Episode 4: Mulai Menerima Diri

"Aku sudah terlalu banyak melihat tumbuhan mati sepanjang perjalanan. Kalau aku ingat-ingat, dulu juga aku sama herannya sepertimu, Luna, saat kali pertama aku melihat tetumbuhan mati pada suatu taman kota. Hutan kecil barusan serta padang Bunga Dandelion tadi, adalah kali pertama diriku melihat tumbuhan hidup setelah sekian hari.", lanjut Devan.

"Haa?. Devan, kata-katamu aku tak paham. Ini itu jalan yang aku lewati ketika datang, tau. Kemudian setelah dari pemakaman, aku lama bermain di padang bunga itu, mungkin sekitar sejam. Lalu, sekarang aku melewati jalan ini lagi, tau-tau semuanya menguning. itu aneh kan?", kata Luna dengan wajah yang keheranan.

Devan terdiam sejenak. Ia memikiran perkataan Luna.

"Apa tadi ketika dirimu datang, semua tumbuhan ini hidup, Luna?"

Luna mengangguk kuat.

Mereka berdua kembali berjalan. Sepanjang jalan Luna melempar pandangannya ke keadaan sekitar, kini wajahnya sedih bercampur cemas, sedangkan Devan pandangannya hanya ke depan.

"Kok bisa begini?", ucap Luna cemas. "kau tahu sesuatu kah, Devan?"

"Aku juga tak mengerti apa yang terjadi, Luna.", ucap Devan datar. Ia tak lagi memikirkan apa yang terjadi.

"Kita kan akan lewat Desa Gardum. Gimana kalau tanya orang di situ?"

"Baiklah. Nanti kita akan tanyakan ke penduduk."

"Kau saja yang tanya."

"Kenapa?"

"Penduduk desa tak bisa lihat aku."

"Oooh, karena dirimu adalah peri?"

Luna mengangguk, "Mm."

("Ternyata kau sangat mendalami peranmu.", ucap Devan dalam hati.)

Setelah percakapan itu, mereka berjalan tanpa bicara sama sekali.

Beberapa saat telah berlalu. Dari jauh mereka berdua sudah bisa melihat gerbang masuk desa. Setelah jarak mereka dengan desa cukup dekat, Luna menyadari sesuatu yang janggal.

"Devan.", Luna menengok ke Devan.

"Kenapa sekitar desa begitu sunyi, Luna. Apa penduduk desa semua bekerja di dalam desa?"

"Aku baru mau bilang itu."

Luna kemudian berjalan sambil menundukkan kepalanya, sembari mendekatkan dirinya ke sisi Devan. Bahu keduanya hampir bersentuhan.

Devan menyadari Luna yang agak takut. Ia lalu menjawab pertanyaannya sendiri, mencoba mencairkan rasa takut Luna.

"Yap, sepertinya para penduduk semua bekerja di dalam desa, atau mungkin mereka sedang rapat, membicarakan masalah pertanian yang sedang mereka hadapi. Kau lihat kan Luna, persawahan yang kita lewati tadi?, semuanya mati."

"Mm. Tapi tadi pas aku datang padinya masih baik-baik saja.", ucap Luna yang tetap berjalan sambil menunduk kepala.

"Ya. Pasti sesuatu telah terjadi."

Mereka memasuki gerbang desa, kemudian berjalan di atas tanah yang cukup lebar. Pada setiap sisinya terdapat pohon-pohon bambu yang mengering. Jalan itu berbelok sedikit. Kemudian setelah mereka berbelok, barulah mereka bisa melihat pemukiman padat warga desa.

Namun, Langkah mereka terhenti di sudut belokan jalan itu. Dari tempat mereka berdiri, terlihat tak ada kegiatan apapun yang terjadi di desa. Kecuali pemandangan penduduk-penduduk desa yang terkapar di jalan-jalan, serta hewan-hewan ternak yang turut tergeletak diantaranya.

Nafas Luna tak stabil. Mulutnya terbuka, matanya berkedip berkali-kali. Ia memeluk bunga-bunga yang ia bawa dengan sangat erat. Wajahnya ketakutan. Sedangkan Devan, ia tenang, seakan telah menduga bahwa hal ini akan terjadi.

Devan melanjutkan langkahnya, baru beberapa melangkah, ia menoleh ke arah Luna yang masih tak bergerak di tempatnya.

"Luna?."

Luna masih tak bergerak di tempatnya. Ia hanya menggeleng ke Devan dan mundur selangkah.

"Tidak apa-apa. Ada aku disini.", ucap Devan.

