Serangan Pertama

Malam sudah menyelimuti Trikad sejak 4 jam yang lalu. Bulan purnama penuh naik menyinari malam, menyaingi cahaya lampu. Kota mulai sunyi. Tidak ada konser musim panas minggu ini. Trem terakhir sudah meninggalkan pusat kota dan menuju tempat perhentiannya. Gedung-gedung perkantoran kosong, sedangkan restoran dan

kelab malam menyalakan lampu yang terlihat dari luar. Suara dari dalam kelab terhalang total oleh peredam suara sonik, sehingga kota menjadi benar-benar hening.

              Prajurit di perbatasan dinding timur berganti giliran. Empat orang di tiap pos pengamatan, 2 orang di bawah pintu masuk pos. Dinding sisi timur Trikad memiliki ketebalan yang lebih tinggi dibandingkan sisi lain karena perbatasannya dengan laut. Pelindung elektromagnetik memiliki arus magnet yang lebih tinggi di sisi ini.

              Laut tampak bergemuruh, sepertinya akan pasang. Menurut manometer di layar pos, angin berhembus dengan kecepatan 80km/jam. Kemungkinan akan terjadi badai malam ini. Selain itu radar tidak menangkap apapun, tidak juga dengan burung-burung dan hewan lain.

              Sebuah bayangan hitam muncul dari sisa ombak yang menghantam bibir pantai dan membentuk sebongkah bola. Bola hitam itu membesar dan berubah menjadi hewan mirip makhluk, berkaki empat,

berekor panjang dan kepala bermoncong dengan lidahnya terjulur. Hewan itu semakin membesar hingga kurang lebih 2 meter dengan lebar setengah meter. Salah seorang prajurit lari ke dalam pos pengamat dan menyalakan sirine yang menggema hingga ke seluruh kota. Hewan itu menggoyang-goyangkan kepalanya dan mulai

bergerak maju, berjalan cepat seperti ingin menerobos dinding logam yang menjulang tinggi di depannya.

              Laser-laser ditembakan namun justru pasir dan karang berhamburan terkena dampak laser yang menembus hewan itu, seperti bayangan. makhluk itu bergerak semakin mendekati dinding. Di dalam pos, sekarang sudah ada lebih banyak prajurit dengan seragam cokelat dan senjata radiator besar. Semua berbaris dan membidik hewan itu yang terus bergerak seperti tidak terpengaruh apapun.

              “Komandan, arus listrik sudah dialirkan ke dinding sisi ini. Siap untuk melepaskan kejutan.”

              Komandan Ri, bapak tua gemuk yang memakai seragam hijau dan topi segitiga runcing berpin banyak bintang, berdiri di tengah pos. Ia menarik nafas pendek dan menjawab, “Kejutkan.”

              Seluruh prajurit mengenakan sarung tangan karet dan berpegangan di tiang penyangga pos yang juga dilapisi karet tebal. Komandan Ri mengenakan sarung tangannya sendiri. Prajurit yang melaporkan arus listrik bersiap menekan tombol “Kejut” di panel pos.

              Hewan itu semakin dekat. Tinggal sedikit lagi, ia akan menempel di dinding logam. “Sekarang!” seru Komandan Ri. Terlihat percikan arus listrik yang mengalir dari berbagai dinding Trikad melalui kawat laser di depan mereka. Seperti sebuah halilintar, logam tersebut menyetrum hewan yang sudah menempel di dinding logam mereka.

              Arus listrik perlahan kembali menurun. Semua mata tertuju pada monitor di pos pengamatan.

              Hewan itu tetap merangkak naik.

              Terdengar suara panik dari sebagian besar prajurit di pos. Apapun yang mereka lakukan, hewan itu tidak berhenti. Ia merayap semakin tinggi, sebentar lagi hewan itu akan melewati pos pengamat dan masuk ke medan elektromagnetik yang belum pulih karena serangan kejutan tadi.

