Setelah Melisa keluar dari ruangan, Ronald beranjak dari tempat tidurnya. Saat akan berdiri, ia merasakan kakinya sangat lemas seakan tidak bisa digerakkan. Ronald merasakan sensasi yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Dengan sedikit usaha, Ronald berhasil berdiri dengan kakinya yang tidak berhenti bergetar.
"Ada apa ini? kenapa aku begitu lemah? aku bahkan masih bisa merasakan sensasi rasa nyeri di setiap lukaku. Bahkan di kehidupan ini pun aku begitu menderita. Beginikah takdir memperlakukan aku?" Ronald tak habis pikir, dirinya yang baru saja tiba di dunia yang berbeda malah akan bertemu nasib sial seperti ini.
Ronald juga tidak mengerti ada konflik apa antara dirinya dan sepuluh orang pendekar yang menginginkan nyawanya. Setidaknya Ronald tahu alasan dari salah satu orang yang menginginkan nyawanya. Itu karena Ronald telah membunuh putranya jika diingat saat perbincangan antara Yulia dan mereka sebelum bertarung.
"Aku telah membunuh anaknya? tapi aku bahkan tidak mengingatnya. Yang ada di ingatanku hanyalah saat aku hidup di dunia sebelumnya. Apa yang harus kulakukan sekarang? dan apa identitas ku di dunia ini?"
Begitu banyak pertanyaan yang muncul dalam benak Ronald. Ronald juga sudah mampu berjalan perlahan meski kecepatannya seperti kura-kura yang sangat lambat. Saat Ronald memperhatikan sekitarnya, pintu terbuka.
Jendral Sudirman segera memasuki ruangan. Kini pandangan Ronald dan Jendral Sudirman bertemu. Keduanya saling tatap selama beberapa saat.
"Bagaimana kondisimu, Ronald?"
"Kondisi saya baik-baik saja sekarang, apakah anda mengenal saya? bisakah anda menceritakan semua hal tentang diriku? aku tidak mengingat Apapun."
Jendral Sudirman termenung sejenak sebelum akhirnya bergerak dengan sangat cepat membuatnya seakan menghilang. Jendral Sudirman segera memukul Ronald yang saat itu masih dalam kondisi buruk. Bahkan untuk berdiri pun, kaki Ronald sampai gemetar.
Ronald terpental kebelakang setelah menerima serangan Jendral Sudirman. Ronald terbaring setelah terpental. Ia memegangi perutnya yang terasa sangat sakit. Di mulutnya keluar darah segar, bekas-bekas lukanya kembali mengalirkan darah segar.
"Apa? apa salahku? ada dendam apa aku dengan anda?" Ronald segera bertanya dengan nada terbata-bata. Ronald tampak memaksakan suaranya keluar, kini sensasi rasa nyeri yang tidak terbayangkan dirasakan oleh Ronald. Tulang rusuk Ronald seakan remuk akibat pukulan Jendral Sudirman.
"Kenapa? kau membawa kabur putriku, kau membuatku terpisah selama lebih dari tiga tahun dari putriku. Kau bilang kenapa? aku sedari dulu memang ingin menghajar mu sampai mati. Dasar bajingan!" Jendral Sudirman tidak lagi mampu membendung emosinya setelah melihat Ronald, apalagi saat mengingat Ronald telah membuat dirinya berpisah dengan satu-satunya putri yang dia miliki.
"Tidak hanya itu... kau bahkan mengembalikan putriku dalam keadaan sekarat. Sekarang bagaimana aku bisa tidak dendam dengan dirimu, hah?"
Kini Ronald tidak berdaya, yang bisa dia lakukan hanya diam tanpa melawan. Ronald hanya bisa berdecak kesal, bagaimana tidak, Ronald baru saja tiba di dunia ini. Ronald tidak tahu apapun soal apa yang dilakukan olehnya di masa lalu, bisa dibilang... Ronald adalah orang yang tidak bersalah.
"Sialan, aku tidak tahu ada hal seperti itu. Saat aku baru sampai di dunia ini, kondisiku sudah sekarat, aku harus bertaruh dengan nyawaku, ada lebih banyak orang yang ingin membunuhku, dan sekarang aku malah harus di benci dan dipukuli sampai hampir mati olehnya? Sedari awal takdir memang tidak pernah adik padaku, brengsek!"
Ronald tak mampu menahan air matanya. Perasaan sedih dan sensasi rasa nyeri dari lukanya membuat Ronald merasa ingin mati saja.
