Prolog
Badai besar telah menghancurkan bumi dan seluruh peradaban di atasnya. Bahan-bahan dan hasil uji coba ilmuwan berhamburan kemana-mana, banyak diantaranya memancarkan radiasi kepada penduduk bumi. Mereka yang selamat, berhasil bersembunyi, dan kembali membangun peradaban baru.
Kota Trikad menjadi penggagas berdirinya kota baru dan membagikan sumber daya yang mereka miliki kepada seluruh penduduk di pulau yang mereka huni. Trikad memiliki pejuang favorit mereka: Mandala, ksatria dan pelindung manusia dari Lentipede, makhluk bayangan hasil evolusi virus dan parasit masa depan.
Lambat laun, kehidupan manusia kembali seperti semula. Empat kota lainnya berdiri dan membentuk suatu perjanjian kerjasama untuk saling melindungi. Pusat kota dibangun. Gedung-gedung perkantoran, perumahan, sekolah, taman bermain, didirikan di dalam masing-masing kota. Manusia kembali bekerja, belajar, dan
berbisnis di dalam rumahnya; belum berani menjelajah lebih luas.
Ketika manusia mendapat perannya lagi, masalah klasik peradaban manusia muncul kembali.
12 tahun yang lalu…
“Lentipede terlihat di perbatasan, Neena. Trikad harus diamankan.”
Komandan Ri berbicara dari seberang meja kaca besar di ruangan itu. Hari musim panas pertama, cahaya matahari masuk dari 7 jendela besar berbentuk oval panjang berlapiskan kaca penyerap gelombang ultraviolet. Ruangan itu berukuran lima belas kali sepuluh meter persegi, dicat putih tulang pada dindingnya dan dijejali dengan lukisan-lukisan Neena dari generasi Trikad pertama. Terdapat meja kaca besar di tengah ruangan, 14 kursi melingkari meja tersebut dan hanya ada 2 kursi kosong yang tersisa.
Seorang wanita muda, dengan wajah berusia 30-an, mengenakan jubah abu-abu dari bahan satin sepanjang mata kaki. Rambutnya cokelat kemerahan digelung ke atas dan sebagian ditutupi topi kecil senada dengan jubahnya. Salah satu tangannya memainkan sebuah remote kecil, tangan lainnya diketuk-ketukan di atas meja seperti sedang menghitung. Wajahnya tidak terlalu cantik, namun sangat anggun dan berwibawa.
“Ini sudah yang ke-3 kali dalam separuh tahun.”
Wanita itu menjawab sambil memalingkan wajah ke salah satu jendela, seperti sedang menerawang keluar. Sepuluh orang lainnya sibuk membuka apa yang tampak seperti laptop, namun tidak memiliki tombol. Hanya ada angka dan titik-titik yang bergerak-gerak.
“Sepertinya mereka membuat semacam koloni. Ada banyak sekali Lentipede yang bergerumul di sisi selatan, daerah pesisir pantai. Sebagian lain masih memencar ke seluruh kota.”
Seorang pemuda gempal melaporkan hasil pekerjaannya ke tengah rapat. Ia membuat gerakan menarik dengan tangannya. Gerakan tersebut memunculkan hologram berupa titik-titik hitam melayang di atas meja kaca.
Semua orang memusatkan perhatian kepada peta negeri mereka. Wanita muda itu memencet tombol
di remotenya dan membesarkan gambaran titik hitam tersebut menjadi ratusan kadal, ular, kelelawar, dan kawanan binatang berwarna hitam lain yang mengerubungi suatu titik. Sebagian orang bergidik melihat pemandangan itu.
“Neena, ini belum pernah terjadi. Lihatlah, mereka seperti bisa berpikir! Seperti sedang menyusun strategi untuk menyerang!”
Komandan Ri berdiri sambil menunjuk-nunjuk hologram tersebut yang kemudian menjadi samar karena terkena lengan Komandan.
“Dengan segala hormat, Neena, mereka hanyalah binatang-binatang sisa hasil evolusi ratusan tahun lalu. Mereka berbahaya karena berpenyakit. Mereka tidak memiliki akal, sehingga tidak mungkin…”
“Tidak mungkin apa?!” sembur Komandan Ri.
Kata-kata Hos terpotong oleh seruan Komandan Ri. Hos berhenti sebentar. Ia menata rambutnya yang klimis dengan gugup, dan berusaha menguasai dirinnya kembali.
“Tidak mungkin mereka punya kapasitas otak yang cukup untuk menantang kita perang, Komandan.”
Suara dentuman keras berbunyi saat Komandan Ri menonjokkan tangannya ke atas meja. Semua terkesiap, kecuali wanita yang duduk di sisi seberang meja Komandan.
“Kau bisa lihat sendiri, Hos. Kau bukan orang bodoh. Mereka bergerumul, bekerja sama, menyusun strategi, untuk menyerang Trikad. Cepat atau lambat, kita akan dikuasai mereka”
“Cukup.”
Wanita itu bangkit dari kursinya. Jubah satinnya terbuka sedikit dan menampilkan blus panjang warna putih dibaliknya. Ia memandangi dua kursi yang kosong di ruangan itu.
“Kita belum dengar infromasi apapun dari mereka. Seharusnya mereka sudah sampai.”
Ia melirik ke arah tangan kanannya. Di sana terdapat hologram lain yang menunjukan angka 10.25, waktu pada saat itu. Biasanya mereka tidak pernah terlambat. Sebagai seorang wanita, ia menjadi sangat khawatir. Namun, situasi sudah cukup rumit. Semua yang cukup bijak harus mampu menguasai diri mereka.
“Kita belum bisa mengambil kesimpulan. Ada banyak kemungkinan yang bisa terjadi sekarang,”
seru wanita itu.
Komandan Ri terlihat gelisah. Ia memutar kursinya dengan tidak sabar. Hos terlihat lebih tidak nyaman lagi. Ia beberapa kali menelan ludah dan tidak sengaja menyentuh rambutnya kembali.
Sepuluh orang lain yang membuka laptop pun berhenti bekerja. Mereka menunggu siapapun melanjutkan rapat ini.
“Tapi, kuakui memang ini situasi yang sulit, Neena. Freo-Freo di kota lain nampaknya juga memiliki kekhawatiran yang sama. Mungkin lebih baik kita juga berbincang dengan mereka,” Hos akhirnya membuka suara kembali. Ia menatap Neena dan binatang-binatang di hologram itu bergantian.
“Tidak sebelum aku mendengar laporan dari semua orang kita dahulu.”
Komandan Ri tampak masih kesal, namun ia tidak berkata apa-apa. Ia melihat hologram hitam
itu dengan mata yang marah.
“Apa sebaiknya saya hubungi mereka lagi, Neena? Ini sudah lebih dari setengah jam dari jadwal pertemuan.” Salah seorang pegawai yang memegang laptop mengajukan diri. Neena menoleh ke arahnya dan mengangguk.
“Ya, coba hubungi mereka lagi.”
Kemudian mereka terdiam. Satu-satunya yang bergerak adalah hologram hitam berbentuk hewan-hewan
transparan itu. Pemandangan yang cukup menjijikan untuk mereka yang benci hewan liar. Hos sepertinya sudah muak dengan hologram itu dan menyikut si gempal untuk segera mematikannya. Tepat ketika hologram dimatikan, pintu ruangan terbuka.
“Salam, Neena. Maafkan keterlambatan kami. Namun, hanya saya dan Kiara yang bisa muncul di
sini.”
Seorang pria muda berpakaian serba putih masuk ke dalam ruangan dengan tegap. Ia mengenakan
potongan jaket tanpa lengan, tanpa baju dalaman. Celana putih sepanjang ¾ kakinya robek di bagian samping lutut kiri. Warna merah darah menghiasi bagian yang robek tersebut. Sepatunya masih utuh, tapi tampak kotor sekali dengan berbagai noda warna gelap. Sebuah senapan laras panjang yang sangat besar diselempangkan di punggungnya. Tangan kirinya mengenakan sarung tangan yang sudah compang-camping, memerlihatkan setengah jarinya yang kotor.
Semua orang, selain Neena, berdiri dan masih tercengang dengan penampilan pria itu. Sebagian
lain melongok ke luar pintu, mencari-cari sosok lain yang mungkin akan sama parahnya dengan penampilan kawannya ini.
“Neena.”
Pria itu berjalan mendekati Neena. Ia berlutut dengan 2 kakinya. Mata nya masih menatap mata wanita itu. Ia mengangkat kedua tangannya dan menaruhnya di dada, tangannya disatukan pada telapak seperti isyarat meminta maaf. Sambil masih mejaga kontak mata, ia melanjutkan.
“Seorang Mandala telah tewas.”
Terdengar suara berisik di dalam ruangan. Komandan Ri berlari kearah pria itu. Hos menarik tubuh Komandan yang terlihat seperti akan mencengkeram si Pria. Neena tidak menampakan ekspresi apapun. Pelan-pelan ia bangkit dari kursinya.
“Kumpulkan,” katanya tajam.
“Kumpulkan semua Mandala di kota ini.” Ia menatap lurus ke depan.
“Hos, pasang tanda Siaga II di seluruh kota.”
Hos mengangguk dan menyeru perintah kepada beberapa pegawainya. Pria berjubah putih tadi bangkit berdiri dan menghadap ke arah Komandan Ri yang duduk diam di atas kursi. Wajahnya sangat merah dan air mata keluar cukup deras. Ia tampak sangat hancur, lebih hancur dari pria ini.
