Pagi itu, asrama erFu berisik sekali. Leno yang terlambat bangun pagi pun masih mendengar suara ramai anak-anak yang mengobrol di ruang makan. Leno yang sudah terbiasa makan pagi dengan keheningan, karena semua orang pasti sudah di kelas, sekarang merasa sangat terganggu. Ada apa dengan pagi ini?
“Hai, Lee!” suara laki-laki yang dikenal Leno menyapa dari kejauhan. Sept menghampiri Leno sambil menggendong tas ransel hijau terang miliknya. Wajahnya tidak kusut seperti Leno, tapi ia belum masuk ke kelas juga, seperti anak-anak lain.
“Hai, Sept. Mana Amber?” tanya Leno. Biasanya Amber selalu bersama Sept kecuali saat di kelas khusus wanita. “Sudah ke kelas duluan.” Sept mengambil roti dan bubur kacangnya kemudian mulai mengunyah.
“Sebenarnya aku terlambat bangun dan ia meninggalkanku,” kata Sept lagi sambil tertawa. Rambut Sept berwarna hitam dengan potongan pendek sesuai ketentuan siswa FIGHR. Kemeja putihnya sedikit lusuh, terkancing seluruhnya tapi tidak terlalu rapi. Leno baru menyadari Sept sangat ramah, dan agak menarik.
Ia tertawa kecil. “Aku sudah biasa terlambat, Mia selalu meninggalkanku.”
Leno memandang sekeliling, sudah banyak anak yang meninggalkan ruang makan. Tiga menit lagi, pukul 07.00. “Apa ada yang terjadi pagi ini? Semua orang berisik sekali,” tanya Leno. Sept berhenti mengunyah dan menggoyangkan gelang dX85nya. Sebuah laman berita muncul dari layar kecil dari gelang Sept, di sana tertulis:
SERANGAN LENTIPEDE DI DALAM KOTA: SEORANG WANITA TERBUNUH DI JALAN 56.
Leno terkejut membacanya. Ia menaruh sendoknya dan meneruskan membaca, sambil berharap bukan nama Ona yang muncul di dalam berita.
SERANGAN LENTIPEDE DI DALAM KOTA: SEORANG WANITA TERBUNUH DI JALAN 56
Oleh: Welly J.
Lentipede raksasa dilaporkan terlihat di dalam kota pada pukul 23.00 kemarin malam. Hewan bayangan tersebut dikatakan berhasil menerobos dinding perbatasan Trikad setelah dilakukan serangan balik oleh Komandan Ri di dinding sisi timur. Sirene sempat berbunyi dan mengubah status keamanan kota menjadi siaga 1 tadi malam.
Lentipede dikatakan masuk dari sisi timur dan melakukan serangan pada seorang wanita muda bernama, Kerdina Jose yang merupakan pekerja yang tinggal di salah satu toko pernak-pernik di jalan 56.
Unit utama Mandala dikerahkan untuk melawan Lentipede dan berhasil menghancurkannya, tapi Lentipede sudah melakukan serangan terlebih dahulu sehingga nyawa korban tidak berhasil diselamatkan.
Saat ini evakuasi dilakukan di seluruh jalan 56, sementara tim desinfeksi melakukan sterilisasi area serangan. Belum ada keterangan lebih lanjut mengenai asal usul serangan ini, terutama darimana Lentipede yang sangat besar ini berasal.
“Aku tebak kau belum membaca berita pagi,” kata Sept. Sekarang bubur dan rotinya sudah habis. “Ya, memang belum. Aku tidak punya waktu membaca berita pagi,” kata Leno. Ia cukup lega wanita korban itu bukan Ona. Tapi, sepertinya ia pernah mendengar nama itu. Kerdina. Siapa ya? Ona sangat mungkin terkena dampaknya. Evakuasi jalan 56 pasti masih berlangsung pagi ini.
“Terima kasih, Sept. Aku mencari nama seseorang tadi. Untungnya dia tidak terlibat,” kata Leno lagi. Sept mengelap mulutnya dan mematikan proyeksi laman berita itu. Hanya tinggal mereka berdua di ruang makan.
