"Jangan mati sebelum kau melunasi hutangmu!"
Kecaman Yuki terngiang-ngiang di telinga Kenan hingga larut malam ia tak dapat memejamkan mata jua. Kalimat pendek mengandung ancaman itu diucapkan Yuki sebelum ia dan dua temannya pergi meninggalkan Kenan di jembatan.
Senyumnya, tatapannya, bahkan sentuhan jari telunjuknya di dada Kenan masih dapat ia rasakan sampai detik itu. Entahlah, ada sesuatu yang berdesir di hatinya, tapi bukan angin. Sebuah rasa asing yang menghantarkan gelenyar aneh hingga ke otaknya.
"Ah ... Sial! Bagaimana nanti aku melakukannya? Aku selalu gugup saat berhadapan dengan wanita." Mengumpati diri sendiri. Kenan berguling ke kanan dan kiri menepis rasa malu juga gugup untuk esok bertemu dengan Yuki.
Ia berhenti dengan napas yang tersengal-sengal. Memandang langit-langit kamar yang berwarna suram. Di sanalah ia tinggal, di ruangan sempit yang hanya ada kasur dan lemari plastik kecil saja.
"Kakak!" Tiba-tiba pintu kamarnya terbuka. Pintu yang hanya terbuat dari triplek tipis itu hampir roboh karena sudah seharusnya diganti.
"Kiran?" Kenan membeku, ia beranjak duduk ketika melihat sang adik yang berdiri dengan tangisannya di ambang pintu.
"Kemarilah, sayang! Tidak apa-apa," katanya seraya membentangkan tangan menyambut tubuh kecil adiknya.
Kiran berlari dan menjatuhkan diri dalam pelukan Kakaknya. Menangis semakin menjadi sambil mengeratkan pelukan. Kenan mengusap rambut panjang sang adik dan mencium puncak kepalanya.
"Sudah, jangan menangis!" katanya memenangkan.
"Mereka bilang Kakak mati, mereka bilang Kakak meninggalkan aku sendiri. Mereka bilang Kakak tidak akan pernah kembali lagi. Mereka bohong, bukan? Mereka berbohong ... aku tahu Kakak belum mati, aku yakin Kakak akan kembali. Aku tidak percaya pada mereka, Kak." Tersedu sedan gadis itu menumpahkan isi hatinya.
Kenan memejamkan mata, hatinya sakit mendengar itu. Mereka teringin sekali Kenan mati. Rengkuhan di tubuh rapuh itu menguat. Rambut yang berbau shampo itu diciuminya berulang-ulang.
Kenan melepas pelukan, diusapnya pipi sang adik menyingkirkan air yang menggenanginya. Dahi sempit itu ia kecup, ia benamkan wajah sang adik dalam dadanya. Dialah satu-satunya harta yang ia miliki. Orang yang sangat ingin ia lindungi dan bahagiakan sepanjang hidupnya.
"Mereka berbohong, sayang. Mereka memang selalu berbohong, jangan pernah mempercayai ucapan mereka. Kakak di sini bersamamu dan akan selalu menemanimu, jangan menangis lagi." Sakit hati Kenan mendengar tangisan sang adik yang begitu pilu.
"Kakak tidak apa-apa, tidak ada yang bisa menyakiti Kakak. Mau tidur di sini?" Kenan melepas rengkuhan, disapunya kembali air itu. Ia sedikit menunduk, melihat dengan jelas wajah sang adik.
Anggukan kepalanya menjawab ajakan Kenan. Di atas kasur yang sempit itu, mereka berbagi tempat tidur. Kiran memeluk tubuh Kakak yang ia tangisi hampir seharian ini karena mendengar kabar bohong dari sepupunya.
"Kau sudah makan? Kalau lapar Kakak punya roti, kau bisa memakannya terlebih dahulu sebelum tidur." Kenan merapikan anak rambut adiknya yang menghalangi wajah lugu itu ketika ia mendengar suara perutnya berbunyi.
