Bab 5 - Calya, Piano, dan Denting Kelam

Aku tak tahu ini pagi, siang, sore atau bahkan malam. Saat mataku terbuka kembali, aku berada di sebuah ruangan yang aku rasa aku pernah kemari. Yah, lupa ingatan cukup merepotkanku saat kembali ke Semarang. Kepalaku masih pusing, efek dari alkohol yang kuminum. Aku memang payah untuk berhadapan dengan yang satu itu. Aku mencoba untuk duduk di atas kasur dan kepalaku semakin pusing.

Tadinya aku tak ingin minum alkohol hanya saja kedatangan Arsen -yang mungkin untuk kedua kalinya- dalam hidupku membuatku membutuhkannya. Semenjak aku lupa ingatan tak ada seorangpun yang mendatangiku dan terlihat mengenalku apalagi mengaku pernah menjadi seseorang yang penting. Hanya Arsen. Aku sendiri sudah menyadarinya sejak lama. Saat peluncuran album Arsen dua tahun yang lalu, suaranya terasa tak asing di telingaku, dan entah mengapa sejak hari itu aku benar-benar jatuh cinta dengan pribadinya tapi aku menemukan suatu kejanggalan dalam salah satu lagunya. I Know It. Aku tak mengerti mengapa setiap lagu itu mengalun ada suatu dorongan yang tidak biasa. Saat aku memainkan lagu itu terasa menyakitkan. Kepalaku akan berdenyut hebat.

Sejauh yang kutahu serta sejauh yang kuingat keluargaku mengalami kecelakaan yang membuat Papi  dan Mami meninggal. Sisanya aku tak tahu. Bahkan saat aku terbangun, aku percaya saja bahwa Bunda adalah ibu yang melahirkanku, hingga kejadian itu.

Desember 2008. Ini hari natal. Di bawah sana sudah terpasang pohon natal yang besar. Rumput serta pepohonan sudah dirapikan untuk menyambut tamu. Aku bangun agak siang hari ini. Aku bangun dan berdiri di balkon kamarku. Secangkir teh hangat di tanganku. Minum teh di pagi hari seperti ini terasa asing bagiku. Sejak aku bangun dari koma bulan Oktober lalu, semuanya terasa aneh. Bahkan Bunda terasa asing bagiku. Aku tak pernah dijelaskan bagaimana aku bisa kecelakaan, semua yang aku tahu aku kecelakaan di jalanan keluar bandara. Bahkan aku tak tahu untuk apa ke bandara.

Aku berjalan kembali ke kasur duduk di atasnya. Nakas di samping kasurku tak pernah kubuka sama sekali sejak aku kembali. Kutarik laci itu. Ada alat tulis serta tumpukan buku di dalam sini. Aku heran untuk apa dulu aku memiliki pulpen dengan Minnie Mouse karet di atasnya. Sebuah laptop yang cukup besar menarik perhatianku. Aku tak mengerti untuk apa aku memiliki macbook jika aku masih memiliki laptop yang cukup baik. Di halaman depan hanya memiliki satu folder. Kutekan dua kali pada ikon folder itu. Kurasa ini catatan harianku.

“Malam ini Tante Tina ke rumah lagi, dan lagi-lagi dirinya meminta uang pada Papi -dengan marah. Aku tak pernah mengerti mengapa Tante Tina sejahat itu.”

“Hari ini aku dan Isaac baru saja pulang kehujanan dan itu sangat menyenangkan!”

“Isaac marah padaku hari ini.”

“Rara memberiku sebuah coklat yang katanya bisa membuat moodku naik.”

“Tante Tina datang tengah malam dan memaki-maki Mami.”

“Aku tak pernah mengerti mengapa Tante Tina tak pernah puas dengan apa yang sudah Papi beri.”

Cukup aneh. Siapa Isaac? Rara? Tante Tina? Bukankah nama Bunda Tina? Kubuka aplikasi surel di laptop ini. Akun surel tadi mengirimkan banyak surat di tanggal 26 Juni 2008. Seminggu setelah kecelakaan. Semua surel yang diberikan mengatasnamakan Basaladar Susantyo atas perintah Nyonya Tina.

