Seperti halnya anak sekolah lain, Kenan juga duduk di kursi mengikuti pelajaran dengan tenang. Ia dan Yuki satu angkatan, tapi beda kelas.
Puk!
Sebuah gulungan kertas mengenai kepala Kenan yang sedang serius merangkum penjelasan guru. Dia memang selalu begitu, jika tidak, tak akan ia lanjut bersekolah di sekolah elit tersebut. Kenan harus mempertahankan beasiswanya.
Bel istirahat berbunyi, guru berpamitan setelah memberikan tugas harian pada semua murid di kelas. Kenan masih duduk di bangkunya saat Regan menghampiri.
"Kau tidak ke kantin?" Ia menepuk bahu sahabatnya, Kenan bergeming pada sebuah kertas di tangan.
"Apa lagi ini?" Regan mengambil kertas di tangan Kenan dan membacanya, "untuk apa mereka memintamu ke lapangan belakang sekolah?" lanjutnya bertanya setelah membaca tulisan di kertas tersebut.
"Aku tidak tahu. Kau tahu, sekeras apa pun aku mengindari masalah, tapi masalah itu yang datang sendiri kepadaku. Aku tidak tahu lagi harus apa? Mereka pasti akan membuat ulah lagi," keluh Kenan. Ia menjatuhkan kepala di atas meja, punggungnya naik dengan lambat dan turun kembali dengan cepat.
Tepukan dua kali di punggungnya sebagai dukungan dari seorang sahabat. Kenan sendiri tidak mengerti kenapa orang-orang kaya di sekolah itu, selalu saja membuat masalah dengan-nya. Menyuruh ini dan itu, memintanya melakukan ini dan itu sudah seperti pelayan saja.
"Kau bisa menolak mereka kalau kau ingin, Kawan! Katakan saja kau tidak suka mereka melakukan itu. Selama ini kau terlalu lemah dan mudah ditindas. Sebenarnya bukan karena mudah ditindas atau pantas direndahkan, tapi karena kau membiarkan mereka menindas dan merendahkan dirimu," ucap Regan yang seketika membangkitkan darah beku dalam otak Kenan.
Darah itu bereaksi, memberikan gelenyar aneh ke seluruh bagian tubuh Kenan. Keberanian, keyakinan dan kepercayaan diri yang terkubur secara perlahan bangkit dari dalam hatinya. Ketakutan, kecemasan, kelemahan, dan sifat pasrah yang selalu ia punya pun berangsur-angsur melepaskan diri dari tubuhnya.
Bukan karena mudah ditindas atau pantas direndahkan, tapi karena kau yang membiarkan mereka menindas dan merendahkan dirimu.
Kalimat Regan mengiang-ngiang di telinganya. Setiap kata yang diucapkan temannya itu menari-nari dalam otak kecilnya.
Kenan beranjak berdiri dengan aura yang berbeda. Ada tekad di matanya, ada keberanian di garis wajahnya.
"Kau benar, aku bisa menolak jika aku tidak mau. Aku tidak akan lagi membiarkan mereka menindasku apalagi merendahkan aku." Ia jatuhkan lirikan tajam pada Regan yang tertegun di sampingnya.
Kenan tersenyum, tubuhnya berbalik berhadapan dengan teman yang masih mematung itu. Ia menepuk bahu Regan dan merengkuh tubuhnya.
"Terima kasih, Kawan! Terima kasih!" katanya sambil menepuk-nepuk punggung Regan sedikit kuat.
"Awh ... le-lepaskan! Kau terlalu kuat memelukku, Kenan? Sesak!" Ia termundur dengan napas yang tersengal-sengal kala Kenan melepas pelukannya. Tangannya memegangi bagian dada yang terasa sesak.
"Oh ... jantungku! Apa kau baik-baik saja di dalam sana?" katanya lebay. Jemarinya mencengkeram bagian dada, sedikit meremasnya saat sakit itu masih terasa.
