Dia Calya. Calya Bina Genesa. Dia adalah anak tunggal. Dia adalah seorang penulis dan pemilik brand makanan. Saat ini Calya tinggal di Semarang walaupun bisnisnya berada di Singapura. Calya memiliki wajah asia dengan kulit kuning langsat. Calya adalah penikmat moccacino. Calya memiliki tunangan, namanya Andi tapi dia sudah memutuskan untuk tak lagi menemuinya selamanya.
Kau tahu bagaimana Calya dan Andi bertemu? Ini merupakan kisah cinta yang sangat klasik. Andi adalah kakak tingkat Calya di NTU. Saat itu Andi sedang menjalani pendidikan untuk gelar masternya dan Calya baru saja mengambil gelar sarjana. Andi baru mulai berkenalan dengan Calya di awal tahun keduanya duduk di bangku perkuliahan. Saat itu Andi adalah bekerja part-time di perpustakaan universitas sedangkan Calya baru saja mendirikan Eat Kuy yang tak jauh dari NTU. Sebuah pertemuan yang menjadi awal dari kisah Calya yang panjang.
Agustus 2011. Gadis itu memasuki tahun kedua duduk di bangku kuliah. Ini sudah nyaris pukul sembilan pagi. Calya baru saja memeriksa Eat Kuy cabang Sunshine Place. Kini Ia berada di dalam MRT menuju ke NTU. Membutuhkan waktu 45 menit untuk sampai di NTU. Dengan langkah lebar terkesan terburu, gadis itu berjalan cepat ke kelasnya. Tangga demi tangga diinjak setengah berlari. Akhirnya dengan nafas terengah gadis itu tiba di depan kelas. Saat pintu kelas terbuka, kosong.
“Hey, Calya. Mister Ken have to attend a meeting in Malay today, so today’s off,” kata salah satu teman sekelasnya yang gadis itu sendiri tidak tahu namanya. Gadis itu hanya mengangguk padanya lalu pergi. Tujuan satu – satunya kini adalah perpustakaan yang sudah menjadi tempat favorit gadis itu akhir – akhir ini. Perpustakaan dan gedung kuliah Calya merupakan dua gedung yang berbeda. Calya membutuhkan waktu setidaknya sepuluh menit untuk mencapai perpustakaan.
Perpustakaan hari ini sepi. Calya mengenal salah satu penjaganya. Ia adalah mahasiswa yang sekelas dengan Calya, Andien namanya. Andien merupakan orang Indonesia, sama seperti Calya. Andien mengambil kerja part-time disini. Biasanya Ia bekerja di shift pagi. Entah Calya tak melihatnya pagi ini. Calya menghampiri salah satu penjaga perpustakaan lainnya. Biasanya akan ada beberapa orang namun yang menjaga di front desk adalah orang yang sama sekali tidak pernah dilihat gadis ini.
“Can I help you, miss?” tanya penjaga perpustakaan itu ramah.
“Do you know Andien?” tanyaku langsung.
“Yes, miss.”
“Where is she now?”
“Oh she’s switching her shift with me,” kata pria itu.
“Oh gitu,” jawab Calya menggunakan bahasa Indonesia di luar sadar.
“Kamu orang Indonesia juga?” tanya pria itu tiba-tiba.
“Ya!” jawab gadis itu bersemangat. Calya sangat senang dapat bertemu sesama orang Indonesia disini.
“Hai! Aku Calya!” seru gadis itu kemudian menyodorkan tangannya. Pria di depannya sedikit terkejut kemudian menjabat tangan gadis itu balik.
“Aku Andi,” jawabnya lembut namun terdengar tegas lantas tersenyum.
“Nice to meet you!” seru gadis itu lagi kemudian berbalik meninggalkan pria bernama Andi itu. Setelah keluar dari perpustakaan, Calya kembali ke kamar dorm. Jadwal kelas hari ini sudah habis. Eat Kuy juga baik-baik saja. Calya memutuskan untuk tinggal di dorm karena sewa dorm ini cukup murah ketimbang tinggal di apartemen sendiri.
Hari – hari selanjutnya Calya sama sekali tak menemui Andien di shift pagi perpustakaan. Andien sepenuhnya menjadi shift sore. Setiap pagi setelah jam pertamanya usai, Calya akan ke perpustakaan untuk mengerjakan tugas. Tak hanya menyediakan buku, perpustakaan juga menyediakan komputer sekaligus koneksi internet jadi gadis itu betah – betah saja disini. Setiap jam kosong Calya akan berlama – lama disini. Jika tak ada tugas Calya akan mengetik naskah novelnya. Mengapa tak di dorm? Calya tak punya komputer ataupun laptop. Poor girl!
