Menemui_Anak_Juragan_Tanah
Bab: 02
Setelah kejadian itu, Abah dan Ambu lebih banyak diam, begitu juga dengan aku, rasanya segan untuk memulai pembicaraan. Sementara Bianca Mariana berkali-kali mengutus seseorang menyampaikan pesan, agar aku mau menemuinya di tempat kami biasa bertemu saat berpacaran, sejak sekolah menengah pertama hingga kini yah, ia wanita pertama yang mampu membuat aku jatuh cinta.
"A'a Bumi Respati!" Terdengar suara Neng Surtiyah yang terhitung masih kolega Bianca Mariana, ia sering berbelanja di warung kelontong tempat aku biasa mangkal bersama teman-teman sekedar membeli secangkir kopi.
Tampak ia tergopoh-gopoh sembari menggandeng adiknya, ia memanggil saat melihat aku di warung kelontong membeli rokok dan hendak kembali pulang. Seketika langkah kakiku terhenti.
"Ada apa atuh, Neng. Ngagetin pisan, euh!"
"Neng Bianca Mariana tadi kembali titip pesan, ke A'a Bumi. Agar sudi menemuinya. Kasihan padanya, atuh." Neng Surtiyah memohon padaku dengan gimik memohon.
Aku hanya diam dan sesekali menghisap dalam rokok agar sedikit menetralisir rasa yang bergejolak di dalam dadaku. Rasanya sudah enggan untuk menyebut dan membahas tentang Bianca Mariana apalagi untuk kembali bertemu.
Namun, ini entah sudah kali keberapa ia menungguku di tempat biasanya, tapi aku tak kunjung datang. Kejadian itu membuat hati ini perlahan mulai membencinya.
"Ayolah, A'a Bumi Respati. Kasihan padanya atuh." Suara Neng Surtiyah membuyarkan lamunanku.
"I-i-iya, semoga sore nanti aku bisa menemuinya tapi gak janji juga A'a, mah," jawabku terbata dengan mimik wajah penuh keterpaksaan.
"Alhamdulillah ... pasti Neng Bianca Mariana senang," balasnya kemudian ia pun beranjak pergi setelah membayar belanjaannya.
Di sepanjang jalan pulang, aku tak habis pikir kenapa tadi mengiyakan ajakan Bianca Mariana. Sesampainya di rumah seperti biasa Ambu hanya diam saat melihat kedatanganku dengan mengucap salam, beliau hanya menjawab salam dengan lirih.
Senja si ufuk barat sudah tenggelam, malam pun perlahan datang, saatnya aku menepati janjiku. Tampak Ambu dan Abah sedang makan malam di dapur, aku pun berpamitan.
"Ambu, Abah. A'a mau kelur dulu."
"Mau, kemana atuh, A'a?" tanya Ambu singkat, tampak Abah hanya menatap ke arahku dengan tatapan yang tak bisa aku artikan.
"Sudah gelap, mana gerimis ...." imbuhnya.
"Su-su-sudah terlanjur berjanji A'a, atuh. Ambu," jawabku terbata.
"Janji? Sama siapa?"Ambu bertanya padaku.
"Ne-ne-neng Bianca Mariana,"Aku menjawab terbata. Seketika Abah menatap tajam ke arahku.
"Emang, mau apalagi Neng Bianca Mariana minta ketemuan?"Ambu kembali bertanya. Ada rona tak suka tergambar di raut wajah senja itu mendengar penuturan dariku.
"Entahlah 'kan belum ketemu atuh, Ambu," jelasku sembari meraih tangannya kemudian mencium punggung tangannya dengan takzim. Aku tak berani menatap Abah apalagi meraih tangannya.
"Hati-hati, A'a!" Terdengar suara Ambu sesaat sebelum aku keluar dari pintu dan pergi.
Di bawah gerimis malam itu aku menyusuri jalanan desa menuju tempat biasanya kami bertemu. Mungkin Neng Bianca Mariana sudah sedari tadi menunggu. Aku pun mempercepat langkah kaki karena cuaca malam itu sangat tidak bersahabat, mungkin sebentar lagi hujan akan turun deras .
Sesampainya di rumah Neng Surtiyah, Neng Bianca Mariana sudah tampak duduk di teras rumahnya. Ia pun seketika menyambut kedatanganku dan mencium ujung jemariku. Aku mengusap lembut mahkota hitamnya yang ia biarkan tergerai panjang sampai bokong.
Selang beberapa menit kemudian Neng Surtiyah pamit masuk ke dalam rumah, mungkin ia memberikan ruang pada kami berdua untuk leluasa berbicara.
"Neng, A'a Bumi, aku masuk dulu, mau nemenin adik belajar."
"I-i-iya silahkeun ... Neng."
Sejenak kami hanya membisu diam seribu bahasa, serasa kelu lidahku untuk memulai pembicaraan. Netra Bianca Mariana tampak berkaca-kaca ia perlahan membuang napas yang begitu sesak menyumbat rongga dadanya, jelas tersirat di raut wajah ayunya. Kemudian ia mencoba untuk membuka percakapan dengan nada sedikit canggung.
"Ma-ma-maafkeun Abah ...."ucapnya terbata.
Aku tidak menjawab, rasanya begitu sakit kembali mengingatkan kejadian itu. Bianca Mariana terlihat grogi ia meremas jemari tangannya, mungkin karena melihat respon dariku yang dingin.
