"Aaaaaaaaaaaaa!!!", teriak keras pemuda itu hingga terlihat urat lehernya.
Setelahnya, pemuda itu pun merebahkan tubuhnya pada rerumputan yang menguning. Tepat di sampingnya terdapat parit kecil dangkal yang airnya jernih namun mengalir lancar hingga mengeluarkan suara desiran.
"Hadeuh, Beberapa tempat telah aku datangi, tapi hanya ada orang mati dimana-mana.", kata pemuda itu dengan nada agak lemas.
"Dimana lagi seorang yang masih hidup dapat aku temui?. Hidup sendirian di dunia yang luas ini, aku pasti menjadi gila.", lanjut pemuda itu berbicara sendiri.
Dua hari telah berlalu semenjak ia meninggalkan kota persinggahan. Pemuda itu telah sampai pada beberapa tempat, dan tak ada apapun yang ia temukan kecuali keadaan yang sama seperti sebelum-sebelumnya.
Pagi ini, pemuda itu begitu kusut. Semalaman ia berkendara. Ia sulit menerima hasil yang ia peroleh. Berhari-hari mencari seseorang yang masih hidup, namun hasilnya nihil. Hampir saja pemuda itu putus asa.
Pemuda itu pun bangun dari rebahannya. Berjalan dengan lututnya ke pinggir parit kecil. Ia mencelupkan wajahnya ke dalam air, setelah beberapa saat, ia mengangkatnya.
Pemuda itu menatap beriak air. Hanya sesaat, lalu beriak itu menyatu bersama air yang mengalir. Dalam tatapannya, ia melihat samar pantulan dirinya sendiri pada permukaan air.
"Bahkan soal diriku aku tidak tahu apapun."
Pemuda itu kemudian bangkit. Berniat untuk mengganti suasana, ia berjalan mengikuti aliran air ke arah yang berlawanan, dan meninggalkan motornya berdiri di tepi jalan setapak tanah kuning.
Arah itu membawanya perlahan mendekati tepi area yang banyak pepohonan. Area itu berada di atas gundukan tanah yang lebih tinggi. Dari tempat pemuda itu berjalan. Ia memandang pepohonan itu kering, daunnya menguning.
Gundukan itu setinggi pinggang pemuda itu. Ia kemudian melompatinya, dan menuju area tersebut. Di sana, ia tidak merasakan kelembaban apapun, kecuali sekedar dedaunan kuningnya yang banyak menghalangi sebagian sinar matahari mencapai dirinya.
Pemuda itu berjalan hingga menembus sisi lain area tersebut. Dari situ, ia melihat ruas jalan di dataran yang lebih rendah. Yaitu jalan setapak yang agak lebar dan tepiannya tumbuh rerumputan yang lebarnya lebih sedikit dari jalan setapak.
Pemuda itu tercengang melihat apa yang ada di depannya. Dari atas tempat ia berdiri, ia melihat rerumputan hijau segar menghiasi kedua sisi jalan setapak itu. Ia berjalan perlahan, matanya terbuka lebar, dan mulutnya menganga kecil.
Pemuda itu berlari, dan melompat ke bawah menuju ruas jalan itu. Ia berjalan ke tengah-tengah kumpulan rumput hijau, dan menjatuhkan salah satu lututnya, menurunkan kepalanya sembari menyentuh rerumputan itu.
"Ini benar-benar rumput yang hidup."
Pemuda itu mengangkat kepalanya dan memerhatikan semua rerumputan itu. Ia menoleh ke kiri-kanan bergiliran. Lalu ia berputar ke belakang, arah di mana ia datang. Salah satu tangannya menyentuh tanah, menumpu badannya agar tidak jatuh dari posisi jongkoknya.
Pemuda itu pun melihat rerumputan yang menguning, berada sejajar dan rapat dengan rerumputan hujau. Rerumputan yang hijau dan yang menguning itu seakan membentuk garis memanjang dari kedua sisi. Namun, garis-garis itu cekung seakan ia bagian dari garis lingkaran.
Pemuda itu pun berjalan ke sisi yang lain. Memotong jalan setapak, melewati rerumput hijau. Ia berjalan menanjaki gundukan tanah. Disitu, ia melihat hamparan tanah yang hijau, dan pepohonan yang rindang. Diantara pepohonan itu juga terdapat bunga-bunga yang tumbuh liar.