              Komandan Ri menghentakan pin bintang di dadanya, sebuah hologram berbentuk wanita berambut putih dengan tiara muncul di hadapan mereka.

              “Tidak berhasil, Neena.”

              Wanita hologram itu mengernyit. Ia tampak tidak senang, wajahnya yang bijaksana menjadi keras dan berkata, “Panggil Mandala. Sekarang!”

              Tepat setelah wanita itu berbicara, hewan besar itu melewati pos pengamatan dan melompat melewati dinding kota tanpa terhenti oleh apapun. Hewan itu mendarat di pepohonan tinggi, turun ke jalan bertanah, masuk ke jalan setapak dan mulai merangkak dengan kecepatan tinggi menuju gang kecil di jalan 56.

              Sebuah van putih melaju membelah jalanan utama pusat kota. Van itu membawa tombak besar berwarna perak yang diikat di atap mobil. Lima orang berjas putih tanpa lengan, tanpa baju dalaman dan denim putih mengalungi bermacam-macam senjata keperakan yang tersedia di dalam van. Jas putih mereka memiliki lambang bulan sabit di sisi kiri atas yang sekarang menyala terang. Seorang pria botak berbadan besar, menyentuh lambang miliknya. Hologram laki-laki berambut abu-abu muncul dihadapan mereka.

              “Aku harap kalian bisa. Kalau tebakan kita benar, ini adalah ancaman yang sangat serius bagi Trikad.”

              Pria tadi mengangguk paham. “Kami akan berusaha. Gada ini harusnya bisa membunuh makhluk itu.”

              “Harus bisa. Kami mengandalkan kalian.”

              Kemudian hologram wanita itu menghilang. Empat orang lainnya berpandang-pandangan. “Kau yakin dengan Gada ini? Aku tidak tahu seberapa besar makhluk itu sekarang, tapi tampaknya lebih besar dari yang kita pernah hadapi, kan?” salah seorang wanita berambut cokelat ikal bertanya dengan gugup.

              Si pria botak hanya mendengus pelan. Semua Mandala di van itu tahu ini bukan Lentipede biasa. Tidak ada yang yakin apakah misi ini bisa berhasil atau tidak. Bahkan si pria tidak tahu apakah dia akan tetap bisa hidup pada pagi hari nanti.

              “Tidak tahu, Yu. Tidak ada yang tahu. Tapi, sebagai seorang pelindung manusia, sebaiknya kita meyakinkan yang dilindungi untuk tetap berharap, kan?” Pria lain yang berbadan lebih kecil menjawab.

              “Berbohong lagi untuk kebaikan,” cibir wanita lain yang berkepala botak. Van sudah mendekati jalan 56. Tidak terdengar suara apapun selain deru mesin van, tapi lampu-lampu di jalan tersebut tampak lebih redup dari jalan lainnya.

              “Aku tidak berbohong. Aku bilang Gada ini harusnya bisa membunuh makhluk itu. Ya, memang harusnya bisa,” tukas si pria botak.

              Van berhenti di depan jalan 56 dan membelok sempurna sehingga pintu belakang van membuka tepat di muka jalan. “Tapi, Gada ini baru diuji di dalam lab, belum ada uji lapangan yang menyatakan tingkat efektifitasnya.” Pria lain yang bersurban akhirnya membuka suara.

              Mereka berlima meloncat dari van dan menyiapkan busur panah, tombak, senapan, parang dan Gada besar yang dipegang oleh si pria botak.

               “Iya benar, Kawan.”

              Si pria botak meregangkan leher dan tubuhnya, bersiap untuk maju. Keempat temannya melakukan hal yang sama.

              “Tapi, mereka tidak perlu tahu itu.”

              Bersamaan, mereka menyentakan sepatu boot putih ke permukaan jalan.  Asap biru keperakan muncul dari bawah boot dan membawa mereka terbang, melesat memasuki jalan 56.

              Cahaya jalan yang semula redup menjadi mati total. Satu-satunya penerangan datang dari cahaya bulan purnama yang remang-remang. Semua Mandala mengenakan masker pelindung wajah dan kepala.