Seperti siang ini, Calya mengetik kelanjutan novelnya. Suasana perpus yang sepi mendukungnya untuk lebih fokus. Ruangan ini terasa sejuk tidak seperti perpustakaan kebanyakan yang membuat penghuninya menggigil. Kini jam menunjukan hampir pukul satu, itu tandanya Calya harus segera pergi karena gadis ada kelas dan ruang kelas yang kutempati memerlukan sepuluh menit dari perpustakaan. Calya memasukan binder beserta pulpen ke dalam tas kemudian bangkit dari kursi, dan setengah berlari ke gedung lainnya.
Setelah selesai dengan kelas terakhirnya di minggu ini, gadis itu segera ke bandara. Calya harus pulang ke Indonesia hari ini. Calya memilih menaiki taksi untuk sampai di bandara mengingat NTU dan Changi cukup jauh.
Perjalanan menuju Semarang hanya menempuh waktu satu jam. Calya melempar pandang ke luar jendela pesawat saat mendarat di Ahmad Yani Semarang. Ya, Calya pulang. Saat Calya tiba, Pak Karyo, supir pribadinya sejak gadis itu duduk di bangku SMA menyambutnya dengan senyum khasnya. Pak Karyo bertubuh jangkung dengan kulit sawo matang. Pak Karyo membantunya membawa koper kecil yang dibawanya. Perjalanan menuju rumah cukup lama sekitar satu jam. Rumah dan bandara cukup jauh, apalagi waktu kepulangannya memasuki jam pulang kerja. Saat memasuki gerbang rumah, rumah terlihat sepi tanpa penghuni. Ini kali pertama Calya pulang setelah keberangkatannya ke Singapura tahun lalu. Sepertinya Calya terlalu sibuk mengurus kedai Eat Kuy. Ditapakinya lantai rumah yang sudah berbulan - bulan tak diinjak hingga tibalah gadis itu di depan pintu kamar. Calya memasuki kamar yang berada di lantai dua dengan pemandangan kolam renang serta taman belakang. Calya cukup merindukan kamar ini. Bau kamarnya masih sama, mawar, mungkin Bi Narti menyemprotkan pengharum ruangan favoritnya sebelum Calya tiba. Calya meletakkan koper tadi di sebelah pintu masuk, kemudian menutup pintu. Kamar Calya cukup luas. Ada sebuah sofa di samping jendela besar yang mengarah ke timur. Sebuah pintu balkon menghubungkan kamar Calya dengan pemandangan kolam renang di luar. Calya mendudukkan diri ke sofa tadi, merentangkan tangannya, dan saat itulah pintu dibuka. Seorang yang sudah lama tak kujumpai ada disana. Itu Bunda. Wanita itu hanya tersenyum kemudian menutup kembali pintu. Gadis itu melempar pandangan tak ramah pada wanita setengah baya itu.
Calya pulang pada Senin pagi, dan tiba di Singapura satu jam tepat sebelum kelas paginya dimulai. Setelah meletakkan koper di dorm, Calya berlari menuju ke kelas pertamanya. Untunglah kelas belum dimulai. Calya menyiapkan catatan serta alat tulis seperti biasanya, dan saat inilah gadis itu menyadari bahwa flashdisk-nya hilang. Seharusnya benda itu ada di dalam tempat pensil. Oh dear. Selesai kelas pagi ini, Calya berniat untuk mengobrak-abrik kamarnya.
Benar saja sehabis kelas pagi, Calya berlari kembali ke dorm. Kamarnya nyaris acak-acakan. Sepertinya gadis itu harus mengulang semuanya. Waktu berjalan terlalu cepat. Kini gadis itu duduk manis itu perpustakaan. Mengerjakan tugas-tugasnya.
Entah darimana refleks menengok itu, Calya benar - benar menengok ke arah pria yang tepat berdiri di sebelahnya. Cukup mengejutkan! Itu Andi. Calya mengerjapkan mata beberapa kali.
“Hai,” katanya membelah kesunyian.
“Oh, hai. Ini flashdisk-mu,” kata Andi terdengar kaku sambil menyodorkan barang yang dicari gadis itu dari pagi. Calya mengambil dari tangannya dengan mulut menganga.
“Oh my God! Thank you!” Seru gadis itu senang. Andi meletakkan jarinya di atas bibirnya memintaku untuk diam. Calya tertunduk malu.