Luna berusaha memenangkan dirinya. Kemudian beranjak perlahan dari tempat ia berdiri ke sisi Devan. Ia melangkah perlahan, Devan pun menyesuaikan langkahnya.

"Devan, Apa yang terjadi dengan penduduk desa?", Luna memandang Devan.

"Aku tidak tahu. Kau bilang orang-orang di desa sibuk bekerja?", ucap Devan, pandangannya lurus ke depan.

Luna kemudian berpindah ke hadapan Devan. Langkah Devan terhenti, pandangannya pun beralih ke Luna.

"Aku tidak bohong!.", Luna berhenti bicara sejenak. Nafasnya kembali tidak stabil. "Sungguh aku tadi lewat sini, orang-orang desa semuanya masih baik-baik saja.", lanjut Luna meyakinkan Devan.

"Ya. Aku juga tidak bilang kalau kau bohong. Justru dengan perkataanmu semua jadi masuk akal, Luna.", Ucap Devan sembari memandang Luna.

Luna hanya menatap Devan. Kedua alisnya mengerut. Devan yang menduga Luna masih belum mengerti melanjutkan perkataannya.

"Coba lihat orang-orang itu , Luna. Perempuan yang terkapar dengan sapu lidi di tangannya, pasir dan sampah di tanah berjejak seperti habis di sapu. Ia pasti sedang menyapu di tanah itu. Di sana, seorang laki-laki muda tergeletak dengan dua ember di sisinya. Ia hendak membawa air dari dan ke suatu tempat, tumpahan airnya bahkan belum benar-benar mengering di permukaan tanah. Dan di sana juga, seorang lelaki paruh baya tergeletak di depan pintu rumahnya dengan topi jerami terlepas dari kepalanya, ia memakai sepatu bot, kemudian terdapat cangkul di tepi pintu rumahnya. Aku pikir ia hendak pergi ke ladang, dan ia tidak tahu tentang keadaan ladang yang barusan kita lihat.", Ucap Devan.

Luna pun mengikuti setiap arah pandangan Devan. Ia memperhatikan dengan seksama setiap hal yang di tunjukkan oleh Devan.

"Orang-orang itu bila ia mati sebab sakit tertentu, diantaranya mungkin ada yang terjatuh sembari memegang dada mereka, atau kepala contohnya. Tapi kita tidak lihat satupun. Mereka semua terkapar, seakan tertidur di tengah pekerjaan mereka. Dan itu semua terjadi belum lama ini.", lanjut Devan menjelaskan.

Luna kembali menghadap Devan. Kali ini ia menatapnya dengan tatapan curiga.

"Devan. Kau,,, aku pikir sikapmu terlalu tenang."

"Itu karena aku sudah terbiasa dengan keadaan ini. Beberapa hari yang lalu aku tidak setenang ini. Tadi aku sudah bilang kan, kalau banyak sudah aku melihat orang yang mati sepanjang perjalanan."

Luna pun mengingat kembali percakapan yang dimaksud Devan.

(".....Aku sudah banyak melihat orang-orang tak bernyawa di setiap tempat yang aku datangi. Aku hampir tidak tahan, maka dari itu aku jalan-jalan menghibur diri.")

Luna yang sebelumnya salah memahami perkataan Devan, kini ia memahami dengan benar setelah melihat fenomena ini. Sesaat kemudian, tiba-tiba ia teringat kata-kata Devan saat pertama kali mereka bertemu.

("Kauu... Hidup ?")

"Aku ingat, pas kita baru bertemu kau memberiku pertanyaan aneh. Kau menanyakan apa aku hidup atau tidak."

"Itu karena aku tidak pernah melihat seseorang yang hidup sebelumnya, jadi aku sempat tak menyangka."

Saat mendengar jawaban itu. Luna menangkap sesuatu yang janggal. Ia merasa kejadian ini ada hubungannya dengan Devan.

"Maksudmu, kau hidup selama 20 tahun tapi tak pernah lihat manusia hidup???", Luna bertanya dengan intonasi ditekan. Kedua alis Luna menurun.

"Sebenarnya...", kalimat Devan tertahan, kemudian membuang tatapannya ke bawah samping dari yang sebelumnya memandang Luna. Ia merasa tidak yakin.

Luna berjalan menghentak ke Devan dengan dua langkah kecil. "Ceritakan padaku, semuanya!", ucap Luna dengan nada agak tinggi.

"Mana mungkin aku menceritakan semuanya padamu. Kita bahkan baru kenal.", ucap Devan dengan tinggi nada yang sama.

