Bab 3 - Candi

Halo, ini Andi. Kalian sudah mengenalku sebagai kekasih Calya. Dia selalu menyebutku kekasihnya walaupun aku meninggalkannya dengan cara yang paling menyakitkan. Aku sendiri tak mengerti mengapa itu terjadi. Itu semua adalah rahasia alam. Aku selalu melakukan yang terbaik, namun kehidupan berkata lain. Perasaannya padaku terlalu dalam dan tulus, terkadang aku sampai tak mengerti mengapa Calya seperti itu.

Rasa cinta Calya menyadarkanku pada sebuah filosofi yang Otousan pernah katakan padaku. Kalian tahu sebuah candi? Sebuah candi dibangun tanpa perekat apapun tapi dapat berdiri berabad-abad. Diperlukan waktu yang panjang untuk menciptakan sebuah candi yang indah dan kokoh. Batu yang awalnya berbentuk asal harus dipahat sedemikian rupa menghasilkan berbagai bentuk dengan berbagai cerita di dalamnya. Begitulah Calya sehingga kusimpulkan dibalik keindahan pribadi seorang Calya, percayalah, tersimpan sejuta cerita kelam. Ketegarannya merupakan hasil dari pahatan kehidupan yang lama, yang tentunya menyakitkan. Sayangnya, aku kini menyadari bahwa aku merupakan salah satu pahatan yang menyakitkan itu.

Calya selalu menggambarkan diriku dengan amat sempurna. Aku bagaikan laki - laki yang selalu diidam - idamkan semua kaum hawa. Nyatanya tidak. Aku tetaplah manusia yang memiliki sejuta kelemahan. Aku tetaplah aku. Andi, kekasih Calya.

Akhir 2011. Aku tak terlalu ingat pada bulan apa ini terjadi tapi yang jelas, ini merupakan akhir tahun 2011. Setelah segelas teh ucapan terima kasih Calya, kami menjadi cukup dekat. Setiap hari kami bertemu di perpustakaan. Calya dengan tugas - tugasnya akan berhenti saat pukul tiga sore. Aku sesekali mengganggu pekerjaanya dengan percakapan yang menurutku saja tidak penting. Pada pukul empat sore aku mengantar Calya kembali ke dorm miliknya. Beberapa kali aku dan Calya menikmati makan malam bersama saat akhir pekan, entah Ia menganggap itu kencan atau tidak. Calya unik. Calya tegas, misterius, baik, berbudi pekerti, serta tulus. Aku heran mengapa Ia tidak mempunyai teman.

Jika biasanya aku dan Calya akan bertemu di perpustakaan setelah kelas paginya, hari ini tidak. Aku berada di Indonesia tanpa Calya tahu. Otousan memintaku untuk pulang ke Indonesia kemarin malam, ada hal penting yang perlu dibicarakan katanya. Rumah yang sudah menjadi tempatku berteduh selama dua puluh lima tahun tak terlihat menua. Masih rindang seperti dulu. Pekarangan memasuki rumah masih ditumbuhi berbagai macam tanaman. Okaasan sangat menyukai tumbuhan maka dari itu pekarangan yang cukup luas ini sangat terawat. Saat aku memasuki ruang keluarga, Otousan maupun Okaasan tengah bercengkrama disana. Okaasan berdiri menghampiriku. Wanita yang hampir menginjak kepala lima ini mengusap punggungku lalu menuntun diriku untuk duduk.

“Ada apa Otousan sampai memintaku pulang ke Indonesia?” Tanyaku sopan.

“Otousan ingin kamu meninggalkan studi gelar mastermu dan kembali ke Indonesia.”

“Apa?!” Kataku dengan nada tinggi tak suka nyaris marah.

“Tenanglah, nak. Otousan hanya ingin kau mulai belajar mengurus perusahaan,” kata Okaasan berusaha menenangkanku.

“Tidak! Otousan sudah memintaku untuk mengambil arsitektur, dan aku menurutinya. Tidak lagi kali ini. Maaf. Jangan biarkan aku mengorbankan lagi impianku, aku mohon,” kataku diakhiri dengan sebuah permohonan kemudian aku bangkit dari sofa dan kembali ke kamarku. Tercetak jelas wajah terkejut Otousan. Entah apa yang merasuki diriku hingga semarah itu. Aku tak bisa lagi meninggalkan cita - cita ku karna Otousan.