"Apa benar aku terlalu kuat? Aku melakukannya seperti biasa," kilah Kenan dengan bingung. Ia pandangi kedua tangannya, ada beberapa urat yang sedikit menonjol dan nampak jelas kebiruan.
"Ada apa denganmu, Kenan? Apa kau mengalami keajaiban setelah melompat dari atap gedung sekolah kemarin?" tanya Regan yang perlahan menormalkan jantungnya.
Kenan sendiri masih dilanda bingung. Ia tidak tahu, dan memang belum merasakan efek apa pun. Teringat akan asbak yang diremasnya hingga menjadi abu semalam.
"Regan, kau tahu? Semalam aku bahkan meremas asbak keramik dan ... dan langsung menjadi abu. Aku tidak menyadari itu, mungkin hanya suatu kebetulan karena benda itu sudah rapuh dimakan usia." Teringat akan ember yang dipecahkannya saat mencuci.
Bagaimana kalau Bibi tahu? Dia akan dimarahi habis-habisan. Regan membelalak saat mendengar ceritanya.
"Jadi abu? Kau yakin itu kebetulan?" pekik Regan tak percaya. Raut wajahnya menegang saat membayangkan sekuat apa Kenan saat meremas asbak itu.
"Ayo!" Kenan tak menyahut, ia mengajak Regan keluar kelas dan pergi ke tempat biasa mereka duduk berdua. Taman sekolah, di bawah pohon mangga yang rindang.
"Kenan!" Suara khas perempuan membuat keduanya mendongak.
"Yu-yuki!" Kenan tergagap tiba-tiba. padahal, tadi baik-baik saja. Regan mengernyit melihat Yuki berdiri membawa minuman di tangan.
"Ini, kau pasti haus. Aku sengaja membelinya untukmu." Yuki memberikan minuman kepada Kenan.
Terjatuh rahang Regan melihat perhatian Yuki untuk temannya itu.
"A-apa i-ini?" tanyanya belum ingin menerima minuman dari Yuki.
"Ini untukmu, minuman. Hanya jus buah saja, aku sengaja membelikannya untukmu. Terimalah!" Yuki memberikan jus di tangannya pada Kenan. Dengan tangan gemetar Kenan menggenggam gelas jus tersebut.
Yuki tersenyum, hal itu membuat gugup Kenan semakin menjadi. Keringat kasar bermunculan di dahi tanpa diundang. Regan yang melihat sudah terbiasa dengan hal itu. Ia pikir dengan perubahan diri itu, gagapnya akan berubah, tapi ternyata penyakit itu sudah mendarah daging dalam tubuh Kenan.
Yuki melambai sambil berlalu dengan riang. Ia berjingkrak, melompat kecil persis anak kecil yang baru saja mendapatkan mainan.
"Hei, kau tidak membelikan aku juga?!" seru Regan tidak terima kenapa malah Kenan yang mendapat perhatian dari gadis primadona itu.
"Kau bisa membelinya sendiri kalau kau mau!" Ia balas berteriak sambil terus berlalu dan hilang di dalam gedung sekolah.
Regan mendengus, ia menatap tak percaya pada Kenan yang masih menggenggam gelas jus dengan tangan gemetar.
"Heh ... kau beruntung sekali mendapat perhatian darinya. Teddi saja yang mengincar, tak ia perhatikan sama sekali. Ada apa denganmu hingga kau bisa menarik perhatian Yuki?" Ia mengumpat dalam hati.
"Lihat, baru begitu saja tanganmu tidak berhenti gemetaran. Bagaimana kalau dia menciummu?" Kenan membelalak. Hampir jatuh gelas jus di tangannya jika Regan tak sigap menangkap.
"Wah ... sayang sekali, padahal Yuki memberikannya dengan penuh perhatian, tapi kau malah menyia-nyiakannya. Biar aku saja yang minum." Regan mendekatkan minuman itu pada bibirnya. Namun, sebelum ia menyatu dengan bibir itu, Kenan menyambarnya secepat kilat.