"De...van...!!!", ucap Luna dengan nada lebih tinggi sembari menatap tajam ke Devan.

Devan pun menghela nafas. Ia memutuskan menyerah dengan keegoisan Luna dan mulai menceritakan garis penting yang ia alami sepanjang perjalanan sebelumnya, mulai dari ia terbangun di tengah-tengah kota, hingga ia bisa sampai disini.

"...begitulah hingga akhirnya aku berada disini.", Devan mengakhiri ceritanya dengan singkat.

Setelah Luna mendengar cerita itu, tiba-tiba ia mundur selangkah. "Semua hal yang terjadi di sini, itu karena kedatanganmu, Devan.", nafas Luna kembali tak beraturan.

Devan agak kaget mendengar kalimat Luna. Hatinya terusik, "Maksudmu?", ucap Devan serius.

"Tak mungkin kau tidak mengerti, Devan. Kau menyangkalnya, atau.... apa kau mencoba menyembunyikannya dariku?", Luna mundur lagi dengan langkah kecil, berusaha agar Devan tak menyadarinya.

Namun, Devan menyadari bahwa Luna menjaga jarak dengannya. "Aku tak menyangkal apapun, dan tak menyembunyikan apapun."

Setelah itu Devan melangkah, mencoba mengurangi jarak dengan Luna. Namun, karena Luna terlalu waspada ia spontan mundur dengan langkah dan ekspresi terkejut yang jelas. Dan hal itu membuat keduanya canggung.

"Aku semenakutkan itu kah?.", ucap Devan.

"Aku tidak tahu apa kau orang baik atau orang jahat. Aku tidak tahu apa yang kau sembunyikan dariku.", ucap Luna sembari mewaspadai Devan.

"Apa aku terlihat seperti orang jahat sepanjang aku berjalan denganmu?. Aku tidak menyembunyikan apapun."

Luna sejenak memikirkan kata-kata Devan dan membandingkan dengan ingatannya.

"Jika tidak menyembunyikan apapun, itu artinya kau menyangkalnya."

"Aku menyangkal apa?"

"Semua hal yang terjadi di sini, itu karena kedatanganmu.", Luna mulai melemparkan kalimat bertubi-tubi ke Devan.

"Kau sangat pintar menebak kejadian sebelumnya ketika melihat orang-orang desa yang mati, jadi tak mungkin kau tak mengerti. Aku yakin kau sudah mulai menyadarinya bahkan dari saat kau meninggalkan kota. Dan kau lebih menyadarinya ketika kau meninggalkan kota persinggahan. Padahal kau melihat kejadian dan petunjuk yang berulang-ulang pada tempat-tempat selanjutnya. Namun, kau selalu mengabaikannya. Kau selalu lari dari pikiranmu, seperti sekarang kau juga mau menyangkalnya, bahwa semua hal yang mati, itu karena...."

"Sudah kubilang aku tidak menyangkal apapun!!!", tiba-tiba Devan membentak, memotong kalimat Luna.

Luna tersentak, wajahnya ketakutan. Melihat Luna bereaksi seperti itu membuatnya tersadar dan menyesal.

Luna kemudian spontan berbalik berniat untuk lari. Namun dia tidak jadi sebab melihat pemandangan orang-orang terkapar di depannya yang baginya menakutkan.

Luna sempat lupa dengan ketakutannya terhadap suasana desa sebab ia fokus terhadap Devan. Kini ia dilema, ia ingin lari dari Devan, namun ia juga membutuhkannya untuk melewati desa.

Luna pun hanya berdiri menyamping, diantara Devan, dan penduduk desa yang terkapar. Luna menunduk kepala, menahan tangisnya agar tak keluar, tangan serta kakinya bergetar sebab ketakutan.

Melihat hal itu, Devan pun tak tega, ia berbalik. "Baiklah. Aku memang menakutkan. Larilah, aku tidak akan mengejarmu.". Setelah itu Devan berjalan menjauhi Luna.

"Mm..!", rintihan tangis Luna tak sengaja terkeluar ketika ia melihat Devan menjauhinya.

Devan pun menghentikan langkahnya menoleh ke arah Luna ketika mendengar rintihan tangisnya. Ia melihat Luna menatapnya dengan raut wajah sedih, matanya berlinang, bibirnya menekuk tertutup tanda ia masih berusaha menahan tangisnya.

Devan menjadi lebih tak tega. Devan pun menangkap keinginan Luna yang tak ingin Devan meninggalkannya. Kemudian ia berjalan dua langkah, lalu membungkukkan setengah badannya menghadap Luna.