“Ri, maafkan aku. Ia mengorbankan dirinya sendiri saat makhluk itu menyerang kami.”
“Maaf aku tidak bisa menyelamatkan putrimu.”
Di kejauhan, berbagai makhluk bayangan perlahan merayap ke seluruh kota. Sekolah, perumahan,
perkantoran, pertokoan, dan tempat-tempat yang disinggahi manusia telah dipenuhi oleh mereka. Seorang wanita berbaju putih berlari ke dalam rumah, mencoba mencari kedua anaknya. Demi keselamatan mereka semua.
Asrama erFu tampak lenggang pada pagi hari ini. Cahaya matahari yang cukup panas menandakan ini sudah setidaknya pukul 08.00 pagi, 1 jam setelah bel pelajaran pertama berbunyi. Tentu saja asrama tampak lenggang karena hanya Leno (baca: Lino) yang masih berjalan di koridor asrama, menenteng tas kecil yang berisi pena dan 2 buku catatan kosong sambil memakan apelnya dengan santai.
Ah, tentu saja aku terlambat lagi, kata Leno dalam hati.
Bukannya berlari menuju kelas, Leno membelokkan kakinya ke kantin yang masih sepi. Bu Denia belum datang, mungkin masih memasak untuk anaknya sendiri di rumah. Tidak ada makhluk hidup lain di situ yang terlihat oleh Leno. Ia menghabiskan apel sambil sesekali menyentakan gelangnya yang otomatis menampilkan waktu pada saat itu. Lima belas menit lagi, pelajaran pertama selesai. Ia masih punya 10 menit untuk bermain gim… dan 5 menit untuk bersembunyi di belakang pintu, menunggu guru pelajaran pertama keluar kemudian menyelinap ke dalam kelas.
Pintu kelasnya terbuka, seorang bapak tua berusia 50-an keluar dari dalam kelas dan berjalan ke arah yang berlawanan dari tempat Leno berada. Dengan sigap, seperti mata-mata profesional, Leno berhasil masuk ke dalam kelas, mengambil kursi paling belakang, dan duduk di atas tas Mia yang memang sengaja secara spesial disisakan untuknya.
“Selamat pagi, Putri tidur,” sapa Mia dengan santai sambil membuka buku Geometri. Mejanya terlihat penuh sekali dengan 2 buku tebal, 1 buku tulis, dan beberapa pena serta stabilo warna-warni. “Aku kira kau tidak akan muncul sampai pelajaran terakhir.”
Leno mengangkat kedua bahunya. “Ide yang menarik. Mungkin akan ku coba besok,” jawab Leno. Ia menarik tas Mia dari bawah bokongnya. “Makasih banyak, lho. Kau tau saja aku pasti terlambat.”
Mia tidak mengalihkan pAndangan dari bukunya. “Oh, benar sekali. Mengapa aku tidak bisa menduganya ya?” tanya Mia meledek. “Jangan bilang terima kasih lagi untuk ketelatanmu pada hari pertama sekolah tahun depan.”
Leno mengernyit sedikit, sepertinya Mia lupa bahwa ini tahun terakhir mereka di sekolah dasar. Tahun
depan tentu ia tidak akan terlambat sekolah karena ia bahkan tidak akan sekolah lagi.
“Kau tidak perlu menyisakan bangku lagi, Mi. Tahun depan kau akan fokus pada kuliahmu di kelas terbaik di Geduna, sedangkan aku berkeliling dunia naik kapal butut yang kubeli setelah lulus
nanti.”
Mia menoleh dengan terkejut. Ia menaruh stabilonya di atas buku yang sekarang sudah seperti lukisan pelangi. Ia menyibakan rambut ikalnya ke belakang bahu.
“Kau benar. Astaga, ini tahun terakhir! Kita akan lulus tahun ini,” kata Mia dengan sumringah. Ya, sepertinya ia baru menyadari fakta bahwa ini tahun terakhir mereka bersekolah, sekaligus menjadi tahun terakhir mereka duduk bersama di dalam kelas.
“Semoga setahun ini terasa cepat dan tahu-tahu aku bangun tidur esok hari sudah hari kelulusan.”
Leno sudah bersiap untuk memasang posisi ternyaman untuk tidur di atas meja. Ketika ia ingin membaringkan kepalanya, Mia mengguncang bahu Leno.
“Lee, yang tadi serius?” tanya Mia.
“Yang mana?” Leno menjawab sambil menguap. Sepertinya 5 pekerjaan rumah selama liburan yang berhasil ia kebut dalam semalam, benar-benar menguras tenaganya untuk belajar pagi ini.
“Yang tadi!” Mia mengguncang bahu Leno lebih keras.
“Uh, iya serius.” Leno duduk tegak. Ikat rambutnya melonggar, sepertinya akan lepas. Tapi ia tidak berusaha membetulkan tatanan rambutnya yang sekarang sama berantakannya seperti kain pel kering yang lusuh.
“Kau…,” Leno menunjuk Mia. “akan menjadi calon Mandala sukses yang dididik oleh para Moonasera terbaik di kota ini. Sedangkan aku, tentu saja akan cabut dari tempat ini dan melakukan apapun yang ku mau. Sepertinya kapal butut tadi memberiku ide yang cukup bagus. Mungkin aku akan benar-benar...”
Mia menyentil dahi Leno. Wajahnya sekarang memerah dan Ia menatap Leno dengan serius. “Kau jangan bicara begitu..”
Leno mengetahui Mia berkata sungguh-sungguh. Ia membetulkan kuncir rambutnya. “Kenapa? Kau tidak ingin jadi Mandala?”
“Bukan itu, bodoh.” Mia masih menatap Leno.
“Kau benar-benar ingin pergi? Tidak mau menetap dan bekerja di sini?”
Leno menelan ludahnya. Tentu saja ia ingin pergi! Selama 8 tahun ia sudah terkurung di dalam kota Trikad. Ia hanya bisa pergi ke luar kota pada saat musim non-panas yang mana cukup menyiksa karena cuaca ekstrem di luar rumah. Leno bahkan tidak pulang dalam 2 tahun terakhir untuk menengok keluarganya. Ia ingin pergi, tentu saja ingin.Namun, sepertinya Mia belum bisa diajak bicara mengenai jawabannya ini.
“Aku akan memikirkannya.”
Leno membuka kuncirnya kembali. Ia menangkupkan lengan di atas meja dan membenamkan kepalanya ke dalam lipatan tangannya. Rambutnya lurus panjang sepinggang tergerai hingga menutupi
wajahnya.
Ketika Leno mulai memejamkan mata dan memikirkan hal tadi, guru geometrinya masuk dan memulai pelajaran.
***
Ini adalah hari pertama masuk sekolah. Musim panas baru berlangsung kurang lebih 4 hari yang lalu. Walaupun Leno tinggal di daerah ekuator, cuaca bumi semakin tidak menentu sejak beberapa dekade terakhir. Kota tempatnya bersekolah, Trikad, hanya mengenal musim panas dan musim non-panas, yang mana dapat berupa berbulan-bulan hujan tanpa henti, beberapa minggu hujan salju, atau peralihan keduanya yang berlangsung dalam periode yang sama dengan musim panas. Kalender akademik, terutama kalender sekolah dasar, memang sengaja menaruh musim panas sebagai waktu terbaik untuk belajar. Biasanya mood semua orang membaik sehingga pelajaran dapat terserap lebih efektif. Di samping itu juga, kewajiban bersekolah di musimpanas membuat siswa tidak berani keluar dari Trikad karena adanya hukuman bagi yang membolos pelajaran dan ketahuan.
Leno sudah kelas 8, tingkat akhir sebelum ia lulus dari sekolah dasar. Trikad biasanya mengambil -atau membeli- anak-anak usia 10-12 tahun untuk di sekolahkan di kota. Ada beberapa keluarga yang cukup baik dari segi ekonomi sehingga mereka dengan sengaja menyekolahkan anak mereka di FIGHR. Ada pula keluarga yang cukup miskin namun memiliki satu-dua orang anak yang biasanya dibayar oleh Trikad untuk memberikan izin
menyerahkan anak mereka bersekolah di kota, untuk masa depan yang lebih baik, katanya.
Leno menghela nafas. Ini adalah hari pertama yang cukup panjang. Semuanya begitu sama seperti hari-hari sekolah lainnya. Membosankan. Semua pelajaran itu tampaknya tidak penting sama sekali untuk dipelajari dalam kehidupan. Dinamika, momentum, hukum sosial, aljabar, astronomi, apakah semuanya dapat membuat Leno hidup saat ia terjebak di lautan dan dimakan hiu nanti?
Siapa yang bilang itu tidak mungkin terjadi. Semua hal jelas mungkin terjadi, sebelum ia terjadi atau hal
kebalikannya yang terjadi.
Leno merasa.. hampa. Ia tidak punya tujuan di sini. Apa yang sedang ia lakukan sebenarnya? Mengisi otaknyadengan suatu rumus untuk menjalankan roda kehidupan bermasyarakat?
Mendengar kata masyarakat saja Leno sudah mual.
Ia tahu ini tidak tepat. Ia tahu harusnya tidak seperti ini yang ia lakukan.
Pelajaran terakhir sudah selesai. Leno tidak ingat apa yang gurunya bicarakan dalam 1 jam ini. Ia membuka tasnya, memasukan buku catatan yang tidak ia sentuh sama sekali, kemudian menunggu Mia membereskan buku-bukunya.
