Bab 4 - I Know It

Aku berusaha mencari kalimat pembuka yang baik tapi setelah menatap layar macbook-ku satu jam lebih, aku sama sekali tak menemukannya. Biar kucoba sedikit kali ini. Aku sudah mengenal Caca sejak lama. Sudah lama aku tak melihatnya secara langsung. Caca terlihat berbeda, dan yang pasti Caca tak lagi mengingatku. Caca adalah adik terbaik yang pernah kumiliki. Banyak hal yang telah menggusur kehidupannya. Perlahan Caca kembali membangun hidupnya lagi, aku bahagia dapat melihat Caca seperti sekarang. Walau senyum manis Caca bukan lagi pemandangan yang mudah kudapatkan, setidaknya binar matanya mampu membuatku menghela nafas sedikit lega.

Sedikit tentangku. Aku adalah Arsenio Isadore Callahan. Aku Arsen. Aku berasal dari Semarang. Aku seorang penyanyi. Aku baru saja menyelesaikan tur ke tiga benua di dunia. Aku cukup bangga dengan pencapaianku kini. Entah apa lagi yang harus kutulis. Aku bukan penulis yang baik seperti Caca.  Begitu sulit menulis ternyata.

Aku dan Caca memiliki masa lalu jika itu yang ingin kalian tahu. Aku sangat merindukannya. Aku tahu Caca mengidolakan diriku, jangan tanya darimana aku tahu itu jika kau ingin cerita ini berlanjut dengan penuh teka-teki. Pada akhirnya kami bertemu sebelas tahun kemudian. Aku sengaja memberitahu pada orang-orang jika aku menginap di Sheraton. Nama Caca sudah ada pada daftar pembeli tiket VIP sejak jauh-jauh hari dan aku yakin Caca akan menginap untuk menghadiri konser ku jadi kubeberkan saja dimana aku menginap.

Biar kuberitahu rahasiaku. Aku ini cukup licik apalagi aku harus menemukan cara agar Caca pulang, dan semoga saja kali ini aku berhasil. Aku mengetahui apapun yang Caca kerjakan termasuk waktu Caca memakai skincare, jadwal temu dokternya, hingga pukul berapa Caca memejamkan mata untuk istirahat. Aku sungguh seperti penguntit. Aku sedikit menyesal karena mengganggu privasinya tapi hanya orang normal bukan yang mundur karena hal itu, aku ini licik aku tak akan berhenti sampai Caca pulang. Oh, tentang sweater yang terkena tumpahan wine itu hanya ide licik saja agar aku dapat kembali menemui Caca nantinya. Jika kau mampu menyerap penjabaran ku, kalian akan mudahnya menebak alur cerita ini.

Aku sengaja meletakkan Indonesia menjadi penutup konser ku alasanku sederhana saja, aku ingin beristirahat di Indonesia, menikmati semua kenangan menyakitkan, membereskan masa lalu yang menunggu untuk ku selesaikan. Banyak hal yang harus dilakukan sebelum kembali ke Amerika. Aku ingin segera menyudahi tentang rumor kencanku dengan Kelly. Kelly orang yang menarik hanya saja dia bukanlah orang yang kucari selama ini.

Tentang rumor kencan dengan Kelly, semuanya berawal dari perkenalan kami saat membuat sebuah lagu di tahun 2014 kemudian berlanjut ke lagu kedua kami di tahun 2019 hingga managerku, Robert, sepakat untuk membiarkan sebuah rumor kencan yang menimbulkan pro dan kontra hingga saat ini, itulah mengapa aku tak menjawabnya saat meet and greet kemarin, aku sudah terikat kontrak dengan Kelly jika aku melanggar kontrak itu, aku harus membayar 45.000 US dollar. Aku  diijinkan benar-benar menjalin hubungan dengan Kelly namun tidak untuk menyelesaikan hubungan sampai kontrak ini berakhir, yaitu : 12 Juni 2020. Bisa saja aku menyudahinya saat ini. untukku 45.000 US dollar bukanlah apa-apa lagi.

Sekarang aku sedang berbaring diatas ranjangku. Sekarang aku di Semarang, di rumah orangtuaku. Aku cukup bisa dibilang merindukan tempat ini. Entah sudah berapa lama aku tak menyentuh tempat ini sama sekali. Bayangan Caca yang menggedor keras pintu kamarku merupakan memori pertama yang mencuat saat kuletakkan kepalaku di atas ranjang. Sebuah panggilan menggetarkan ponselku. Sebuah panggilan masuk dari managerku. Kuangkat panggilan itu.

“Halo?” bukaku dengan nada malas ditambah mata terpejam.

“Hey, Arsen, ada seorang gadis yang mengaku ingin mengembalikan sweater-mu tadi. Aku bilang padanya untuk mengirimnya ke pos rumahmu di Amerika.” kata managerku itu

“Apa kau gila?!” teriakku kemudian terduduk di atas ranjang.

"Apa?" Tanyanya dengan nada tanpa dosa.

"Kirimkan nomor gadis itu!" Perintah ku dengan nada tinggi kemudian menutup panggilannya. Sebuah pesan singkat masuk. Dengan cepat aku men-dial nomor itu, nada sambung mulai menghiasi telingaku. Tak lama panggilanku di angkat. Sebuah suara halus, aku tahu suara itu adalah suara yang sama seperti sebelas tahun yang lalu hanya saja terdengar lebih sendu.

“Halo?” ucap orang di ujung sana.

“Ehm, hai. Ini Arsen,” jawabku kikuk.

“Oh!” sepertinya gadis itu terkejut, aku diam tak merespon keterkejutannya.

“Aku sudah menelpon nomor itu, itu nomor managermu, ya?” tanyanya pelan.

