Bab 03 Mencari Kerja Di Kota
Saat itu Adie Permana datang dari Jakarta setelah sekitar nyaris dua tahunan ia pergi tak pernah sekalipun sambang ke desa, tapi ia selalu rutin mengirim pundi-pundi rupiah pada kedua orang tuanya, hingga akhirnya mereka menjadi orang yang lumayan mampu secara ekonomi kini di desa sekarang.
Adie kini berubah menjadi sosok lelaki yang tampan dengan fashion yang kekinian khas cowok Kota Metropolitan, cara bicaranya pun sudah berubah tak lagi sepertiku masih polos dengan cengkok khas desa.
"Hoy .... Apa kabar? Brooooo!"
Saat bertemu denganku di kios tempat biasa para bujang desa berkumpul untuk sekedar nongkrong bareng dengan memesan secangkir kopi, ia lalu mengulurkan tangan menyapa kami satu persatu tanda persahabatan.
"Baik, atuh. Gimana dengan kamu? Makin ganteng pisan, euh,"ucapku seraya menjabat tangan dan menepuk bahunya.
Tampak ia hanya tersenyum simpul dan segera duduk membaur bersama kami, ia kemudian bercerita panjang lebar tentang pekerjaannya di Jakarta, dan niatnya pulang kampung untuk mengajak serta teman-teman sebaya yang ingin merubah nasib agar bisa sepertinya.
Ada beberapa temanku yang ikut serta saat ia kembali ke Jakarta waktu itu, dan benar saja semua temanku mampu menopang kehidupan bahkan mengangkat keluarganya dari belenggu jerat kemiskinan.
Itulah sebabnya, aku masih terngiang oleh tawarannya karena menurut pengamatan dirinya sosok seperti aku akan dengan mudah mengais pundi-pundi rupiah.
"Yakin? Gak mau. Dan gak tertarik dengan tawaranku?" tanyanya memastikan saat akan berangkat menggunakan mobil pribadi hasil kerja kerasnya.
Sejenak aku berpikir waktu itu ingin rasanya ingin ikut serta, akan tetapi saat aku mengutarakan perihal niatku pada Neng Bianca beberapa hari sebelumnya ia tidak mengijinkan untuk pergi .
"A'a ... tolong jangan tinggalkan, Neng." ungkapnya memelas.
Itulah sebabnya aku menolak ajakan Adie Permana sekitar satu tahun yang lalu.
Tidak terasa sang fajar sudah menampakan batang hidungnya. Suasana pagi itu cukup cerah, secerah tatapan masa depanku yang sudah di depan mata, akan segera kuraih dengan tekat yang kuat demi cinta sejati yang akan setia menanti sukses, dan kembali untuk membawanya dalam mahligai suci.
"Nak, ... sudah mau berangkat?" Ambu bertanya, saat aku keluar dari kamar dengan ransel berisikan beberapa potong pakaian di dalamnya.
"Iya ...." Aku menjawab singkat.
"Gih, minum kopinya dulu."
"I-i-iya ... Ambu," jawabku terbata.
Aku segera melangkah dan duduk di samping Abah yang sedang menikmati secangkir kopi.
Abah pun memberikan restunya dan memberi banyak petuah untuk bekal hidup di kota besar Metropolitan.
Maklum saja ini kali pertama aku meninggalkan mereka dan pergi untuk waktu yang mungkin cukup lama. Sementara Ambu kembali sibuk di dapur menyiapkan hidangan sarapan pagi.
"Udah dulu ngobrolnya." Terdengar suara Ambu di dapur.
"Ayuk, sarapan bareng dulu." Abah mengajak aku untuk sarapan pagi bersamanya.
Akhirnya kami pun sarapan bersama, tampak ada gejolak batin yang coba mereka sembunyikan dariku, tampak jelas tersirat dari sudut netranya, mereka berat melepaskan kepergian ini, maklum saja aku adalah anak satu-satunya yang mereka miliki.
Selang beberapa waktu setelah selesai sarapan, akhirnya beberapa saat kemudian aku pun berpamitan pada Ambu dan Abah.
"Aku berangkat dulu, mohon restu dari Ambu," pamitku.
Sembari meraih jemari tangannya kemudian mencium punggung tangan itu dengan takzim.
Ambu seketika memelukku erat ia tak lagi mampu menahan bulir bening yang menggantung sedari tadi di sudut netranya. Abah mengelus bahu Ambu memberikan sedikit kekuatan pada wanita pendamping hidupnya itu.
Aku pun memeluk erat tubuh Ambu wanita yang telah melahirkan dan merawat, hingga dewasa. Batinku seketika serasa rapuh saat kembali mengingat betapa diri ini telah melukai hatinya karena hinaan Haji Romli.
"Restu Ambu untuk Nak Bumi Respati, semoga sukses bisa di gapai Nak Bumi, anak Ambu. Jangan lupa jika pulang bawakan juga Ambu calon menantu dari kota, Ambu ingin Bumi menikah dengan orang lain, bukan sama Neng Bianca Mariana anak orang sombong itu!"