“Hari ini Pak Gana mau kita latihan fisik,” ujar Mia. Buku-bukunya sudah rapi tersusun di dalam tasnya. “Di Stadion.”
Leno mengangkat dahinya, “Wah, pasti capek sekali.”
Mia tertawa. “Memangnya apa yang kau harapkan dari olahraga? Kalau gak capek ya capek banget.”
Leno tersenyum kecut. “Jadi, tidak ada sparring hari ini? Padahal aku mau mengalahkanmu.”
Mereka berdua keluar dari kelas yang masih ramai dengan celotehan dan gossip dari teman-teman mereka. Leno dan Mia harus segera menuju tempat berlatih Pang-kun, seni beladiri yang sudah
mereka geluti sejak kelas 2.
Pak Gana belum hadir ketika Leno dan Mia menginjakan sepatu karet mereka di dalam stadion. Beberapa adik kelas mereka sudah berbaris di tengah rerumputan, menunggu pelatih mereka juga. Tidak
terlalu banyak yang hadir hari ini, hanya ada 10 murid termasuk mereka berdua. Lalu, di kejauhan, terdengar suara nyaring yang memanggil mereka.
“Miaaaaa!!! Lenoo!!! Haiii!!!!”
Amber melambaikan tangan dari trek lari di sisi luar stadion. Ia dan saudara kembarnya, Sept, mengenakan seragam atletik. Sepertinya bukan hanya anak-anak Pang-kun yang berlatih di stadion
hari ini.
Mia melambaikan tangannya ke arah Amber. Leno tersenyum kepada mereka berdua, sebenarnya ia tidak yakin mereka melihatnya tersenyum atau tidak. Mia menyeret Leno menemui Amber dan Sept.
“Latihan sendiri?” tanya Mia.
Amber mengangguk dengan semangat. Amber adalah anak perempuan dengan rambut bergelombang sebahu dan bermata bulat cemerlang. Ia selalu terlihat ceria dimanapun dan kapanpun ia berada, kecuali
ketika geng Jaffray di kelas sedang mengerjainya. Sedangkan Sept merupakan Amber versi cowok yang sangat mirip hingga ke struktur wajahnya. Rambut Sept dipotong pendek seperti ketentuan potongan rambut laki-laki di FIGHR.
Mereka memulai pemanasan sebelum mulai berlari kecil. Amber dan Sept adalah salah satu atlet atletik terbaik yang FIGHR punya.
“Kalian kemana-mana berdua mulu. Lama-lama dikira kembar juga,” ujar Sept. Mia tertawa mendengarnya, Ia menggandeng lengan Leno lebih erat.
“Ah, cemburu aja, Sept,” kata Amber. “Masih suka ya sama Leno?” tanya Amber dengan jahil.
Satu angkatan mereka tahu bahwaSept pernah menyukai Leno ketika kelas 4. Leno adalah anak yang imut dan cantik untuk ukuran bocah berusia 14 tahun. Sept pernah mengirim hologram bentuk hati kepada Leno yang tertangkap basah guru seni di kelas. Sept diminta mengakui perbuatannya dan itulah awal mula tahun-tahun yang menyenangkan bagi Amber, Mia, dan teman-teman lainnya untuk meledek Sept.
Sekarang Sept menjadi canggung. Ia membuka botol minumannya dan menenggak beberapa tegukan. Mia dan Amber tertawa kencang. Leno tertawa kecil karena merasa tidak enak menjadi satu-satunya yang
tidak melakukan apa-apa.
Pak Gana masuk ke tengah stadion. Leno dan Mia berlari menuju tempat teman-teman yang lain sudah berkumpul. Setelah pembukaan dan basa-basi singkat, Pak Gana mengambil panel balok yang ada di dalam kotak kecil di bawah lampu yang ditanam di pinggir trek lari. Ia memencet salah satu tombol. Tanah di tengah stadion mulai bergerak. Dinding berwarna putih marmer keluar dari dalam tanah, terus naik ke atas dan menyatu
di tengah, memerangkap mereka yang ada di tengah stadion ke dalam bola putih raksasa berlantai rerumputan. Pendingin ruangan dinyalakan.
Mereka memulai latihan sore ini.
“Berbaris sesuai tingkat masing-masing! Tarikan ragam tertinggi kalian sesuai aba-abaku.”
Mia mengambil 2 tongkat kayu setinggi satu meter dan melemparkannya ke Leno. “Aku tahu kau merindukan tongkat ini.”
Leno mendengus, “Setelah semua Latihan fisik ini, ternyata kita harus menghafal ragam juga.”
Leno membetulkan kausnya, Mereka sudah bertelanjang kaki. Lantai beralaskan karet elastis tebal sudah dinaikan ke tengah arena latihan mereka. Tidak ada yang membawa seragam latihan karena mereka berpikir hari ini hanya latihan fisik saja. Dengan alasan itu, Pak Gana menghukum mereka untuk mengulang ragam yang diujikan untuk kenaikan tingkat di tengah lapangan itu.
“Bersiap!”
Leno dan murid-murid lain membentuk barisan sejajar. Mereka mengangkat tongkat kayu itu setinggi 10cm di atas tanah persis di tengah sumbu tubuh. Aba-aba dimulai.
Leno menganyunkan tongkat itu ke sisi kiri bawahnya, lalu ia melompat. Kedua tangannya mengangkat tongkat di atas kepalanya. Mereka menusuk, menendang, menebas, memutar tubuh, dan bergerak sesuai ragam masing-masing. Semua berkonsentrasi untuk melawan musuh yang hanya muncul di dalam benak mereka sendiri.
Merapalkan ragam dengan tongkat kayu ini selalu menenangkan batin Leno. Ada sesuatu yang sangat familiar yang ada di dalam ingatannya yang selalu tercetus setiap Leno mengangkat tongkat di udara. Tapi sekeras apapun ia mengingat, Leno tidak pernah tahu mengapa Ia begitu menyukai seni bela diri ini.
Hari sudah cukup sore, Pak Gana menyudahi latihan mereka hari ini. Ia menurunkan dinding putih yang mengurung mereka. Leno melihat Sept dan Amber sedang beristirahat di undakan stadion.
“Mia!” suara Pak Gana memanggil Mia. Leno ikut menoleh. Mia mengenakan sepatunya, “Sebentar,” kata Mia kepada Leno.
Leno mengenakan sepatunya juga. Ia melihat Mia berbincang dengan Pak Gana di ujung lantai karet itu. Mungkin tawaran beasiswa khusus atlet berprestasi masih berlaku. Leno tidak heran jika Mia adalah kandidat yang paling memungkinkan untuk menerimanya.
“Lee, kemari!” panggil Amber dari kejauhan. Leno melangkahkan kakinya menuju mereka berdua.
Mereka berdua sedang minum susu kotak bergambar panda, susu anak balita yang sering Leno lihat di toko swalayan ketika Ia ke pusat kota.
“Mana Mia?” tanya Amber.
Leno duduk di samping Amber. “Diajak kencan sama Pak Gana.”
Amber dan Sept tertawa. “Selera yang bagus,” saut Amber. Ia mengeluarkan susu kotak lain bergambar koala, rasa berry.
“Kau mau?” tanya Amber menawarkan. Leno mengamati susu yang sangat menggemaskan itu selama beberapa saat. Sept kembali tertawa, “Kalau gak mau gapapa, Lee. Memang kadang Amber memalukan.”
Leno menggeleng dan mengambil susu itu dengan tersenyum. “Yang penting rasanya.”
“Nah! Itu dia!” seru Amber dengan senang. Mereka terdiam sambil meneguk susu kotak masing-masing.
Angin musim panas memang menyenangkan sore ini. Walaupun suhu agak menyengat namun angin yang lewat cukup banyak dan membuat Leno terbawa suasana.
Terlihat Mia berlari ke arah mereka dari kejauhan. Ia menghampiri mereka bertiga. “Amber, Sept, Pak Gana ingin berbicara dengan kalian,” kata Mia. Amber dan Sept meloncat turun dari undakan itu. “Oke.”
Mereka menatap Leno, “Sebentar ya, Lee.”
Leno mengangguk. Kalau Amber dan Sept dipanggil juga kemungkinan memang karena beasiswa mereka.
Leno duduk sendirian di sana. Ia menengok ke kanan, kiri, dan belakang. Ia berada di anak tangga ke-5 dari bawah stadion olahraga sekolahnya. Stadion ini cukup luas, bisa digunakan untuk sepakbola, diubah menjadi aula tertutup, dan mejadi kolam renang ketika lapangan hijau itu dibuka. Ini stadion yang cukup modern karena bisa melebar dan mengecil sesuai kebutuhan. Kolam renang juga akan terisi secara otomatis ketika rumput hijau dilipat dan digeser oleh sambungan besi yang menahannya. Air di kolam renang juga bisa membeku dan menjadi arena ski. Surga untuk para olahragawan.
Sudah 10 menit berlalu dan teman-temannya belum kembali. Leno memutuskan untuk berjalan-jalan. Ia
menghabiskan susunya dan mulai menanjak ke undakan tangga yang lebih tinggi.
Leno duduk di undakan tangga teratas stadion. Teman-temannya tampak kecil sekali di bawah sana. Ia duduk sebentar sambil menggoyang-goyangkan kakinya. Leno berdiri dan menghampiri perbatasan stadion yang menghadap ke arah luar.