“I gotta go,” kata Andi yang dibalas dengan anggukan. Ada sebuah dorongan yang seakan meminta gadis itu untuk bertahan di perpustakaan lebih lama lagi. Hingga shift pagi perpustakaan selesai -sekitar pukul dua siang- Calya berdiri dan menghampiri Andi. Gadis itu menepuk pundaknya dan diam beberapa saat. Andi tampak bingung dengan perlakuannya. Salah satu aslinya melengkung ke atas.
“Ya?” Tanya Andi.
“Aku… aku… ah… aku hanya ingin berterima kasih sudah mengembalikan flashdisk-ku,” wajah Andi semakin bingung kemudian menjawab “Oh, tentu, sama - sama,” dengan kikuk. Calya kembali cepat - cepat membuka mulut menawarkan secangkir kopi sore.
“Can I get you a cup of coffee? For my thank you?” Tanya gadis itu kikuk. Kemudian tubuhnya terlihat sedikit rileks dengan tangan kanannya dimasukan ke dalam saku celana. Dia menghirup nafas kemudian menjawab “I’m not drink any coffee, but what if it’s a cup of tea?” Tawarnya. Cukup aneh, dan yang keluar dari mulut gadis itu adalah “Sure!”. Cukup aneh memang. Mereka berdua sama - sama bisa berbahasa Indonesia namun memilih untuk menggunakan bahasa Inggris.
Dan disinilah dua anak manusia itu berada. Starbucks di Boon Lay -salah satu shopping center di Jurong West- berada di lantai 2. Calya sangat jarang pergi ke sini karena gadis itu lebih sering menghabiskan waktu di Sunshine Place untuk mengurus bisnisnya. Boon Lay terlihat memiliki potensi yang baik untuk gadis itu membuka cabang. Calya sepertinya akan meninjaunya lagi saat modalnya memenuhi untuk membuka cabang sudah cukup.
Benar saja, Andi memesan a cup of chamomile tea, dan Calya a cup of coffee mocha. Andi berjalan lebih dahulu ke meja dengan dua kursi di pojok ruangan. Calya selalu menyukai bau Starbucks. Aroma khas kopinya membuatku betah untuk tinggal disini. Untuk sementara mereka berdua hanya saling mendiamkan dan sibuk dengan pikiran masing - masing, hingga nama mereka berdua dipanggil. Andi bangkit dari kenyamanannya dan mengambil pesanan mereka. Masih dengan keheningan, Andi menyerahkan kopi milik Calya. Gadis itu menghirupnya sebelum meminum kopi itu. Saat rasa moka itu mencuri indra perasa, dipejamkan matanya menikmati aliran pahit dan manis di dalamnya. Ini tak lagi terasa pahit, ah, bukan, ini pahit namun sangat khas. Kau harus menjadi pecandu kopi dulu hingga kau akan mengerti.
“Kenapa moka?” Tanya Andi tiba - tiba. Calya mengangkat wajahnya dari gelas itu dan menatapnya. “Moka itu unik. Dia pahit tapi juga manis. Kau mau coba?” Jawab Calya. Andi menatapnya dalam. “Kau harus mencoba chamomile dulu. Cobalah!” Kata Andi menyodorkan gelasnya. Calya meletakkan gelas kopinya kemudian mengambil gelas dari tangan Andi lalu mendekatkannya ke hidungnya. Wangi khas menyeruak dari gelas ini. Wangi khas teh herbal. Saat air kuning kecoklatan itu mulai menyentuh lidahnya, tak ada rasa teh yang biasanya dirasakan. Rasa pahitnya sangat bisa ditolerir oleh lidah. Rasanya sangat menenangkan. Calya memicingkan mata padanya dengan salah satu alis naik.
“Not bad.” komentar gadis itu. Andi mengambil cangkir milik gadis itu kemudian menciumnya terlebih dahulu sebelum meminumnya. Beberapa saat Andi diam sambil memejamkan mata. Mata keduanya bertemu saat kelopak Andi terbuka. “That’s true! Bitter and sweet.” komentar Andi. Caca tersenyum. Akhirnya sebuah percakapan terjadi di antara mereka. Kesunyian itu berganti dengan canda tawa ringan. Percakapan dua manusia ini terus berlanjut pada epidermis kehidupan masing - masing.