“Syukurlah.” Sept merapikan seragamnya dan mengulurkan tangan. “Ayo, Lee. Kita sudah terlambat.” Leno menyambut tangan itu dengan canggung dan berjalan ke luar asrama mengikuti Sept. Ia harus menelfon Ona nanti siang.
Kelas Leno sudah dimulai. Ia mengendap-endap dari balik pintu seperti biasa dan duduk di kursinya di samping Mia. Sekarang jadwal pelajaran sejarah, gurunya sedang menayangkan film dokumenter mengenai pembangunan ibu kota di negara lama. Leno menggantung tasnya di kursi dan mengenakan lensa luarnya yang melayang di depan mata, dengan bantuan anting magnet di telinga.
Mia menyenggol lengan Leno. “Sudah baca berita?” tanya Mia berbisik. Jarang sekali Mia mengajak bicara saat pelajaran berlangsung. Karena saat ini ia melakukannya, berarti ada sesuatu yang sangat penting yang sedang menyita perhatian Mia.
“Sudah.” Jawab Leno. “Itu tempat tinggal Ona, aku lega bukan dia yang menjadi korban.”
“Syukurlah.” Kata Mia menghela nafas. “Tapi, ini cukup serius bukan? Lentipede berhasil masuk ke dalam kota. Ancaman baru untuk masa depan. Menurutmu apakah karena evolusi?”
Leno sudah lama sekali tidak mempelajari evolusi. Itu adalah pelajaran kelas 5. Ia mencoba mengingat-ngingat kembali.
Jutaan tahun yang lalu, organisme kecil muncul sebagai makhluk-makhluk pertama di bumi. Mereka tumbuh, berkembang, dan bereproduksi hingga ukuran mereka semakin membesar dan menyebar ke permukaan bumi. Hujan meteor menghancurkan apa yang peneliti lama sebut dinosaurus dan dunia memasuki zaman es. Terjadi penyusutan bentuk hewan untuk beradaptasi dengan lingkungan yang memiliki lebih sedikit oksigen. Semua terus berlanjut hingga manusia muncul, merusak bumi, menekan kadar oksigen, dan mematikan banyak spesies termasuk manusia itu sendiri. Abad-abad masa lalu yang kelam.
“Tapi, Mi.” Kata Leno. “Harusnya hewan semakin mengecil bukan? Hewan-hewan besar tidak mungkin terbentuk lagi setelah kondisi dunia yang semakin rusak. Tidak sesuai dengan teori.”
“Aku punya teori.” Kata Mia.
“Tapi, aku belum memahami seluruhnya. Aku harus mencaritahu hari ini.”
Leno menganggukan kepalanya. Mereka berdiam diri kembali. Proyeksi film sekarang menunjukan proses konservasi hewan di dalam hutan lindung, yang kemudian, semua orang sudah tahu kelanjutannya, akan menjadi kebun binatang terbesar negara lama.
***
Leno duduk di samping Mia di meja kantin pada awal waktu makan siang. Kantin belum terlalu ramai. Leno mencoba menghubungi Ona melalui gelang dX85nya. Ona masih memakai ponsel sehingga hanya
nada berdering tanda panggilan Leno masuk namun tidak ada respon dari sebrang. Tidak dijawab.
Leno menghela nafas. Mungkin Ona sedang makan siang, atau tidur sehingga terlalu lelah untuk menggunakan ponselnya. Mia menepuk pelan kepala Leno.
“Mungkin lagi makan, Lee. Nanti coba telfon lagi. Semua akan baik-baik saja.” Mia tersenyum sambil menodongkan nasi cumi bakar Leno ke hadapan pemiliknya. “Sekarang kau yang harus makan.”
Leno tersenyum kecil dan mengambil sesuap dari piring itu. Biasanya makanan Bu Denia ini selalu membuat Leno bernafsu untuk menghabiskannya dalam 10 menit tanpa jeda. Tapi kali ini Leno kehilangan seleranya. Ia masih memikirkan Ona, apakah benar wanita tua itu baik-baik saja?
***
Ruang kelas Leno terdengar berisik dari luar. Semua orang di kelas membicarakan kejadian tadi malam. Mia bilang ia mau menukar buku ke perpustakaan jadi Leno ditinggal masuk ke kelas sendiri setelah jam makan siang. Leno berjalan ke kursinya melewati kursi Amber dan Niken yang sedang berbincang dengan teman-teman yang lain.