Stadion ini terbuka di bagian atasnya. Kepala Leno langsung bersentuhan dengan angin yang berhembus lebih kencang daripada angin di undakan tangga ke-5 tadi. Udara di sini masih panas, tapi tidak menyakitkan.
Leno berdiam diri di atas sana, menatap pemandangan sekolahnya yang sangat indah. Ia bisa melihat seluruh sekolahnya dari ini. Sekolahnya, FIGHR, sangat luas. Setidaknya 10 hektar lahan ini masih termasuk dalam sekolahnya. Semua gedungnya didominasi warna cokelat pohon dan abu-abu. Kombinasi yang sesuai dengan ciri khas Trikad yang mencakup alam dan teknologi. Gedung Sukradji untuk kelas 1-3 digabung di daerah timur sekolah. Dari sini terlihat mobil Van besar yang memiliki banyak buku dan meja di sekelilingnya, untuk anak-anak membaca. Gedung Amanda untuk kelas 4-6 di utara, kali ini didominasi hijau karena banyak sekali tanaman di sana. Mulai kelas 5, sudah diajarkan eksperimen genetik pada tanaman dan hewan sehingga dibangun pusat penampungan hewan dan tanaman coba di dekat gedung sekolah. Dari atas sini terlihat seperti rumah kaca besar yang hijau. Anak kelas 4-6 cukup sibuk dengan tugas-tugas mereka sehingga tidak memiliki waktu yang banyak untuk membaca buku lain seperti anak-anak kelas 1-3. Di sebelah barat, terdapat gedung
Rajasa untuk kelas 7-8 yang sangat tua. Seperti kastil berhantu di zaman ketika manusia masih percaya dengan penyihir. Gedung itu berwarna cokelat tua dan memiliki sedikit pohon. Di luarnya terdapat semak-semak yang mengelilingi patung besar berukiran logo Trikad. Kantin mereka tidak terlihat di sini karena letaknya menjorok ke pojok gedung.
Semua gedung tersebut memiliki 3 tingkat dengan arsitektur yang sama. Berbentuk persegi panjang dengan hiasan atap seperti topi jerami dan ukiran melingkar di ke empat ujungnya, berwarna cokelat yang lebih tua. Indah juga kalau di lihat dari atas. Leno sepertinya pernah melihat bentuk atap seperti itu di pelajaran sejarah, tapi ia selalu tidak bangun saat kelas dimulai jadi ia tidak ingat apa nama bentuk itu.
Di tengah-tengah gedung sekolah, dibangun satu gedung pendek yang luas. Sebenarnya gedung itu terdiri dari empat gedung kecil dibawahnya,tapi semuanya berada pada satu atap. Bentuk atap yang sama dengan gedung kelas. Atap itu sangat lebar sehingga dari atas tidak terlihat apa-apa selain atapnya saja yang dikelilingi pohon-pohon besar dan 4 halte sepeda di 4 sisi gedung itu. Itu adalah asrama mereka, erFu. Walaupun Leno tahu banyak anak-anak yang sedang bermain di taman asrama pada sore ini, semuanya terhalang oleh atapnya yang sangat lebar dan pohon-pohon itu. Di sebrang erFu terdapat satu bangunan lagi dengan arsitektur yang persis sama, itu adalah enDu, asrama para guru. Mereka tidak ingin digabung dengan asrama murid karena… yah, pasti akan berisik sekali dan mengganggu kesehatan jiwa para guru jika harus bertemu murid-murid selama 24 jam penuh.
Semua jalan di Trikad memiliki arus elektromagnetik yang berasal dari pusat kota. Angkutan umum yang ada di sekolah adalah trem lambat yang berputar-putar tiap 10 menit sekali. Sangking lambatnya kecepatan Trem itu, banyak anak-anak yang membeli sepeda listriknya sendiri dan memarkir di halte asrama. Atau mereka cukup berjalan santai sambil menikmati pemandangan. Atau berlari. Jika terlambat, seperti Leno sehari-hari.
Stadion ini terhubung dengan jalanan utama, tempat trem keluar-masuk sekolah dan kota. Jalanan utama juga merupakan pintu masuk dan keluar satu-satunya bagi penguni sekolah. Di sisi kiri yang tidak terlihat oleh Leno di sini, terdapat gerbang besar setinggi setengah stadion ini yang terbuat dari logam dengan berbagai sensor dan laser di bagian atasnya. Trem yang keluar masuk memiliki pintu kecil tersendiri yang dijaga oleh prajurit militer. Gerbang besar jarang sekali dibuka kecuali ada kunjungan dari pusat atau perayaan hari jadi Trikad.
Leno termenung di atas sana. Sudah 7 tahun ia di sekolah ini, namun masih banyak yang belum ia ketahui. Tingkat kemunculan Leno di kelas sepertinya mendukung pernyataan yang ia utarakan. Tapi, Leno memang tidak punya niatan untuk belajar lebih di sini. Ia hanya ingin...pergi. Dan semoga memang itu yang akan terjadi setelah ini.
***
Akhir pekan pertama tiba. Setelah mengerjakan semua PR, Leno membutuhkan waktu santai sejenak. Zorgoth, anjing peliharaan illegal milik Leno, sudah ia lepaskan tadi pagi. Leno tidak mau membahayakan camilannya lagi. Ia memutuskan untuk memelihara Zorgoth jarak jauh. Ia akan tetap mengajaknya jalan-jalan pagi dan sore, memberinya makan 3x sehari, memandikannya 1 minggu sekali, tapi tidak membiarkannya masuk diam-diam dan tidur di kamarnya lagi. Semoga anjing itu mengerti mereka tidak bisa bersama-sama terus!
Leno mulai bosan. Ia bertanya-tanya apa yang sebaiknya ia lakukan. Ia sudah mandi, sudah makan,
sudah mengerjakan PR, sudah merapikan lemari, menyapu kamar, dan sudah...
Leno teringat ia belum menghubungi Mia. Mungkin anak itu sedang belajar, atau pulang ke rumah orang tuanya di kota. Apa sebaiknya bertanya saja?
Gelang dX85 Leno, yang juga merupakan gabungan dari ponsel, laptop, pemindai, kartu kredit, SIM, dan kartu penduduk, berdering memanggil Mia. Namun, tidak dijawab. Manusia apa yang tidak menjawab telfon sahabatnya kalau bukan sedang tidur, mati, atau melakukan sesuatu yang penting. Leno tebak Mia sedang dalam kondisi ketiga, yang mana dalam hal ini adalah belajar. Untuk ujian akhir. Yang mana masih satu tahun
lagi.
Terdengar sangat “Mia”.
Jadilah Leno sendiri di kamar. Menatap langit-langit yang berhologram band kesukaannya, SevenG. Hologram itu menampilkan konser mereka 3 tahun lalu di pusat kota. Leno, Mia, Niken, dan si kembar menonton konser itu saat minggu ujian. Sebuah perjuangan yang luar biasa untuk memisahkan Mia dan bukunya. Kalau bukan karena Leno yang sudah merengek sejak 3 bulan sebelum konser, mereka tidak jadi pergi ke sana. Leno tersenyum sendiri mengingat malam itu.
Leno baru menyadari cat kamarnya sudah sangat lusuh. Warna ungu muda sudah pudar di berbagai sisi dinding. Ia tidak terlalu suka menghias kamarnya. Toh itu juga bukan kamar miliknya, hanya dipinjamkan selama sekolah. Dindingnya tidak ditempel apapun, hanya proyektor biasa yang menampilkan waktu dan jadwal pelajaran serta memo lain secara bergantian. Tidak ada perabotan yang istimewa selain lemari baju otomatis, yang bisa mencuci hingga melipat bajunya sendiri, meja sekaligus rak buku sekaligus tempat tidur lipat, dan sebuah kursi udara yang Leno beli sendiri menggunakan tabungannya saat ulang tahun ke-17 tahun lalu. Sangat standard untuk kamar seorang remaja.
Harusnya ia berbagi dengan 2 orang anak perempuan lain, namun sejak 2 tahun terakhir ini mereka pergi. Fina, mantan teman sekamarnya, tidak mau melanjutkan sekolah karena masalah keluarga. Dua bulan setelahnya, teman sekamarnya yang lain, Kane, migrasi ke kota lain dan pindah sekolah di Mikrad. Alhasil, Leno ditinggal sendiri di kamarnya.
Leno memutar-mutar gelangnya dan menimbang-nimbang sejenak. Leno teringat sesuatu. Ia bangun dan merapikan rambut panjangnya yang awut-awutan dengan tangan kosong. Setelah menguncirnya tinggi. Ia melucuti pakaian dan mengenakan rok denim lusuh kesukaannya. Leno mengambil sepatu karet cokelat dan mengenakannya ke pusat kota.
Tahu-tahu Leno sudah duduk di bangku trem dan sudah melewati gerbang FIGHR. Trem yang dinaiki Leno melintasi jalanan pepohonan yang mengarah ke pusat kota. Leno duduk di pinggir jendela sebelah kiri di bangku 15, bangku paling tengah. Trem yang melintas di kota ini dicat seragam berwarna merah muda dengan tulisan “TRIKAD DALAM KOTA” berwarna biru terang di badan trem. Sesekali jendela trem berubah warna membentuk angka 7-F FIGHR-PUSAT yang menAndakan jurusan dan nomor trem. Trem-trem ini nampaknya
tidak memiliki kaca pengahang apapun, namun sebenarnya memiliki medan elektromagnetik yang cukup kuat untuk melindungi penumpang dari lingkungan luar, terutama saat trem melintasi sekolah dan jalanannya yang penuh pepohonan. Kursi trem hilang timbul dari dinding dan lantainya menyesuaikan kebutuhan penumpang yang naik. Saat ini tidak terlalu sesak, sehingga Leno bisa duduk sendiri di dekat jendela.