Juni 2019. Gadis itu tiba di sebuah pemakaman. Tempat dimana gadis itu dapat berjumpa dengan Andi. Sudah lama rasanya dirinya tak kesini. Alasannya empat tahun yang lalu tidak salah. Nyatanya saat ini Calya dan Andi memiliki jarak yang sangat dekat walaupun gadis itu akan direpotkan dengan bolak - balik ke Singapura jika bisnisnya bermasalah. Gadis itu melewati banyak makam untuk tiba di tempat Andi. Rumah terakhir Andi berada hampir di puncak pemakaman ini dengan pemandangan menghadap ke kota. Andi sangat menyukai ketinggian, maka dari itulah empat tahun lalu, Gadis itu yang meminta otousan dan okaasan memakamkan Andi disini. Di sebelah makam Andi ada makan kosong untuk kedua orangtuanya. Ketiga makan ini dipisahkan dengan tanaman dan pagar pendek.
Gadis itu datang tidak dengan tangan kosong. Kedua tangannya membawa bawaan. Tiba di makan tunangannya itu, Ia membuka bungkusan itu. Sebuah kue mungil dan bunga chamomile.
“Andi. Kau tak lupakan? Walaupun kau sudah jauh disana, aku tak ingin kau melupakan hari bahagiamu,” kata Gadis itu pada nisan di depannya. Diambilnya bunga yang dibawanya tadi kemudian diletakkan ke atas nisan Andi. Gadis itu duduk memandangi nisan di depannya dengan tersenyum. Hening rasanya. Hanya ada suara padatnya kendaraan dari kejauhan yang diredam oleh sejuknya udara di bawah pohon rimbun.
“Iya terima kasih, Andi. Kau memang tak pernah melupakan hari ulang tahunku.” kata gadis itu pada dirinya sendiri kemudian mulai terdengarlah isakan gadis itu, isakan yang selalu terdengar empat tahun belakangan ini. Tangis pilu yang tak semua orang tahu. Tangis pilu yang hanya Ia dan dirinya yang tahu.
Juni 2012. Ini hari ulang tahun Calya. Andi membuat gadis harus menikmati 15 menit perjalanan menggunakan MRT sendirian. Ia tidak sabar untuk menyesap teh chamomile namun meminta Calya untuk tetap menyusul Andi. Untunglah ini bukan siang hari, matahari sudah mulai menyembunyikan diri. Cuaca menjadi lebih bersahabat. Mereka sudah kenal dan dekat selama sepuluh bulan, namun tak satupun dari mereka mengungkit masalah hubungan yang ada di antara keduanya. Boon Lay tak bisa dibilang sepi saat Calya tiba. Gadis itu menuju ke lantai dua. Saat kaki Calya menginjak Starbucks Boon Lay, seperti biasa bau kopi mencuri penciuman siapapun yang datang. Starbucks selalu menjadi tempat yang menyenangkan. Calya mengedarkan pandangan ke sekitar. Di meja yang sama, di sana ada Andi, dua cangkir kopi moccacino, dan sebuah kue ulang tahun berwarna coklat dan krem di setiap lapisannya, dengan desain simpel ditambah lilin dengan angka 20. Senyum gadis itu seketika mengembang lantas menghampiri Andi. Bahkan Andi lebih bersemangat ketimbang Calya untuk merayakan ulang tahun.
“Happy Birthday!” katanya semangat namun berbisik. Calya tersenyum. Kemudian Andi menyalakan lilin angka 20 itu. Calya memejamkan mata membuat sebuah harapan baru. Aku harap, Andi tetap berada di sisiku. Jika ia ingin pergi, biarlah ia pergi karena keinginannya bukan karena sikapku. Sebuah harapan paling klasik yang dibuat gadis itu sejauh ini. Calya membuka mata kemudian meniup lilin itu. Andi tertawa tak bersuara begitu juga Calya. Mereka tampak seperti pasangan paling bahagia di muka bumi ini. Kemudian keduanya meminum moccacino yang Andi sudah pesan untuk gadis itu dan dirinya sendiri. Kue ulang tahun tadi dimasukkan kembali pada wadahnya. Keduanya berbincang ringan setelahnya.
Setelah selesai dengan moccacino, ternyata Andi tak berniat untuk pulang. Andi menggenggam tangan Calya dan membawa Calya ke MRT dengan tujuan yang berbeda. Seharusnya untuk pulang mereka naik ke kereta 179 namun Ia menggandeng tangan Calya naik ke kereta East West Line. Andi mengajak Calya ke Tian Fu Tea Room di Raffles Place. Tempat ini memiliki desain oriental yang kental. Saat pertama kali masuk, bau teh sangat mendominasi ruangan. Mungkin ini adalah surga bagi Andi. Satu hal yang Calya tahu, restoran ini pasti mahal. Satu hal yang disadari Calya, Andi sangat bersemangat untuk ulang tahun Calya. Entah apa yang membuatnya sangat menyukai ulang tahun. Mungkin awal perjalanan Calya dan Andi baru saja dimulai.
