Setelah berbicara beberapa menit dan berbasa-basi denganku, ibu pun langsung pada tujuan utamanya kenapa beliau menelponku.
"Nia, sebenarnya Ibu ingin membicarakan sesuatu hal yang sangat penting sama kamu, Nak, tapi ibu merasa tidak enak, dengan keadaan Ibu yang sakit-sakitan begini mau tidak mau Ibu harus mengatakan ini sama kamu, Nak," kata Ibu, bertele-tele.
Aku yakin, ibu pasti ingin membahas mengenai masalah keuangan lagi. Selain menanyakan kabar dan pekerjaanku, hal itulah yang memang menjadi topik utama pembahasan kami saat berbicara di telepon.
"Katakan saja, Bu. Tidak apa-apa," kataku.
"Mm ... begini, Nia. Tadi siang pak Norman datang lagi ke sini."
"Pak Norman bilang apa lagi, Bu?"
"Katanya kita harus segera melunasi hutang kita, Nak. Hutangnya sudah jatuh tempo minggu depan."
Dug. Tiba-tiba saja jantungku berdetak tidak karuan.
"Jatuh tempo, Bu? Minggu depan?" tanyaku, ingin memastikan kalau aku tidak salah dengar.
"Iya, Nak."
"Kenapa cepat sekali, Bu? Tidak bisakah mereka memberi kita waktu beberapa bulan lagi?"
"Sepertinya sudah tidak bisa, Nak. Ini saja mereka sudah memberikan kita kelonggaran selama 2 bulan untuk segera melunasinya." Aku bisa mendengar kalau ibu juga merasa sangat putus asa, sama sepertiku, tapi dia tidak bisa berbuat apa-apa karena kondisi fisiknya yang lemah. Beliau hanya bisa menggantungkan harapannya pada putri sulungnya seorang, yaitu aku.
"Ah, iya yah, Bu. Maaf, Nia lupa." Aku menepuk jidatku, kenapa aku bisa melupakan hal yang sangat penting seperti itu. "Sekarang, Ibu tenang saja dulu, jangan banyak pikiran. Nia akan mencoba mencari jalan keluarnya secepat mungkin."
"Maafkan Ibu ya, Nak. Maafkan ayahmu juga, kami hanya bisa menyusahkan kamu." Aku mendengar suara ibu bergetar, sepertinya beliau sedang menangis. Aku jadi ikut sedih.
"Sudah, Bu, jangan menangis. Nia tidak apa-apa kok. Sebagai anak tertua kalian, memang sudah waktunya Nia membalas budi. Selama 19 tahun, kalian sudah membesarkan Nia dengan sangat baik dan merawatku dengan penuh kasih sayang," kataku, mencoba menenangkan ibu agar berhenti bersedih karena dipenuhi rasa bersalahnya terhadapku. "Dan lagi, Ibu dan ayah sebenarnya tidak salah apa-apa, yang salah itu adik tiri ayah yang sudah tega menipu keluarga kita."
"Pamanmu itu memang benar-benar keterlaluan, tidak tahu diri, sudah dihidupi selama bertahun-tahun, tega-teganya dia membuat keluarga kita seperti ini." Jika mengingat si biang masalah itu, ibu pasti akan langsung emosi.
"Sudah, Bu. Ibu jangan marah-marah, tidak baik untuk kesehatan Ibu, ya?" kataku, mencoba menghibur ibu. "Kalau begitu, Ibu istirahat saja dulu, Nia akan mencoba menghubungi beberapa teman Nia untuk mencari pinjaman."
"Uang sebanyak itu, apakah ada yang mau meminjamkannya kepada kita, Nak? Kita 'kan tidak punya apa-apa untuk dijadikan sebagai jaminan."
"Tenang saja, Bu. Nia punya banyak teman yang baik kok, dan mereka pasti akan mau meminjamkan kita uang tanpa perlu diberikan jaminan."
Setelah memutus sambungan teleponku dengan ibu, aku menjatuhkan diriku ke lantai. Air mataku sudah tidak bisa aku bendung lagi. Berpura-pura kuat saat berbicara dengan ibu benar-benar sangat sulit. Selama waktu setengah tahun ini, aku benar-benar ditempa untuk menjadi pribadi yang lebih kuat dan harus tahan banting.
Kenapa masalah datang silih berganti tiada akhir? Apa yang harus aku lakukan sekarang? Darimana aku mendapatkan uang sebanyak 250 juta dalam waktu 1 minggu? Siapa yang akan berbaik hati meminjamkan uang sebanyak itu padaku?
