Setelah mencoba menghubungi Ona lagi, tapi belum berhasil juga, Leno mengenakan sepatu karetnya dan menyelinap ke luar erFu. Leno sudah terbiasa mengendap-endap di luar asrama sebelumnya, tapi tidak pernah saat malam hari. Suhu malam musim panas tidak terlalu dingin, Leno tidak membutuhkan jaket untuk keluar menembus jalan utama FIGHR. Kakinya berbelok kearah timur, tempat perpustakaan yang dituju Leno.
Perpustakaan itu ada di gedung Sukradji, gedung kelas 1-3. Sambil menenteng botol minum berisi susu cokelat dan roti kelapa, Leno menunduk memperhatikan jalan dengan sangat hati-hati. Ia hanya mengandalkan penerangan dari sinar bulan. Leno tidak berani mengaktifkan senternya karena takut ketahuan Reppe yang berpatroli saat malam. Kalau bukan untuk menemani Mia, ia sudah berbaring di kamar sambil menonton konser langsung SevenG melalui laman web mereka.
Perpustakaan sudah tutup dan gelap sekali dari luar. Penerangan hanya berasal dari sinar bulan dan lampu LED yang menyorot nama PERPUSTAKAAN FIGHR. Perpustakaan tidak memiliki gerbang pelindung
apapun, namun pintu besinya tertutup rapat. Hanya ada pemindai yang berupa kotak kecil dengan cahaya laser merah di tengahnya. Leno mengusap dX85 miliknya dan mencari-cari pesan dari Mia. Mia berhasil, entah bagaimana caranya, mendapatkan barcode karyawan FIGHR sehingga mereka bisa masuk ke tempat manapun di luar jam kegiatan murid. Leno mendekatkan barcode itu ke mesin pemindai.
Pintu besi terbuka. Leno cepat-cepat masuk ke dalam dan membiarkan pintu itu menutup sendiri. Cahaya lampu menyala otomatis saat Leno melangkah melewati meja registrasi. Buku-buku berderet di dinding perpustakaan yang menjulang hingga ke langit-langit setinggi 25 meter. Dinding itu berbentuk setengah bola dengan atap datar yang menutupi atasnya. Buku-buku dilindungi kaca transparan yang memiliki tekanan negatif. Kertas-kertasnya yang sudah tua harus dijaga sekaligus memudahkan buku ditransportasikan dari tempatnya menuju saluran kotak transparan yang berjejer di sekeliling dinding. Saluran itu berujung pada meja yang memiliki tombol angka dan huruf untuk mengetik judul buku yang ingin dibaca. Setelah nama judul atau nomor seri buku diketik, transporter otomatis menarik buku yang dituju dan membawanya turun ke meja dengan hati-hati.
Tapi, Leno di sini bukan untuk meminjam buku-buku tua yang masih beralaskan kertas kayu itu. Ia tidak ada niatan membaca. Leno berjalan ke tengah perpustakaan mencari-cari sosok lain yang sedang menunggunya di dalam sini.
Mia duduk di sisi kanan terjauh perpustakaan, sekat 34, sekat langganan Mia sejak kelas 1. Leno bisa melihat punggung dan rambut ikal Mia yang digelung dengan rapi. Mia membalikan badan.
“Berhasil juga aku membujuk putri bolos untuk datang ke sini.”
“Kau benar-benar punya nyali, Mi. Gelap sekali tahu.”
“Aku di sini dari sore. Kau yang punya nyali menerobos asrama malam-malam begini.”
“Aku gak mau kau sendirian, jelek. Ini makan dulu.”
Leno menyodorkan botol minum dan rotinya. Mia menyubit pipi Leno tana terima kasih. Ketika Mia mulai mengunyah, Leno mendekat ke meja yang sudah bertebaran buku dimana-mana.
Lentipede, Teori Evolusi Virus; Mandala: Sejarah yang Terungkap; Argentum dan Turunannya; Politik Trikad di Masa Lampau; Cerita-cerita Negara Lama; dan beberapa kertas catatan yang Mia sudah tulis
sendiri tergeletak terbuka di atas meja. Tapi Leno melihat benda yang berbaur bersama buku dan kertas-kertas Mia. Ada sebuah tongkat besi berukuran 1 meter dengan ujung runcing yang dibalutkan cat tipis keperakan. Leno mengambil benda itu.
“Apaan nih?”
Mia hampir menyemburkan susu cokelatnya dari botol minum.
“Heh, jangan langsung pegang-pegang! Itu karyaku hari ini.” Mia merebut tongkat besi yang setelah
diperhatikan menjadi mirip dengan semacam tombak panjang berwarna keperakan. Leno pernah melihat senjata yang mirip seperti ini tapi ia lupa dimana.