“Ya itu nomor managerku. Ah, aku ingin kau mengembalikannya ke aku saja, aku di Semarang, by the way.” kataku menjelaskan apa yang sebenarnya aku inginkan.

"Oh! Kebetulan aku juga tinggal di Semarang!" Kata gadis itu lembut.

"Wow! That's great."

“Baiklah kemana aku harus mengirim sweater ini?” tanya Caca di seberang sana lagi.

“Bagaimana jika kita bertemu di suatu tempat, cafe mungkin?” jawabku berusaha berpikir tempat terbaik aku bertemu kembali empat mata bersamanya

“Boleh, kau bisa mengirimkan alamatnya nanti.” jawab gadis itu kemudian mengakhiri pembicaraan kami.

Dimana aku harus membawanya kali ini. Aku ingin Caca kembali mengingat kami walaupun kemungkinan hal itu terjadi sangat kecil. Aku sangat berharap Caca kembali seperti dulu. Suara dari bawah menarikku dari duniaku. Papa dan Mama berdebat lagi,  entah apalagi yang mereka debatkan kini tapi hal terakhir yang kuingat sebelum pergi dari rumah ini sebelas tahun yang lalu, mereka mendebat kan wanita murahan simpanan Papa, Bernadette.

Aku sangat membenci Bernadette. Aku tak mengerti lagi kenapa Bernadette tak ingin melepaskan Papa agar hidup damai dengan Mama. aku juga kecewa pada Papa mengapa dirinya lebih memilih wanita murahan seperti Bernadette ketimbang wanita yang sudah menemaninya membangun usaha dari nol.

Juni 2008. Sebuah pohon di belakang rumah menaungi kami. Aku dan Caca duduk manis di bawah pohon tua ini menjauhi pertengkaran Papa dan Mama. Ini masih sore untuk bertengkar, bahkan Caca masih mengenakan seragam sekolah kami. Ini hari terakhir Caca bersekolah, dan ini minggu terakhir di Indonesia untukku sebelum aku berangkat ke Amerika. Entah apalagi yang kedua orang yang sudah dewasa itu perdebatkan, aku sungguh tak lagi peduli. Mereka terlalu sering memperdebatkan atau mungkin lebih tepatnya bertengkar.

Aku dan Caca berencana akan pergi ke studio musik malam ini. Kami berdua sama-sama menyukai musik. Caca lekat dengan pianonya, bahkan orang yang lebih lama bermain piano tak dapat menandingi kemampuan Caca. Jika Caca sangat lekat dengan piano berbeda denganku yang sangat mencintai gitarku. Bukan tanpa alasan aku begitu cinta pada gitarku. Gitar itu adalah pemberian Caca. aku tahu Caca membelinya dari hasil kerjanya, walau Caca dua tahun lebih muda dariku, Caca sudah mampu untuk mencetak angka di akun bank-nya.

Tak sekedar bermain musik, aku dan Caca juga merintis karir serta mengambil pelayanan di gereja. Calya memang tak pernah lepas dengan piano dimanapun dan kapanpun sedangkan aku lebih memilih untuk bernyanyi saat berpelayanan. Aku pelayanan bukan karena aku ingin diberkati tapi karena aku sudah diberkati. Keluargaku adalah keluarga yang sibuk di gereja hanya saja Papa sepertinya tak pernah mengerti akan posisi seorang hamba. Papa bahkan masih berani bermain api di belakang Mama, dan ini membuatku kecewa dengannya. Sangat kecewa.

Kembali pada sore ini, Caca tak pernah masalah saat aku mengajaknya berjalan kemanapun itu. Seperti saat ini, aku mengajak Caca berjalan untuk ke studio, dan dengan riang gadis itu berjalan disampingku. Studio hari ini sepi, bukan karena studio ini tidak laku namun ini hari Senin. Kami disini karena kami berdua sedang menggarap sebuah lagu. Lagu yang menceritakan tentang seorang pria yang merasa bersalah kepada wanitanya. Caca berharap lagu ini selesai sebelum aku berangkat ke Amerika jadi ini dapat menjadi portofolioku dalam mengejar karir, selama ini aku hanya mengerjakan lagu - lagu pendek dengan lirik asal. Caca beberapa kali menghadapi trial and error di pertengahan lagu ini, sedangkan aku terjebak dalam membuat judul yang tepat untuk lagu ini.

Alunan lagu mengalun sendu di ruangan 5×5 meter ini. Lampu yang tidak terlalu terang menambah atmosfer sendu lagu yang kami buat. Suaraku menguasai ruang studio. Ini bukan pertama kalinya aku menyanyikan lagu buatanku sendiri. Beberapa kali aku menyanyikan lagu buatanku di cafe-cafe tapi lagu kali ini terasa berbeda. Alunan piano Caca menambah kesan teduh dalam setiap nada yang menyusup ke indera pendengar. Caca memang seorang komposer yang hebat. Kurasa lagu ini nyaris sempurna kecuali judulnya. Entahlah, aku sendiri tak tahu. Aku menatap Caca yang fokus pada pianonya, merasa ada yang menatapnya, kepalanya berpaling. Caca tersenyum ceria ke arahku. Aku dapat mengerti Caca sangat puas atas lagu ini. Ini adalah lagu pertama yang Caca buat -denganku.

Aku keluar dari studio saat jam menunjukan pukul delapan malam. Kami berdua menelusuri jalanan Ganesha dengan canda tawa. Di tengah perbincangan kami, Caca berkata, “Tau nggak, Sen?” Aku mengangkat salah satu alis.

“Nggak ‘lah! Kamu belum ngomong!” seruku. Caca tertawa renyah kemudian melanjutkan perkataannya, “Kemaren aku nyobain moccaccino di Starbuck!” jeritnya.