Juni 2019.
“Hey, aku pulang dulu. Sudah mulai panas. Biasanya kau memarahiku jika aku terlalu banyak terkena matahari, maka dari itu aku pulang dulu, ya. Bye.” Kata Gadis itu lembut kemudian melangkah menuruni bukit pemakaman itu. Ada rasa lega setelah mengunjungi Andi. Aneh memang.
Saat tiba di apartemen, Gadis itu membereskan bajunya ke sebuah koper. Tak terlalu banyak. Cukup untuk menginap 3 hari 2 malam. Setelah memastikan rumahnya dalam keadaan aman, Ia memanggil taksi untuk membawanya ke bandara.
Jika biasanya Ia akan melakukan penerbangan Semarang-Singapura, kali ini berbeda. Gadis itu menempuh waktu satu jamnya untuk ke Jakarta. Perjalanan yang singkat namun membuatnya lelah. Setelah tiba di Jakarta, gadis itu langsung saja menuju ke hotel. Jika biasanya dirinya akan memesan hotel tanpa bintang atau bahkan hotel kapsul, kali ini berbeda. Ia memesan kamar Grand Suite di Sheraton Hotel. Bukan tanpa alasan semua keputusannya kali ini. Tujuan utama gadis itu ke Jakarta adalah memanjakan diri. Puncaknya nanti saat menonton Arsen Asia Tour Concert dengan bangku VIP beserta meet and greet dengan tiket VIP pula. Arsen merupakan idola banyak gadis muda saat ini. Berita yang bertebaran pula membuat Gadis itu ingin memastikannya sendiri. Arsen baru saja dikabarkan menjalin hubungan dengan gadis dari dunia entertainment yang pastinya membuat seluruh penggemarnya menjerit histeris.
Memang semua uang yang Calya gunakan kali ini terdengar berlebihan, namun selama ini dirinya tak pernah memanjakan dirinya. Gadis ini hanya ingin membuang uang yang sudah ia timbun selama ini. Dan tujuan sampingannya adalah menulis novel barunya. Penghasilannya selama ini memang lebih dari cukup namun menulis adalah salah satu cara ia melepas tekanan yang membebaninya selain itu uang yang ditawarkan pun cukup menggiurkan.
Seperti kepergian lainnya, tidur merupakan hal pertama saat Ia tiba. Gadis itu sangat menyukai tidur. Dan kebiasaan anehnya beberapa tahun ini adalah menyemprotkan parfum yang biasa Andi gunakan pada kasur yang digunakan
Ini masih bisa dibilang subuh namun Gadis itu sudah bangun dari tidurnya. Bahkan matahari belum sepenuhnya menampakkan diri saat dirinya berada di pinggir kolam renang dengan macbook-nya. Pakaian tidurnya sudah berganti dengan baju renang yang ketat namun tertutup. Rambut coklat muda nya dicepol menjadi satu menyisakan poni di atas matanya beserta anak rambut yang nakal keluar dari ikatannya. Udara dingin menyelimutinya. Ingatannya terlempar pada masa kecilnya. Masa dimana Ia sangat senang – senangnya berenang. Masa dimana ia pernah bermimpi menjadi atlet renang. Air kolam renang sudah menjadi sahabatnya maka dari itu keahlian berenang gadis itu tak pernah hilang. Mama dan Papa menjadi orang yang selalu siap untuk menolongnya. Entah mengapa, ingatannya kembali terlempar saat bersama Andi. Pria itu lagi. Selalu Andi.
Setelah mematikan macbook-nya, Ia masuk ke dalam kolam dan berenang beberapa putaran. Matahari masih belum terbit saat seorang pria yang sepertinya sudah cukup matang bergabung bersama gadis itu ke kolam renang. Dari kejauhan Gadis itu tahu siapa pria yang baru saja masuk ke kolam renang. Tentu saja semua orang tahu siapa pria itu. Arsen. Pria yang akan ia tonton nanti malam. Ia berenang mendekati pria yang masih duduk di tepi kolam renang.
“Apa kau Arsen?” Tanya Gadis itu berani.
“Ya,” jawab pria itu. Arsen merupakan idaman bagi siapapun. Selain suara dan tubuh kekarnya yang tak perlu diragukan lagi, secara religius Arsen dikenal sebagai orang yang sangat takut akan Tuhan di publik. Selain itu, ia selalu membawa ibunya pada setiap konsernya bukankah menunjukan bahwa Arsen sangat mencintai ibunya? Gadis itu hanya mampu menganga melihat idolanya yang selama ini hanya dibatasi kaca.