Mia meneguk habis minumannya dan menaruh botol kosong itu di atas meja. Ia menyusun buku-buku dan catatannya seperti ingin memulai presentasi kasus.
“Sudah siap mendengarkan?”
Leno tidak punya pilihan selain mengangguk. Ia duduk di kursi terbang di sebelah Mia. Mia menarik nafas dalam.
“Apa yang kau ketahui tentang makhluk itu?”
“Yah.. suatu produk evolusi yang berbahaya. Mematikan makhluk hidup hanya dengan menyentuhnya.”
“Apa yang membuatnya begitu kuat?”
“Hm.. makan yang banyak? Olahraga yang cukup? Relaksasi dan pengelolaan stress yang baik?” Seketika Mia menyentil dahi Leno.
“Apa?! Aku tidak tahu, Mi. Lebih baik kau jelaskan saja.”
“Berkembang biak,” jawab Mia dengan puas.
“K..kawin membuat mereka kuat maksudmu?”
Mia mengangguk ragu. “Ya, aku tidak bisa menyebut makhluk itu kawin juga. Bahkan aku tidak bisa menyebutnya makhluk hidup! Mereka punya sifat yang berbeda dari tanaman, tumbuhan, primata, unggas, bahkan reptil sekalipun bentuk Lentipede sangat mirip. Mereka tidak makan, tidak bernafas, tidak tumbuh dan berkembang. Mereka tercipta begitu saja dan membelah diri kemudian menyatu membentuk tubuh yang bergerak dan berkoordinasi mirip hewan. Mereka adalah sekumpulan partikel mikro yang berfusi dengan bantuan ikatan organik sel inangnya.
Tapi tubuh mereka tidak sempurna. Fusi yang mereka lakukan satu sama lain tidak memiliki kerapatan yang lebih tinggi dari jarak antara partikel cahaya. Sehingga tubuh mereka terlihat transparan, tapi tetap menyatu.”
“Oke.. jadi benda yang bukan makhluk hidup ini punya bentuk seperti hewan tapi tidak nyata gitu maksudmu?” tanya Leno memastikan.
“Nyata atau tidaknya sesuatu bergantung pada indera kita masing-masing. Kau bisa bilang hantu itu yata kalau matamu percaya apa yang ia lihat. Kau bisa bilang angin itu nyata karena kulitmu merasakannya. Kenyataan adalah perspektif diri masing-masing terhadap apa yang kita percaya.”
“Kau cocok dipahat jadi patung filsuf, Mi,” ledek Leno.
“Aku akan memahat wajahmu duluan,” ujar Mia. Ia menegakkan badannya sedikit.
“Lalu, apa yang membuat mereka membesar dan menyerang makhluk hidup?” tanya Leno lagi.
“Lentipede memiliki kebutuhan berkembang biak yang tinggi. Sebagian membutuhkan tempat untuk melakukannya, sebagian lainnya tidak. Mungkin beberapa ratus tahun yang lalu mereka membutuhkan sel organik untuk mengkode transkripsi genetik mereka dan membuat sel itu menjadi pabrik penghasil anak-anaknya. Jika mereka keluar dari sel itu, mereka tidak bisa melakukan apa-apa alias ‘mati’ sementara. Intinya mereka butuh makhluk organik untuk bisa menuntaskan takdir mereka. Tadinya seperti itu.”
“Tadinya?”
“Sekarang mereka bisa mencuri sel organik yang sudah hampir mati dan menggunakannya untuk memperbanyak diri. Itulah mengapa Lentipede biasanya tercipta di sekitar bangkai atau luka yang dibiarkan di alam bebas. Kolonisasi bakteri juga menarik mereka datang dan berusaha mengambil alih sel organik atau makhluk hidup asli seperti kau dan aku ini,” kata Mia menunjuk Leno.
“Itu… tunggu… Itu tetap tidak menjelaskan mengapa mereka membentuk seperti makhluk raksasa dan tahu-tahu datang dari antah berantah dan masuk ke kota dengan pengamanan super ketat,” ujar Leno bingung.
Mia menghela napas. “Aku tidak tahu makhluk sebesar apa yang telah mati dan menghasilkan Lentipede setinggi 2 meter. Biasanya ukuran Lentipede bergantung pada banyaknya sel inang yang hampir mati. Semakin luas luka, atau tubuh organic yang hampir mati, semakin besar Lentipede yang tercipta karena banyaknya “tubuh-tubuh” mikro mereka yang tertarik dan berfusi menjadi satu. Luka gores yang dalam namun hanya berukuran 2 cm berisikan jembatan jaringan dan sel-sel rusak akan membentuk Lentipede yang hanya berukuran 25 cm dan tidak lebih.”