"Te-te-terima kasih, sudah berkenan datang," imbuhnya terbata.
Tidak tega juga rasanya mendiamkan dirinya. Kesalahan bukan terletak padanya, perlahan hati ini mulai luluh kembali.
"Iya, A'a dari kemarin mau datang, tapi masih enggan untuk ketemuan sama Neng, jawabku dingin dengan mimik wajah kecut.
"A'a ... masih marah sama Abahku?"
"Ya, siapa yang tidak marah, cobak! Tolong Neng Bianca Mariana pikir, gitu." Aku sedikit emosi dan berdiri untuk melangkah pergi. Tapi Bianca Mariana menarik tanganku dan seketika langkah kaki ini terhenti kemudian menengok ke arahnya.
Sekilas terlihat olehku bening mutiara perlahan menggelinding di pipinya. "A'a ... A'a!" panggilnya.
Aku kembali dan kini beradu pandang sembari memegang dua belah pundaknya.
"Neng, mau ngomong apa ke A'a? A'a, harus apa lagi! Hah!"
Ia seketika menangis tersedu merebahkan kepalanya di dadaku. Perlahan rasa iba mendominasi ruang hati ini, melihat pujaan hati meringis menahan rasa sakit di dadanya. Ia akan di nikahkan segera, jika aku tak bisa menyetarakan status sosial ekonomi kami, jelasnya panjang lebar.
"Sudahlah, Neng terima saja. Mungkin ini sudah takdir Tuhan, A'a coba ikhlas untuk kebahagiaan, Neng."
"A'a, tidak akan melupakan Neng. Neng Bianca Mariana tetap ada di hati A'a untuk selamanya, walau kita tidak bisa bersatu dalam ikatan suci pernikahan."
Mendengar penuturan dariku ia justru semakin tersedu. "A'a ... tega!" pekiknya sembari memukul keras dadaku berkali-kali.
Segera kuraih jemari tangannya dan mendekap erat tubuhnya, larut dalam pelukku malam itu. Hingga tangisnya pun reda, hujan kini turun semakin deras membasahi bumi seakan ikut larut dalam kisah cinta kami yang terhalang status sosial. Begitulah di desa kami, yang kaya layaknya raja dan penguasa, menang sendiri, bahkan mencekik kami para fakir dengan dalih pinjaman uang, kemudian menjerat dengan bunga berlipat ganda, itulah yang di lakukan Haji Romli hingga menjadi orang terkaya turun temurun di desa, membuatnya semakin congkak saja.
"Bukan begitu, maksud A'a. Hanya saja rasanya mustahil Neng bertahan menunggu kedatangan A'a dari rantau, karena belum tentu sukses bisa direngkuh secepatnya, karena A'a bukan lulusan Sarjana seperti calon suami Neng, pilihan Abah Haji Romli," jelasku panjang lebar.
Tampak Neng Bianca Mariana mulai memahami maksud penuturan dariku, ia mencoba sedikit tersenyum walau tampak getir di sudut bibirnya yang tipis.
"Aku akan coba terus bertahan, sampai A'a Bumi Respati datang, tolong jangan lupa selalu kirim surat untuk Neng."
"Ingat, Neng selalu menunggu kabar A'a Bumi Respati, apapun itu," imbuhnya panjang lebar.
Kembali aku memeluk erat tubuh gadis pujaan hatiku dan menghirup dalam aroma tubuhnya. Ia pun memelukku erat, serasa engan untuk melepaskan kepergian malam itu.
"Neng, hujan sudah reda pulang, gih.Takut jika nanti Abah Haji Romli mencari dan menemukan kita di sini," pintaku sembari menatap dalam bola mata indah itu untuk terakhir kalinya.
"Iya, A'a. Neng pamit .... tolong titip jagain cinta Neng, rindu Neng, sayang Neng yang tulus ini di hati A'a Bumi Respati, jangan tergoda dengan cewek kota, ya." Ia kemudian kembali merebahkan tubuhnya dalam pelukku malam itu hingga jelas terasa detak jantung kami yang saling beradu napas kami pun memburu meredam getaran cinta yang akan terpisah jarak entah sampai kapan.
"Percayalah ... sekeras apapun ombak, badai menerpa, untuk memisahkan kita, jika memang takdir untuk bersatu, pasti akan tetap kokoh berdiri, cinta kita berdua kelak akan bersanding dalam ikatan suci pernikahan," ucapku melepas pucuk jemari tangannya.
Ia kemudian melangkah pulang, menyibak pekatnya malam desa kami. Begitu juga denganku setelah berpamitan pada Neng Surtiyah aku bergegas pulang, di bawah gemericik rintik hujan yang mulai reda.
Sesampainya di rumah, aku berkemas malam itu, karena akan pergi ke Jakarta, menyusul sahabatku yang menjanjikan pekerjaan dengan gaji lumayan, menggiurkan untuk seorang yang hanya mengenyam pendidikan menengah atas. Namun, menurutnya penampilan dan fisikku mendukung untuk pekerjaan yang akan ia berikan.
Abah dan Ambu sangat mendukung atas keputusanku kala itu, mungkin mereka senang jika aku bisa jauh dari anak juragan tanah itu. Bahkan Abah meminta agar aku segera pergi dari desa secepatnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 53 Episodes
Comments
Ely Combro
makin penasaran bacanya
2022-04-16
0
Mahesa Noe
next
2022-04-16
1
X_LM
semangat,thor
2022-04-07
1