Aku tak lagi berminat untuk menginap, segera aku kembali ke bandara dan mencari penerbangan tercepat untuk kembali ke Singapura. Perjalanan yang biasanya terasa menyenangkan dan cepat kali ini berbeda. Hati marahku membuat segala sesuatu terasa salah.. Aku tak pernah menyangka Otousan akan setega itu padaku. Untuk meninggalkan gelar master ku yang sudah nyaris garis selesai ini adalah hal yang gila. Setelah meninggalkan impianku sebagai musisi, tidak lagi untuk menjadi seorang dengan gelar master. Masih kuingat sore itu, sore dimana otousan memintaku untuk mengambil gelar sarjanaku  di Australia dengan jurusan arsitektur. Perintah otousan adalah hal yang paling tidak bisa kutolak.

Saat tiba di Singapura aku tak langsung kembali ke apartemen, aku mampir sebentar ke NTU. Aku butuh ketenangan, dan kurasa piano di tengah hall bisa menjadi jawabannya. Aku selalu mencari piano itu setiap kali dalam keadaan seperti ini. Saat kakiku berjalan di lorong menuju backstage hall, denting piano mengalun sendu di telingaku. Tak biasanya ada orang yang memainkan piano yang berada di hall, dan hal itu membuatku penasaran siapa yang menekan tuts hitam putih itu. Kubuka sedikit pintu untuk mengintip. Itu seorang gadis. Kuamati lebih lagi untuk mengetahui siapa dia. Itu Calya. Aku tak pernah tahu Calya bisa bermain piano terlebih permainannya itu terlihat sempurna. Nada - nada mengalun indah. Piano Sonata no. 29, op. 106, in Bb major aku sangat hafal dengan nada -nada nan rumit itu. Tak mungkin seorang pianis biasa mampu memainkannya. Hanya seorang pianis yang sudah bergelut bertahun - tahun dengan tuts hitam putih itu yang mampu memainkannya. Aku masuk sepenuhnya ke dalam hall. Menyusuri tangga menurun yang langsung mengarah ke podium. Tiba - tiba Calya berhenti seakan menyadari kehadiranku. Calya menatapku lalu mengambil tasnya dan berlari keluar ruangan. Aku tak dapat menahannya. Ia keluar melalui pintu yang berada di samping podium. Aneh. Aku menggantikan Calya, memainkan Piano Sonata no. 29, op. 106, in Bb major. Permainanku tak seindah saat jari Calya memainkannya. Permainan milik Beethoven yang satu ini sama sekali tidak mudah. Hanya pianis - pianis hebat yang mampu memainkannya.

Ini adalah besoknya. Aku cukup merindukan Calya. Kini aku sedang menjalankan shift-ku di perpustakaan. Menunggu di front desk sudah menjadi kegiatan yang menyenangkan bagiku. Sekarang sudah pukul dua belas siang. Seharusnya Calya akan tiba di sini sebentar lagi seperti hari - hari biasanya.

Benar dugaanku, seperti biasa, Calya masuk ke dalam  perpustakaan dengan tas ranselnya sendirian kemudian duduk di salah satu bangku yang memiliki komputer. Oh! Kali ini aku salah! Dia naik ke lantai atas. Aku menunggu beberapa saat hingga Calya muncul dengan sebuah buku tebal tentang psikologi. Ia menghampiri salah satu petugas perpustakaan lainnya kemudian meminjam buku tersebut lantas keluar dari perpustakaan. Tidak seperti dugaanku! Ada apa dengan Calya?

Keesokannya, lagi - lagi aku menunggu. Lagi - lagi Calya tak singgah di perpustakaan, bahkan menatapku saja tidak! Dia seakan tak mengenalku. Tatapannya memang dingin, tapi kali ini benar - benar dingin. Wajah manisnya sangat tidak sesuai dengan tatapan membunuh seperti itu.

Ini hari kelima Calya menghindar. Aku bertekad untuk mendapat perhatiannya. Aku sengaja absen dari perpustakaan hari ini. Aku menunggu di depan kelas Calya. Sekarang pukul 11.56 itu berarti sebentar lagi Calya akan keluar dari kelasnya. Jam belum tepat pukul 12 siang, pintu kelas Calya sudah terbuka membawa semua mahasiswa keluar dari kelas itu. Calya masih dengan tatapan dingin melihatku kaget, Calya sempat mundur selangkah saat melihatku namun berhasil mengontrol keterkejutannya. Hah! Permainan peran yang baik! Dia berjalan melalui ku seakan tak mengenalku. Kepalanya yang hanya sepundak ku berlalu dengan ringannya.