Nyonya Tina? Bunda? Mengapa? Mengapa dia menghapus semua akun yang kumiliki. Disaat seperti ini satu-satunya orang yang bisa memberiku jawaban adalah Tina. Mengapa aku menuliskan Bunda dengan Tante? Apa sebenarnya dia bukan ibu kandungku? Anganku berusaha mencari jawaban lain.

Aku turun ke bawah mencari orang yang kupanggil Bunda dua bulan belakangan ini. Bunda sedang mengoles roti dengan anggunnya seperti hari-hari sebelumnya. Aku menghampirinya dengan wajah tak suka. Masih dengan penuh keanggunan, Bunda bertanya.

“Kenapa, Ya?” tanya Bunda.

“Bunda bukan ibu kandung Calya ‘kan?” tanyaku dengan penuh emosi.

“Kamu tuh ngomong apa to, Ya?”

“Bunda nggak usah sok nggak ngerti bisa?!”

“Terus nek emang bukan napa?”

“Sampai kapan aku harus dibohongi?”

“Ya, nek memang kamu udah nggak butuh Bunda silahkan keluar dari rumah tapi harta Papi-mu, rak bakal dadi wek-an awakmu!.” jawab Bunda penuh dengan keserakahan. Aku menatap Bunda tak percaya. Aku hanya dimanfaatkan untuk mendapatkan harta Papi -orang yang sama sekali aku tak ingat. Aku naik kembali ke kamar, meratapi nasibku. Bahkan setelah mengetahui fakta menyakitkan itu aku masih memanggilnya Bunda.

Aku tak keluar kamar seharian. Aku hanya meratapi nasibku seperti orang bodoh sedangkan Bunda menikmati kekayaan Papa. Aku butuh udara segar sepertinya. Kubiarkan kakiku menginjak ubin kamar yang sudah mendingin. Aku berjalan perlahan menuju lantai bawah. Aku cukup lapar. Rumah sudah gelap itu tandanya penghuni rumah kebanyakan sudah tidur. Aku membuka kulkas dapur. Kulkas rumah ini memang tak pernah kekurangan. Aku mengambil puding coklat, dan sebotol entah apa ini.

Ku makan sedikit demi sedikit puding coklat itu. Kubaca nama botol minuman yang kuambil tadi. Ternyata ini bir. Aku tak pernah minum bir sebelumnya atau minuman beralkohol jenis apapun sebelumnya tapi sepertinya tak masalah jika aku mencobanya sedikit. Setelah kenyang dengan puding coklat, aku mengambil gelas dan menuang bir tadi ke dalam gelas. Aku meminum sedikit demi sedikit sambil menuju ke kamar. Rasanya sedikit pahit namun memberikan sensasi hangat. Aku duduk di sofa kamar saat bir di dalam gelas tinggal setengah. Aku mulai mengantuk namun mengantuk yang indah. Mengantuk yang tidak pernah kurasakan sebelumnya. Mengantuk yang membuatku lupa akan masalahku sesaat.

Juni 2019. Pintu terbuka menampilkan Arsen dengan tangannya membawa sebuah piring dan sebuah gelas. Laki-laki itu tersenyum, bahkan dengan rambut basah yang masih berantakan itu dirinya tetap menawan. Tubuhnya yang proporsional mampu membuat siapapun terpana. Arsen memang sosok yang diidamkan kaum hawa. Pantas saja diriku di masa lalu betah mengenalnya.

“Hai, udah bangun ternyata,” sapanya dengan lembut dan manis.

“Iya,” jawabku saat Arsen menyerahkan gelas yang dibawanya.

“Diminum, itu jus apel, kesukaanmu, ini roti bakar blueberry, kesukaanmu juga.”

“Kok tau sih.” cicitku sambil melihat jus apel yang disodorkannya

“Kita pernah bersama, seharusnya kamu nggak heran soal itu.” jawab Arsen terlihat sedih yang membuatku tersadar akan fakta bahwa aku masih lupa ingatan.

“Kalau semisal aku nggak kecelakaan, apa kita masih bersama?” tanyaku.