“Terus?” jawabku cuek. Caca menginjak tanah sebal. Aku menengok padanya kemudian berkata, “Iya gimana?” wajah Caca kembali cerah. Dengan wajah cerah Caca kembali bercerita.

Perjalanan pulang membuatku dalam mood yang baik. Caca selalu bisa membuat mood naik. Aku mengantar Caca kembali ke rumahnya. Setelah berpamitan dengan Mami Caca, aku jalan pulang ke rumah. Kedatanganku di rumah disambut dengan tangis Mama di ruang tengah. Dadaku sesak melihatnya. Harus berapa kali lagi Papa menyakiti Mama? Aku merengkuh bahu Mamah, dirinya terasa sangat rapuh. Aku rasa perasaan peduli tak mampu lagi menyusup ke dalam hatiku. Aku membenci Papa. Aku membenci orang yang menyakiti Mama begitu dalam. Janji suci pernikahan di depan altar rasanya hanya sebatas di mulut saja.

Setelah mengantar Mama ke kamarnya, aku membuka ponselku, memutar kembali lagu yang sudah rampung kami garap tadi. Diawali dengan piano berdenting lembut di kunci G kemudian iringan gitar dengan petikan seperempat. Bukan lagu dengan permainan yang hebat, hanya saja ini menenangkan jiwa, kurasa. Setelahnya suaraku mulai ikut mengalun lembut disini. Lagu ini dibuat dengan penuh kejujuran dari dalam hatiku. Lagu ini menginginkan sebuah kejujuran dari dua hati yang saling berikatan membelakangi. Kejujuran, itu kuncinya. Lagu ini terlalu manis untuk tak berjudul indah juga. Honest. Honesty? Ada usulan lain? Say it honestly? Terlalu sulit diingat. Baiklah mari kita sebut saja Say it Honestly. Cukup manis di telinga. Selama aku belum mengudarakan lagu ini, aku masih dapat mengubahnya kapanpun judul bagus itu keluar. Hal terakhir yang kudengar sebelum akhirnya tenggelam dalam tidur malamku adalah suara piano yang dimainkan Caca.

Hari terus bergulir. Setiap harinya masih saja terdengar suara bentakan di rumah ini. Setiap kenangan tentang Papa terus bertambah keruh. Hingga sampailah di hari ini, hari terakhir aku di Indonesia. Besok pagi aku akan berangkat ke Amerika. Aku akan merindukan kamar ini, sangat. Aku keluar dari kamarku menghampiri Mama dan Caca di dapur. Caca terlihat manis dengan kaos kuning serta celana selutut warna putih. Caca membantu Mama membuat makan siang. Aku duduk di salah satu kursi tinggi di dapur. Mama melempar senyum padaku.

“Siang sayang!” sapa Mama.

“Ehmm,” jawabku pada sindiran Mama.

“Koper udah?” tanya Mama

“Ehm,” jawabku lagi.

“Paspor, visa udah?” tanya Mama lagi-lagi

“Ehm,” jawabku lagi-lagi.

“Kalo gitu telpon taksi!” Perintah Mama.

“Loh, Arsen nggak dianter?” tanya Caca menyela di antara obrolan kami.

“Dianter sama siapa, Ca? Yang nganter aja nggak di rumah,” jawabku sarkas.

“Kamu tu loh, Sen!” tegur Mama.

“Kenyataan juga, Ma.” balasku sekenanya.

“Kamu tu ya kalo dibilangin gini terus!” tegur Mama lebih keras.

“Ehm, gimana kalo besok biar dianter sama Mami, Papi?” tanya Caca lagi-lagi menyela teguran Mama.

“Eh, apa nggak ngerepotin?” tanya Mama terlihat sungkan.

“Kan Arsen sudah kaya anak Mami. Kayak-nya aja Mami lebih sayang sama Arsen daripada Caca, ditanyain terus tiap hari,” jawab Caca diselingi tawa.

“Gimana ya, auraku tuh emang nggak bisa ditolak gitu!” seruku dengan penuh percaya diri.

“Eww!” jerit Caca lagi.

Hari ini datang. Hari aku meninggalkan Caca juga Mama. Mami -Mami Caca- dan Papi -Papi Caca- menjemputku di rumah tentu saja bersama Caca. Jam menunjukan pukul delapan saat kami tiba di Bandara Ahmad Yani Semarang. Dimulai dari  Arna yang memelukku, Papi menepuk pundakku halus, Mami mengelus lenganku penuh kasih, dan tibalah Caca memberiku salam perpisahannya. Caca berjalan padaku lalu memelukku erat kemudian tubuhnya bergetar. Caca menangis, aku tahu ini berat baginya, begitupun aku. Banyak hal yang sudah kami lewati bersama, dan perpisahan merupakan hal berat yang harus kami lewati juga, mungkin perpisahan sesaat hingga Caca lulus dan menyusulku untuk kuliah di Amerika, mungkin.

Juni, 2019. Begitulah Caca. Periang, menggemaskan, dan tulus. Aku selalu berharap dia seperti itu tapi rasanya setelah hari itu hidupnya berubah. Aku dan Caca pernah melewati perpisahan bersama, dan aku yakin kali ini tak akan ada lagi perpisahan, pegang perkataanku. Hari ini aku dan Caca -ehm, Calya maksudku- kami, maksudku aku, memutuskan untuk bertemu di Gumaya Hotel, dan tentu saja di tempat makannya. Tolong jangan berpikir karena aku sudah hidup di Amerika, aku melupakan tradisi Asia. Aku menggunakan bomber hitam dengan kaos abu-abu. Apa aku sudah cukup keren untuk bertemu Caca? Ah ya, aku juga sudah memesan satu meja untuk kami berdua juga lengkap dengan makanan. Aku tak mungkin lupa hal-hal kecil yang disukai  oleh Caca hanya saat itu aku tak bisa seromantis saat ini lantaran uangku yang hanya cukup membeli  mie ayam di belakang sekolah, poor me.