"Ini milikku! Enak saja, dia bilang kau bisa membelinya sendiri. Pengertian sekali." Kenan mencibirkan bibir sembari mengambil tempat duduk di samping Regan.
Cih!
Regan berdecih, ia berpaling saat Kenan sengaja mengejeknya.
"Ini, kau mau mencobanya, bukan? Aku sisakan untukmu." Kenan memberikan gelas jus tersebut pada Regan. Lumayan, masih setengah tersisa.
"Ah ... kau memang sahabatku! Jus ini aku memang bisa membelinya jika ingin, tapi ini berbeda." Regan menyeruput jus tersebut hingga tandas.
Kenan mendengus, ia beranjak dan pergi begitu saja meninggalkan Regan.
"Hei! Tunggu, kenapa kau meninggalkan aku!" Regan gegas berlari menyusul. Saling senggal dan senggol sudah menjadi kebiasaan mereka.
"Ada jam olahraga, apa kau akan melewatkannya lagi?" tanya Regan setelah ia berhasil menyusul.
"Aku tidak tahu, aku tidak begitu pandai olahraga. Apa lagi basket, aku akan menonton saja," sahutnya selalu seperti itu.
Regan menepuk bahu Kenan, mereka berpisah. Kenan pergi ke lapangan untuk menonton, sedangkan Regan pergi ke ruang ganti untuk latihan. Di sudut kursi penonton itu, Kenan duduk seorang diri di pojokan. Menunggu Regan yang akan berlatih tanding dengan yang lain.
"Kenan?" Suara Yuki membuat remaja itu diselubungi kegugupan. Kenapa selalu tiba-tiba seperti ini.
"Yu-yuki? Ka-kau mau me-menonton ju-juga?" tanyanya terbata. Keringat langsung saja mengucur dengan deras.
"Mmm ... ya, aku ingin menonton. Boleh aku duduk di sini?" Tangan Yuki menunjuk kursi di samping Kenan.
Bingung, apa yang harus ia lakukan. Sudah pasti sepanjang permainan nanti, Kenan akan gelisah dan tak akan bisa menikmati jalannya permainan.
"I-iya, bo-boleh." Tergagap ia bicara. Itu membuat Yuki gemas sendiri. Ia sengaja duduk berdampingan dengan remaja itu. Menggoda Kenan menjadi hiburan tersendiri untuknya. Entah kenapa dia suka di saat Kenan berbicara tergagap.
"Mmm ... apa kau akan mengantar adikmu pulang terlebih dahulu ke rumah?" Kenan mengangguk menjawab pertanyaan Yuki.
"Kalau begitu, aku akan ikut mengantar. Tidak apa-apa, bukan? Karena sore nanti aku ingin berjalan-jalan dan kau yang mengemudi," ucap Yuki seenaknya.
"Ta-tapi, a-aku ha-harus be-bekerja setelah mengantarmu pu-pulang." Yuki mendengus, kesal dan sebal.
"Bukankah sudah aku katakan, kau akan bekerja padaku. Lupakan pekerjaanmu dan mulai hari ini bekerjalah untukku," sergah Yuki dengan cepat.
"Kau bisa memikirkannya sampai kita pulang nanti. Jadi, putuskan dengan cepat." Ia menyenggol bahu Kenan. Sesuatu berdesir dalam dirinya. Kenan memalingkan wajahnya yang memerah.
Ah, perasaan apa ini? Aku baru pertama kali merasakannya.
Syut!
Hup!
Sebuah benda bulat melayang ke arah mereka, tepatnya mengincar wajah Kenan. Ketegangan terjadi di antara semua orang sesaat bola itu berhenti tepat di hadapan wajah Kenan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 90 Episodes
Comments
Regilius
Bagus juga kata-kata yang lu buat thor
2022-05-06
1
Jimmy Avolution
Ayo....
2022-04-05
1
lidia
psti ad nie pelindung kenan tnpa d sadari
2022-04-03
1