“Ehmm….” Arsen terlihat berpikir dengan memiringkan kepalanya sedikit.

“Kita bahkan nggak pernah jadian,” kata Arsen lagi tersenyum ke arahku. Aku cukup terkejut dengan fakta itu. Perlu kuingatkan aku dan Andi juga tak jadian secara resmi, dan sebuah fakta baru kutemui bahwa dulu aku juga tidak jadian dengan Arsen. Perempuan macam apa aku ini?! Suasana sempat hening sesaat.

“Kamu nggak balik Amerika?” tanyaku.

“Belum. Mungkin nunggu Mama mau aku ajak ke Amerika.” jawab Arsen terlihat berat.

“Memang kenapa Mama nggak mau ke Amerika?” tanyaku lagi. Arsen terdiam beberapa saat dengan  posisinya duduk di tepi kasur dengan tubuh menghadap ke arahku.

“Arna. Dulu kamu sama Arna sabahatan sampai akhirnya kita juga dekat, dan keluarga kita dekat. Arna meninggal di kecelakaan bareng kamu.” jawab Arsen dengan suara serak ditambah tatapan tersiksa.

“Sorry.” cicitku sambil menggapai tangannya kemudian menatap matanya dalam. Kemudian Arsen mengalihkan tatapannya.

“Papa juga minta rujuk, dan aku nggak ijinin. Mama udah terlalu tersiksa.” jawabnya dengan nada yang lebih dalam. Aku meremas tangannya menyalurkan kekuatan.

“Papa kamu memang ngecewain kamu tapi aku yakin kamu bisa ngampunin Papa kamu.” Arsen menatap tangan kami.

“Aku selalu berharap ada di suasana seperti ini. Ada kamu yang ngasih aku kekuatan.” jawabnya dengan tatapan lembut. Aku tersenyum melihatnya.

"Aku disini sekarang." Jawabku. Arsen memelukku erat meletakkan kepalanya pada pundak kiriku dan hal selanjutnya yang kurasakan adalah pundakku basah diiringi tubuh Arsen bergetar. Arsen menangis. Biarkan saja Arsen seperti ini dulu.

Aku tak pernah tahu apa yang terjadi padanya selama aku tidur dari hidupnya. Aku tak tahu beban apa yang harus ditanggung dirinya sendirian. Amerika memang terlihat hebat tapi sejauh yang kudengar di sana keras. Arsen pasti telah memendam tangisnya begitu lama. Aku menepuk pundaknya menyalurkan semangat.

Arsen menarik diri dari pelukku. Dia menatap mataku dalam. Dapat kulihat jelas matanya memerah begitu juga hidungnya tapi itu sama sekali tidak mengurangi ketampanannya. Kemudian Arsen menggenggam tanganku lantas berbisik.

"Thank you." Dia masih menatapku dalam. Aku tersenyum dan meremas sedikit tangannya. Arsen berdiri tanpa melepas genggamannya yang kemudian ikut menyeret tubuhku berdiri. Arsen menggandeng tanganku keluar kamar Arna. Mama duduk di kursi meja makan bersama, sepertinya Papa. Dapat kulihat jelas tatapan pria -yang sepertinya Papa- sangat mencintai Mama. Wanita dengan uban yang mulai terlihat itu tampak asyik berbincang dengan pria jangkung di sebelahnya.

Saat pria dengan tubuh jangkung serta wajah barat itu menyadari kehadiranku dan Arsen, dirinya langsung menengok kemudian melempar senyum yang membuatku sangat yakin bahwa Arsen benar-benar mirip dengan pria ini. Aku membalas senyum itu. Aku melirik ke arah Arsen yang menatap pria itu dingin. Ditariknya kursi meja makan dengan kasar kemudian menatapku mengisyaratkan untuk duduk kemudian barulah dirinya menarik kembali kursi untuk dirinya sendiri yang tentunya dengan kasar.

"Mau apalagi, sih?!" Bentak Arsen seketika. Aku merinding dibuatnya. Mama seketika memelototi Arsen kemudian mendesis "Sen!"