Aku dan Caca sepakat untuk datang pukul tujuh malam bertepatan dengan jam makan malam. Aku datang setengah jam lebih cepat dari waktu yang sudah kami sepakati. Seorang pelayan menghampiriku dan membawaku ke balkon. Pemandangan kota Semarang terlihat jelas dari sini. Skyline malam ini sangat sepi, tentu saja! Aku mem-booking seluruh meja, jangan tanyakan harganya, tolong jangan. Jika suatu hari Caca membaca tulisan ini, dia akan meneriaki ku karena mengeluarkan uang ini. Menunggu merupakan hal yang sangat tidak kusukai sehingga anganku mengajak diriku untuk berkelana pada sebelas tahun yang lalu. Pemandangan disini sangat ingin aku tunjukan pada Caca sebelas tahun yang lalu. Aku masih 18 tahun, dan uangku masih jauh untuk dapat memesan sebuah meja. Saat itu aku mendapat job disini. Saat itu tempat ini baru saja diresmikan, dan saat itu aku berjanji pada diriku untuk membawa Caca kesini. Akhirnya setelah sebelas tahun berlalu, aku benar-benar membawa Caca kemari dengan pelayanan mewah serta privasi untuk berdua. Untunglah hari itu aku berangkat ke Amerika.

Seperti dugaanku, Caca datang lima belas menit lebih cepat. Aku yakin jika aku mengajak Caca sebelas tahun yang lalu, gadis itu akan mengamuk melihat angka di tagihan nantinya tapi aku yakin saat ini gadis itu tak lagi memikirkan tentang tagihan.

Gadis itu memamerkan lengannya yang pas dengan tubuhnya yang kecil itu. Dia akan kedinginan nantinya. Saat matanya bertemu dengan mataku, deretan senyum manis itu muncul. Dia cukup pandai memilih gaun. Gaun selutut berwarna abu-abu dipadukan dengan heels yang sangat mendukung penampilannya. Tak lupa sebuah paper bag yang kuyakini berisi sweater milikku.

“Sepi banget, ya,” kata Caca saat duduk di sofa tepat di sampingku kemudian meletakkan paper bag yang dibawanya di sebelahnya. Aku dapat mencium bau cologne bayi itu saat Caca sudah benar-benar duduk di sebelahku. Wangian yang tak pernah gadis itu ganti.

“Iya.” jawabku sekenanya. Suasana mendadak hening. Deru angin malam ini mengisi keheningan kami.

“Kamu mau makan sekarang?” tanyaku.

“Ya, kau sudah pesan?” tanya Caca.

“Sudah, aku sudah memesan untukmu juga.”

“Oh, terima kasih.” tak lama appetizer mengisi meja kami. Saat appetizer milik Caca datang, ia menoleh kepadaku melihatku tak percaya.

“Oh my God, i know it! Kita pernah kenal bukan?” tanya gadis itu akhirnya dengan nada tinggi namun terdengar manis. Matanya membesar dengan mulut sedikit menganga.

“Ya.” jawabku tersenyum.

“Kau tahu, aku punya cedera di otakku dan ini akan kembali seiring berjalannya waktu. Mungkin aku tak dapat mengingatmu dengan jelas tapi aku yakin dulu kita pernah memiliki hubungan yang cukup intens.” kata gadis itu dalam sekali tarikan nafas.

“Aku selalu disini.” jawabku singkat kemudian memasukan makanan ke dalam mulutku. Aku akan selalu berada disini, apapun keadaannya. Caca mengalami amnesia retrograde. Itu merupakan kondisi dimana Caca tidak dapat mengingat kejadian hari-hari sebelum Caca mengalami kecelakaan. Dalam kasus yang dialami Caca, masih ada kemungkinan ingatannya kembali suatu saat nanti. Disisi lain Caca mengalami PTSD yang cukup berat. PTSD berarti ini menyangkut kesehatan mentalnya. PTSD-nya disebabkan karena tidak ada orang yang berada di sisinya pasca kecelakaan, untuk hal ini, aku tidak dapat bercerita banyak. Aku tidak tahu keadaan pasca kecelakaan itu.

Makan malam kami penuh keheningan, bukan rasa canggung yang berada di atmosfer kami, tapi rasa rindu dan kecewa. Aku tak tahu apakah gadis itu merasakan hal yang sama atau tidak tapi dapat ku lihat dari caranya duduk bahwa Caca merasa nyaman, dan juga… kedinginan. Aku melepas bomber-ku kemudian menyampirkan pada pundaknya.

"Makasih." katanya dengan manis dengan senyum simpul kemudian menggunakan bomber-ku dengan benar.

“Dari tadi kok nggak ada pengunjung?” tanya gadis itu tiba-tiba. Aku hampir saja tersedak air yang hampir menyentuh tenggorokan.

“Ehm, entahlah.” jawabku pura-pura tak tahu. Lagi-lagi gadis itu melihatku curiga.

“Kamu nggak nge sewa semua meja kan?” tanya gadis itu yang membuat aku tak mampu menjawab. Aku hanya meliriknya dengan tetap menunduk menikmati main course ku.

“Gila ya lo?!” jeritnya sedikit menghentak meja.

"Sudahlah. Bukan apa-apa kok." Jawabku sekenanya.

"Bukan apa-apa?!" jeritnya lagi. Aku tak lagi menjawab. Aku hanya tersenyum lega. Caca masih ada, dia hanya bersembunyi hanya perlu sedikit pancingan untuk menghidupkan Caca yang lama. Untung saja aku tak menunjukkan tagihan kepadanya. Caca sama sekali tidak menyukai kemewahan kecuali untuk kenyamanan dirinya. Aku menyentuh tangannya hendak menggenggamnya. Tiba-tiba Caca menarik tangannya dengan mata membelalak kemudian berdiri pergi meninggalkan aku yang masih terkejut. Kurasa ini adalah efek PTSD yang dia alami.