Di bagian belakang, Leno mendengar suara berisik anak-anak, tampaknya anak kelas 4-5 yang tertawa sambil sesekali menjahili sistem trem. Mereka cekikikan sambil mengatakan “aku butuh kursi.” dan bangkit dengan cepat setelah kursi tersebut muncul. Kursi-kursi trem hilang timbul sesuai dengan keinginan mereka.
Kawasan ruas jalan ini masih asri. Berhubung kecepatan trem cukup lambat, di sepanjang jalan, Leno masih bisa melihat banyak capung, lebah, dan kupu-kupu yang berterbangan terutama ketika ada segerombolan bunga. Di pohon-pohon juga banyak hewan-hewan yang berloncatan dan berayun, mungkin seekor monyet atau mungkin tupai. Seperti yang Leno pernah lihat beberapa waktu yang lalu saat berbelanja ke pusat bersama Mia, Jaffray, dan teman-teman yang lain.
Gerbang pusat sudah terlihat dari jendela depan trem. Gerbang itu berbentuk persegi panjang dengan ujung tertingginya membentuk peluru. Semuanya terlihat berkilau logam. Terdapat 2 pos pengamat Reppe di sisi kanan dan kiri daun pintu gerbang. Di puncak gerbang yang seperti peluru, dipenuhi kawat dan berbagai lampu laser berwarna merah, hijau, dan biru, sehingga dari kejauhan keseluruhan gerbang itu mirip seperti nenek tua berambut kribo abu-abu dengan jepit rambut warna-warni.
Trem memasuki pintu yang lebih kecil di sisi kiri gerbang. Sensor gerbang membaca barcode plat trem dan membiarkannya masuk ke dalam pusat kota.
Berbeda dengan jalan pepohonan tadi, pusat kota memiliki banyak gedung tinggi dan papan-papan iklan besar menutupi gedung tersebut. Sebagian besar gedung terlihat transparan karena tertutup medan elektromagnetik seperti jendela trem. Orang-orang berdandan dan berlalu lalang, sebagian berjalan kaki, sebagian menginjak alas terbang mereka, sebagian kecil lain mengayuh sepeda listrik. Beberapa trem dengan jurusan yang berbeda berpapasan di sisi kanan trem yang dinaiki Leno. Semua berwarna merah muda dengan tulisan biru terang yang sama. Hanya jendela mereka yang sesekali berubah menjadi angka dan jurusan trem masing-masing.
Hari ini cukup ramai, toko-toko menggelar potongan harga hingga 70% untuk merayakan musim panas. Banyak orang-orang mengantri di depan rumah makan, toko kapsul pakaian, dan rumah elektronik. Dari kejauhan, terlihat hologram besar setinggi hampir 100 m, melayang di depan monumen Trikad. Hologram tersebut hilang timbul setiap 5 menit dan berbentuk sesuai pengumuman yang akan disampaikan. Saat ini hologram itu timbul dan berbentuk postur tubuh Neena Trikad dengan gaun beludru keagungan dan rambut putihnya yang digelung di dalam tiara. Hologram Neena tersenyum dan mengamati penduduknya ke segala arah seperti seorang ibu yang menjaga anaknya. Terdengar suara lembut dari hologram: “Selamat datang di Trikad, Kota masa depan. Selamat bekerja dan menikmati musim panas.”
Di belakang hologram tersebut, berdiri monumen Trikad berbentuk 5 orang raksasa, 3 laki-laki dan 2 perempuan dan sebuah bendera putih biru besar melayang di atas mereka. Satu orang perempuan mengenakan pakaian persis hologram Neena di tengah. Satu laki-laki dan 1 perempuan berpakaian jas putih tanpa baju dalam dengan logo bulan sabit besar di sisi kiri, mengenakan celana denim putih dengan banyak kantung. Keduanya mengapit Neena di tengah sambil memegang tombak panjang dan pedang berwarna putih tulang di kedua tangannya. Satu laki-laki di sisi kanan terluar mengenakan jas abu-abu panjang se mata kaki dengan kacamata anti-laser bulat besar menutupi mata dan hidung dengan sarung tangan keperakan lentur di kedua tangannya. Satu laki-laki di sisi kiri terluar mengenakan seragam prajurit militer Trikad dengan topi perang berbentuk segitiga runcing di bagian depan, baju terusan cokelat tua, sepatu boot hitam, dan senjata radiator besar di tangan dan kakinya. Kelima patung tersebut melayang setinggi 1meter dari jalanan dan tulisan “TRIKAD ADALAH RUMAH KITA” berjalan mengitari kaki monumen itu.
Trem Leno sampai ke halte akhir. Leno melewati gelangnya ke pemindai di pintu keluar dan loncat ke jalanan kota. Orang-orang berlalu lalang di sekeliling Leno. Penduduk pusat biasanya mengenakan hologram kecantikan di wajah mereka sehingga mereka tampak lebih menarik. Tapi Leno jadi tidak bisa melihat mana wajah asli dari orang-orang ini. Mungkin mereka memang tidak mau memamerkannya, atau mungkin malu, atau mungkin karena orang lain melakukannya, semua orang jadi merasa harus untuk melakukannya.
Leno tidak pernah tahu alasan sebenarnya. Sekarang dia adalah gadis paling kumuh di sini. Ia belum mencuci muka. Kausnya bergambar bintang laut merah yang sudah pudar dipadukan dengan rok denim yang sudah 7 tahun ia kenakan. Mungkin sepatu karet kebanggaan Leno bisa memberi warna cerah sedikit pada keseluruhan penampilannya.
Hologram-hologram berita yang muncul di sepanjang jalan sedang menampilkan acara debat yang cukup heboh. Dua orang laki-laki tua berpenampilan necis dengan jas penuh kerlap-kerlip sedang beradu mulut tentang topik yang sering Leno dengar: konspirasi munculnya gerakan pemberontak di Trikad yang ingin mengambil alih kekuasaan di seluruh pulau. Leno tidak terlalu mengerti dengan politik kota. Semua hanya berisi
orang-orang yang berbicara keras tanpa mau mendengarkan.
Leno mengitari jalan utama dan berbelok ke kiri di jalan 56. Disini banyak toko pernak-pernik rumahan dan dinding-dinding cantik yang dihias cat betulan. Karya seniman sejak dahulu kala masih ada di dinding-dinding ini. Beberapa lukisan menggambarkan kondisi pada tahun lukisan itu dibuat sehingga gambar kerusuhan, demonstrasi, banjir, dan bencana lain dapat ditemukan di sebagian dinding jalanan. Namun, sisanya berupa lukisan abstrak hewan-hewan yang masih ada seperti singa hutan, gajah, hiu laut, dan sebagainya dan juga hewan-hewan yang sudah punah. Leno tidak tahu nama burung-burung cantik bersayap lebar dan berbagai serangga kecil itu, tapi yang jelas mereka sudah tidak ada lagi.
Leno memasuki salah satu toko “Giona Pernak-Pernik dan Hiasan Rumah” dan menghampiri wanita usia 40an yang sedang meronce di balik meja. “Selamat sore, Ibu cantik,” sapa Leno.
Ona melirik ke Leno dan tertawa. Ia menaruh manik-maniknya dan keluar dari meja. “Apa kabar, Lenolea sayang?” katanya sambil memeluk Leno seperti anaknya sendiri. Ona mengenakan gaun ungu
muda panjang, sepatu rumahan, dan bandana ungu senada dengan gaunnya. Jika saja ia mengenakan hologram kecantikannya, Giona akan terlihat 20 tahun lebih muda.
“Baik, Na. Aku sedang ke pusat dan ingin mampir sebentar,” kata Leno. Mereka kemudian duduk di meja kafe yang ada di dalam toko pernak-pernik itu. Sore ini tidak banyak pengunjung, hanya 2-3 wanita muda dengan anaknya yang mencari penutup lampu, lonceng rumah, ataupun wadah manik-manik serbaguna. Ona memiliki 2 orang penjaga toko yang membantunya melayani pelanggan, 2 orang wanita ramah yang tampak beberapa tahun lebih tua dari Leno berparas biasa saja tanpa hologram kecantikan. Leno tidak ingat nama
mereka berdua, namun sepertinya mereka tinggal di sekitar sini bersama Ona.
Di tengah kemerlap-kemerlip barang bermanik-manik itu, Leno menyantap kue kering dan ekstrak bambu manis.
“Bagaimana sekolahmu?” tanya wanita itu lembut. “Baik. Tinggal satu tahun lagi,” kata Leno. Ia mengayunkan kakinya di kursinya sambil mengunyah. “Bibimu bilang kamu tidak pulang liburan kemarin? Kemana saja?”
Leno sudah tahu Ona akan menanyakan hal itu. Ia juga tahu Ona akan bilang kalau ibunya pasti
merindukannya kalau ia tidak pulang. “Pergi, Na. Ke Frigan bersama Bu Denia dan anaknya.” jawab Leno. Ia memang menghabiskan liburan sekolah lalu dengan bersantai di Danau Ubur-ubur yang hampir membeku. Bu Denia memiliki beberapa saudara yang mengelola tempat wisata itu. Mereka semua senang bercerita, Leno bahkan mengetahui siapa nama ubur-ubur pertama yang dipelihara oleh nenek dari bibi buyut pamannya Bu Denia. Gossip tidak penting yang cukup menarik.