“Calya,” panggil ku. Calya berhenti namun tak berbalik. Aku menghampirinya, menyejajarkan diriku dengannya.

“Bisa kita bicara?” tanyaku lembut.

“Maaf, aku sibuk,” katanya jutek lalu berlalu meninggalkanku yang mematung dengan keterkejutanku akan sikap dingin.

Hari - hari selanjutnya tetap seperti itu. Aku tidak mengerti lagi. Ini bahkan sudah satu bulan Calya tak menggunakan komputer perpustakaan. Calya seakan menghindari diriku. Aku seakan putus harapan. Aku tak tahu letak kesalahanku, seperti pendapatku di awal perjumpaan kami. Calya merupakan sosok yang misterius, dia tak mudah ditebak.

Waktu berjalan sangat cepat. Besok adalah hari terakhirku bekerja di perpustakaan. Studiku di NTU sudah selesai, selanjutnya aku akan kembali berkarir membangun gedung - gedung tinggi di balik meja seorang arsitek menunggu hari wisudaku. Calya dan aku sama sekali tidak membaik, bukan karena aku tak ingin tapi Calya yang seakan menghindar dariku, oh, tunggu, Calya memang menghindar. Mungkin besok adalah kesempatan terakhirku membenahi semuanya sebelum aku benar - benar meninggalkan NTU.

Aku berjalan dan absen pulang dengan jempolku. Aku berjalan lesu menyusuri jalanan NTU yang luas nan panjang. Berbagai kemungkinan dapat terjadi esok hari tapi satu hal yang kuyakini, itu adalah jalan terbaik bagiku ataupun Calya. Jika alam sudah mengatur demikian, biarlah.

Menunggu di depan dorm Calya memang bukan ide bagus namun ini satu - satunya kesempatan bertemu dengannya. Jangan kira aku menunggu tepat di depan kamarnya sambil bersandar di tembok memainkan handphone. Aku menunggu di depan gedung dorm Calya yang cukup panas dengan matahari yang tanggung di barat sana. Dorm Calya dikhususkan untuk perempuan dan laki - laki tak boleh melintasinya. Jadi disinilah aku, menunggu dengan penuh kebosanan. Aku bolak - balik di depan pintu masuk. Beberapa kali penjaga disana menghampiriku membawakan cemilan serta kopi.

Calya akhirnya muncul saat matahari sudah tenggelam sepenuhnya. Lagi - lagi Ia terkejut saat melihatku. Calya berusaha tak menghiraukanku dengan berjalan lurus ke depan tanpa menatapku. Aku mengambil langkah kecil mendekat kemudian mencekal tangannya. Calya berhenti. Dia hanya menatapku, kami hanya saling menatap selama beberapa saat. Tersirat rasa benci dalam matanya.

“Kamu menghindar?” Tanyaku membuka kesunyian.

“Aku? Bukannya kamu?” Balik tanyanya dengan nada sarkastik penuh penekanan. Aku mengernyitkan dahi kebingungan. Aku menjauh? Yang benar saja!

“Tidak merasa, ya?!” nada Calya semakin meninggi. Aku memegang bahunya. Tiba - tiba saja bahunya bergetar. Calya menangis. Untunglah depan dorm sepi jika tidak kami berdua akan menjadi pusat perhatian. Aku menepuk pundaknya menenangkannya.

“Jika kau memang datang hanya untuk pergi, lebih baik kau tak pernah mendekatiku.” katanya masih sarkastik.

“Tenanglah dahulu,” aku berkata. Aku mencoba mengoreksi diriku sendiri. Mungkin saja memang kesalahannya ada padaku. Ku terawang pertama kali Calya mulai menjauh. Jauh lagi kuterawang sebulan yang lalu. Oh! Saat aku pulang ke Indonesia. Aku tidak sempat mengabarinya. Aku terlalu marah pada Otousan -dan juga hubungan kami masih mengambang jadi aku tidak memiliki keharusan mengabarinya. Ya pasti karena itu.