Malam itu aku tak menghabiskan makananku. Aku tahu, Caca yang dulu tidak semudah itu untuk kembali dibangunkan, Caca yang dulu sudah terlalu lama tidur. Dia sudah melewati banyak hal yang membentuk ulang karakternya sendiri. Banyak yang terjadi. Banyak yang ingin menjadi bagian dari hidupnya namun gagal, mungkin.

Jalanan Semarang masih seperti dulu, sepi. Chevrolet Camaro hitamku yang kusiapkan untuk mengantar pulang Calya terasa kosong. Saat aku sampai di rumah, Mama sudah tertidur pulas di kamarnya. Aku menghempaskan diri lagi pada ranjang. Banyak hal yang mengelilingi otakku. Rumor dengan Kelly. Papa yang ingin rujuk. Mama yang rindu pada Arna. Caca. Banyak hal yang harus ku jelaskan pada kalian tapi aku ingin jika cerita itu tersusun satu per satu dan kalian menyimpulkan sendiri apa yang sebenarnya terjadi.

Juni, 2008. Setelah Caca melepas pelukannya, aku masuk untuk check in kemudian langsung naik ke pesawat. Aku tidak mengambil pesawat yang langsung sampai ke Amerika, aku transit dulu ke Narita. Mungkin kali ini aku yang salah, aku yang meninggalkan Caca.

Saat Caca sudah tak di hadapan mata rasanya hampa. Seperti ada kekosongan tersendiri di dalam dada. Perjalanan enam jam terasa sangat panjang karena aku terjaga selama perjalanan. Pantat terasa kebas, aku memerlukan sedikit berjalan-jalan. Kunyalakan kembali ponselku setelah enam jam mati, tak ada satupun notifikasi dari Caca, keinginan untuk menghubunginya terlebih dahulu kuurungkan mengingat perkataan terakhirnya di bandara.

“Nanti, biar aku yang telpon kamu dulu. Aku butuh waktu.” begitu kata Caca dengan suara bindeng serta mata memerah karena menangis. Ia tak ingin diganggu dahulu sampai  Caca mampu menerima ketiadaanku di tempat. Berat memang, aku sangat mengerti tapi menurutku ini jalan terbaik untuk memberikan masa depan yang lebih baik untuk kami berdua. Segelas lemon tea dingin menemaniku menunggu waktu transit selesai. Jepang bukan tempat yang ingin ku kunjungi, bukan karena aku tak suka tapi karena aku ke tempat ini tidak bersama Caca. Entah mengapa duniaku sangat hampa tanpa Caca. Aku merindukannya.

Caca benar-benar tak menghubungiku bahkan setelah aku tiba di Amerika. Apakah seberat itu melepas diriku? Sepertinya perasaan Caca terlalu dalam padaku. Hari-hari selanjutnya terasa berat adanya. Banyak trial and error yang harus aku hadapi sendirian. Biasanya ada Caca yang membantuku, kali ini aku harus menghadapi kertas bergaris-garis itu sendirian. Setiap kunci yang tersusun pada kertas itu rasanya sia-sia, tak terasa menyenangkan di telinga. Ah, tunggu, aku belum menjelaskan kepergianku ke Amerika bukan? Aku pergi ke Amerika karena ada sebuah perusahaan label musik yang menerimaku. Mereka ingin aku bergabung dengan mereka. Aku diberi kesempatan untuk membuat album terserah apapun vibes yang kubawa. Aku sangat senang saat menerimanya walaupun aku harus tetap meninggalkan Caca di Indonesia. Aku tak mungkin mengajak Caca yang saat itu baru berusia 16 tahun. Pendidikannya bahkan belum tamat. Aku pergi sendiri ke Amerika walaupun sebenarnya menjadi musisi terkenal di dunia adalah impian Caca. Yang kupikirkan saat itu hanyalah biarkanlah Caca menyelesaikan SMA di Indonesia, saat Caca sudah lulus nanti aku akan mengajukan nama Caca ke produserku sekalian dia melanjutkan pendidikan di sini.

Seminggu setelah aku tiba di Amerika, sebuah berita yang sangat aku benci pada akhirnya aku terima. Ini dari akun surel Caca. Hatiku sangat teriris membacanya. Ini adalah alasan Caca tidak menghubungiku.

Dari :  calyabinag@gmail.com

Untuk : arsenioisac@gmail.com

Subyek : Pemberitahuan

Dear Mr. Arsenio Callahan

Perkenalkan saya Basaladar, pengacara Tuan Tio Genessa. Pemberitahuan kepada Anda karena alamat surel Anda berada di kontak teratas Nona Calya. Tuan dan Nyonya Tio Genessa, Nona Calya, dan Nona Arna Callahan mengalami kecelakaan saat berkendara pada Kamis, 19 Juni 2008. Kecelakaan tersebut merenggut nyawa Tuan dan Nyonya Tio Genessa serta Nona Arna Callahan. Keadaan Nona Calya saat ini kritis dan kemungkinan Nona Calya lupa ingatan. Sesuai dengan perintah dari wali Nona Calya, Nyonya Tina, seluruh akun lama milik Nona Calya akan dihapus. Tolong kerjasama Tuan Arsen untuk tidak menghubungi Nona Calya sementara waktu sampai ingatannya pulih dan Nona Calya sendiri yang menghubungi Tuan Arsen.

Terima kasih atas perhatian dan kerjasamanya.