“Aku tidak percaya Lentipede itu berhasil masuk ke dalam kota. Kalau gini, tidak ada tempat yang aman lagi,” kata Niken menggebu-gebu, kain penutup kepalanya ikut bergerak mengikuti anggukan kepalanya.
“Dan kalian tau kan makhluk itu sebesar apa? Dua meter?! Kalau kita yang diserang, jelas langsung tewas.” Amber menanggapi dengan nada yang sama.
Tiga orang murid laki-laki masuk ke dalam kelas. Mereka ikut menimbrung di meja Amber. “Gossip apa nih,” kata Jaffray, ketua kelas mereka yang bertubuh sangat tinggi menjulang. Sangat kontras dengan kedua temannya yang bertubuh gempal dan senang mengunyah.
“Eh, Jaf, mengapa sekolah masih buka ya? Mereka tidak takut kalau tau-tau makhluk itu datang lagi dan menyerang kota,” kata Niken.
“Ya mana ku tahu. Aku ga ikut rapat sama guru,” kata Jaffray sambil melipat tangannya. “Tapi, benar juga ya. Kalau tahu-tahu Lentipede datang ke sini, kita bisa ga selamat.”
“Mungkin para petinggi merasa mereka masih mampu mengatasi mereka. Kita kan ga tau apa yang mereka sedang rencanakan,” kata Dika, anak bertubuh gempal yang datang bersama Jaffray. Orang tua Dika bekerja di kantor pusat.
“Mengapa kita tidak tahu?” tanya Leno tiba-tiba. “Mengapa mereka tidak bilang apa yang sedang mereka lakukan?”
Teman-temannya terdiam sejenak, sama-sama memikirkan pertanyaan yang Leno lontarkan. “Mungkin karena kita tidak bisa melakukan apapun untuk membantu, jadi kita tidak perlu tahu,” kata Gilang, anak bertubuh gempal lainnya. Nampaknya satu kelas menjadi tertarik dengan pembicaraan kelompok ini. Mereka semua mendengarkan.
“Bagaimanapun juga kita masih dianggap anak-anak. Mereka tidak mungkin memperhitungkan kita untuk membantu. Memangnya kita bisa melakukan apa?” kata Jaffray.
“Perbincangan ini mungkin tidak akan menghasilkan apa-apa untuk kita,” kata Amber. “Tapi orang tuaku bilang mungkin akan ada tindak lanjut, seperti penutupan pusat atau sekolah. Tapi, kita belum tahu.” Orang tua Amber juga bekerja di pusat kota. Ayahnya pensiunan militer yang sekarang menjadi penasihat di pusat.
Suara ramai memenuhi kelas. Beberapa mulai berbincang dengan teman-temannya sendiri. “Kau bisa menelfon orang tua mu? Aku dari tadi pagi belum bisa menghubungi rumah,” kata Niken.
Dika dan Gilang mengusap gelang t45 mereka bersamaan. “Iya jaringan internet juga sangat buruk sejak tadi pagi.”
Leno juga ikut mengusap gelangnya. Ona belum menghubungi kembali. Nama ayahnya juga tidak terlihat di kolom pesan masuk ataupun panggilan hari ini. “Sepertinya bukan hanya internet. Sinyal-sinyal lain juga sulit masuk,” kata Leno teringat Ona yang masih menggunakan telefon manual.
“Mereka sengaja memutus internet atau bagaimana?” tanya Niken. Dika menggelengkan kepala. “Mana mungkin. Kota sedang Siaga I sejak tadi malam. Memutus komunikasi malah memperkeruh suasana.”
“Yah.. aku hanya bertanya.”kata Niken lagi.
“Makhluk itu tidak mungkin menyerang pemancar jaringan kan? Atau mereka bisa melakukannya?” tanya Amber.
“Ayahku pernah bilang, Lentipede hanya menyerang makhluk organik. Jadi sepertinya tidak mungkin,” kata Jaffray.