“Oh, ya? Wah seru sekali,” katanya tersenyum. “Tapi pasti keluargamu rindu kalau kau tidak pulang. Kapan terakhir kau terakhir pulang ke rumah?”
Leno sudah tidak pulang ke rumah sejak tahun lalu. Selain karena tidak ada apa-apa yang bisa ia lakukan, rasanya sedih sekali melihat Gof, adiknya yang sakit, berbaring di kamarnya sepanjang hari. Sedangkan Bibinya seharian diam saja sambil memasak, atau meronce, atau melakukan sesuatu yang tidak bisa Leno bantu. Ayahnya pulang cukup malam, bercakap sedikit lalu pergi tidur. Terkadang bau alkoholnya tercium sampai ke luar kamar.
Bukan karena Leno tidak menyayangi mereka, hanya saja... ia tidak pernah merasa ada di rumah. Ia merasa tidak memiliki rumah yang menenangkan batinnya. Rumah hanya berupa sebuah bangunan yang diisi orang-orang yang terikat darah dengannya. Entah bagaimana, ia tidak pernah merasa itu adalah hal yang spesial.
Ia baru menyadari hal itu beberapa tahun belakangan ini, sehingga memang ia tidak ada niatan untuk cepat-cepat kembali ke rumah pada saat libur sekolah. Komunikasi Leno dengan keluarganya hanya sebatas telfon rutin 1 bulan sekali mengabarkan uang mereka dari Trikad sudah diterima dan ayahnya sudah mengirimkan sebagian ke tabungan Leno. Semuanya berulang terus menerus selama beberapa bulan ini.
“Leno?” tanya Ona lagi. Ternyata Leno terdiam cukup lama. “Ya, sudah lama Ona. Tapi aku menelfon mereka dari sini,” jawab Leno sambil menyesap habis minumannya. “Mungkin kau harus lebih sering ke sana, Nak,” kata Ona.
Leno tersenyum dan menaruh kembali gelasnya. “Leno, kau harus melihat ini.” Ona masuk ke dalam ruangannya dan kembali membawa satu pot tanaman yang terendam air. “Seseorang membagikannya kemarin sore.”
Leno belum pernah melihat tanaman itu dan tidak punya pengetahuan juga apa yang bisa diperbuat oleh tenaman yang direndam di dalam air. “Siapa yang memberikannya?”
Ona mengangkat bahu. “Ada sekumpulan orang dari luar Trikad, seperti turis mungkin. Mereka membagikannya ke seluruh warga di daerah sini. Mereka bilang tanaman ini bisa digunakan untuk menumbuhkan padi dan kentang.”
Leno menggeleng, “Padi dan kentang tidak tumbuh seperti itu, Na. Mereka perlu digarap di tanah dengan kesuburan yang baik. Karena itu kita selalu mengimpor makanan dari Mikrad. Tanah mereka
selalu subur.”
“Tetanggaku berhasil menumbuhkan kentangnya sendiri. Aku bahkan diberi beberapa butir, mirip sekali dengan kentang dari Mikrad,” kata Ona dengan semangat.
Leno tahu Ona tidak akan menyerah untuk meyakinkannya terhadap sesuatu yang baru, seperti yang biasa dilakukan orang tua lainnya. Ia tersenyum, “Yah, bagus kalau begitu. Kita bisa menanamnya sendiri. Tidak perlu impor lagi.”
Leno menyesap minumannya lagi. Mereka kembali terdiam, mengamati kedua pekerja wanita Ona sedang melayani pelanggan. Salah satu pelanggan sedang menawar hiasan lampu dengan kulit kerang
cantik dengan harga yang sangat murah. Seru juga melihat perdebatan mereka.
“Leno, sayang,” panggil Ona. “Kalau kau bosan di asrama, menginaplah di sini. Ya walaupun kalau malam lampu dan alarm kami berbunyi menyebalkan. Membangunkan kami di tengah malam, tapi sepertinya
semuanya tidak buruk. Aku akan senang kalau kau di sini.”
Leno tersenyum mendengarnya. Tentu saja ia tidak bisa, walaupun terkadang ingin juga untuk bisa bolos sejenak. “Aku tidak boleh keluar asrama, Na. Dan sebaiknya telfon petugas listrik untuk alarm itu.”
“Sepertinya ini masalah di kotak sirkuit itu. Sudah lama aku ingin memeperbaikinya sendiri. Kau ingat kan aku dulu pernah belajar sedikit mengenai elektronik. Atau mungkin aku akan meminta Dina membetulkannya. Dia juga pernah belajar elektronik.”
“Aku kira itu bukan ide yang bagus, Na. Nanti kau malah dituntut karena merusak fasilitas publik.” jawab
Leno.
Leno bersiap-siap pergi, masih ada satu tempat lagi yang ingin ia kunjungi. “Ona, terima kasih minuman dan kuenya. Kau selalu baik, kepadaku”. Leno menggenggam tangan Ona sambil menyalaminya. “Datang lebih sering, sayang. Dan jangan berkata begitu, kita tahu kalau aku sangat menyayangimu,” kata Ona tersenyum.
Leno keluar dari toko itu dan menyusuri jalan yang lebih sempit. Ia masuk ke gang kecil panjang antara kedua toko lukisan kuno dan berjalan hingga ke ujungnya. Langit sudah mulai berubah warna, Leno bergegas keluar dari tempat itu.
Ujung gang ini berakhir di jalan setapak kecil menanjak, dilapisi aspal saja tanpa medan elektromagnetik. Sepeda ataupun alas terbang tidak bisa mengambang melewati jalan ini. Di kiri-kanan jalan setapak sudah mulai muncul pohon-pohon yang semakin lama semakin besar dan banyak. Kemudian jalan setapak tersebut semakin menipis dan menghilang menjadi tanah.
Sepuluh meter di depannya terdapat dinding logam tinggi, setinggi gerbang masuk pusat. Tapi, Leno tidak pergi untuk mendobrak dinding itu. Ia berbelok ke kanan dan mencari pohon waru laut yang tumbuh begitu tinggi, menjadi tempat langganan Leno bersantai. Ia memanjat pohon tersebut dan duduk di cabang besar yang sejajar dengan puncak dinding logam. Di balik dinding besi Trikad, terdapat mercusuar dan satu bangunan yang cukup besar namun sudah tidak terawat. Leno pernah bertanya pada Mia beberapa tahun yang lalu tentang bangun apa yang ada di bawah kaki mercusuar itu. Mia bilang ia pernah membacanya di artikel singkat bahwa itu laboratorium lama miliki LTK yang sudah tidak digunakan. Mereka sudah memiliki lab yang lebih canggih sekarang, di sisi timur Trikad.
Leno duduk bersandar di dahan pohon. Langit senja berwarna jingga dengan semburat merah matahari yang akan terbenam adalah pemandangan yang sempurna. Matahari perlahan turun di balik kantor pusat Trikad yang melayang, seperti tenggelam ke dalam lautan. Cahayanya masih tertinggal sebagian sehingga langit yang hitam masih memiliki semburat kemerahan.
Bersamaan dengan tenggelamnya matahari, lampu-lampu kota menyala bergantian. Dimulai dari kantor pusat, halte-halte trem, monumen Trikad, gedung dan toko-toko, hingga ke gerbang utama dan seluruh dinding perbatasan.
Ia menatap Trikad, kotanya yang sempurna. Kantor pusat melayang di tengah kota. Bendera putih biru berkibar mengelilingi kantor yang dihuni para petinggi Trikad. Di bawahnya Leno bisa melihat monumen Trikad dan hologram Neena yang hilang timbul di tengah kota. Kemerlap lampu LED kota mewarnai langit malam Trikad yang sekarang dipenuhi rasi bintang bulan Agustus. Leno tidak dapat melihat orang-orang yang berlalu lalang, atau trem, atau sedikit capung yang lolos dari gerbang pusat saat terbuka. Tapi ia yakin mereka semua ada di sana. Orang-orang itu, kehidupan di kota ini, bergerak setiap saat. Bergerak untuk alasan tertentu. Semua aman
terkendali. Tidak ada serangan musuh atau makhluk bayangan Lentipede yang mengancam Trikad dan manusia secara keseluruhan. Mungkin mereka masih ada di luar sana, tapi kalaupun masih ada, tidak menganggu aktifitas manusia malam ini, di kota ini.
Leno pun bertanya kembali pada dirinya, apakah suatu saat ia akan menjadi bagian dari mereka? Belajar di akademi, lulus bekerja, dan sampai mati hidup di sini? Tidak pernah keluar karena takut dengan hal-hal yang tidak pernah ia ketahui?
Berbeda dari Mia si ranking 1, Leno memang tidak pernah ada hasrat untuk belajar di sekolah. Sekolahnya mengajari hal-hal dasar untuk hidup di kota: teknologi, ekonomi, kecantikan, matematika, dan sebagainya. Sedikit sekali dibahas tentang dunia luar. Mungkin menurut mereka hal tersebut tidak penting diajarkan kepada anak-anak. Atau mungkin karena terlalu berbahaya. Tapi teman-temannya tidak ada yang bertanya tentang hal ini selain Leno. Leno pun hanya bertanya di dalam kepalanya sendiri.
