," ledek Rian yang akhirnya Karin memutar kedua bola matanya ke arah danau. "Tapi... kok lu betah aja?"

"Gue pernah pergi dari rumah, cuma ya.. percuma."

"Percuma?"

"Mereka seolah-olah nganggap gue gak pernah ada. Mau gue kabur kemana aja, mereka gak bakal nyari gue."

'Separah itu sikap kedua orangtuanya pada dia?' batin Rian yang empati dengan Karin.

Karin duduk dengan melingkarkan kedua tangannya pada kedua lututnya yang ditekuk, lalu membenamkan kepalanya disana.

'Dia, nangis?' terka Rian yang melihat keanehan sikap Karin.

Rian bangun perlahan dan bergeser duduk tanpa jarak dari Karin. Tangan kanannya mencoba menarik salah satu lengan tangan Karin, agar memudahkannya melihat apa yang sedang terjadi dengannya.

Karin mengangkat kepalanya perlahan, tapi ia langsung buang muka untuk menghindari tatapan Rian. Tapi Rian tetap mencoba mengalihkan wajah Karin ke arahnya dengan jemarinya agar dapat melihat wajahnya.

"Elu..." Rian tidak sanggup bicara lagi ketika melihat wajah Karin mulai basah karena air matanya yang mengalir.

Karin hanya bisa menunduk malu, walaupun dagunya masih dipegang Rian. Ia diam terpaku dengan posisinya saat ini.

"Apa ada yang mau lu ceritain ke gue?"

Rian melepaskan jemarinya dan ingin melihat Karin agar lebih nyaman.

"Gue..." Karin belum tahu mau mulai darimana menceritakannya. Ia sendiri tampak bingung.

Rian memandang ke arah danau. Ia menarik nafas dan membuangnya perlahan. Deru nafasnya terdengar jelas ditelinga Karin. Rian tampaknya memberikan waktu agar Karin menjadi tenang dulu.

"Kadang kita hidup emang gak sesuai dengan kemauan kita," kata Rian yang mengalihkan kesunyian. "Contohnya keluarga gue. Ortu sibuk kerja, gue cuma sama pembantu dirumah. Yang urus gue ya cuma orang suruhan ortu aja. Mereka yang kasih laporan ke ortu. Jadi... ortu cuma nanya kabar sama kebutuhan apa aja yang kurang di gue saat bicara sama gue di telepon. Mereka gak mau tau tentang apa yang gue suka atau yang gue gak suka. Seolah-olah gue juga pernah merasa seperti apa yang lu ngomong tadi.. apa sebenarnya mereka nganggap gue ada atau gak?"

Karin mengusap air matanya dengan jemarinya. Ia sepertinya dapat mencerna topik yang Rian bicarakan, hanya saja ia masih terdiam.

"Gue bukan ngerasa gue paling bener juga. Cuma... gue ngerasa kalau kita itu gak beda jauh. Hanya perilaku ortu kita aja yang membedakannya," lanjut Rian.

"Gue ngerasa gak dihargai di rumah. Udah capek-capek pulang sekolah, ngebantuin mama bersihin rumah yang berantakan seperti kapal pecah setelah bertengkar sama papa, dan ujung-ujungnya gue kena makian juga yang gue sendiri bingung salah gue apa. Hanya karena gue anak mereka, mama suka bilang kalau sikap keras kepala gue tuh mirip ama papa gue. Pokoknya dimata mereka, gue gak ada benernya," Karin menceritakannya sambil tak bisa menahan air matanya yang mengalir lagi.

Rian tidak punya sapu tangan atau pun tisue. Ia menggunakan jemarinya membantu membasuh air mata Karin. Sontak perhatian Rian mengundang rasa aneh bagi Karin.

'Nih orang kenapa tiba-tiba sok romantis gini sama gue? Belum lagi, jantung gue ikutan berdegup kencang,' batin Karin yang merasa aneh dengan jatungnya.

Kedua mata Karin menatap wajah Rian yang tampan. Tatapan Karin juga dibalas oleh Rian. Mereka terdiam seribu bahasa. Jemari kedua tangan Rian masih menyentuh pipi Karin.

"Bagaimana kalau mulai saat ini..." Rian belum meneruskan kalimat selanjutnya. Ia fokus dengan sorot mata Karin yang menatapnya serius dan penasaran dengan kalimat seterusnya. "Lu berbagi cerita masalah yang lu hadapi ke gue," lanjutnya.

Karin tercengang. Ia tidak menyangka, Rian antusias ingin menjadi tempat curhatnya.

Rian melepaskan tangannya. Ia kembali ke posisi semula, yakni kembali baring di atas rumput dan menghadap ke langit-langit.

"Sini!" seru Rian sambil menarik salah satu tangan Karin agar bisa mengikutinya baring disebelahnya.

Karin menuruti dan melakukan hal yang sama dengan Rian. Mereka sama-sama menatap ke atas langit.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!