Kain perak meluncur dari dalam jas putih, mengikuti bentuk tubuh untuk menutupi lengan dan badan mereka. “Nyalakan lampu sorot,” suara Pria botak terdengar dari balik earphone masing-masing. Lima buah lampu sorot muncul dari masker pelindung. menampilkan jalan yang lebih sempit dari jalan utama dan toko-toko yang sudah tutup. Sebagian besar toko menjual pernak-pernik yang berpendar ketika cahaya lampu sorot menyinari toko.

              Mereka mendarat perlahan dan menyebar membuat formasi piramida dengan si pria botak di puncak paling depan. Cahaya lampu sorot menyusuri jalanan dan toko hingga ke gang kecil. Tidak ada apa-apa di sana. Wanita berambut ikal melepas maskernya, “Kemana perginya makhluk itu?”.

              “Yu! Pakai maskermu kembali! Kita tidak tahu seberapa kuatnya...”

              Kata-kata si pria sorban terputus karena jeritan Yu. Mereka semua terkesiap saat melihat makhluk hitam besar setinggi hampir 2meter sedang merayap perlahan mendekati si pria botak. Makhluk itu tidak menghilang seperti bayangan jika terkena lampu sorot, namun berwujud semi transparan sehingga jalanan dan pertokoan di belakangnya samar-samar bisa terlihat.

              Si wanita botak mengambil busurnya, memposisikan diri, dan bersiap melepaskan anak panah perak ke arah makhluk. Si pria surban membidik kepala makhluk dengan senapan panjang, bersiap menembak. Si pria kurus dan Yu mengacungkan tombak secara bersamaan. Mereka menunggu aba-aba dari si pria botak.

              Perlahan si pria botak mengangkat Gada melewati pundak besarnya. Gada itu bersinar biru keperakan ketika si pria botak menyentakan pangkalnya. Makhluk itu sepertinya tertarik dengan cahaya dari Gada dan menggoyang-goyangkan kepala. Lidah panjangnya terjulur keluar masuk seperti ingin menyantap makanan.

              Dan tiba-tiba saja makhluk itu merayap dengan sangat cepat, siap menerkam si pria botak. “Maha!” jerit si wanita botak. “Formasi siap!” Maha si botak mengangkat tangannya yang bebas. Yu dan si pria kurus menghentakan boot dan melayang, posisi tombak mereka siap menghunus makhluk itu di atas udara.

              Makhluk itu merayap semakin dekat. Sepuluh meter lagi. Semua pAndangan tertuju ke makhluk raksasa itu. Mereka berada dalam posisi menyerang.

              Dua meter lagi.

              “Sekarang!”

              Senjata-senjata diluncurkan ke arah kepala makhluk. Dua tombak menembus leher makhluk dari kedua sisi, anak panah menusuk ke dalam kerongkongan, dan peluru senapan si surban menjadi serangan bertubi-tubi ke puncak kepalanya. Maha mengangkat Gadanya lebih tinggi untuk menghujam makhluk yang sudah ada di depan matanya, “Matilah, kau!”

              Dalam satu hentakan, Gada itu menghujam kepala si makhluk dan sinar biru keperakan masuk kedalam kepala makhluk kemudian mengalir ke seluruh tubuhnya. Maha menahan Gada itu tetap menghantam kepala makhluk sambil memekik kencang.

              Kepala makhluk itu lepas dari badannya. Badannya masih menggeliat dan tidak berhenti bergerak.

              “Belum mati?!” jerit si Pria kurus panik.

              Si wanita botak menarik golok besar dari balik jubahnya. Ia berlari ke sisi kiri Lentipede sambil menyayat

tubuh makhluk itu. Si pria surban mengambil tombak yang telah jatuh dan melakukan hal yang sama pada sisi kanan makhluk. Kemudian bersama-sama Maha mengangkat gadanya kembali dan memukul sisa badan makhluk itu bertubi-tubi. Beberapa saat kemudian, Lentipede menjadi semakin ringan dan transparan. Saat makhluk itu menghilang, mereka semua berhenti mengayunkan senjata masing-masing.