Beberapa temannya, seperti Mia, terobsesi menjadi Mandala, seorang penjaga manusia dan petarung keren yang mengamankan wilayah kota dari Lentipede. Ada juga yang ingin menjadi pengamat Reppe, alias si mata elang yang mengawasi kejahatan dan pelanggaran aturan apapun yang terjadi di dalam kota. Beberapa pengamat Reppe dibekali senjata yang memungkinkan mereka menyiksa si pelanggar aturan dengan cara yang tidak diinginkan. Beberapa temannya ingin mendaftar militer yang akan menjadi prajurit dan menjaga keamanan di dalam dan luar kota. Beberapa ingin mengabdikan hidupnya meneliti hal-hal yang mereka sukai seperti partikel kosmik di luar bumi, kelistrikan dan teknik pengembangan teknologi, atau sesuatu yang sangat primitif seperti hewan dan tumbuhan langka. Semua cita-cita tersebut memiliki bayaran yang cukup tinggi. Intinya mereka semua bisa hidup lebih dari satu tahun jika hanya menggunakan 2 bulan gaji mereka.
Tentu saja, seperti segala sesuatu yang terjadi di semesta ini, tidak semua keinginan bisa tercapai untuk semua orang. Beberapa dari mereka yang bermimpi menjadi pengamat Reppe, pada akhirnya hanya menjadi pegawai sorg di kantor pendataan keluhan yang sebenarnya tidak banyak juga yang mengeluh, mengingat
betapa sempurnanya Trikad sebagai tempat tinggal manusia saat ini.
Namun, semua pekerjaan itu hanya berpusat di kota, di dalam Trikad itu sendiri. Mereka bangun tidur, makan, buang air, pergi kerja, bermain sepak bola, dan berbaring di peti mati di dalam kota ini. Mereka tidak memiliki suatu keharusan untuk keluar dan melihat sesuatu yang lebih luas dari apa yang tampak sehari-hari. Mereka hanya melakukan bisnis rutin seperti biasa, sebatas biasa, tidak menjadi luar biasa.
Mungkin beberapa petinggi Trikad, seperti komandan dan jajaran pemimpin, atau bahkan Neena, memiliki lebih banyak kesempatan untuk berinteraksi dengan dunia di luar Trikad. Mungkin mereka memiliki banyak urusan kenegaraan dan diplomatis lain yang mengharuskan mereka pergi dan kembali ke Trikad.
Tapi itu adalah mereka. Sang petinggi yang agung. Entitas sosial yang sangat tinggi untuk diraih seorang anak ambilan Trikad. Dengan kata lain, mimpi saja kalau Leno berharap menjadi salah satu dari mereka. Dan memang Leno tidak ingin terlibat lebih jauh dengan orang-orang di pusat sana.
Leno tidak menyukai mereka yang dengan sengaja mengambil anak-anak untuk digelonggongi ilmu seperti sapi lalu dicekoki impian sehingga mereka bisa bekerja di bawah kendali pusat, menjalankan perekonomian dan roda kehidupan, memaksa mereka menerima nasib, sambil sang petinggi mengayunkan kakinya di atas kursi, tertawa melihat banyaknya manusia diperbudak sistem buatannya sendiri.
Itu adalah fantasi yang sangat jahat. Sungguh menyakitkan untuk memikirkannya terus. Kepala anak 18 tahun ini,belum mampu memuat analisa kehidupan seberat itu.
Namun, setidaknya sekarang Leno sudah memtuskan dua hal: Ia tidak mau menjadi budak kota sempurna ini
dan
ia akan pergi.
Malam sudah menyelimuti Trikad sejak 4 jam yang lalu. Bulan purnama penuh naik menyinari malam, menyaingi cahaya lampu. Kota mulai sunyi. Tidak ada konser musim panas minggu ini. Trem terakhir sudah meninggalkan pusat kota dan menuju tempat perhentiannya. Gedung-gedung perkantoran kosong, sedangkan restoran dan
kelab malam menyalakan lampu yang terlihat dari luar. Suara dari dalam kelab terhalang total oleh peredam suara sonik, sehingga kota menjadi benar-benar hening.
Prajurit di perbatasan dinding timur berganti giliran. Empat orang di tiap pos pengamatan, 2 orang di bawah pintu masuk pos. Dinding sisi timur Trikad memiliki ketebalan yang lebih tinggi dibandingkan sisi lain karena perbatasannya dengan laut. Pelindung elektromagnetik memiliki arus magnet yang lebih tinggi di sisi ini.
Laut tampak bergemuruh, sepertinya akan pasang. Menurut manometer di layar pos, angin berhembus dengan kecepatan 80km/jam. Kemungkinan akan terjadi badai malam ini. Selain itu radar tidak menangkap apapun, tidak juga dengan burung-burung dan hewan lain.
Sebuah bayangan hitam muncul dari sisa ombak yang menghantam bibir pantai dan membentuk sebongkah bola. Bola hitam itu membesar dan berubah menjadi hewan mirip makhluk, berkaki empat,
berekor panjang dan kepala bermoncong dengan lidahnya terjulur. Hewan itu semakin membesar hingga kurang lebih 2 meter dengan lebar setengah meter. Salah seorang prajurit lari ke dalam pos pengamat dan menyalakan sirine yang menggema hingga ke seluruh kota. Hewan itu menggoyang-goyangkan kepalanya dan mulai
bergerak maju, berjalan cepat seperti ingin menerobos dinding logam yang menjulang tinggi di depannya.
Laser-laser ditembakan namun justru pasir dan karang berhamburan terkena dampak laser yang menembus hewan itu, seperti bayangan. makhluk itu bergerak semakin mendekati dinding. Di dalam pos, sekarang sudah ada lebih banyak prajurit dengan seragam cokelat dan senjata radiator besar. Semua berbaris dan membidik hewan itu yang terus bergerak seperti tidak terpengaruh apapun.
“Komandan, arus listrik sudah dialirkan ke dinding sisi ini. Siap untuk melepaskan kejutan.”
Komandan Ri, bapak tua gemuk yang memakai seragam hijau dan topi segitiga runcing berpin banyak bintang, berdiri di tengah pos. Ia menarik nafas pendek dan menjawab, “Kejutkan.”
Seluruh prajurit mengenakan sarung tangan karet dan berpegangan di tiang penyangga pos yang juga dilapisi karet tebal. Komandan Ri mengenakan sarung tangannya sendiri. Prajurit yang melaporkan arus listrik bersiap menekan tombol “Kejut” di panel pos.
Hewan itu semakin dekat. Tinggal sedikit lagi, ia akan menempel di dinding logam. “Sekarang!” seru Komandan Ri. Terlihat percikan arus listrik yang mengalir dari berbagai dinding Trikad melalui kawat laser di depan mereka. Seperti sebuah halilintar, logam tersebut menyetrum hewan yang sudah menempel di dinding logam mereka.
Arus listrik perlahan kembali menurun. Semua mata tertuju pada monitor di pos pengamatan.
Hewan itu tetap merangkak naik.
Terdengar suara panik dari sebagian besar prajurit di pos. Apapun yang mereka lakukan, hewan itu tidak berhenti. Ia merayap semakin tinggi, sebentar lagi hewan itu akan melewati pos pengamat dan masuk ke medan elektromagnetik yang belum pulih karena serangan kejutan tadi.
Komandan Ri menghentakan pin bintang di dadanya, sebuah hologram berbentuk wanita berambut putih dengan tiara muncul di hadapan mereka.
“Tidak berhasil, Neena.”
Wanita hologram itu mengernyit. Ia tampak tidak senang, wajahnya yang bijaksana menjadi keras dan berkata, “Panggil Mandala. Sekarang!”
Tepat setelah wanita itu berbicara, hewan besar itu melewati pos pengamatan dan melompat melewati dinding kota tanpa terhenti oleh apapun. Hewan itu mendarat di pepohonan tinggi, turun ke jalan bertanah, masuk ke jalan setapak dan mulai merangkak dengan kecepatan tinggi menuju gang kecil di jalan 56.
Sebuah van putih melaju membelah jalanan utama pusat kota. Van itu membawa tombak besar berwarna perak yang diikat di atap mobil. Lima orang berjas putih tanpa lengan, tanpa baju dalaman dan denim putih mengalungi bermacam-macam senjata keperakan yang tersedia di dalam van. Jas putih mereka memiliki lambang bulan sabit di sisi kiri atas yang sekarang menyala terang. Seorang pria botak berbadan besar, menyentuh lambang miliknya. Hologram laki-laki berambut abu-abu muncul dihadapan mereka.
“Aku harap kalian bisa. Kalau tebakan kita benar, ini adalah ancaman yang sangat serius bagi Trikad.”
Pria tadi mengangguk paham. “Kami akan berusaha. Gada ini harusnya bisa membunuh makhluk itu.”
“Harus bisa. Kami mengandalkan kalian.”
Kemudian hologram wanita itu menghilang. Empat orang lainnya berpandang-pandangan. “Kau yakin dengan Gada ini? Aku tidak tahu seberapa besar makhluk itu sekarang, tapi tampaknya lebih besar dari yang kita pernah hadapi, kan?” salah seorang wanita berambut cokelat ikal bertanya dengan gugup.
Si pria botak hanya mendengus pelan. Semua Mandala di van itu tahu ini bukan Lentipede biasa. Tidak ada yang yakin apakah misi ini bisa berhasil atau tidak. Bahkan si pria tidak tahu apakah dia akan tetap bisa hidup pada pagi hari nanti.
