Mandala

Mandala

Prolog

Prolog

Badai besar telah menghancurkan bumi dan seluruh peradaban di atasnya. Bahan-bahan dan hasil uji coba ilmuwan berhamburan kemana-mana, banyak diantaranya memancarkan radiasi kepada penduduk bumi. Mereka yang selamat, berhasil bersembunyi, dan kembali membangun peradaban baru.

Kota Trikad menjadi penggagas berdirinya kota baru dan membagikan sumber daya yang mereka miliki kepada seluruh penduduk di pulau yang mereka huni. Trikad memiliki pejuang favorit mereka: Mandala, ksatria dan pelindung manusia dari Lentipede, makhluk bayangan hasil evolusi virus dan parasit masa depan.

Lambat laun, kehidupan manusia kembali seperti semula. Empat kota lainnya berdiri dan membentuk suatu perjanjian kerjasama untuk saling melindungi. Pusat kota dibangun. Gedung-gedung perkantoran, perumahan, sekolah, taman bermain, didirikan di dalam masing-masing kota. Manusia kembali bekerja, belajar, dan

berbisnis di dalam rumahnya; belum berani menjelajah lebih luas.

Ketika manusia mendapat perannya lagi, masalah klasik peradaban manusia muncul kembali.

12 tahun yang lalu…

              “Lentipede terlihat di perbatasan, Neena. Trikad harus diamankan.”

              Komandan Ri berbicara dari seberang meja kaca besar di ruangan itu. Hari musim panas pertama, cahaya matahari masuk dari 7 jendela besar berbentuk oval panjang berlapiskan kaca penyerap gelombang ultraviolet. Ruangan itu berukuran lima belas kali sepuluh meter persegi, dicat putih tulang pada dindingnya dan dijejali dengan lukisan-lukisan Neena dari generasi Trikad pertama. Terdapat meja kaca besar di tengah ruangan, 14 kursi melingkari meja tersebut dan hanya ada 2 kursi kosong yang tersisa.

              Seorang wanita muda, dengan wajah berusia 30-an, mengenakan jubah abu-abu dari bahan satin sepanjang mata kaki. Rambutnya cokelat kemerahan digelung ke atas dan sebagian ditutupi topi kecil senada dengan jubahnya. Salah satu tangannya memainkan sebuah remote kecil, tangan lainnya diketuk-ketukan di atas meja seperti sedang menghitung. Wajahnya tidak terlalu cantik, namun sangat anggun dan berwibawa.

              “Ini sudah yang ke-3 kali dalam separuh tahun.”

              Wanita itu menjawab sambil memalingkan wajah ke salah satu jendela, seperti sedang menerawang keluar. Sepuluh orang lainnya sibuk membuka apa yang tampak seperti laptop, namun tidak memiliki tombol. Hanya ada angka dan titik-titik yang bergerak-gerak.

             “Sepertinya mereka membuat semacam koloni. Ada banyak sekali Lentipede yang bergerumul di sisi selatan, daerah pesisir pantai. Sebagian lain masih memencar ke seluruh kota.”

              Seorang pemuda gempal melaporkan hasil pekerjaannya ke tengah rapat. Ia membuat gerakan menarik dengan tangannya. Gerakan tersebut memunculkan hologram berupa titik-titik hitam melayang di atas meja kaca.

              Semua orang memusatkan perhatian kepada peta negeri mereka. Wanita muda itu memencet tombol

di remotenya dan membesarkan gambaran titik hitam tersebut menjadi ratusan kadal, ular, kelelawar, dan kawanan binatang berwarna hitam lain yang mengerubungi suatu titik. Sebagian orang bergidik melihat pemandangan itu.

              “Neena, ini belum pernah terjadi. Lihatlah, mereka seperti bisa berpikir! Seperti sedang menyusun strategi untuk menyerang!”

              Komandan Ri berdiri sambil menunjuk-nunjuk hologram tersebut yang kemudian menjadi samar karena terkena lengan Komandan.

              “Dengan segala hormat, Neena, mereka hanyalah binatang-binatang sisa hasil evolusi ratusan tahun lalu. Mereka berbahaya karena berpenyakit. Mereka tidak memiliki akal, sehingga tidak mungkin…”

              “Tidak mungkin apa?!” sembur Komandan Ri.

              Kata-kata Hos terpotong oleh seruan Komandan Ri. Hos berhenti sebentar. Ia menata rambutnya yang klimis dengan gugup, dan berusaha menguasai dirinnya kembali.

              “Tidak mungkin mereka punya kapasitas otak yang cukup untuk menantang kita perang, Komandan.”

Suara dentuman keras berbunyi saat Komandan Ri menonjokkan tangannya ke atas meja. Semua terkesiap, kecuali wanita yang duduk di sisi seberang meja Komandan.

              “Kau bisa lihat sendiri, Hos. Kau bukan orang bodoh. Mereka bergerumul, bekerja sama, menyusun strategi, untuk menyerang Trikad. Cepat atau lambat, kita akan dikuasai mereka”

              “Cukup.”

              Wanita itu bangkit dari kursinya. Jubah satinnya terbuka sedikit dan menampilkan blus panjang warna putih dibaliknya. Ia memandangi dua kursi yang kosong di ruangan itu.

              “Kita belum dengar infromasi apapun dari mereka. Seharusnya mereka sudah sampai.”