"Aamin ...." sambungku.
Aku mengamini ucapan pemilik surgaku itu, walau serasa pahit atas permintaannya, melupakan wanita yang aku cintai.
Aku mendekapnya erat, ia pun luruh dalam pelukku, sesaat kemudian aku pun berangkat setelah sebelumnya sudah berpamitan pada Abah.
Hari itu aku meninggalkan desa yang terletak di pinggiran Kota Bandung menuju Jakarta menggunakan jasa transportasi bus, perjalanan menuju Jakarta memakan jarak tempuh sekitar empat jam.
Rasanya begitu lama perjalanan, saat bus itu mulai melintasi jalanan yang sangat asing buatku, deretan gedung dan bangunan mewah kokoh berdiri di sepanjang jalan.
Akhirnya sampai juga kini di Terminal bus Kampung Rambutan.
Dengan menenteng tas ransel, hanya mengenakan kaos oblong warna hitam dan celana jeans warna biru dongker sementara kaki hanya beralaskan sandal jepit, langkah kaki ini gontai turun dari bus.
Mataku pun mencari-cari keberadaan Adie Permana, ia sudah membalas surat dariku dan akan menjemput itu janjinya.
Tiba-tiba saja aku di kejutkan oleh suara seseorang dari arah belakang.
"Bro! Akhirnya sampai juga lo, di Jakarta!"
Adie meledekku dengan logat khas Jakarta, rupanya ia sudah sedari tadi menunggu kedatanganku.
"Ah, gue pikir lo hilang ... haa ... ha ... a!" candanya lagi.
"Enak, aja. Huf ...!" balasku dengan nada sedikit kesal.
"Bisa jadi dong, kalo gue kagak jemput lo gimana? Hah. Yakin lo bisa nemuin gue!?"
"Ah, bisa juga mah, atuh. Aku tersesat ...."
"Haaha ... haa ... ha ... aa."
Seketika kami pun tertawa bersama sembari berjalan ke arah tempat dimana mobilnya terparkir.
Akhirnya kami pun sampai di tempat parkiran. Mataku sontak terbelalak lebar dan terkejut saat melihat mobil milik Adie sudah ganti dengan tipe yang lebih mewah.
"Waaaoooww ... kamu mah, keren pisan, euh," ucapku sembari mengusap-usap bemper mobil Mercedes Benz warna hitam.
"Haaa ... haa ... ha ... a!" Adie berkelakar.
"Halah .... Dasar! Kampungan. Lo!" imbuhnya kembali berkelakar, sembari masuk ke dalam mobil.
"Ntar lo bisa juga beli apa yang lo mau. Mungkin melebihi aku, Ferarri, Lamborghini mungkin? Haa ... ha."
"Ah, aku mah belinya yang standar aja, buat nganterin jalan-jalan Neng Bianca, entar di desa," celetukku polos.
"Halah ... masih aja lo sebut nama gadis desa itu! Ini Metropolitan. Broo!" Adie menepuk keras punggungku.
"Ahkh! Sakit tauk."
"Ntar lo balik kampung beli tuh nyawa Haji Romli sekalian. Haa ... haa."
"Dah. Ayok ....!"
Aku pun masuk ke dalam mobil mewah miliknya wah, rasanya seperti di surga saja saat mobil itu melaju dengan kecepatan tinggi melintasi jalanan kota Metropolitan. Dentuman musik keras serasa nyaris memecah gendang telingaku.
"Kecilkan dikit atuh, volumenya!" perintahku pada Adie, tapi tak juga ia indahkan sesekali ia mengangguk-anggukan kepalanya mengikuti dentuman keras lagu Its my life.
Ia pun tersenyum menoleh padaku.
"Ntar lo juga terbiasa dengan dentuman musik keras. Brooooo!" timpalnya.
Akhirnya mobil pun berhenti di area pusat perbelanjaan.
"Mau ngapain, ke sini, Die?"
"Ikutin aja gue, haa ... ha ... a!" kelakarnya sembari menepuk keras punggungku.
"Pikasebeleun(sialan)!" umpat ini, seraya mengikuti langkah kakinya masuk ke dalam pusat perbelanjaan.
"Lo ingin tahu, mau ngapain gue ngajak lo, kemari? Hah! Gue mau dandani sahabat cupu gue agar keren sebelum masuk apartemen gue. Haa ... haa!" ungkapnya.
"Si Adie, mah. Dasar cicit Nek Romlah. Huff!" gerutu ini kesal.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 53 Episodes
Comments
Ely Combro
sekali baca gak bisa berhenti, keren buat penasaran ceritanya.
2022-04-16
1
Mahesa Noe
next kak
2022-04-16
0
X_LM
semangat,Thor👍👍👍
2022-04-07
1