"Mama kenapa belain dia terus?" Tanya Arsen melunak.

"Arsen dia itu Papa kamu."

"Maksud Mama orang yang ninggalin kita demi wanita lain?" Lagi-lagi perkataannya penuh sarkastik. Mama menutup matanya beberapa saat.

"Arsen mau pergi dulu." Pamit Arsen seketika masih terdengar amarah di dalamnya. Aku sedikit terkejut. Aku menatap kedua orangtua ini.

"Calya pergi dulu ya, Om, Tante." Pamit ku kemudian buru-buru menyusul Arsen. Aku setengah berlari sedikit terseok karena heels yang kupakai. Arsen sudah di dalam mobil saat aku sampai di luar. Segera aku masuk ke dalam mobil. Wajahnya tegang, matanya seperti ingin membunuh.

“Arsen.” panggil ku. Arsen tetap diam memegang kemudi padahal mobil sama sekali tidak berjalan. Arsen menatap keluar jendela depan mobil dengan mata berkaca. Cuaca mendung sore ini mendukung suasana sendu hati Arsen. Tak lama Arsen mengangkat rem tangan mobil, dan mobil bergerak. Tak ada suara yang terdengar hingga kami sampai di depan apartemenku. Aku menatap Arsen sesaat kemudian turun dari mobil.

Aku tak tahu harus berbuat apa saat menghadapi Arsen yang seperti itu. Aku merasa asing dengan sikap Arsen. Aku merasa asing saat menyebut namanya. Aku merasa bahwa Arsen tidak pernah dalam novel hidupku, tidak dalam versi ini. Sebagian diriku mempertanyakan apakah Arsen benar pernah ada dalam hidupku atau tidak tapi dari rasa nyaman saat kulit kami bersentuhan kurasa Arsen memang pernah memenangkan hatiku.

Keesokan harinya, Arsen sudah berada di ruang tamu apartemenku pagi-pagi buta. Udara pagi Semarang membuat tubuhku enggan bangun. Aku memang biasanya akan bangun di jam-jam ini dan berlarian di atas treadmil namun entah mengapa pagi ini kasurku seakan memanggil-manggil diriku. Aku membuka paksa mataku dan membiarkan Arsen duduk di ruang tamuku. Arsen dengan kaos dan celana olahraganya terlihat sempurna. Aku memilih untuk mengenakan hoodie hitam dengan legging hitam polos. Arsen membawaku ke GOR Tri Lomba Juang. Hari masih sangat sepi mengingat ini bukan akhir pekan terlebih ini masih jam lima pagi.

Kakiku dan Arsen beriringan memutari lajur yang ada. Kami berdua benar-benar sibuk dengan langkah kaki masing-masing hingga hanya terdengar suara depak kaki kami. Ini sudah putaran keenam. Aku dan Arsen mulai berjalan menormalkan nafas kami yang mulai habis.

“Kapan kamu pulang ke Amerika?” tanyaku saat langkah kami beriringan.

“Belum tahu. Aku vacuum setahun.” jawab Arsen singkat.

“Kamu tetep balik ‘kan?”

“Napa? Kamu  takut aku nggak lagi nulis lagu buat kamu?” jawabnya dengan nada yang sangat tengil.

“Apaan sih?!” jeritku.

“Mungkin nanti,” jawab Arsen menggantung. Aku menatap lekat matanya yang mengarah ke depan

“Nanti waktu urusanku disini udah selesai semua.” sambungnya lantas menatap mataku dalam kemudian tersenyum.

“Nunggu Mama, ya?” tanyaku kembali.

“Iya.” jawab Arsen lagi.

“Kalo Mama nggak mau ikut gimana?”

“Tetep balik lah.” jawab Arsen dengan nada malas. Percayalah aku berharap agar Arsen menetap di Semarang walaupun rasanya itu tidak mungkin. Arsen mengambil tanganku kemudian menggandeng diriku sampai ke mobil. Mentari mulai menampilkan dirinya dari timur. Kemudi Arsen mengarah pada sebuah pedagang kaki lima di Simpang Lima. Sebuah warung bubur ayam menjadi pilihan sarapan pagi ini. Aku dan Arsen duduk berhadapan. Arsen telah memesan makanan kami sehingga aku tinggal menunggu saja bubur itu datang. Seorang pria paruh baya dengan peci hitam membawa dua mangkok bubur kemudian meletakkannya di depan kami.