              Ia melirik ke arah tangan kanannya. Di sana terdapat hologram lain yang menunjukan angka 10.25, waktu pada saat itu. Biasanya mereka tidak pernah terlambat. Sebagai seorang wanita, ia menjadi sangat khawatir. Namun, situasi sudah cukup rumit. Semua yang cukup bijak harus mampu menguasai diri mereka.

              “Kita belum bisa mengambil kesimpulan. Ada banyak kemungkinan yang bisa terjadi sekarang,”

seru wanita itu.

              Komandan Ri terlihat gelisah. Ia memutar kursinya dengan tidak sabar. Hos terlihat lebih tidak nyaman lagi. Ia beberapa kali menelan ludah dan tidak sengaja menyentuh rambutnya kembali.

              Sepuluh orang lain yang membuka laptop pun berhenti bekerja. Mereka menunggu siapapun melanjutkan rapat ini.

              “Tapi, kuakui memang ini situasi yang sulit, Neena. Freo-Freo di kota lain nampaknya juga memiliki kekhawatiran yang sama. Mungkin lebih baik kita juga berbincang dengan mereka,” Hos akhirnya membuka suara kembali. Ia menatap Neena dan binatang-binatang di hologram itu bergantian.

              “Tidak sebelum aku mendengar laporan dari semua orang kita dahulu.”

              Komandan Ri tampak masih kesal, namun ia tidak berkata apa-apa. Ia melihat hologram hitam

itu dengan mata yang marah.

              “Apa sebaiknya saya hubungi mereka lagi, Neena? Ini sudah lebih dari setengah jam dari jadwal pertemuan.” Salah seorang pegawai yang memegang laptop mengajukan diri. Neena menoleh ke arahnya dan mengangguk.

              “Ya, coba hubungi mereka lagi.”

              Kemudian mereka terdiam. Satu-satunya yang bergerak adalah hologram hitam berbentuk hewan-hewan

transparan itu. Pemandangan yang cukup menjijikan untuk mereka yang benci hewan liar. Hos sepertinya sudah muak dengan hologram itu dan menyikut si gempal untuk segera mematikannya. Tepat ketika hologram dimatikan, pintu ruangan terbuka.

              “Salam, Neena. Maafkan keterlambatan kami. Namun, hanya saya dan Kiara yang bisa muncul di

sini.”

              Seorang pria muda berpakaian serba putih masuk ke dalam ruangan dengan tegap. Ia mengenakan

potongan jaket tanpa lengan, tanpa baju dalaman. Celana putih sepanjang ¾ kakinya robek di bagian samping lutut kiri. Warna merah darah menghiasi bagian yang robek tersebut. Sepatunya masih utuh, tapi tampak kotor sekali dengan berbagai noda warna gelap. Sebuah senapan laras panjang yang sangat besar diselempangkan di punggungnya. Tangan kirinya mengenakan sarung tangan yang sudah compang-camping, memerlihatkan setengah jarinya yang kotor.

              Semua orang, selain Neena, berdiri dan masih tercengang dengan penampilan pria itu. Sebagian

lain melongok ke luar pintu, mencari-cari sosok lain yang mungkin akan sama parahnya dengan penampilan kawannya ini.

              “Neena.”

              Pria itu berjalan mendekati Neena. Ia berlutut dengan 2 kakinya. Mata nya masih menatap mata wanita itu. Ia mengangkat kedua tangannya dan menaruhnya di dada, tangannya disatukan pada telapak seperti isyarat meminta maaf. Sambil masih mejaga kontak mata, ia melanjutkan.

              “Seorang Mandala telah tewas.”

              Terdengar suara berisik di dalam ruangan. Komandan Ri berlari kearah pria itu. Hos menarik tubuh Komandan yang terlihat seperti akan mencengkeram si Pria. Neena tidak menampakan ekspresi apapun. Pelan-pelan ia bangkit dari kursinya.

              “Kumpulkan,” katanya tajam.

              “Kumpulkan semua Mandala di kota ini.” Ia menatap lurus ke depan.

              “Hos, pasang tanda Siaga II di seluruh kota.”

              Hos mengangguk dan menyeru perintah kepada beberapa pegawainya. Pria berjubah putih tadi bangkit berdiri dan menghadap ke arah Komandan Ri yang duduk diam di atas kursi. Wajahnya sangat merah dan air mata keluar cukup deras. Ia tampak sangat hancur, lebih hancur dari pria ini.

              “Ri, maafkan aku. Ia mengorbankan dirinya sendiri saat makhluk itu menyerang kami.”

              “Maaf aku tidak bisa menyelamatkan putrimu.”

              Di kejauhan, berbagai makhluk bayangan perlahan merayap ke seluruh kota. Sekolah, perumahan,

perkantoran, pertokoan, dan tempat-tempat yang disinggahi manusia telah dipenuhi oleh mereka. Seorang wanita berbaju putih berlari ke dalam rumah, mencoba mencari kedua anaknya. Demi keselamatan mereka semua.

Terpopuler

Comments

kerennn😭😭😭

2022-07-03

1

Yudisupriyadi

Yudisupriyadi

Bb5btbbbbbbb5

2022-06-15

0

Yudisupriyadi

Yudisupriyadi

Ku k

2022-06-15

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!