Pemuda itu menarik nafas panjang. Ia baru saja merasakan keteduhan yang dibawa oleh kelembaban udara pepohonan. Lalu ia pun beranjak semakin ke dalam, sembari menikmati suasana alam yang hidup.
Setelah beberapa saat pemuda itu berjalan, tahu-tahu ia keluar dari hutan kecil itu, dan tiba pada sisi yang lain.
"Whoaa!", pemuda itu berdecak takjub.
Terlihat hamparan hijau tanah yang lapang. Di atas hamparan hijau itu, tumbuh berjarak bunga-bunga dandelion yang tak terhitung, hampir memenuhi setiap meter area lapang tersebut. Disaat yang sama, hembusan angin sepoi-sepoi menerbangkan dandelion-dandelion itu ke udara.
Pemuda itu melangkah maju. Matanya memandangi bunga-bunga yang terbang di depannya. Terkadang pandangannya mengikuti kemana arah terbang bunga itu. Hingga suatu ketika, pandangannya terhenti pada sesuatu yang tak sengaja ia lihat.
Seorang gadis tengah duduk bersandar di bebatuan. Pemuda itu mendekat. Terlihat gadis dengan rambut panjang terurai kuning keemasan. Ia memakai pakaian serba putih berlengan panjang. Dasi pita biru muda di lehernya. Rok dengan panjang selutut. Kemudian sandal jepit bunga biru muda yang ia kenakan.
Terdapat pula lingkaran kuning bercahaya di atas kepalanya.
Gadis itu tengah asik meniup dandelion di tangan kanannya. Sembari memeluk banyak bunga-bunga dandelion di tangan lainnya.
Pemuda itu berhenti pada jarak tertentu. Cukup dekat. Tak lama untuk gadis itu menyadarinya dan menoleh ke arah lelaki itu.
Lama mereka saling menatap, gadis itu sampai memiringkan kepalanya.
"Haalo?", gadis itu mencoba menyapa.
"Hai?", pemuda itu masih ragu terhadapnya.
"Ouh, kau bisa melihatku??", kata gadis itu dengan nada tinggi. Gadis itu terkejut kemudian berdiri.
"Kauu... Hidup?", pemuda itu masih berdiri terpaku.
"Tentu saja aku hidup. Hey, kau benar-benar bisa melihatku!", gadis itu mendekat, mengelilinginya, mengamatinya atas-bawah. "Dan kau seorang manusia.", lanjutnya.
"Tentu saja aku bisa melihatmu. Apa yang aneh dengan itu?"
"Tentu aneh. Seharusnya manusia tidak bisa melihatku. Begitulah kata kakekku. Atau... apa kakekku berbohong padaku?"
"Aku tidak tahu. Tapi, kenapa manusia harus tidak bisa melihatmu?"
"Ya, itu karena aku seorang peri.", gadis itu menunjuk lingkaran cahaya di atas kepalanya.
"Hah?. Hm, oke." Pemuda itu tidak menanggapinya serius.
Bagi pemuda itu, gadis yang ada di hadapannya hanyalah gadis remaja biasa yang sedang bermain-main. Dari perawakannya ia menerka, bahwa gadis itu berumur kisaran 15-16 tahun.
"Oh iya, namamu siapa?"
Pemuda itu sesaat bingung. Ia tidak tahu mau menjawab apa. Sesaat kemudian, ia cepat teringat gelang karet yang ia kenakan.
"Devan.", pemuda itu pun menamai dirinya devan.
"Jadi Devan, apa yang kau lakukan di sini?, semua orang di desa Gardum sibuk bekerja. Kulihat, kau seperti pria usia 20 tahun-an yang seharusnya sibuk bekerja juga.", gadis itu berkata dengan ekspresi dan pandangan polos.
Devan tersenyum kaku, matanya menyipit. Ia berusaha dewasa menghadapi gadis kecil itu. Ia pun tidak menyangka gadis itu memikirkan hal yang sama dengannya, yaitu menerka umur lawan bicaranya. Hanya bedanya gadis itu blak-blakan.