“Itu kan dulu, Jaf. Memangnya jaman dulu ketika ayahmu masih aktif, ada Lentipede segede itu? Sekarang mereka membesar dan masuk ke dalam kota,” kata Gilang sambil mengunyah kripik jamurnya. Teman-temannya berpandangan nampak tidak mengerti.
“Maksudku semuanya menjadi mungkin saat ini. Bisa jadi nanti malam Lentipede membesar seperti rumah? Atau bentuknya berubah orang? Atau mereka berkumpul dan menduduki Trikad sampai rubuh? Kita tidak tahu dunia bisa segila apa sekarang,” kata Gilang lagi. Dika menyomot kripik milik temannya dan mulai mengunyah. “Iya, bisa jadi.”
“Itu kripik beracun ya? Kalian sudah mulai berhalusinasi.” kata Amber kesal. Jaffray menggeser kursi di depan mereka dan menyelipkan tubuhnya di antara celah kursi dan meja Amber. Ia menyeret kursi kosong di samping Amber dan duduk di sebelahnya. “Ngapain kau?!” kata Amber kaget dan bingung.
“Kau harus melihat ini,” kata Jaffray. Ia mengusap gelang dX85nya dan memunculkan gambar berang-berang cemberut yang anehnya mirip sekali dengan Amber.
Leno dan Niken ikut melihat gambar itu dari belakang Jaffray. Semuanya langsung tertawa kencang. Teman-teman lain melihat mereka heran. Semua tertawa bersama kecuali Amber. Ia menekuk wajahnya
dan membuat bibir mencucu tanda kesal. Dika dan Gilang tertawa semakin kencang melihat raut wajah Amber.
Pintu kelas terbuka, Mia masuk sambil memeluk 1 buku tebal di depan dadanya. Sontak semua mata tertuju pada si juara kelas 7 tahun berturut-turut itu.
“Mia, beli dimana bakwan segede gitu?” kata Dika meledek. Jaffray dan Gilang gantian yang tertawa keras. Mia menyipitkan matanya, mengeluarkan tatapan menusuk ke arah Dika. “Emang ya, kalau kebanyakan makan, otak isinya makanan semua,” kata Mia ketus.
Leno tersenyum geli melihat Mia yang sekarang memasang tampang tuan putri galaknya. Leno meninggalkan teman-teman gosipnya dan mengikuti Mia kembali ke tempat duduk mereka.
“Jangan galak-galak, Mi. Kasihan Dika sudah berusaha menyapamu sejak tahun lalu,” kata Leno. Walaupun tampak cuek dari luar, Leno tahu beberapa teman laki-lakinya banyak yang tertarik
dengan Mia.
Mia melayangkan pandangan menusuknya kepada Leno. Leno hanya tersenyum jahil. Mia membuka buku tebal yang ia bawa tadi dengan keras, seluruh kelas mendengarnya. Suara berisik yang memenuhi ruangan sekarang sunyi senyap.
Guru Sosial berdiri di depan pintu dan masuk ke dalam kelas dengan pandangan heran. “Ada gerangan apa kalian tidak berisik hari ini?”
Tidak ada yang menjawab. Jaffray dan teman-teman lain segera kembali ke tempat duduk mereka. Proyektor kelas dinyalakan kembali.
Mia menutup bukunya dengan pelan. “Aku akan ke perpus lagi nanti malam.” Leno tahu Mia pasti sedang mengisi kepalanya dengan ilmu untuk mencari tahu tentang serangan Lentipede semalam. Mia sudah berencana mendekam di perpustakaan, seperti yang ia lakukan setiap ujian akhir kenaikan kelas. Tapi, pergi ke perpustakaan malam-malam sepertinya bukan ide yang bagus saat ini.
“Besok masih sekolah Mi, jangan begadang dulu di perpus.”
Mia sedikit menunduk dan memelankan suaranya. “Aku punya firasat semua akan menjadi lebih buruk. Entah benar atau tidak. Dan jika hal itu terjadi, aku harus tahu cara menyelamatkan kita.”
Leno sedikit tercengang mendengarnya. “Tidak ada Lentipede yang masuk ke sekolah Mi. Unit Mandala pasti sudah berjaga di seluruh kota,” kata Leno. “Kakakmu juga pasti sedang berusaha.”
Mia terdiam sejenak. “Iya, pasti. Dia sibuk sekali hari ini.”