“Ehm!” dehem Arsen membuat gadis itu keluar dari lingkaran keterpukauan. Gadis itu gelagapan malu setelahnya. Ia mengangguk – angguk tak jelas dan perlahan menjauh dari Arsen. Setelah keluar dari kolam, ia berlari kecil menuju kamar hotelnya. Arsen hanya menggeleng sambil menyeringai geli melihat tingkah Calya.
Setelah gadis itu selesai mandi, lagi – lagi ide muncul di otaknya. Masih dengan handuk kimono putih serta rambut yang basah Calya mencari benda berharganya itu. Kamar hotelnya yang luasnya mirip apartemen menyulitkannya menemukan macbook-nya. Setelah mencari macbook-nya ke seluruh penjuru ruangan, benda berharga itu hilang. Rasa panik menggerayangi Calya. Dengan tergesa, ia memakai baju, dan keluar dari kamarnya. Sebuah dada bidang membuatnya terlempar beberapa langkah ke belakang. Hampir saja jatuh jika seseorang di depannya tidak menangkap pinggangnya. Setelah mengerjap beberapa kali, Calya baru menyadari yang ditabraknya adalah Arsen. Dan lagi – lagi dirinya melongo seperti orang bodoh. Seakan tersadar, wajahnya mulai memerah malu. Arsen menyodorkan macbook itu dan Calya menerima dengan menunduk sambil mengucapkan terima kasih yang nyaris tak terdengar. Kemudian gadis itu berbalik dengan gerakan seperti penguin kemudian menutup pintu dengan sangat pelan. Saat pintu sudah tertutup sempurna, tubuhnya merosot kebawah bersandar pada pintu. Pipinya bersemu merah malu. Wajahnya disembunyikan di balik macbook dengan kepala menggeleng – geleng dan kaki menghentak lantai. Betapa menyenangkannya bertemu idola. Bahkan sebelum orang lainnya bertemu Arsen, dirinya sudah, dengan sangat eksklusif walaupun, err, sedikit memalukan.
Jam sudah menunjukan pukul empat sore. Konser Arsen dimulai pukul enam. Sheraton Hotel menuju SICC (Sentul International Convention Centre) memerlukan waktu paling cepat satu jam. Dan ini adalah weekend. Setelah taksi tiba di lobby hotel, gadis itu segera berangkat menemui Sang Idola. Sepanjang perjalanan, macet sudah menjadi hal yang sangat biasa. Berulang kali dirinya harus berhenti di tengah jalanan jakarta selama beberapa menit. Sungguh membosankan. Walau empat tahun gadis ini menempuh strata satu di Singapura tak membuatnya lupa akan tanah air yang harus Ia bangun. Walau kini bisnisnya sudah cukup maju di jalanan Singapura tak membuatnya lupa akan tanah air. Dilihatnya jingga matahari di depannya.
Setelah matahari terbenam sepenuhnya barulah Calya tiba di SICC. Jalan masuk sangat penuh sesak. Sebagai pemegang tiket VIP dengan harga fantastis, Calya memiliki akses untuk masuk melalui jalur khusus. Jalan dengan penjagaan ketat yang mengantarkan ke suatu balkon tepat di samping panggung. Dari sini, Calya mampu melihat Arsen dengan jelas dan puas. Rasanya seperti mimpi, duduk di tempat ini adalah salah satu mimpinya sejak tujuh tahun yang lalu. Tepat tujuh tahun yang lalu, Arsen menggelar konsernya disini. Saat itu Arsen tengah naik daun atas album ketiganya. Lantunan nadanya tak sekedar bernuansa putus cinta. Ada berbagai maksud di setiap alunan musik serta liriknya. Nada, lirik, serta irama yang dikemas unik menggugah hati yang layu. Kini setelah tujuh tahun sejak album ketiganya, Arsen lagi – lagi mampu mengguncang dunia dengan album ketujuhnya. Walau sempat rehat dari dunia hiburan selama beberapa tahun, karyanya tetap yang terbaik. Sebuah karya tak akan pernah pudar oleh waktu. Setiap lagu yang diciptakannya seakan terpahat dalam dada. Seakan lagu – lagu itu sengaja dibuat hanya untuk diriku.