"Kau tahu gadis kecil, membicarakan umur seseorang sebelum bertanya bukanlah hal yang baik. Dan juga, bukankah kau belum mengenalkan dirimu?", Devan tersenyum ke gadis itu, ia berbicara dengan sedikit membungkukkan tubuhnya kedepan, setelah itu ia kembali berdiri normal.
" Oh ya?. Hmm... tidak ada yang memberi tahuku soal itu.", kata gadis itu, sembari memikirkan perkataan Devan. "Dan hey, aku bukanlah gadis kecil. Kau tau, tahun ini aku 16 tahun." Lanjut gadis itu.
Gadis itu berfikir sejenak.
"Kau benar. Kupikir aku melakukan hal yang salah. Maafkan aku, Devan.", kata gadis itu sembari membungkukkan tubuhnya di hadapan Devan.
Devan menunjukkan tanda senang di wajahnya. Sekali lagi ia tidak menyangka, gadis di depannya ternyata cepat mengerti. Sebelumnya ia pikir gadis itu tipe yang keras kepala, sebab ia suka berbicara.
"Tidak apa-apa. Aku cukup senang kau bisa mengerti. Jadi nona, bolehkah aku tahu namamu?"
"Perkenalkan Tuan Devan. Namaku Luna. Umurku jalan 16 tahun.", ia berkata dengan sopan. "Jadi Tuan Devan, bolehkah aku mengetahui berapa umurmu, serta apa yang kau lakukan di sini?"
Devan merasa tersanjung, Luna mengikuti gaya bahasanya untuk bertanya sesuatu. Namun, disaat yang sama ia juga merasa agak tersindir, melempar balik gaya bahasanya untuk bertanya pada hal yang ia permasalahkan tadi. Devan pun merasa ia tak boleh merasa tersindir. Bagi Devan, Luna adalah gadis yang polos lagi sopan.
"Tidak perlu pakai 'tuan', panggil saja aku Devan. Aku tidak suka hal yang kaku. Sebagai gantinya, aku juga akan memanggilmu Luna, gimana?", Devan menuntaskan kalimatnya dengan senyum.
"Okke, kalau begitu aku setuju. Aku juga kesulitan bila terus bersikap seperti itu. Jadi Devan, berapa umurmu dan apa yang kau lakukan di sini?. Daritadi kau belum menjawab pertanyaan ini bukan. Te-he.", Luna kemudian tersenyum sinis, dengan sedikit tertawa mengejek kepada Devan.
("Cepat sekali gadis ini berubah.", ucap Devan dalam hati.)
Kali ini Devan merasa dipermainkan setelah sesaat lalu dibuat tersanjung. disaat yang sama, Luna yang polos dan sopan tiba-tiba lenyap dari benaknya. Bahkan berganti menjadi Luna yang agak licik. Disaat yang sama pula, Devan jadi yakin, perkataan Luna diawal tadi serta ekspresinya nan polos itu, hanya untuk mengelabui Devan agar memakluminya lalu memancing Devan bersikap sok dewasa.
Devan menarik nafas agak panjang. Ia berusaha menutupi kejengkelannya, serta mempertahankan sikap dewasanya itu.
"Umurku 20 tahun.", ucap Devan asal. Ia bahkan tidak tahu umurnya sendiri. "Aku berkelana, aku berasal dari tempat yang jauh. Hari ini aku hanya menghibur diri, jalan-jalan memasuki hutan kecil, kemudian, tak sengaja aku menemukan tempat ini."
"Menghibur diri?. Apa kau tertimpa masalah sulit?", ucap Luna ingin tahu. "Oh iya Devan, maukah kau jika kita bicara sambil jalan?, aku harus kembali sebelum siang."
Devan mengangguk, "Baikah, sekalian aku mengantarmu."
Sepanjang jalan, Luna melangkah melompat-lompat kecil, sesekali ia meniupkan dandelion dengan tangan kanannya. Walau begitu, Luna tetap mendengarkan Devan. Sesekali juga Luna menatap ke arah Devan saat bicara.
Devan juga hanya melihat Luna dengan senyum tipis. Bagi Devan, itu adalah kelakuan wajar bagi gadis seumurannya.
"Jadi Devan, kau punya masalah sulit kah?"