Semarang, 26 Juni 2008

Pengacara

xB

Basaladar Susantyo

 

 

Surel itu merupakan pukulan yang berat bagiku. Aku tak pernah tau bagaimana keadaan Calya setelah apa yang terjadi pada dirinya, apa saja yang ia lalui, dengan siapa ia berteman, dengan siapa ia berkencan, aku tak tahu apapun tentangnya. Aku benar-benar tak mengetahui segalanya. Disisi lain aku tak mengerti mengapa Mama juga tak memberiku kabar mengenai Arna yang ikut meninggal dalam kecelakaan itu.

Hingga pada 2014, Caca menerbitkan buku pertamanya. Buku itu seakan merupakan kisah nyata. Aku mampu menebak siapa saja yang bermain di buku itu kecuali seorang pemeran bernama Andi, dan kabar buruknya nama Andi tercetak pada ucapan terima kasih. Saat itu aku mempercayai bahwa cerita Calya dan Andi merupakan kisah nyata. Caca benar-benar tertutup dengan kehidupan pribadinya. Tidak ada media yang meliput kehidupannya, seakan semua media telah Ia bungkam. Aku baru dapat menembus bentengnya dua tahun yang lalu. Berbagai macam catatan sejak kecelakaan tercatat dengan jelas dan mendetail. Jangan tanya lagi darimana aku mendapatkannya, tolong jangan. Suatu hari Caca akan membaca buku ini dan memarahiku. Baiklah kembali pada cerita ini. Ada dua hal yang belum dapat ku ungkap. Yang pertama adalah arti denting kelam Calya, dan yang kedua adalah kasus kecelakaannya, maksudku cerita yang sebenarnya.

Juni 2019. Aku bangun pukul lima pagi ini. Ini pertama kalinya aku merasakan suasana rumah setelah sebelas tahun di Amerika. Aku tidak pernah pulang selama sebelas tahun, Mama yang akan menyusulku ke Amerika. Aku pernah sekali mengusulkan untuk memboyong serta Mama ke Amerika namun tanpa babibu Mama langsung menolaknya. Satu-satunya tempat Arna berada adalah rumah ini, dan Mama tidak ingin melupakan Arna walaupun berarti memori tentang Arna harus bersatu dengan memori perselingkuhan Papa. Aku bangun dan memulai rutinitas jogging pagiku. Udara pagi di Semarang masih sama dengan sebelas tahun yang lalu. Banyak yang berubah dari rumah-rumah disini. Salah satunya rumah Caca yang berjarak dua blok  dari rumahku. Aku memutuskan untuk duduk di salah satu bangku taman. Kubuka ponselku, kontak Caca berada di panggilan terakhirku. Ini memang masih terlalu pagi untuk menelpon seseorang. Jika Caca tetap Caca, maka aku yakin sekarang Cacaku itu sedang berada di depan treadmill. Nada dering menggema di telingaku.

“Halo.” kata seseorang di seberang sana.

“Ehm, hai.” jawabku.

“Aaah… kenapa?”

“Aku mau minta maaf soal kemarin.”

“No, it’s not your fault. Ini karena aku. Aku cuman kebawa suasana. Aku kaya punya semacam gangguan di otakku. Aku… aku cuman lagi  bingung semalam, oke?” kata Caca panjang dengan sedikit terbata. Aku menghembuskan nafas. Ini bukan Caca. Gadis itu tak akan mengucapkan kata tersebut saat merasa bersalah.

“Iya.” jawabku singkat

“Bomber-mu gimana?” tanyanya lagi.

“Nanti malam kosong?”

“Ehm, gimana kalo siang?”

“That’s okay.”

“Okay. I'll choose the place.”

“Iya.”

“Iya.” jawabnya kemudian disusul tawa gelinya.

“Aku tutup ya.”

“Iya.”

“Iya.” setelahnya aku memutuskan sambungan telpon kami. Sepertinya Caca mulai ingin membuka lembaran baru denganku, memperbaiki apa yang salah dulu, dan menyelesaikan apa yang seharusnya diselesaikan. Bergegas aku kembali ke rumah untuk mandi. Pukul delapan aku sudah sampai di sebuah cafe. Cafe ini berada di daerah Siranda. Tempat ini berada di ketinggian yang cukup baik untuk melihat kelap-kelip Semarang saat malam, sayangnya ini masih pagi. Tempat ini cukup sepi. Suasana pagi ini tak sepanas kemarin, mungkin siang ini akan turun hujan. Aku meminta pelayan untuk menutup area outdoor, aku tak ingin diganggu saat bersama Caca. Lagi-lagi Caca datang lima belas menit sebelum janji temu kami, Caca yang klasik. Kali ini gadis itu memakai terusan yang sedikit di atas lutut berwarna merah tua. Penampilannya didukung dengan heels yang dikenakannya, tingginya mungkin tak nyaris 160 sentimeter, tapi kali ini dia terlihat seperti 175 senti. Ini juga bukan Caca. Gadis itu tak suka menggunakan pakaian seperti itu. Kali ini kami duduk berhadapan di kursi tinggi. Pemandangan kota Semarang menjadi teman kami pagi ini.

“Hai.” sapaku terlebih dahulu saat Caca sudah duduk di atas kursinya.

“Hai.” balas Caca disusul dengan rentetan gigi putihnya.

“Aku Arsen.” kataku kemudian mengulurkan tangan. Caca tersenyum geli melihatku kemudian mengulurkan tangannya untuk menjabat tanganku.

“Aku Calya.”

“Aku tahu.”

“Aku juga tahu kalo kamu Arsen.”

“Itu soalnya aku terkenal.”

“Kalo gitu aku juga terkenal dong.”

“Iya, di hatiku.”

“Lah, kan baru kenalan.”

“Iya.”

“Iya.”

“Apaan sih?” kataku mengalihkan arah mataku.

“Gapapa. Udah pesen belum?” Caca mulai mengalihkan pembicaraan.