“Tidak tahu, Yu. Tidak ada yang tahu. Tapi, sebagai seorang pelindung manusia, sebaiknya kita meyakinkan yang dilindungi untuk tetap berharap, kan?” Pria lain yang berbadan lebih kecil menjawab.
“Berbohong lagi untuk kebaikan,” cibir wanita lain yang berkepala botak. Van sudah mendekati jalan 56. Tidak terdengar suara apapun selain deru mesin van, tapi lampu-lampu di jalan tersebut tampak lebih redup dari jalan lainnya.
“Aku tidak berbohong. Aku bilang Gada ini harusnya bisa membunuh makhluk itu. Ya, memang harusnya bisa,” tukas si pria botak.
Van berhenti di depan jalan 56 dan membelok sempurna sehingga pintu belakang van membuka tepat di muka jalan. “Tapi, Gada ini baru diuji di dalam lab, belum ada uji lapangan yang menyatakan tingkat efektifitasnya.” Pria lain yang bersurban akhirnya membuka suara.
Mereka berlima meloncat dari van dan menyiapkan busur panah, tombak, senapan, parang dan Gada besar yang dipegang oleh si pria botak.
“Iya benar, Kawan.”
Si pria botak meregangkan leher dan tubuhnya, bersiap untuk maju. Keempat temannya melakukan hal yang sama.
“Tapi, mereka tidak perlu tahu itu.”
Bersamaan, mereka menyentakan sepatu boot putih ke permukaan jalan. Asap biru keperakan muncul dari bawah boot dan membawa mereka terbang, melesat memasuki jalan 56.
Cahaya jalan yang semula redup menjadi mati total. Satu-satunya penerangan datang dari cahaya bulan purnama yang remang-remang. Semua Mandala mengenakan masker pelindung wajah dan kepala.
Kain perak meluncur dari dalam jas putih, mengikuti bentuk tubuh untuk menutupi lengan dan badan mereka. “Nyalakan lampu sorot,” suara Pria botak terdengar dari balik earphone masing-masing. Lima buah lampu sorot muncul dari masker pelindung. menampilkan jalan yang lebih sempit dari jalan utama dan toko-toko yang sudah tutup. Sebagian besar toko menjual pernak-pernik yang berpendar ketika cahaya lampu sorot menyinari toko.
Mereka mendarat perlahan dan menyebar membuat formasi piramida dengan si pria botak di puncak paling depan. Cahaya lampu sorot menyusuri jalanan dan toko hingga ke gang kecil. Tidak ada apa-apa di sana. Wanita berambut ikal melepas maskernya, “Kemana perginya makhluk itu?”.
“Yu! Pakai maskermu kembali! Kita tidak tahu seberapa kuatnya...”
Kata-kata si pria sorban terputus karena jeritan Yu. Mereka semua terkesiap saat melihat makhluk hitam besar setinggi hampir 2meter sedang merayap perlahan mendekati si pria botak. Makhluk itu tidak menghilang seperti bayangan jika terkena lampu sorot, namun berwujud semi transparan sehingga jalanan dan pertokoan di belakangnya samar-samar bisa terlihat.
Si wanita botak mengambil busurnya, memposisikan diri, dan bersiap melepaskan anak panah perak ke arah makhluk. Si pria surban membidik kepala makhluk dengan senapan panjang, bersiap menembak. Si pria kurus dan Yu mengacungkan tombak secara bersamaan. Mereka menunggu aba-aba dari si pria botak.
Perlahan si pria botak mengangkat Gada melewati pundak besarnya. Gada itu bersinar biru keperakan ketika si pria botak menyentakan pangkalnya. Makhluk itu sepertinya tertarik dengan cahaya dari Gada dan menggoyang-goyangkan kepala. Lidah panjangnya terjulur keluar masuk seperti ingin menyantap makanan.
Dan tiba-tiba saja makhluk itu merayap dengan sangat cepat, siap menerkam si pria botak. “Maha!” jerit si wanita botak. “Formasi siap!” Maha si botak mengangkat tangannya yang bebas. Yu dan si pria kurus menghentakan boot dan melayang, posisi tombak mereka siap menghunus makhluk itu di atas udara.
Makhluk itu merayap semakin dekat. Sepuluh meter lagi. Semua pAndangan tertuju ke makhluk raksasa itu. Mereka berada dalam posisi menyerang.
Dua meter lagi.
“Sekarang!”
Senjata-senjata diluncurkan ke arah kepala makhluk. Dua tombak menembus leher makhluk dari kedua sisi, anak panah menusuk ke dalam kerongkongan, dan peluru senapan si surban menjadi serangan bertubi-tubi ke puncak kepalanya. Maha mengangkat Gadanya lebih tinggi untuk menghujam makhluk yang sudah ada di depan matanya, “Matilah, kau!”
Dalam satu hentakan, Gada itu menghujam kepala si makhluk dan sinar biru keperakan masuk kedalam kepala makhluk kemudian mengalir ke seluruh tubuhnya. Maha menahan Gada itu tetap menghantam kepala makhluk sambil memekik kencang.
Kepala makhluk itu lepas dari badannya. Badannya masih menggeliat dan tidak berhenti bergerak.
“Belum mati?!” jerit si Pria kurus panik.
Si wanita botak menarik golok besar dari balik jubahnya. Ia berlari ke sisi kiri Lentipede sambil menyayat
tubuh makhluk itu. Si pria surban mengambil tombak yang telah jatuh dan melakukan hal yang sama pada sisi kanan makhluk. Kemudian bersama-sama Maha mengangkat gadanya kembali dan memukul sisa badan makhluk itu bertubi-tubi. Beberapa saat kemudian, Lentipede menjadi semakin ringan dan transparan. Saat makhluk itu menghilang, mereka semua berhenti mengayunkan senjata masing-masing.
Bekas hitam gosong tertinggal ujung tombak dan panah yang sempat menancap di tubuh makhluk. Namun Gada besar itu utuh tanpa bekas. Gada itu masih berpendar biru keperakan. Maha menggenggam
pangkal Gada, mengguncangkannya sedikit, dan cahaya itu perlahan padam. Si pria kurus mengeluarkan botol spray. Kabut putih menyeruak keluar dari dalam botol saat ia menekan ujungnya. Seluruh Mandala tenggelam dalam kabut itu selama beberapa detik, yang kemudian menghilang kembali.
“Lampu jalan belum menyala. Sepertinya makhluk itu merusak penghubung arus ruas jalan ini,” kata si pria kurus.
“Kau baik-baik saja?” tanya Yu sambil membantu Maha berdiri. Si Surban juga ikut membantu Maha. “Ya, terima kasih.”
“dan sepertinya begitu Bon. Kali ini Lentipede benar-benar sudah berevolusi,” jawab Maha.
“Tapi, itu tidak mungkin! Lentipede hanya menyerang makhluk organik. Sirkuit listrik kita hanyalah kabel-kabel tembaga, tidak ada kehidupan di sambungan listrik,” tukas si wanita botak.
“Lalu, kenapa listrik di jalan ini ikut mati? Korslet karena serangan dinding tadi?” tanya si Surban. Bon dan si wanita botak tiba-tiba tersentak. “Atau jangan-jangan si makhluk benar-benar menyerang makhluk organik.”
Mereka berdua mengaktifkan sepatu boot dan terbang mencari sambungan sirkuit ruas jalan itu. Bon berhenti di ujung jalan dan menarik wanita botak. “Maha, Joke, Ayu kalian sebaiknya ke sini,” panggil Bon melalui earphone mereka. Lalu, ketiganya terbang menghampiri Bon dan si wanita botak.
“Oh, tidak!” jerit Ayu. Di hadapan mereka tergeletak sesosok tubuh wanita berusia 20an dengan kaus abu-abunya dan celana denim selutut. Matanya terbelalak ke atas, tubuhnya tidak bergerak. Tangan kirinya tersangkut di dalam kotak sambungan listrik yang terbuka. Sebagian kabelnya gosong.
“Sudah meninggal,” kata Bon sambil menutup mata wanita itu. “Apa yang ia lakukan di sini? Maksudku ini sudah hampir tengah malam,” tanya Ayu, lengannya menggenggam tangan jasad itu, seaakan berharap wanita itu hanya tertidur. “Ingin melawan makhluk itu?” jawab Joke ragu-ragu.
“Aku tidak yakin,” kata Bon. “Lihat, tangannya tersangkut di dalam kotak sirkuit.” Lampu sorot mereka sontak menyinari kotak itu. Terdapat bayangan beberapa perkakas tua yang tertinggal di dalamnya.
“Dia sedang melakukan sesuatu dengan sirkuit, lalu mati, dan makhluk itu datang,” tebak si wanita botak. “atau..”
“Lentipede membunuhnya terlebih dahulu, lalu tangannya yang tersangkut mematikan sambungan listrik,” sambung Maha.
“Artinya area ini harus dibersihkan,” Bon menyalakan sepatunya dan kembali terbang. “Atau akan muncul Lentipede baru dari jasadnya.”
“Kita harus bergegas memanggil markas,” seru Joke. Semua Mandala bergerak menjauh dari tempat itu, kecuali Yu. Wanita itu terlihat terpukul sekali. Bon turun kembali untuk mengajak Yu pergi.
“Sayang, singkirkan tanganmu dari jasad itu,” bisiknya perlahan.
“Atau kita semua ikut mati.”
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!