Kiran mengangguk sembari menelusupkan wajah di ketiak sang Kakak. Kenan membawanya beranjak duduk. Beruntung ia selalu punya simpanan roti di lemari pakaiannya.
Kenan mengambil roti tersebut dan memberikannya pada Kiran berikut air mineral. Mulut kecil itu mulai melahap. Seperti halnya orang yang tidak menemukan makanan apa pun, Kiran begitu lahap memakannya.
"Apa kau tidak makan apa pun seharian ini? Kau terlihat lapar sekali," tanya Kenan ketika melihat cara makan adiknya itu.
Ia menjeda makannya, roti itu masih menempel di bibir. Kedua pipinya menggembung, perlahan kembali mengunyah setelah menganggukkan kepala.
Helaan napas Kenan terdengar berat. Ia mengusap kepala sang adik yang kembali melahap roti di tangannya. Keduanya memang selalu seperti itu, terkadang Bibi tidak memberinya makanan apa pun jika Kenan tidak memberinya uang.
"Mmm ... apa Kakak tidak mau rotinya? Kita bisa membaginya, ini besar," lirih sang adik mendekatkan roti ke mulut Kenan. Kepala remaja itu menggeleng, bibirnya membentuk senyuman. Senyum ketabahan dan ketegaran dalam hidup mereka yang sulit.
"Kakak sudah memakannya, itu ... bekasnya masih di sana." Ia menunjuk pojokan kamar dengan dagunya. Di sana, teronggok sebuah bungkus plastik yang sama persis seperti di tangan adiknya.
Kiran mengangguk dan melanjutkan makannya. Suara ribut terdengar di luar kamar Kenan. Pertengkaran antara Paman dan Bibi selalu terjadi. Mereka selalu meributkan hal yang sama setiap harinya. Uang dan uang, dan yang menjadi korban adalah Kenan dan Kiran.
"Tidak usah dipedulikan. Makan saja!" katanya memberikan sapuan pada rambut adiknya yang menghentikan makan. Ia mengangguk dan kembali memakan roti yang kali ini ia habiskan. Kenan memberinya botol minum, mencoba untuk tidak peduli pada keributan Paman dan Bibi.
"Tidurlah! Sudah malam, besok kita harus sekolah." Kenan membantu adiknya merebahkan diri, ia pun berbaring di sampingnya. Saling berpelukan, saling memberi rasa nyaman pada hati masing-masing. Pada siapa lagi Kiran akan berlindung, selain pada dirinya.
"Kiran masih sangat kecil, Mona. Dia masih duduk di bangku sekolah dasar, tidak seharusnya kau menyuruhnya untuk mencari uang. Bukankah Kenan selalu memberimu uang dari hasil bekerjanya, kenapa kau masih mau Kiran bekerja?" Suara paman membela. Maklum saja, Kenan dan Kiran adalah anak dari Kakak laki-lakinya.
Paman merasa bertanggungjawab atas hidup kedua keponakannya itu.
"Terus saja kau bela keponakanmu yang tak berguna itu. Dia hanya sampah yang bisanya membuat susah, hidup kita ini sudah susah. Dengan adanya mereka di rumah ini, semakin bertambah pengeluaran yang ada. Aku muak dengan mereka." Suara tinggi Bibi menggema.
Kenan yang belum tertidur merasa geram sendiri. Mereka lupa bahwa rumah yang mereka tempati saat ini adalah peninggalan Ibu Kenan. Toko yang mereka kelola pun adalah milik Ibu Kenan.
"Ayah ... seperti apa wajah Ayah? Kenapa Ibu tidak memiliki foto Ayah satu lembar pun?" gumamnya pelan. Ia melirik Kiran yang telah pulas tertidur.
Kenan beranjak, keluar kamar untuk menengahi keributan yang terjadi.