“Hei!” panggilku memegang dagu nya membuat pandangan kami bertemu. Aku tersenyum masam. Mata Calya basah serta mulai berubah menjadi merah. Matanya bengkak walau hanya menangis sebentar.

“Aku tidak menjauh. Jika kau tanya mengapa aku menghilang. Itu karena aku ada masalah saat aku kembali ke Indonesia dan aku tak ingin memberimu kabar di saat seperti itu,” jelasku pada Calya. Calya mengerjap beberapa kali kemudian menunduk dan berkata “maaf”. Aku mengulurkan tanganku menyentuh kepalanya, mengelusnya kemudian Calya memelukku.

Suatu hubungan memang akan ada masanya di bawah dan ada juga masanya hubungan tersebut ada di atas, dan kini hubunganku dan Calya makin membaik. Setelah memberikan penjelasan pada Calya akan aku dan Otousan, Calya kembali seperti dulu. Calya pada akhirnya mengerti keadaanku yang terjepit akan keinginan Otousan dan mimpiku, namun satu hal yang baru kusadari kini, Calya tak pernah benar - benar menceritakan masa lalunya. Aku tak pernah tahu bagaimana seorang Calya di masa dulu.

Hari ini, Minggu, 20 November 2011, tanggal yang cantik. Aku membawa Calya ke Marina Bay Sands. Aku menguras seperdelapan isi tabunganku untuk memesan sebuah meja dengan pemandangan langsung ke perkotaan Singapura. Tak sampai disitu. Demi kenyamanan Calya, aku mengeluarkan mobilku satu - satunya, yang sudah pasti kesayanganku walau usianya nyaris 22 tahun. Membawa Calya di dalam mobilku adalah ide yang sempurna.

Aku menjemput Calya di depan dorm, kemudian membawanya ke Marina Bay Sands. Perjalanan dari NTU kesana memang cukup jauh, namun Calya dan aku benar - benar menikmatinya. Saat hendak turun dari mobil, kuambil buket mawar putih dari jok belakang. Calya dengan sumringah menerima buket itu. Calya sangat menyukai mawar terutama yang berwarna putih, katanya putih melambangkan kesucian dan mawar putih terlihat cantik sekaligus suci. Kuletakkan tanganku di pinggangnya yang dibalut dress selutut berwarna biru dongker dengan manik - manik yang mempercantik gaun itu namun tidak berlebihan. Awalnya Calya terlihat terkejut, menatapku penuh tanya namun selanjutnya Calya sepenuhnya nyaman.

Seorang pelayan menghampiri kami saat kaki kami menyentuh karpet depan meja resepsionis. Seperti restoran mahal pada umumnya, pelayan datang dan menanyakan tentang reservasi.

“Bisa kami bantu?” tanya pelayan laki-laki itu.

“Kami sudah memesan meja.”

“Bisa kami tau atas nama siapa?”kata pelayan itu dengan bahasa Inggris yang kental dengan aksen Singapura.

“Atas nama Candi.” jawabku kemudian menatap Calya yang menatapku dengan senyum bertanya.

Pelayan menggiring kami ke meja yang telah kami pesan, setelahnya satu per satu  makanan dikeluarkan. Diawali dengan teh chamomile seperti biasa. Calya terlihat bahagia. Binar di matanya tak meredup sedikitpun. Membahagiakan Calya adalah tujuanku sejak pertama bertemu dengannya. Hingga makanan penutup kami datang, Calya tak pernah mencopot senyum itu. Puding -yang aku sendiri tak tahu apa namanya ini- sudah habis saat jam menunjukan pukul delapan malam lebih sembilan menit. Aku merogoh kantong celanaku mengeluarkan sebuah kotak. Dengan menatap mata Calya dalam, aku membuka kotak itu dan menunjukan sebuah gelang berwarna perak yang memiliki desain minimalis dengan sebuah liontin berbentuk grand piano dengan warna yang sama. Calya menatapku melemparkan tatapan bingung namun masih dengan binar bahagia itu.

"What is it for?" Tanyanya dengan senyum lebar.

"I want you to be my girlfriend." Kataku yang sama sekali tak ada kata memohon padanya. Calya terdiam sejenak menatap kotak yang tergeletak di atas meja. Senyum Calya perlahan menghilang. Calya menatap tangannya yang terkepang di atas meja. Jantungku mencelos saat itu juga.