Kalau aku tidak bisa menemukan pinjaman secepat mungkin, ibu pasti akan dipenjara. Aku tidak mau hal itu sampai terjadi. Ibu juga tidak mau aku yang menggantikannya menerima hukuman. Katanya, memiliki riwayat narapidana itu tidak baik untuk masa depanku kelak.
Tapi aku juga tidak bisa membiarkan ibu ditahan. Selama ini, beliau sudah terlalu banyak menderita. Dia kehilangan pria yang sangat dia cintai dalam waktu yang sangat singkat, tidak sampai 2 bulan. Dan semenjak ayah meninggal, ibu menjadi sering sakit-sakitan. Aku tidak mau ibu semakin menderita karena dijebloskan ke dalam penjara. Aku tidak mau terjadi sesuatu yang buruk padanya. Membayangkannya saja aku benar-benar tidak sanggup.
Saat aku tengah bersedih memikirkan nasib kami sekeluarga, tiba-tiba aku kembali teringat dengan tawaran pria bre****** itu. Apa mungkin, jika aku mau menerima tawarannya, dia akan mau memberikan aku uang sebanyak itu?
Tidak, tidak. Aku tidak boleh menyerah dan putus asa begitu saja. Aku harus mencari bantuan lain terlebih dahulu. Siapa tahu ada yang mau berbaik hati menolongku dan mau memberiku pinjaman. Aku masih belum rela menyerahkan mahkotaku kepada pria b****** seperti dia.
Aku segera bangkit mengambil sebuah buku catatan kecil beserta pulpen, kemudian mencoba mencari beberapa nomor kontak kerabat dekat kami yang tersimpan di ponselku. Setelah aku cari-cari dan pilah-pilah, ternyata ada sekitar 20 orang yang bisa aku hubungi. Diantaranya ada om, tante, dan kakak sepupu.
Pertama-tama, aku mencoba menghubungi saudara sepupu ayah. Seingatku, om Candra adalah seorang pengusaha yang cukup sukses. Kesuksesannya sekarang tidak jauh beda dengan ayah dulu, sebelum ayah bangkrut karena ditipu oleh adik tiri yang sudah dia beri kepercayaan besar di perusahaan.
Tut ... tut ... tut.
"Syukurlah, nomornya masih aktif." Aku menunggu om Chandra mengangkat panggilanku dengan harap-harap cemas. Setelah dua kali tidak ada yang menjawab, aku tidak mau menyerah begitu saja. Aku masih mau menghubunginya sekali lagi.
"Halo." Terdengar suara perempuan di ujung telepon. Aku yakin, itu pasti tante Rara, istrinya om Chandra.
"Halo, Tante Rara, ya?" tanyaku sopan, dengan suara selemah lembut mungkin.
"Iya. Ini dengan siapa, ya?" tanyanya.
"Ini saya, Tante, Rania. Om Chandra nya ada?"
"Oh, kamu. Ada apa mencari suami saya?" tanyanya dengan nada sinis.
"Begini, Tante, saya mau membicarakan suatu hal penting dengan om Chandra. Om Chandra nya ada 'kan?"
"Ada. Suami saya lagi mandi. Katakan saja, kamu mau bicara hal penting apa? Nanti saya sampaikan ke dia."
"Mm ... begini, Tante, saya mau ...." Aku menggantung ucapanku karena sebenarnya aku juga merasa tidak enak.
"Mau apa? Ayo cepat katakan. Saya sibuk." Semakin kesini nada bicara tante Rara terdengar semakin ketus. Aku jadi merasa semakin tidak enak.
"Saya ... saya mau pinjam uang, Tante."
Tut tut tut. Sambungan telepon kami langsung terputus setelah aku mengutarakan maksudku.
Jujur, aku merasa sangat sedih dan sakit hati. Tapi mau bagaimana lagi, itu hak mereka. Kalau mereka tidak mau meminjamkan aku uang, tidak apa-apa. Dan kalau pun ada yang mau, aku pasti akan sangat bersyukur dan berterima kasih.
B e r s a m b u ng ...
...__________________________________________...
...Halo para pembaca sekalian...
...yang sempat mampir....
...Jangan lupa tinggalkan jejak like,...
...komen, favorit, hadiah, serta vote-nya ya...
...setelah kalian selesai membaca bab ini...
...biar aku makin semangat nulis.😊...
...Kalau sudah, aku ucapkan terima kasih banyak.😁...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 87 Episodes
Comments
Liana Liana
Ujung2 menjual diri, gaya Sok suci Rania rania
2023-11-13
0
Norizan Abdullah
seru jalan ceritanya
2023-01-23
1
Norizan Abdullah
sangat sedap ceritanya
2023-01-23
1