“Jadi, menurutmu ada sesuatu yang mati di laut sana dan membentuk Lentipede raksasa itu? Kenapa mereka menyerang kota?” tanya Leno sambil berusaha mencerna.
“Karena banyak makhluk organik yang bisa menjadi inang tambahan. Tapi ini sebenarnya memusingkan kepalaku. Lentipede tidak punya indera apapun karena tubuh mereka hanya cangkang berjalan yang tidak ada apa-apa di dalamnya. Tidak ada sistem organ yang terbentuk seperti makhluk hidup lain. Jadi sebenarnya sangat mustahil mereka bisa berjalan jauh dari lautan dan dengan sengaja masuk ke dalam kota.”
“Dan mereka tidak mati dengan kejutan listrik?” sambung Leno.
“Kan ku bilang mereka tidak bisa mati! Mereka tidak mati, mereka hanya berpisah dari tubuh yang terbentuk dari fusi itu. Begitu ikatan antara mereka terlepas seluruhnya, seluruhnya loh! Kau gak bisa “hanya” memenggal kepala mereka, mereka akan kehilangan satu sama lain dan tidak bisa mempertahankan bentuknya. Mereka menjadi tidak aktif dan akan berkumpul kembali di saat ada inang baru yang potensial untuk dijadikan tempat berkumpul dan berkembang biak.”
“Lalu, arus listrik tidak bisa memisahkan ikatan fusi itu, ” celetuk Leno sambil mencerna informasi baru ini.
“Ya! Wow kau cerdas juga, Tuan putri,” kata Mia dengan sumringah.
“Kau ini merendah untuk meroket ya,” kata Leno. Mia terkikik geli. Ia melepaskan gelungan rambutnya dan menguncirnya kembali.
“Trus bagaimana caranya membuat mereka inaktif?”
“Nah, ini saatnya aku meroket.” Mia mengambil tombak besinya dan memutar ujung tumpulnya.
“Argentum atau perak adalah antiseptik pertama yang ditemukan manusia lama. Mereka menggunakannya untuk membersihkan peralatan dan membuat peralatan bedah kuno dengan perak. Penggunaan antiseptik cukup popular untuk membersihkan tangan dan memutuskan rantai penyebaran virus dan bakteri pada jaman dahulu kala. Yah, walaupun bukan perak lagi yang digunakan, tapi manusia sudah tau kalau zat-zat itu bisa untuk memutus rantai penyebaran.
Lambat laun perak ditinggalkan dan hanya dijadikan peralatan pembedahan. Tapi semenjak munculnya Lentipede yang berevolusi, penelitian digencarkan dan pada akhirnya jawaban nya adalah kembali ke asal mula, perak bisa digunakan untuk membunuh mereka.”
“Kau bilang mereka tidak bisa mati,” potong Leno.
“Sstt… aku belum selesai,” kata Mia menatap Leno tajam karena tidak suka dipotong. “Selain itu, pemutus rantai kode transkripsi genetik juga sudah ditemukan dan bisa dipakai untuk mempercepat proses defusi dari ikatan mereka. Dan inilah replica dari tombak perak dan anti-transkripsi yang ku buat sendiri tadi sore! bahan-bahan yang sama seperti yang digunakan Mandala,” kata Mia dengan nada bangga.
Leno mengernyitkan dahinya. Sebuah pertanyaan muncul di kepala Leno. “Dari mana kau dapat tombak perak di sekitar sini?!”
“Aku…” Mia terlihat bimbang sejenak. ia tidak berani menatap mata Leno.
Leno baru menyadari tombak itu mirip sekali dengan yang ia sering lihat di pusat kota. “Mi, kau mencuri patung logo Trikad?!”
“Tidak, bukan itu.. erm.. “ Mia menggigit bibir bawahnya, terlihat bimbang. “Milik kakakku.”
Leno mengingat-ngingat Kakak Mia yang pernah ia temui beberapa tahun yang lalu saat Leno menginap di rumah Mia. Kakak lelakinya adalah seorang Mandala.
“Kau mencurinya?”
“Pinjam sebentar,” jawab Mia cepat.
“Aku punya firasat suatu saat di sekolah ini aku akan membutuhkannya. Lagi pula dia masih punya banyak di kantor, kan.”
Leno menyipitkan mata dan menyilangkan lengannya. Mana bisa ia percaya begitu saja.
“Duh, iya aku mencurinya! Hentikan tatapan itu. Tapi, aku yang merakitnya sendiri tadi sore. Untuk berjaga-jaga dari serangan seperti semalam. Lagipula kakakku tidak bisa dihubungi sejak tadi, tidak ada kabar mengenai perkembangan kasus ataupun tentang dirinya,” jawab Mia. Sekarang ia menunduk sedih.