Leno menggenggam bahu Mia, mencoba menenangkan. “Sesuatu telah terjadi, aku tidak tahu apa. Tapi, aku tidak mau diam saja,” kata Mia lagi. Pandangannya menatap lurus ke depan kelas, tapi bukan
tulisan di proyektor yang Mia sedang baca.
“Aku akan tetap ke perpustakaan malam ini. Ada hal yang ingin ku ketahui.”
Leno menghela nafas. Kepala batu Mia sama kerasnya dengan dirinya sendiri. Ia tahu Mia tidak akan berhenti. Leno menyerah dan akhirnya bertanya pada Mia. “Apa yang bisa ku bantu?”
“Bawakan aku susu cokelat hangat ke perpus pukul 8, nanti malam.”
***
Moonasera Sito mengenakan jubah putih kebesarannya di ruang rapat utama di lantai 7 kantor pusat Trikad. Sito adalah laki-laki bertubuh tinggi besar dan berbadan tegap dengan rambut hitam abu-abu yang sesuai dengan wajah 55 tahunnya. Ia berdiam diri di dekat jendela Trikad sisi utara. Matahari sudah terbenam, kelap-kelip lampu pertokoan terlihat jelas dari jendela ini. Pemandangan yang indah itu tidak melunturkan
ketegangan dari wajah Sito. Kepalanya penuh dengan banyak persoalan baru yang tiba-tiba datang dan menaruh bom waktu di dalamnya. Ia kembali merasakan ketegangan yang sama dengan kejadian bertahun-tahun yang lalu.
Pintu besar di ujung ruangan terbuka. Sito mengalihkan pandangannya dari jendela. Dua orang muridnya, sahabat-sahabatnya, memasuki ruang rapat mengenakan jubah putih yang sama dengan Sito. Maha dan Joke mengangguk kecil, memberi hormat kepada pimpinan mereka.
“Bagaimana Ayu? Ia baik-baik saja?” kata Sito, bertanya. Ia menarik kursi di paling ujung meja dan duduk di atasnya. “Bon sedang menemaninya. Ia terpukul sekali.” kata Maha sambil menarik kursinya juga. Joke mengikuti mereka dan ikut duduk di samping Maha.
Sito mengangguk singkat. ”Aku dengar korban wanita itu adalah adiknya.”
“Bukan adik kandung,” kata Joke. “Tapi teman adiknya. Ayu kehilangan adiknya ketika wabah Lentipede 12 tahun yang lalu. Melihat kejadian semalam seperti membangkitkan mimpi buruknya.”
Sito mengangguk kembali, raut wajahnya melembut. “Aku turut prihatin.”
Maha menundukan pandangannya sedikit, menunjukan empatinya. Semua anggota timnya diliburkan hari ini. Ia dan Joke baru saja pergi dari rumah Ayu. Hanya Frian yang tidak datang ke rumah Ayu, Ia memilih beristirahat di rumahnya sendiri. Maha seharusnya tidak perlu datang ke pusat kota malam ini, tapi Ia tidak bisa beristirahat. Maha berpikir lebih baik ia membantu Sito malam ini. Sedangkan Joke, teman sekamar Maha sejak
tingkat 1 di kampus, memutuskan pergi bersama Maha.
“Bagaimana pengamanan kota?” tanya Maha kepada Sito.
“Aku sudah mengutus 5 unit. Masing-masing satu di tiap pintu gerbang. Semua unit membawa peralatan lengkap,” kata Sito.
Maha mengangkat sebelah alisnya, “Termasuk Gada itu?”
“Hmm.. tidak. Belum ada yang berani memakai Gada itu setelah didesinfeksi tadi pagi. banyak yang
bertanya-tanya tentang keamanannya,” kata Sito sedikit ragu.
“Tapi, Gada itu yang bisa membunuh Lentipede jika mereka datang lagi!” seru Maha, sedikit tersulut.
“Ya, tapi hanya kau yang berani, Maha. Gada itu satu-satunya yang pernah kita buat di sini,” kata Sito
menjelaskan.