“Makasih, Pak.” kataku yang dibalas senyuman oleh bapak itu. Aku menatap sejenak bubur itu. Telur kuning. Aku tak pernah suka telur kuning. Arsen dan sendoknya mengambil kuning telur itu kemudian memakannya dengan sekali lahap kemudian tersenyum. Ah, tidak mengejutkan. Aku dan Arsen pernah bersama. Aku tersenyum kepadanya sebelum melahap bubur ayam ini.

“Kamu masih main piano?” tanya Arsen disela sarapannya.

“Nggak,” jawabku ragu. Aku menatap bubur ayamku sesaat tanpa melakukan gerakan.

“Jangan bohong.” katanya lantas tersenyum.

“Kadang.” lanjutku jujur.

“Besok kosong?” tanyanya lagi.

“Ehm, aku udah nggak main piano secara bener sejak kecelakaan and I just don’t know why it happen,” jawabku yang sama sekali keluar dari pertanyaannya.

“I still have my ability, of course i am, but it’s just weird. It feels like there’s something wrong when i played it.” lanjutku.

“Kamu tahu aku nggak nanyain itu.” Arsen membuka suara sambil menggerakan sendoknya seakan menunjukku.

“Jadi besok kosong?” tanya Arsen lagi.

“I am a novel writer. I can do anything I want.” jawabku yang tak menjawab pertanyaannya lagi.

“Okay! Besok aku jemput. Jam sepuluh.” putus Arsen sepihak lagi-lagi dengan sendoknya yang seakan merupakan jari telunjuknya. Kemudian Arsen menyuapkan lagi bubur ayamnya ke dalam mulutnya. Setelah semangkuk bubur ayam, Arsen mengantarku kembali ke apartemenku.

Aku memasuki kembali apartemen yang didominasi warna pastel. Ada bayangan tentang Andi disana. Aku merindukannya. Andi tak pernah tahu apa yang terjadi dengan aku dan piano begitu pula Arsen. Hanya aku dan diriku yang tahu, dan sayangnya diriku melupakan alasannya. Di dalam sana ada sebuah dorongan untuk menjauhi piano. Aku bahkan tak mengerti mengapa dorongan itu ada disana. Mungkin hanya diriku di masa lalu yang tahu.

Aku bergerak ke dalam ruang kerja. Kubuka kembali laptop usang itu kemudian kutekan tombol power-nya. Layar laptop itu mulai nyala. Saat sudah sepenuhnya berjalan, layar meminta sebuah sandi. Aku tak menggunakan Windows sebagai OS laptop ini. Aku lebih memilih untuk menggunakan Elementary. Entahlah. Kubuka google document yang menyimpan ceritaku. Aku sengaja meletakkannya di google document karena akan memudahkan diriku untuk mengetik karena terkadang aku akan mengetik di macbook atau di ponselku.

Jika dibandingkan dengan macbook pastilah laptop ini kalah tapi aku memiliki alasan mengapa laptop ini masih kurawat. Ada kenangan di dalam sini. Jika buku harian yang kutemukan dulu terasa acak, cerita yang tertuang di laptop ini lebih tertata dengan bahasa yang lebih indah. Kenangan sebelum ingatanku hilang hanya saja setiap aku membacanya kepalaku akan berdenyut keras hingga rasanya aku ingin pingsan. Aku pernah berkonsultasi pada dokter katanya hal tersebut ditimbulkan oleh amnesia yang kuderita dan kabar buruknya semakin aku memaksa untuk mengingat, mentalku akan semakin ambruk sehingga PTSD yang kualami akan semakin parah.

Malam ini aku ingin mencoba mengingat kembali siapa Arsen. Aku tak mengerti mengapa nama Arsen bahkan tak ada dalam catatan harianku. Ada sebagian dari diriku yang takut bila Arsen hanya menipuku. Namanya tak pernah tertulis dimana pun. Biar kubacakan sepenggal cerita.