“Sorry, aku...aku nggak bisa. Aku nggak maksud mainin kamu. I...I just can’t. I have trust issue. That’s it. Sorry.” kata Calya penuh dengan binar bersalah. Aku tak dapat menyalahkan Calya. Calya memiliki alasan yang mungkin aku belum mengerti. Aku menatap matanya, kuambil kotak tadi lalu kututup dan kuberikan tepat di depannya.

“No matter what will happened, it’s yours.” Calya mengerjap sesaat kemudian mengambilnya kemudian menggerakkan bibirnya membentuk kata thank you. Calya kembali tersenyum

Aku sepenuhnya sadar. Aku dan Calya adalah dua insan yang baru saja dipertemukan. Tak mudah kami untuk bersatu secepat itu. Aku bahkan tak pernah tahu apa yang sudah Calya lewati sebelum aku datang ke kehidupannya. Setelahnya aku dan Calya kembali ke kawasan NTU. Perjalanan jauh membuat kami mampu membahas berbagai macam hal.

“Jadi kamu bisa main piano?” tanyaku sambil menyetir.

“Sedikit,” jawab Calya singkat dengan mengangkat bahunya yang dapat kulihat dari ujung mataku.

“Sedikit? Oh! C’mon! Don’t lie to me,” balasku tak puas dengan jawaban Calya

“Ya... aku sudah bermain piano sejak kecil tapi kini tidak lagi. Tidak sesering dulu maksudku,” jawab Calya yang sama sekali tak membuatku puas.

“Why? I mean, you’re great on it. You’re such a great pianist. Piano Sonata number 29, op. 106, in Bb major is not a simple thing,” aku memburunya lebih lagi

“Kau tahu, setiap lagu yang kumainkan, setiap nada yang didengar orang, ada sesuatu yang kelam nan gelap yang menguap dari jariku.” jawab Calya dengan lembut mengerikan. Aku menghembuskan nafas berat, begitu juga Calya.

“It’s okay. Just tell me when you’re ready,” jawabku menyerah. Kemudian keheningan membuat kami terlempar pada pikiran masing-masing.

“Tadi kenapa reservasinya atas nama Candi?” Tanya meredam kesunyian.

“Calya Andi.” jawabku kemudian tersenyum. Walau aku tak melihat wajah Calya, aku tahu bahwa Calya tersenyum. Aku harap senyum itu selalu berada disana.

Perjalanan menuju kawasan NTU terasa panjang tanpa pembicaraan. Calya terlihat larut dalam lamunannya. Aku larut dalam jalanan yang panjang. Kelamaan mata Calya terpejam. Aku menepikan mobilku sejenak. Cahaya bulan masuk melalui kaca mobil, wajah Calya tersorot sempurna membuat wajah tidurnya itu terasa menenangkan.

Mungkin hubungan juga seperti candi, perlu beberapa hal perlu dipahat supaya lebih indah. Hal-hal yang sudah indah juga perlu disusun. Batu-batu sebuah hubungan memang banyak dan terlihat rumit maka dari itu diperlukan waktu untuk menyusunnya.

Calya serta otousan mengajarku suatu hal. Sebuah candi yang kita impikan ataupun rencanakan terasa sudah tersusun dan mantap untuk kita pamerkan tapi jika alam sudah angkat bicara, semuanya hanyalah angan belaka. Semua batu yang telah terpahat bahkan tersusun dapat rubuh seketika. Hingga hari kepergianku, aku tak mengerti apa yang Calya maksud dengan denting kelam itu. Menjadi musisi memang impianku sejak di bangku sekolah. Aku sudah merencanakan matang akan langkah yang akan kuambil, namun apa yang di depan mata jauh dari rencana. Semua itu mengajarkan padaku suatu hal bahwa tidak semua hal yang sudah kita impikan dan rencanakan akan tercapai, dan dalam kasus ku, denting kelam Calya dan menjadi musisi. Candi.

Terpopuler

Comments

Mommy 2

Mommy 2

👣👣👣 berjalan terus.. aku suka.. like buat kamu 😍

2020-08-03

2

Nia

Nia

aku berasa horor baca part ini.. keinget andy nya udh ngga ada

2020-07-31

1

Monicamey tabitha

Monicamey tabitha

aku suka part ini

2020-07-29

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!