"Aku bahkan tidak tahu masalahnya apa, jadi aku tidak bisa mengukurnya. Aku sudah banyak melihat orang-orang tak bernyawa di setiap tempat yang aku datangi. Aku hampir tidak tahan, maka dari itu aku jalan-jalan menghibur diri.", ucap Devan sederhana, agar Luna mudah memahaminya.
"Sepertinya aku paham. Kematian itu menyedihkan dan menyeramkan. Aku juga takut dengan kematian. Kau tau, ini kali pertama aku turun ke bumi. Aku ditugaskan kakekku untuk melakukan sesuatu."
Saat itu, Sebenarnya Luna masih belum menangkap maksud sebenarnya dari perkataan Devan. Luna mengira Devan takut akan kematian sama seperti yang ia rasakan.
"Oh ya?, tugas apa yang kakek berikan kepadamu?", Devan pun memutuskan untuk mengikuti permainan Luna. Sebab pikirnya Luna terkadang agak licik, jadi ia mengalah dulu untuk memahami pola pikir Luna.
"Ia menyuruhku menjemput jiwa seseorang yang telah mati. Awalnya aku menolak. Sebab aku takut. Namun kakekku bilang, dia adalah manusia yang sangat baik. Aku akan melihat taman yang indah, dan mencium aroma jiwa yang wangi. Gara-gara itu aku jadi mau."
"Lalu, apa perkataan kakekmu benar?"
"Benar. Aku pergi ke pemakaman manusia. Aku sebenarnya takut, kau tau devan, aku benar-benar berusaha melawan rasa takutku agar aku mau masuk!", Ucap Luna antusias, ia sampai mengekspresikan usahanya dengan gestur tubuhnya.
"Oooooh.", tanggap Devan dengan memainkan intonasinya.
"Iyyaa!. Dan aku akhirnya berhasil masuk. Terus terus, aku sungguhan melihat, satu kuburan yang dia hijau sendiri. Di atas gundukan tanah itu, ada beragam bunga cantik yang aku belum pernah liat sebelumnya tauu."
Devan berpura-pura berfikir sejeak, "Hmmm, Benarkah?"
"Ya. Bagiku juga itu sulit dipercaya. Padahal manusia itu baru tadi pagi selesai dikuburkan, kenapa cepat sekali tumbuh bunganya ya?."
"Itu memang sesuatu yang sulit ku percaya.", tanggap Devan.
"Hey Devaan, kau harus percaya padaku!", tiba-tiba Luna melompat di hadapan Devan. Luna kemudian berjalan mundur melanjutkan perkataannya. "Karena manusia yang ada dalam kuburan itu, ternyata adalah manusia yang jiwanya harus aku antar ke langit."
"Aku khawatir, jangan-jangan kau salah membawa jiwa.", Devan tersenyum sinis.
"Elysia. Namanya Elysia kata kakekku, jiwa yang harus aku bawa. Mana mungkin aku salah. Aku sudah memastikannya, nama yang kakek sebutkan dengan nama di nisan kuburan itu. Disitu tertulis Elysia Ai..... Aira?. Eh benar tidak ya Aira?. Aku lupa nama belakangnya.
"Elysia.", Devan menyebut nama itu, ia merasa familiar. Hatinya merasa akrab, namun karena tidak mengerti, Devan mengabaikannya.
Luna pun kembali berjalan di sisi Devan.
"Aku baru tahu, kalau manusia baik mati, dia bisa menumbuhkan bunga-bunga yang indah. Kalau peri mati, ia hanya menjelma menjadi butir-butir cahaya, terbang, lalu menghilang di udara. Gara-gara itulah aku jadi takut mati."
Devan hanya menanggapi senyum, ia terkesan dengan perkataan Luna yang terakhir. Apa yang Luna ceritakan, bagi Devan terasa nyata, ia bahkan tak lagi peduli benar-salah pada perkataan Luna.
Sesaat kemudian, tiba-tiba langkah luna terhenti. Ia terdiam heran melihat keadaan di depannya. Sesaat kemudian Devan yang berjalan di sisinya juga berhenti.
"Luna?", panggil Devan.
"Devan. Rumputnya....semuanya kuning."
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 55 Episodes
Comments