"Maafkan aku, Luna. Aku berbicara kasar padamu."

("Aku malah membuat seorang gadis ketakutan.", sesal Devan dalam hati)

"A..Aku... tak bermaksud menuduhmu, Devan. Aku hanya ingin membantumu berfikir.", ucap Luna yang masih berusaha menahan tangisnya.

"Mm. Aku mengerti."

"Jadi aku mohon jangan tinggalkan aku, Devan. Di sini aku takut. Paling tidak antarkan aku dulu sampai melewati desa."

Devan dalam bungkuknya tersenyum mendengar Luna bicara terlalu jujur seperti itu.

"Eeeee. Bukannya tadi kau bilang kau tidak tahu, apakah aku ini orang baik, atau orang jahat?", ucap Devan dengan nada mengejek sembari tersenyum sinis kepada Luna.

"A...aku tidak punya pilihan.", ucap Luna dengan nada kecil, ia membuang wajahnya dan merunduk ke bawah.

"Baik-baik. Tentu saja aku tidak meninggalkanmu. Aku sudah bilang diawal, kalau aku akan mengantarmu sampai rumah.", Ucap Devan tersenyum.

Luna pun perlahan menenang. Wajahnya tidak lagi tegang sebab menahan tangis. Ia mengusap-ngusap matanya.

Sesaat kemudian, Devan mengingat perkataan Luna, dan mencoba merenungkannya. Ia satu per satu membenarkan perkataan Luna.

"Mengenai pembicaraan tadi, aku akui bahwa aku memang menyangkalnya, Luna. Mungkin aku takut, pada kenyataan bahwa aku seperti di jauhi oleh kehidupan, sehingga aku harus hidup sendiri di dunia ini. Berkat perkataanmu, aku terbantu. Aku menyadari, sebaiknya aku harus menerima keadaanku yang seperti ini, dan mulai berjalan pada jalan yang di takdirkan padaku. Terima kasih, Luna.", ucap Devan. Ia mulai membuka hati, dan menerima keadaan dirinya sendiri.

Luna tersenyum mendengar kalimat Devan. Ia pun mulai berjalan ke arah Devan. Tapi, tiba-tiba ...

"Aaakhh...", Devan kemudian merintih kesakitan sembari memegang kepalanya. Ia kehilangan keseimbangan lalu tertekuk lutut.

"Devan!, kau kenapa?", Luna melepaskan bunga-bunga dandelion yang ia peluk lalu segera bergegas menghampiri Devan.

***

Episodes
1 Episode 1: Terbangun
2 Episode 2: Kota Persinggahan
3 Episode 3: Gadis Peri
4 Episode 4: Mulai Menerima Diri
5 Episode 5: Petunjuk Untuk Devan
6 Episode 6: Rayyana, Negeri Di Awan
7 Episode 7: Bertemu Teman Luna
8 Episode 8: Pertarungan yang Tiba-tiba
9 Episode 9: Baik Tidak Selalu Benar
10 Episode 10: Kembali Ke Avalon City
11 Episode 11: Pertarungan Melawan Pria Di Tengah Kota
12 Episode 12: Malaikat Jatuh, Diri Devan Yang Sebenarnya?
13 Episode 13: Berbagai Kekuatan Mulai Bergerak
14 Episode 14: Aksi Melarikan Diri
15 Episode 15: Bias Moral
16 Episode 16: Menuju Lembah Sei Roja
17 Episode 17: Ancaman Datang Di Negeri Rayyana
18 Episode 18: Petir yang Mengejar
19 Episode 19: Bertemu Zivan
20 Episode 20: Kebenaran Luna yang Sebenarnya
21 Episode 21: Dibalik Filosofi Kediaman Zivan
22 Episode 22: Ireena, Si Pengendara Angin Dingin
23 Episode 23: Kisah Pemuda Dari Desa Zenetti
24 Episode 24: Morgan & Julian Melawan Ireena
25 Episode 24 Part 2
26 Episode 25: Sisi gelap Zivan
27 Episode 26: Konfrontasi Melawan Zivan
28 Episode 26 Part 2
29 Episode 27: Duel Dua Raja
30 Episode 27 Part 2
31 Episode 28: Ketenangan & Kegelisahan
32 Episode 29: Bersiap Menuju Langit Pertama
33 Episode 30: Penjara Langit dan Nenek Sihir.
34 Episode 31: Penyihir yang Mempermainkan Hati
35 Episode 32: Benih Kecurigaan Eris
36 Episode 33: Isla, Bangsa Jin yang Menjelma
37 Episode 34: Bisikan Para Iblis
38 Episode 35: Over Power Eris
39 Episode 36: Setitik Cahaya Dalam Kegelapan
40 Episode 37: Raziel Datang, Berakhir Dalam Satu Nafas
41 Episode 38: Intermission - Laporan Perjalanan Morgan & Julian
42 Episode 39: Intermission - Pertemuan Rahasia Oleh Putri Olivia
43 Episode 40: Arcana, Negeri Pendant Penuh Warna
44 Episode 41: Pengetahuan dari Arcana
45 Episode 42: Kesalahpahaman
46 Episode 43: Dibalik Pendant Gelang Devan Aria
47 Episode 44: Kabar Tentang Negeri Rayyana
48 Episode 45: Akademiya Rayyana
49 Episode 46: Peri yang dicintai angin
50 Episode 47: Konfrontasi Dua Entitas Tingkat Tinggi
51 Episode 48: 3 Lawan 1
52 Episode 49: Kekecewaan Istan
53 Episode 50: Kemunculan Isla, Mulai Terungkapnya Rahasia Aamon
54 Episode 51: Takdir Tak Berubah, Sebab Dirinya Tak Ingin Berubah
55 Episode 52: Dominasi Isla
Episodes