Pagi itu untuk pertama kalinya aku berangkat sekolah bersama Isaac. Laki-laki itu selalu tampan mengenakan apapun termasuk seragam sekolah. Aku dan Isaac memang tak pernah secara resmi berpacaran tapi entah mengapa dia selalu menganggapku pacarnya. Jadi ku anggap saja dia pacarku. Ini hari pertama aku di tahun 2008. Biasanya aku akan berangkat bersama Arna dengan mobilku tapi berhubung Arna sudah memiliki kekasih, aku lebih baik juga berangkat bersama kekasihku, bukan?

Itu merupakan catatanku tanggal 7 Januari 2008. Sebelumnya aku tak pernah tahu siapa Isaac dan Arna tapi satu hal yang kuyakini kini, Isaac adalah Arsen. Aku tak  tahu mengapa dulu aku menulisnya dengan nama Isaac. Nama Arsen sama sekali tidak memiliki unsur Isaac. Mungkin itu akan menjadi detail yang tidak kuingat dalam hubunganku dulu.

Aku masuk ke kamar tidur. Aku duduk sebentar di tepi kasur kemudian berjalan ke kamar mandi. Aku melihat pantulan setengah tubuhku di cermin. Apa seperti ini juga Caca yang dulu bersama Arsen? Sejauh ini hanya Arsen yang memanggilku Caca. Aku mengambil sabun wajah. Kuambil sedikit kemudian membuat busa lalu mengoleskannya ke wajahku. Kubersihkan busa-busa di wajahku dengan air. Kuambil handuk kecil di samping wastafel untuk mengeringkan wajahku. Kepalaku masih  berdenyut saat aku masuk ke dalam pancuran.

Mandi pagi ini membuat otakku lebih baik. Rambutku masih basah saat aku keluar kamar mandi. Aku berjalan ke dapur menuangkan teh ke dalam cangkirku. Ini masih cukup pagi untuk minum teh. Entah apa yang akan kulakukan kini. Kedai Pancake di Singapura baik-baik saja. Novelku untuk sementara tidak aku kerjakan. Apa yang harus kulakukan kini? Aku memutuskan untuk mengganti baju menjadi kemeja krem tanpa lengan dengan kulot hitam. Aku mengambil kunci mobilku kemudian pergi.

Brio kuning melaju di jalanan pagi Semarang. Entah pertanyaan Arsen tentang piano menggugah hatiku untuk bertandang ke toko alat musik. Halmahera memiliki toko alat musik yang sering dikunjungi Andi dulu. Jalanan Halmahera masih sama, sempit namun banyak mobil berparkiran di kiri dan kanan jalan. Setelah mobilku terparkir, aku turun dari mobil.

November 2014. Andi mengajakku ke toko alat musik di daerah Halmahera. Seorang wanita di akhir 30 menyambut kami. Wanita itu terlihat akrab dengan Andi terbukti bahwa pemilik toko itu memanggil Andi dengan namanya. Aku berkeliling toko itu. Tidak terlalu luas namun cukup untuk membuat diriku menjauh dari Andi. Aku menghampiri sebuah piano klasik. Kayunya seakan mengatakan dirinya bukan benda baru. Aku menyentuh kayu yang terlihat rapuh itu. Tutup tutsnya terbuka. Aku menekan asal salah satu tuts itu. Suaranya masih baik-baik saja. Dentingnya terdengar masih seperti piano pada umumnya.

“Kamu mau?” tanya Andi yang tiba-tiba dibelakangku.

“Oh, nggak.” jawabku kemudian pergi menjauh dari Andi dan piano tua itu. Piano itu tampak usang tapi masih menyimpan suara yang sama. Piano itu merupakan yamaha U3.

Juni 2019. Seorang wanita yang umurnya tak dapat kukatakan muda menyambutku dengan suaranya yang sangat familiar di telinga. Wanita keturunan tionghoa itu memang pandai untuk membuat pelanggannya setidaknya membawa pulang satu barang dagangannya. Dengan kacamata yang di atas kepalanya, wanita itu menanyakan barang yang ingin kumiliki.