“Udah. Kamu juga udah aku pesenin.”

“Jadi kita ini dulu apa?” tanya Caca terlihat berhati-hati sedikit ragu.

“Ehm, menurutmu?”

“Kita… pacaran?” kata Caca lagi dengan hati-hati.

“Ehm…” aku pura-pura berpikir sambil menarik salah satu sudut bibirku.

“Apa?” tanyanya lagi tak sabar.

“Emang kenapa kamu pengen tahu? Sebelas tahun diem-diem aja.” sindirku

“Wajah kamu sering muncul di mimpiku.”

“Soalnya kamu ngefans sama aku.” jawabku penuh percaya diri.

“Sebelum aku tahu kamu itu penyanyi, gimana?”

“Nah, kalo itu karena kamu cinta sama aku.” Caca tersenyum seketika kemudian tersipu malu. Kedua telapak tangannya saling menaut kemudian dibiarkan di atas meja.

“Kita dulu putus karena apa?” Aku berpikir sejenak. Aku dan Caca tak pernah putus. Aku dan Caca… entahlah. Aku tak dapat menemukan alasan yang tepat.

“Kita… kita nggak sempat putus.” jawabku pada akhirnya. Rasa pahit itu kembali mencuat. Percayalah aku tidak pernah menyalahkan Caca. Kemudian Caca diam menatap tangannya yang terkepang di atas meja.Suasana hening. Caca tampak terlempar pada angan-nya begitu juga aku. Beberapa saat hanya terdengar deru angin. Keheningan terhenti saat pelayan mengantar makanan kami. Pelayan melenggang pergi setelahnya, kami pun menikmati makanan masing-masing.

“Karena aku kecelakaan, ya?” tanya Caca saat memotong dagingnya.

“Iya.” jawabku kemudian memasukan pasta ke dalam mulutku. Caca dan aku terus melanjutkan makanan kami hingga habis.

“Aku yakin kamu bukan lagi anak SMA. Kamu pasti ngerti kenapa aku tetep ngehubungin kamu. Aku ingin kita serius, dan aku rasa kita nggak butuh waktu yang panjang. Kita sama-sama udah gede.” kataku panjang.

“Ehm, ya. Of course. Tapi aku tetep butuh waktu buat ini. Aku bahkan nggak inget apa yang terjadi sebelas tahun yang lalu. Yang aku inget waktu aku bangun itu ya cuman aku habis pulang sekolah, dan waktu itu aku masih SMP padahal kenyataannya aku bahkan sudah kelas 11.”

“Yeah, that’s totally fine. I can work with that. Iya.” kataku disusul senyum.

“Iya.” katanya sambil tersenyum.

“Deal.” aku mengulurkan kembali tanganku.

“*Dea*l.” Caca menjabat tanganku kemudian tertawa lepas. Itu tawa yang kurindukan. Aku tersenyum melihat tawa itu kembali.

“Mau pulang?” tawarku saat makanan kami berdua sudah habis.

“Ehm…aku ada urusan bentar, kamu duluan aja.” jawab Caca.

“Okay. Aku duluan.” jawabku kemudian meninggalkan Caca di meja. Aku masuk ke ruangan indoor, membiarkan Caca mengerjakan yang disebutnya urusan itu. Aku tak benar pulang. Aku duduk di salah satu meja bar dengan pandangan langsung ke meja Caca. Aku tahu Caca memerlukan waktu sendiri, klasik Caca, dan juga Caca pasti akan membutuhkan kendaraan untuk pulang nanti. Aku menunggu ditemani dengan sebotol bir tanpa alkohol. Cuaca di luar sana sedang mendung mungkin seperti wajah gadis itu. Mendung yang membawa hawa dingin di dalam dada. Caca bahkan hanya duduk memandang kosong di depannya. Caca kemudian kembali memanggil pelayanan kemudian memesan sesuatu. Aku tak tahu pasti apa yang dipesan gadis itu. Saat pelayan yang mencatat pesanan Caca kembali ke meja bar ini, aku bertanya padanya “Apa yang dipesan Caca?” pelayan itu nampak bingung.

“Maksudku gadis yang duduk di luar sendirian itu, namanya Caca.” jelasku.

“Gadis itu memesan secangkir moccaccino less sugar.” jawab pelayan tadi.

“Oh.” jawabku menanggapi pesanan Caca. Tidak mengejutkan.

“Juga Chocolate Stout Frappe Brew Ccino.” tambah pelayan tadi. Aku tahu itu merupakan minuman dengan bir sebagai campurannya. Cukup aneh, gadis itu jarang sekali meminum sesuatu dengan campuran alkohol atau bahkan tak pernah. Seingatku gadis itu akan minum alkohol hanya saat-saat tertentu. Seorang barista membuat pesanan moccaccino Caca, dan seorang bartender lagi membuat cocktail. Aku mengamati bagaimana bartender itu menuangkan berbagai macam campuran ke dalam gelas. Aku tertegun saat bartender itu mengambil sebotol bir dengan konsentrasi alkohol cukup tinggi -untuk diminum Caca. Mungkin jika aku yang meminumnya, itu tidak akan menjadi masalah tapi ini Caca. Mengapa gadis itu bereksperimen dengan dirinya sendiri. Oh atau mungkin ini pesanan orang yang sedang ada urusan dengannya. Beberapa saat kemudian dua gelas tadi berada di meja Caca. Tanpa ragu gadis itu meneguk cocktail itu. Setengah jam aku duduk di sana mengamati bagaimana Caca meneguk minuman beralkohol itu sedikit demi sedikit, kopi kesukaannya tak tersentuh sedikitpun.