Updated 55 Episodes

1
Episode 1: Terbangun
2
Episode 2: Kota Persinggahan
3
Episode 3: Gadis Peri
4
Episode 4: Mulai Menerima Diri
5
Episode 5: Petunjuk Untuk Devan
6
Episode 6: Rayyana, Negeri Di Awan
7
Episode 7: Bertemu Teman Luna
8
Episode 8: Pertarungan yang Tiba-tiba
9
Episode 9: Baik Tidak Selalu Benar
10
Episode 10: Kembali Ke Avalon City
11
Episode 11: Pertarungan Melawan Pria Di Tengah Kota
12
Episode 12: Malaikat Jatuh, Diri Devan Yang Sebenarnya?
13
Episode 13: Berbagai Kekuatan Mulai Bergerak
14
Episode 14: Aksi Melarikan Diri
15
Episode 15: Bias Moral
16
Episode 16: Menuju Lembah Sei Roja
17
Episode 17: Ancaman Datang Di Negeri Rayyana
18
Episode 18: Petir yang Mengejar
19
Episode 19: Bertemu Zivan
20
Episode 20: Kebenaran Luna yang Sebenarnya
21
Episode 21: Dibalik Filosofi Kediaman Zivan
22
Episode 22: Ireena, Si Pengendara Angin Dingin
23
Episode 23: Kisah Pemuda Dari Desa Zenetti
24
Episode 24: Morgan & Julian Melawan Ireena
25
Episode 24 Part 2
26
Episode 25: Sisi gelap Zivan
27
Episode 26: Konfrontasi Melawan Zivan
28
Episode 26 Part 2
29
Episode 27: Duel Dua Raja
30
Episode 27 Part 2
31
Episode 28: Ketenangan & Kegelisahan
32
Episode 29: Bersiap Menuju Langit Pertama
33
Episode 30: Penjara Langit dan Nenek Sihir.
34
Episode 31: Penyihir yang Mempermainkan Hati
35
Episode 32: Benih Kecurigaan Eris
36
Episode 33: Isla, Bangsa Jin yang Menjelma
37
Episode 34: Bisikan Para Iblis
38
Episode 35: Over Power Eris
39
Episode 36: Setitik Cahaya Dalam Kegelapan
40
Episode 37: Raziel Datang, Berakhir Dalam Satu Nafas
41
Episode 38: Intermission - Laporan Perjalanan Morgan & Julian
42
Episode 39: Intermission - Pertemuan Rahasia Oleh Putri Olivia
43
Episode 40: Arcana, Negeri Pendant Penuh Warna
44
Episode 41: Pengetahuan dari Arcana
45
Episode 42: Kesalahpahaman
46
Episode 43: Dibalik Pendant Gelang Devan Aria
47
Episode 44: Kabar Tentang Negeri Rayyana
48
Episode 45: Akademiya Rayyana
49
Episode 46: Peri yang dicintai angin
50
Episode 47: Konfrontasi Dua Entitas Tingkat Tinggi
51
Episode 48: 3 Lawan 1
52
Episode 49: Kekecewaan Istan
53
Episode 50: Kemunculan Isla, Mulai Terungkapnya Rahasia Aamon
54
Episode 51: Takdir Tak Berubah, Sebab Dirinya Tak Ingin Berubah
55
Episode 52: Dominasi Isla

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!