Sementara itu, Jendral Sudirman merasa puas saat melihat Ronald tampak sangat menyedihkan. Darah dari setiap luka dan dari mulutnya tampak sangat jelas. Air mata mengalir tidak terkontrol, bahkan seluruh tubuhnya gemetar kesakitan.
"Pecundang! aku tidak menggunakan tenagaku saat memukulmu. Tidak perlu sampai seperti itu, ingatlah satu hal ini, aku masih belum bisa melepaskan kebencian ini." Jendral Sudirman segera pergi setelah meludah. Di pintu, Jendral Sudirman berpapasan dengan Melisa yang saat itu sedang menguping dengan baik.
Pandangan Jendral Sudirman seketika membuat Melisa menunduk takut tidak berani berkata-kata.
"Obati dia secukupnya saja, kau hanya perlu memastikan bahwa dia tidak mati, tidak perlu memperlakukan pria itu dengan baik."
Perintah itu bagaikan hilal bagi Melisa. Dengan cepat, Melisa menghampiri Ronald yang terbaring tidak berdaya.
"Kasian sekali pemuda ini, dari tatapan matanya tadi, pria ini tampak seperti orang yang tidak tahu apa-apa. Entah mengapa aku merasa pemuda ini sebenarnya tidak bersalah." Melisa berpikir sejenak sebelum akhirnya memapah Ronald yang sudah tidak sadarkan diri.
Benar-benar, tiap kali Ronald sadar, ia hanya merasakan sensasi nyeri dan menemukan fakta bahwa banyak orang yang menginginkan kematiannya, setelah itu Ronald akan kembali tidak sadarkan diri. Kali ini... Ronald lagi-lagi putus asa untuk kedua kalinya.
Tiga hari telah berlalu, Melisa baru saja membantu Ronald memakan bubur dengan menggunakan sebuah teknik unik yang membuat meski Ronald tidak sadar, bubur itu bisa masuk dengan bantuan Melisa. Seperti biasanya, Melisa lagi-lagi memandangi Ronald yang penuh perban dan terlihat sangat menyedihkan.
"Jika di lihat-lihat, pemuda ini sebenarnya sangat tampan. Dia juga tidak terlihat seperti orang jahat. Dunia benar-benar tidak adil, andai saja bisa... aku akan senang jika kamu menjadi jodohku!" Melisa kemudian mengupas apel untuk dinikmatinya sendiri. Setelah mengupas apel, Melisa menyimpan pisau kecilnya di meja dekat ranjang tempat Ronald terbaring.
Setelah beberapa jam, Ronald akhirnya sadar lagi. Pertama kali sadar, Ronald batuk darah. Ronald seketika memandangi tangannya yang penuh darah yang keluar dari mulutnya tadi. Ronald seketika mengingat segala yang terjadi pada dirinya.
"Kehidupan pertama, aku sangat menderita dan akhirnya menyerah pada hidupku. Sekarang, di kehidupan ke dua ini, lagi-lagi hanya ada penderitaan. Jika aku bunuh diri lagi, akankah saya mendapatkan kehidupan ketiga? benar-benar, aku sudah tidak tahan hidup seperti ini, hidup ini... aku menyerah... lagi?" Setelah beberapa saat berpikir, Ronald sampai pada satu keputusan, yakni memutuskan untuk bunuh diri dan menyerah pada kehidupan.
Melihat sebuah pisau kecil, Ronald segera mengambilnya. Dengan pegangan erat, Ronald kini bersiap menusuk perutnya. Ujung dan bilah pisau kini menghadap ke perut Ronald. Satu gerakan saja akan mengakhiri semuanya. Setelah mengingat betapa menyedihkan hidupnya, Ronald segera menusuk perutnya dengan percaya diri.
Ujung pisau kini menyentuh kulit Ronald saat tiba-tiba sebuah tangan mungil mencegah Ronald menusuk dirinya. Sekuat tenaga, Melisa menarik kembali tangan Ronald dan segera menyingkirkan pisau itu dengan cara dilemparkannya ke samping.
"Kenapa? kenapa kau menghentikan aku? bukankah akan menjadi jauh lebih baik lagi jika aku mati dengan cepat?"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 52 Episodes
Comments
Fiah msi probolinggo
Ronald jangan putus asa, bangkitlah dan buktikan pada mereka semua kalau mereka salah
2022-04-10
1