Tak perlu menunggu lama sampai konser Arsen akhirnya benar – benar dimulai. Seperti orang – orang kebanyakan, gadis itu bangkit dari duduknya dan menyanyi bersama sang idola. Hingga lagu I Know It mengguncang gedung ini. Calya seakan terlempar dari gedung ini. Lagu ini sukses membuat Calya terbengong berusaha mengingat memori yang ada, tubuhnya kaku sesaat. I Know It tak pernah ada dalam album ketujuh Arsen. Dalam setiap biografinya, lagu ini adalah lagu pertama yang dibuat oleh Arsen, dan lagu ini sukses membawa namanya dikenal orang. Entah apa yang ada dipikiran gadis itu, Calya memilih duduk di kursinya sepanjang lagu ini mengguncang pertunjukan Arsen. I Know It bukanlah lagu hip hop dengan rapper yang handal. Bukan juga lagu EDM yang cocok digunakan untuk menari gila-gilaan hingga mampu mengguncang gedung sebesar SICC. I Know It merupakan lagu sendu dengan alunan petikan gitar dengan lirik yang manis menggugah hati tentang dua insan manusia yang tak saling tahu kemana hatinya ingin berlabuh. Suasana menjadi sendu. Kali ini Calya benar – benar tak terbaca. Hingga akhir lagu, Calya tak berkutik.
Lagu – lagu setelahnya benar – benar mengguncang seluruh gedung termasuk Calya hingga tibalah puncak dari konser ini, dimana Arsen akan menyanyikan satu lagu sebagai penutupnya. Hingga lagu -yang seharusnya menjadi penutup- selesai, seluruh pemain musik masih di tempatnya. Arsen masih memegang mic. Beberapa orang sudah keluar dari ruangan. Arsen dengan sweater abu-abu yang membungkus sempurna tubuhnya mulai mengangkat mic-nya dan bernyanyi reff I Know It sekali lagi menghentikan orang yang sudah di ujung sana. Saat suara di ruangan ini hanya dikuasai oleh petikan gitar.
“I just want to say thank you to everyone who makes this a great tour! It’s my greatest performance ever. Believe me, I won't ever forget Jakarta,” kata – kata itu berganti yang menguasai seluruh indra lautan manusia, selanjutnya lagu Forget Jakarta karya Adhitia Sofyan mulai memenuhi SICC. Selanjutnya, lagi – lagi satu per satu manusia di gedung ini pergi. Saat Forget Jakarta selesai dinyanyikan dan Arsen serta seluruh pengisi acara sudah menghilang, Calya berjalan seorang diri melewati lorong – lorong yang lebih mirip labirin ketimbang backstage. Bukannya menemui sebuah ruang pertemuan yang dimaksud, Calya malah menemukan pintu dengan nama Arsen di depannya. Bisa saja gadis itu masuk kesana tapi diurungkan niatnya. Gadis itu berbalik dan sialnya rasa dingin dengan sedikit bau alkohol mengenai lengannya. Baunya seperti wine mahal. Yang ditatapnya adalah dada seorang pria. Lagi – lagi dada seorang Arsen. Kali ini cukup fatal. Wine yang sepertinya merupakan favorit Arsen. Seperti berita yang beredar, Arsen selalu meminum segelas wine sebelum meet and greet dengan para penggemarnya. Sweater abu yang dipakainya pada akhir konser pun basah oleh wine. Calya mengangkat kepalanya menatap mata Arsen sepersekian detik. Tatapan itu terlalu kuat. Arsen memiliki aura yang membuat siapapun terpesona namun mencekam jika dalam jarak sedekat ini, dalam keadaan seperti ini. .
“Sorry.” cicit Calya masih menunduk ketakutan. Arsen menyentuh sweater nya menarik bagian yang basah. Arsen berdehem sekali. Kemudian menunduk nyaris mencium puncak kepala Calya kemudian berbisik, “sayang sekali. Padahal ini sweater kesayanganku.” Calya sama sekali tak bergerak, ketakutan menghinggapi tubuhnya. Calya merunduk semakin dalam.
"Maaf," cicit Calya.
"Hanya maaf?" Sarkas Arsen membuat wajah Calya seketika berubah ketakutan. Kakinya terasa seperti jelly, jantungnya semakin berdegup kencang, tubuhnya nyaris ikut bergetar.
"Ehh… aku… aku akan mencucinya," kata Calya berusaha menyelesaikan katanya dengan cepat namun nyaris tak terdengar.
"Ehm!" Dehem Arsen lebih keras. Calya mengintip Arsen dari balik poninya. Arsen masih menatapnya tajam -atau lebih tepatnya mengintimidasi.