"Paman, Bibi, ini sudah larut. Malu pada tetangga yang mendengar. Untuk masalah uang, aku akan lebih giat lagi mencarinya. Tolong, biarkan Kiran sekolah. Cukup aku saja yang mencari uang," pinta Kenan dengan suara yang pelan.
"Kenan, kau tidak per-"
"Bagus kalau begitu, cari uang yang banyak kalau kau tidak ingin adikmu aku suruh mencari uang." Tangannya menuding hidung Kenan sengit.
Ia beralih pada suaminya, melayangkan tatapan tajam yang menghujam jantung laki-laki tersebut sebelum pergi dari sana.
Paman mendekat pada Kenan, tak ada yang ia katakan. Hanya tepukan dua kali di bahu sebelum ia meninggalkan Kenan sendiri. Paman memang selalu begitu.
Hup!
Tangan Kenan menangkap tepat benda yang melayang ke arahnya. Sebuah asbak keramik yang dilempar sepupunya sendiri. Mata pemuda itu terbelalak saat Kenan berhasil menangkap asbak yang ia lemparkan. Tidak seperti itu! Seharusnya asbak itu mengenai kepalanya dan jatuh, lalu hancur. Seperti biasa itu selalu berhasil memprovokasi Ibunya untuk memarahi Kenan.
Ia tertegun melihat lirikan Kenan yang tajam dan mengancam. Diremasnya asbak tersebut hingga hancur lebur menjadi abu. Kilatan sinar dari matanya menusuk biji manik Roni, sepupunya.
Memberikannya rasa sakit bagai tertusuk jarum yang beracun. Kenan berbalik dan meninggalkan sepupunya yang merintih kesakitan. Abu bekas asbak yang diremasnya berceceran di lantai, ia tak peduli. Itu peringatan kecil darinya untuk Roni yang selalu mengganggu.
"Kurang ajar! Kenapa mataku tiba-tiba sakit begini? Apa yang dilakukan sampah itu padaku?" gerutunya sambil mengusap-usap mata yang masih terasa perih.
Ia meraba tembok mencari wastafel berniat mencuci matanya. Berkali-kali ia basuh, sampai rasa pedih itu berangsur-angsur hilang.
"Sial! Apa yang dia berikan pada mataku? Kenapa sampai merah begini?" Ia mengumpat. Padahal, Kenan sama sekali tidak mendekat padanya. Bagaimana mungkin ia menabur sesuatu pada matanya itu.
Sedikit membengkak di kelopak ditambah warna putih yang berubah merah. Menjadikannya seperti para pemangsa di malam hari.
"Argh!" Ia menghantamkan tinjunya pada cermin, "aw!" Merintih sendiri saat merasakan sakit yang menjalar di sendi tangannya. Geram sendiri pada cermin tersebut, ia berbalik dan masuk ke kamarnya.
Sama seperti Kenan, yang merebahkan diri di lantai karena kasur miliknya dikuasai sang adik. Maklum saja kasur itu hanya cukup untuk satu orang saja.
"Kakak tidak akan membiarkan mereka menyusahkanmu. Kakak hanya ingin kau terus belajar dan menjadi orang sukses di kemudian hari." Ia mencium dahi sang adik sebelum benar-benar terbaring dan memejamkan mata.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 90 Episodes
Comments
Qaisaa Nazarudin
Kasian banget,nyesek aku thor,Hanya karna seorang gadis Jalang seperti Lisa,Kenan sanggup berhabis uang untuknya, Sedang kan sang adik dan kehidupannya sendiri kais pagi makan pagi..
2024-11-14
0
Apud Tahu
serakah sekali bibinya.
2025-02-22
0
Qaisaa Nazarudin
Harusnya kamu berjuang hidup setidaknya utk adik mu,Buktikan kepada dunia,Kalo kamu bukan lah sampah seperti kata mereka2 itu..
2024-11-14
0