              Bekas hitam gosong tertinggal ujung tombak dan panah yang sempat menancap di tubuh makhluk. Namun Gada besar itu utuh tanpa bekas. Gada itu masih berpendar biru keperakan. Maha menggenggam

pangkal Gada, mengguncangkannya sedikit, dan cahaya itu perlahan padam. Si pria kurus mengeluarkan botol spray. Kabut putih menyeruak keluar dari dalam botol saat ia menekan ujungnya. Seluruh Mandala tenggelam dalam kabut itu selama beberapa detik, yang kemudian menghilang kembali.

              “Lampu jalan belum menyala. Sepertinya makhluk itu merusak penghubung arus ruas jalan ini,” kata si pria kurus.

              “Kau baik-baik saja?” tanya Yu sambil membantu Maha berdiri. Si Surban juga ikut membantu Maha. “Ya, terima kasih.”

              “dan sepertinya begitu Bon. Kali ini Lentipede benar-benar sudah berevolusi,” jawab Maha.

              “Tapi, itu tidak mungkin! Lentipede hanya menyerang makhluk organik. Sirkuit listrik kita hanyalah kabel-kabel tembaga, tidak ada kehidupan di sambungan listrik,” tukas si wanita botak.

              “Lalu, kenapa listrik di jalan ini ikut mati? Korslet karena serangan dinding tadi?” tanya si Surban. Bon dan si wanita botak tiba-tiba tersentak. “Atau jangan-jangan si makhluk benar-benar menyerang makhluk organik.”

              Mereka berdua mengaktifkan sepatu boot dan terbang mencari sambungan sirkuit  ruas jalan itu. Bon berhenti di ujung jalan dan menarik wanita botak. “Maha, Joke, Ayu kalian sebaiknya ke sini,” panggil Bon melalui earphone mereka. Lalu, ketiganya terbang menghampiri Bon dan si wanita botak.

               “Oh, tidak!” jerit Ayu. Di hadapan mereka tergeletak sesosok tubuh wanita berusia 20an dengan kaus abu-abunya dan celana denim selutut. Matanya terbelalak ke atas, tubuhnya tidak bergerak. Tangan kirinya tersangkut di dalam kotak sambungan listrik yang terbuka. Sebagian kabelnya gosong.

              “Sudah meninggal,” kata Bon sambil menutup mata wanita itu. “Apa yang ia lakukan di sini? Maksudku ini sudah hampir tengah malam,” tanya Ayu, lengannya menggenggam tangan jasad itu, seaakan berharap wanita itu hanya tertidur. “Ingin melawan makhluk itu?” jawab Joke ragu-ragu.

              “Aku tidak yakin,” kata Bon. “Lihat, tangannya tersangkut di dalam kotak sirkuit.” Lampu sorot mereka sontak menyinari kotak itu. Terdapat bayangan beberapa perkakas tua yang tertinggal di dalamnya.

              “Dia sedang melakukan sesuatu dengan sirkuit, lalu mati, dan makhluk itu datang,” tebak si wanita botak. “atau..”

              “Lentipede membunuhnya terlebih dahulu, lalu tangannya yang tersangkut mematikan sambungan listrik,” sambung Maha.

              “Artinya area ini harus dibersihkan,” Bon menyalakan sepatunya dan kembali terbang. “Atau akan muncul Lentipede baru dari jasadnya.”

              “Kita harus bergegas memanggil markas,” seru Joke. Semua Mandala bergerak menjauh dari tempat itu, kecuali Yu. Wanita itu terlihat terpukul sekali. Bon turun kembali untuk mengajak Yu pergi.

              “Sayang, singkirkan tanganmu dari jasad itu,” bisiknya perlahan.

              “Atau kita semua ikut mati.”

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!