Maha menggeleng-gelengkan kepalanya tanda tidak setuju. “Bagaimana jika mereka datang, aku yakin tidak hanya satu makhluk yang seperti itu di sekitar sini, bagaimana jika mereka muncul menjadi lebih banyak? Lebih besar?”
“Maka unit kita akan melawannya, seperti yang kalian lakukan semalam,” kata Sito dengan tegas. Maha mengalihkan pandangannya dari Sito. Itu tidak cukup, batin Maha.
“Aku tidak tahu apa lagi yang harus kita lakukan. Jika kau punya ide yang lebih baik, jangan simpan sendiri,” kata Sito lagi. Suasana tegang menyelimuti ruangan itu.
Joke mengangkat tangan kanannya ragu-ragu. “Sepertinya kita harus menggelar rapat putih untuk menjaring ide. Kita bahkan tidak tahu darimana Lentipede raksasa ini berasal. Seseorang harus mencaritahu sumbernya, apakah benar hanya hasil dari evolusi?”
Sito menarik nafas panjang. “Joke, siapa yang akan hadir jika sebagian anggota aktif berjaga di perbatasan?”
“Mungkin kita bisa memanggil anggota senior? Bagaimanapun kita harus menyusun strategi, Moons. Mencari tahu asal musuh kita merupakan salah satu langkahnya.”
Sito menundukan pandangannya. Joke benar, mereka tidak bisa hanya melawan tanpa mencaritahu lebih lanjut apa yang mereka hadapi.
Maha tenggelam dalam pikirannya sendiri. Batinnya tidak tenang, apalagi adiknya tidak membalas pesannya sejak tadi siang. Tiba-tiba kesadaran menghantam kepala Maha.
“Apa kau sudah mengamankan sekolah?” tanya Maha.
“Sekolah?” Sito tampak bingung sejenak. “Geduna? Gedung itu terletak di bawah tanah. Kita tidak perlu…”
“FIGHR!” potong Maha sambil berteriak.
“Mereka teletak di luar gerbang kota! Tolong katakan kau sudah mengirim unit khusus untuk melindungi sekolah.” Seru Maha setengah memohon. Wajahnya memerah karena menahan emosi. Joke menepuk
bahu Maha, mencoba menenangkan.
“Mn. Kay menjaga gerbang utama. Seharusnya mereka bisa menjaga FIGHR sekaligus,” kata Sito.
“Tidak.. tidak. Mereka tidak akan mampu. Jaraknya terlalu jauh dari gerbang utama.” Maha mengusap kepalanya yang botak. Pikirannya berlarian kemana-mana. Ia merasa sesuatu yang buruk akan
terjadi.
Selang beberapa detik kemudian, lambang bulan di kiri jas mereka berpendar terang. Panggilan darurat telah masuk. Sito menekan lambang bulannya, hologram Mn. Kay berbicara pada mereka.
“Moonasera, dengarkan aku. Kami melihat bayangan dari kejauhan,” kata hologram Kay yang berpendar di tengah mereka bertiga. Maha dan Joke mendengarkan dengan seksama.
“Seberapa besar?” tanya Sito.
“Sama seperti kemarin. Tapi….lebih banyak.”
“Lebih dari satu?!”
“Lebih dari lima! Tapi mereka menghilang saat kita bersiap menyerang dari dalam gerbang utama. Sekarang 3 orang anggota ku sedang mengejar mereka. Kita butuh tambahan unit.”
“Mereka menuju FIGHR.”
Tanpa memedulikan apa-apa lagi, Maha pergi dari tempat duduknya dan bergegas menuju pintu di ujung ruangan. Joke memanggil namanya, tapi Maha tidak berhenti. Joke bangkit berdiri.
“Kami pamit dulu. Terima kasih, Moons,” kata Joke terburu-buru. Ia langsung mengejar Maha tanpa menunggu respon dari Sito. Di luar ruangan, Joke melihat Maha bergegas menuruni tangga. Maha
bahkan tidak menunggu lift untuk turun dari lantai 7 itu.
“Maha, kau mau kemana?” seru Joke, sambil menuruni tangga untuk mengejar Maha.
“Mengambil Gada,” jawab Maha, langkahnya semakin cepat. Samar-samar, Joke mendengar Maha berkata:
“Untuk menyelamatkan adikku.”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 24 Episodes
Comments