“Mau beli apa, Nik?” tanya wanita itu.

“Piano.” jawabku lalu tersenyum

“Digital atau klasik?” tanyanya lagi melempar senyum.

“Klasik ada?”

“Nggak mau digital aja? Lebih ringkes lho!” tawar wanita itu tetap dengan senyumnya.

“Ehh, klasik aja, Tante.” jawabku mulai ragu.

“Kalo klasik adanya satu model aja disini. Ini Yamaha U3. jarang ada yang mau pake klasik. Kurang ringkes. Regane luarang. Ini 90 masihan.” jelas wanita itu. Aku tak terkejut piano klasik mencapai nominal itu. Wanita itu menggiring aku ke sebuah piano. Yamaha U3 masih sama seperti yang kulihat lima tahun yang lalu. Wanita itu membuka tutsnya. Kutekan asal salah satu tuts hitamnya. Suaranya sama persis.

“Nggak boleh kurang, Tan?” tawarku.

“Yo 85, wes!” tegasnya.

“85 komplit kasi bonus?” tawar diriku lagi.

“Gini wae, 85 komplit, gratis ongkos kirim sama rakit.”

“Bungkus lah, Tan,” putusku akhirnya. Setelah menyelesaikan pembayaran, aku segera pamit dari toko alat musik itu.

Piano itu sudah bersarang di salah satu sudut apartemenku. Aku meletakkan cangkir berisi chamomile ke atas pantry kemudian berjalan menghampiri piano itu. Aku mulai memainkan lagu milik Arsen. I Know It. Kepalaku berdenyut keras. Kedua tanganku refleks bersandar pada tuts di depanku yang menghasilkan suara nyaring tak teratur. Aku bangkit dari kursiku kemudian melempar tubuhku ke atas sofa. Denting kelam masih ada disana. Denting nada lagu I Know It. Satu hal yang tak pernah kumengerti.

Kedatangan Arsen membuat sisi-sisi tentang diriku yang tak kusadari -sejak bangun di rumah sakit- kembali bangun. Tak pernah aku ketahui bahwa berbincang dengan orang lain semenyenangkan itu. Arsen mengingatkanku akan hal itu. Aku juga bahkan lupa rasanya berkeliling lapangan di pagi hari, dan Arsen mengingatkanku akan hal itu. Banyak hal menyenangkan yang baru kusadari setelah Arsen kembali ke dalam novel hidupku. Namun hal yang terindah sekaligus terseram yang Arsen ingatkan adalah tentang aku, piano, dan denting kelam itu sendiri.

Satu hal yang baru aku mengerti kini. Segala sesuatu akan berubah perlahan seiring berjalannya waktu tapi pemeliharaan yang baik akan menjaga hal itu tetap ada meskipun secara fisik, hal itu tetap berubah. Walau secara fisik aku tak menyentuh piano sejak lama. Walau secara fisik aku selalu menolak berdekatan dengan piano tapi jiwaku tak mampu lepas darinya. Aku dan piano seakan dua insan yang memang diciptakan untuk melekat satu sama lain. Meskipun setiap denting dari jariku terdengar kelam, denting itu tetaplah nafas hidupku, dan hal itu tak akan berubah.

Aku, piano, dan denting kelam. Aku merasa denting itu kelam karena aku tak bisa memainkan kembali melodi lagu I Know It dengan benar. Bukan karena ada satu hal tentang piano. Hanya karena satu lagu itu.

NB : Ini Calya :)

Terpopuler

Comments

creamy cappuccino

creamy cappuccino

fix kita orang sekota, Thor!!! 😘😘

hahaha bahasane lho khas banget. tp sekarang aku ikut suami di Tegal.

kangen ke Smrg. sejak pandemi belum pernah pulang ke rumah Mama... 💔

paling vc, wa sama Papa & Mama & adek2ku aja...

seneng ketemu penulis dr kota kelahiranku 😘😘💕💕

tetap semangat & tetap sehat ya, Thor... Gbu

2020-12-20

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!