"Baiklah!" Seru Arsen kemudian mengangkat perlahan sweater miliknya dengan kedua tangannya hingga terlepas menampilkan dadanya yang bidang. Jangan bayangkan Arsen berbadan six pack dengan abs terpahat sempurna karena nyatanya Arsen hanya memiliki dada bidang disertai pundak tegap tapi mampu membuat Calya menahan nafas selama beberapa saat. Arsen menyodorkan sweater miliknya yang kemudian diterima oleh Calya lantas dimasukkan ke dalam tas ransel mini milik Calya yang berwarna oranye. Arsen mengamati dengan intens apa yang dilakukan Calya kemudian merogoh saku belakang mengambil dompetnya. Diambilnya sebuah kartu dan diberikan pada Calya.
“Ini nomerku, hubungi aku saat sweater punyaku sudah beres,” jelas Arsen. Dengan perasaan takut dicampur bahagia, Calya meraih kartu nama itu. Setelahnya Arsen menghilang dibalik pintu ruang tunggu pribadinya. Saat Arsen sepenuhnya menghilang, Calya tersenyum lebar dan berjalan dengan sangat girang. Segera disimpan nomor milik Arsen itu pada ponselnya kemudian kartu nama itu disimpan pada dompet kecil miliknya. Calya berjanji pada dirinya untuk melaminating kartu nama Arsen dan memajangnya pada sebuah pigura. Kapan lagi seorang Arsen memberikan kartu namanya pada fans? Ini gila bukan? Calya berjanji tidak akan memberikan nomor Arsen pada siapapun walaupun mereka menawarnya seharga mobil sport miliknya.
Layaknya meet and greet pada umumnya, kebanyakan adalah wanita yang hadir. Pertanyaan yang terlontar pun seputar makna - makna tersembunyi dari album terbarunya kini. Calya hanya sekedar menjadi penonton disini. Baginya menjadi pendengar lebih menyenangkan ketimbang aktif bertanya. Hingga sampailah pada sebuah pertanyaan dari gadis muda yang mungkin baru saja menginjak umur 17.
“Halo, aku Zefa, aku sudah ngikutin kamu sejak SMP. Ehmm, apa kamu dan Kelly itu… aaahh ya gitu?” gadis yang mengenalkan diri sebagai Zefa itu membuat seluruh ruangan sedikit ricuh. Arsen terlihat berpikir sejenak, tatapannya sedikit kosong, dan sepertinya mengarah padaku yang membuatku mengidik ngeri. Tatapan Arsen akhirnya pulih. Tatapan intens seperti sebelum - sebelumnya, Dia mengangkat mic.
“Aku sudah 29 tahun hidup, dan untuk jangka waktu yang lama aku sendiri. Kenapa? Sebenarnya ada masa lalu yang aku tak bisa lupakan, sayangnya, orang yang membuat masa lalu bersamaku sama sekali tidak bisa mengingatnya, atau mungkin belum mampu dan belum mau mengingatnya. Aku hanya mampu berharap ingatannya segera pulih. Jadi apakah Aku dan Kelly ada sesuatu atau tidak, jawabannya adalah.” Arsen membuat seluruh ruangan terperangah kemudian terdengar bisikan-bisikan yang membuat ruangan cukup ricuh. Arsen sama sekali tidak melanjutkan kalimatnya, Ia hanya sekedar mengangkat bahunya tak memberikan jawaban. Dan sepanjang sisa meet and greet Arsen, Calya hanya mematung memberikan tatapan kosong.
Calya bertemu dengan Arsen. Calya juga bertemu dengan Andi. Calya tak pernah tahu apa yang akan terjadi pada pertemuannya dengan Arsen ataupun Andi. Calya tak pernah tahu apa yang akan terjadi pada awalnya, begitu pula aku, kamu, semua orang. Yakinlah bahwa segala sesuatu yang memiliki awal yang buruk belum tentu berakhir buruk, dan semua yang berawal baik belum tentu berakhir baik. Kita hanya perlu menjalani suatu pertemuan tanpa memikirkan perpisahan tersebut. Genesa.
NB : Terima kasih untuk Andien yang sudah tukar shift dengan Andi sehingga aku dan Andi bertemu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 25 Episodes
Comments
PeMuDa RAHASIA
thor ini cerita di angkat dari kisah nyata ya??
pas banget nusuk di hati para pembaca.
KEREN
2020-12-19
2
Arini
aku mampir kk..😊
2020-08-01
1
Meta
nyesek pas baca calya nemuin Andi di pemakaman. 😢
2020-07-19
2