“Ona juga belum bisa dihubungi.” Leno tidak lagi melipat tangannya. Ia menarik nafas sejenak.
”Tapi Mi..”.
“Kau bukan Mandala, atau setidaknya belum. Tidak ada bedanya kau punya benda itu dengan kau ketemu Lentipede dengan tangan kosong. Kau tidak bisa menggunakannya.”
“Ya.. ya aku tahu. Tapi aku tidak tahu harus bagaimana lagi.” Mia terlihat ragu. Ia merapatkan kedua lengannya dan mencubiti bibirnya sendiri. “Aku takut Lee.”
Leno melihat ketakutan tergambar jelas di mata Mia. Leno bergerak maju dan mengenggam tangan Mia. “Aku juga,” saut Leno.
Ketakutan sudah menyebar di sekolah ini. Leno teringat percakapannya dengan Amber tadi siang.
“Tapi, Mi. Hari ini aneh sekali. Aku tidak bisa menghubungi Ona, kau tidak bisa menghubungi kakakmu. Amber tadi sempat bilang rumahnya juga tidak ada orang yang bisa mengangkat panggilan. Dan ayahku... yah aku tidak mengharapkan banyak-banyak, tapi tidak ada panggilan masuk darinya atau dari siapapun.”
Mia menyeka leher dengan lengan bajunya. “Iya.. aku tidak terlalu memperhatikan. Aku langsung pergi kesini setelah pulang sekolah tadi siang.”
”Tapi, aku kan tadi bisa menghubungimu?” tanya Mia lagi.
“Iya, kau mengirim barcode itu tadi sore.”
“Ya.. mungkin masalah jaringan aja. Kita tanya teman lain besok pagi.” Mia kembali duduk dan memasang lensanya kembali. Leno menebak Mia masih ingin berlama-lama di sini.
“Mi, kita balik ke asrama, yuk.” ajak Leno sambil melirik jam di gelangnya. “Ini sudah lewat jam 9 tahu.”
“Aku masih belum selesai. Kau balik duluan saja.” Kata Mia tanpa menoleh dari bukunya.
“Gila, mana mau aku ke luar gedung ini sendirian. Lagian kau mau sampai jam berapa di sini? menginap?” tanya Leno setengah berteriak.
“Aku pulang besok subuh mungkin. Menyelinap ke kamar lalu siap-siap sekolah.”
Leno menghela nafas. Ia tahu ini ide yang buruk. Bagaimana cara membujuk Mia untuk pergi dari sini?
“Kau tidak bisa membujukku. Aku akan baik-baik saja. Pintu besi ini aman kok.”
Sial, umpat Leno dalam hati. Mana bisa Leno membiarkan Mia menginap di sini. Setidaknya tidak boleh sendirian.
“Baik aku akan menginap juga. Tapi, aku ambil selimut dulu.”
Mia membiarkan Leno berjalan keluar perpustakaan. Ia mendengar Leno menggerutu kecil. Mia tertawa dalam hati. Saat Mia kembali membuka catatannya lagi, gelang dx85 Mia bergetar. Layarnya berubah menjadi merah. Panggilan darurat masuk ke gelang Mia.
“Mia! Dimana kau sekarang?” suara berat laki-laki terdengar dari dalam gelangnya. Mia terkejut dengan panggilan kakaknya tiba-tiba.
“Kak! Aku coba hubungi dari tadi siang tapi kenapa gak diangkat?” seru Mia.
“Oh, ya? Tidak ada panggilan darimu sejak tadi pagi… Ku kira kau sibuk sekolah. Oke sekarang kau dimana? Di asrama kan?” tanya laki-laki itu.
Mia menggumam ragu-ragu. “Erm..aku...”
“Mia!” seru laki-laki itu setengah berteriak.
“Aku di perpustakaan,” jawab Mia cepat-cepat. Mia menutup mata untuk meminimalisir rasa bersalah dan mempersiapkan diri terkena omelan.
“Pukul 9 malam?! Siapa guru yang menyuruhmu pergi ke sana?”
“Tidak ada, ini aku sedang membaca. Kau tahu aku khawatir dengan serangan Lentipede di kota dan aku harus mencari tahu,” kata Mia lagi.
“Mia, aku sedang menuju ke FIGHR. Tutup pintu perpustakaan rapat-rapat sampai aku menjemputmu.”
“Apa?! Kenapa kau ke sini? Jangan bilang kalau makhluk itu menuju ke sini?” kata Mia gantian berteriak. Oh tidak,..oh tidak, batin Mia bergemuruh dengan panik.
“Mia, ikuti kata-kataku. Aku tidak mau terjadi sesuatu padamu.”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 24 Episodes
Comments