Sejam setelahnya, gadis itu berjalan ke kasir, membayar minumannya kemudian pergi keluar tempat ini. Kopinya sama sekali tak tersentuh. Aku berjalan keluar. Caca berdiri tak tegap ditambah dengan heels yang membuatnya sulit berjalan. Caca masih disana, kurasa gadis itu mencari taksi. Jalan gadis itu tak sebaik orang normal jadi ku simpulkan bahwa gadis itu mabuk. Aku tak terkejut jika sedikit alkohol membuatnya mabuk, Caca selalu seperti itu.

Sebenarnya aku berencana mengajaknya ke SMA kami dulu tapi sayang, reaksi yang Caca berikan membuatku yakin bahwa Ia benar-benar butuh waktu. Entah apa arti alkohol yang ditenggaknya siang ini, hanya Caca yang tahu. Melihat gadis itu jalan sempoyongan di siang bolong seperti ini membuatku tak perlu berpikir dua kali untuk membawanya pulang. Kuraih tangannya, menuntunnya masuk ke dalam mobilku. Gadis itu bahkan tak sadar bahwa ada yang membawanya pulang. Tak butuh waktu lama untuk gadis itu akhirnya terlelap.

Kemana aku harus membawanya pulang? Ehm. Rumah Bundanya? Ehm ehm, bukan ide bagus. Aku juga tak mungkin mengembalikan gadis mabuk ke apartemennya. Pada akhirnya aku membawa Caca pulang ke rumah. Mama ada di depan rumah saat aku sampai. Aku menggendong Calya. Mama menghampiriku dengan wajah cemas.

“Siapa sih, Sen? Anak siapa?” kata Mama panik.

“Caca, Mam.” jawabku saat memasuki ruang tamu.

“Caca? Kok bisa disini? Bukannya Dia di Singapura.”

“Dia udah balik ke Semarang sejak 2014.”

“Mama baru tau. Apa dia masih nggak inget kamu?” jawab Mama membuat langkahku terhenti. Aku tak menjawabnya dan membawa Caca ke kamar Arna, adikku -yang telah lama tiada. Wajah Caca unik. Percampuran asia dan amerika. Pipinya menggemaskan namun hidungnya memberikan citra bahwa Ia jelas bukan seorang asia. Tubuhnya mungil seperti orang asia kebanyakan. Jujur saja, aku rindu menatapnya sedekat ini. Sebuah pernyataan yang selalu kutolak.

“Hey, Calya, I Know It. I miss you so much, did you?” aku bermonolog sendiri. Kuelus rambut hitamnya. Kuraih tangannya yang dingin karena pendingin mobilku. Aku sangat merindukan gadis ini. Air mata mengalir dari sudut mataku. Setelahnya aku terlempar pada masa lalu.

Desember 2008. Amerika sudah membuat penghuninya kedinginan. Aku baru saja memasuki apartemenku. Tubuhku cukup ngilu kedinginan. Ini tanggal 24 Desember 2008. Tahun-tahun yang lalu, aku akan menghabiskan waktu di gereja bersama Caca namun kini aku duduk sendirian setelah beribadah. Hingga hari ini aku tak mendengar kabar apapun dari Caca. Kubuka ponselku mencari nomor Caca. Apa Caca sudah mengganti nomornya? Entahlah, seperti kataku tadi, aku tak mendengar kabar apapun darinya. Kabar terakhir yang kudapat hanyalah surel dari pengacara keluarga Genesa. Masih kutatap ponselku lekat-lekat.

Akhir-akhir ini aku disibukkan dengan lagu-lagu untuk peluncuran album pertamaku. Setiap akhir pekan aku akan tidur di studio labelku menyelesaikan aransemen yang membuat kepalaku hampir pecah. Dulu, akan ada Caca yang menyempurnakan laguku. Aku selalu menatap ponselku setiap dua menit terakhir sebelum hari berganti berharap ada kabar dari Caca seperti saat ini. Layar ponselku seketika berubah menunjukan reminder, itu dibuat oleh Caca. Sebelum berangkat, aku berjanji akan menelponnya saat Amerika sudah tanggal 25 Desember. Natal memiliki arti yang penting bagiku dan Caca.

Lagu mulai memenuhi ruangan. Itu lagu buatan kami, Say It Honestly. Alunannya ingin membuatku menangis. Dadaku sesak di setiap denting piano yang melantun memenuhi ruangan ini. Rasa frustasi memenuhi pikiranku, semuanya muncul begitu saja. Aku sungguh ingin mendengar kabar dari Caca. Satu pernyataan yang enggan hatiku akui tapi selalu berada di sana, aku rindu Caca.

Kumatikan reminder tadi kemudian kembali dengan kontak Caca. Mungkin Caca tak akan menjawab atau mungkin nomornya sudah diganti tapi aku tetap mengetik.

Hey! I don’t know if it is still your number or not but I just wanted to say, I miss you so bad. Oh, c’mon. I know it but i wanna ask you, did you miss me too?

-Isaac

Setelah kejadian malam itu, aku mengubah judul laguku. Aku meluncurkan Say It Honestly dengan judul I Know It sebagai lagu pertamaku di luar album. Aku tak ingin menunggu lama lagi. Lagu itu sudah lebih dari sempurna, dan yang terpenting aku selalu berharap Caca mendengarnya, dan aku yakin, kini Caca sudah mendengarnya. Satu hal lain yang penting, aku ingin Calya jujur.

Jadi kapanpun itu, entah ingatanmu pulih atau tidak, entah kau sudah menjadi milik orang lain atau masih menungguku, entah kau tinggal di Semarang ataupun Singapura. No matter what will happen, I know that you are the one. I know it. 

I Know It - Arsen

Being friend for a long time

No one knows what’s inside there

Being friend for a long time

Am I the man inside your mind?

Give me time, give me time

To prove that I can be the one

[verse] :

I know it, I know it

I’m the one who left you

It’s all for our good

I know it, I’m the one

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!