"Roni, kenapa matamu merah sekali? Kau apakan matamu itu?" pekik Bibi saat melihat anaknya, Roni keluar kamar dengan mata yang bengkak dan memerah.
Pemuda itu berdecak, kesal pada Kenan yang membuat matanya seperti saat ini.
"Semalam kena debu, Bu. Tuh dari sana!" tunjuknya pada lantai yang terdapat debu berserakan.
Bibi membelalak, ia melangkah mendekat. Berjongkok dan menjumput debu tersebut dengan tangannya.
"Abu apa ini? Seperti tanah liat," gumamnya pelan sembari menggesekkan jari yang menjumput abu tadi. Lalu, mencium aromanya.
Ia menoleh pada putranya yang telah duduk di kursi bersiap untuk sarapan.
"Kau tahu debu apa ini? Bukankah kau masih terjaga saat Ibu bertengkar semalam? Bagaimana mungkin kau tidak tahu?" sungut Bibi menatap curiga pada putranya itu.
Ia beranjak, mengambil kain basah dan membersihkannya.
"Ada-ada saja kelakukan anak-anak sekarang. Menyusahkan orang tua saja bisanya bla ... bla ... bla ...." Ia menggerutu panjang kali lebar selebar tanah milik juragan empang.
"Ibu coba tanya pada anak sampah itu, bukankah dia juga ada saat kalian bertengkar? Mungkin saja dia tahu itu apa," kilah Roni tak acuh. Ia memakan sarapannya dengan santai dan tanpa rasa bersalah sama sekali.
Kenan membawa Kiran ke ruang makan usai melakukan pekerjaan rutinnya mencuci pakaian dan piring di rumah itu.
"Kakak, apa Bibi tidak akan marah embernya pecah? Lagi pula kenapa bisa sampai pecah begitu, apa Kakak menekannya terlalu kuat?" bisik Kiran di sela-sela perjalanan mereka menuju ruang makan.
Kenan tak acuh, ia mengangkat bahunya sambil mencebik. "Memang embernya saja yang sudah rapuh, makanya ditekan sedikit langsung pecah," katanya cuek.
Keduanya mengatupkan mulut saat melihat Bibi yang sedang memeras kain bekas membersihkan abu. Ia hanya melirik sekilas dan melengos setelah meletakkan kain tersebut di gantungan.
Kenan dan Kiran sama-sama berhenti, lalu kembali melanjutkan langkah setelah Bibi berlalu.
"Kenan! Kiran! Kemari, Nak. Sarapan dulu!" panggil Paman saat melihat keduanya yang hanya mematung sedikit jauh dari meja makan.
Roni sedikit gemetar saat Kenan melempar pandangan padanya sambil tersenyum tipis. Ia membantu Kiran duduk di kursi sebelum duduk di kursinya.
"Kenan!" Panggilan Bibi menghentikan tangan Kenan yang hendak mengambil nasi. Ia mendongak menatap Bibi yang selau terlihat judes di matanya.
"Kamu yang menabur abu tanah liat di atas lantai? Roni melihatmu semalam." Bibi melempar lirikan pada putranya yang tiba-tiba gugup saat tatapan tajam Kenan melayang ke arahnya.
"Tidak! Kurasa Roni yang keluar terakhir dari sana. Mungkin saja dia tahu. Kalau dia pun tidak tahu, berarti hantu yang melakukannya." Kenan menggerakkan tangannya yang sempat terhenti saat mengambil nasi.
Roni menggeleng takut ketika mendapat intimidasi dari Ibunya.
"Sudahlah, hanya debu saja. Lagi pula, bukankah sudah dibersihkan? Tidak usah diperpanjang," sela Paman ketika mulut bibi telah terbuka ingin melontarkan kata, kemudian kembali mengatup dan melanjutkan makan meskipun kesal pada anaknya.
"Kami pamit, Paman, Bibi!" Kenan dan Kiran membungkuk sopan sebelum keluar dari ruang makan dan berangkat sekolah bersama.
Dengan menggunakan sepeda usang peninggalan Ibu mereka, Kenan mengantarkan Kiran ke sekolahnya terlebih dahulu.
"Katakan pada Kakak jika ada yang menyakitimu. Jangan cengeng, jadilah kuat! Apa kau bisa!" Kenan mengepalkan tangannya di depan Kiran.
Gadis kecil itu mengangguk, dan membenturkan kepalan tangannya yang kecil pada milik Kenan itu. Ia masih berdiri di sana sampai sosok kecil itu menghilang di balik gerbang.
Kenan memutar arah, bukan sekolah tujuannya. Melainkan rumah Yuki sesuai perjanjian kemarin. Ia akan menjadi supir pribadi Yuki sekaligus bodyguard sampai hitungan uangnya selesai.
"Kenapa kau terlambat? Lihat, ini sudah jam berapa?" hardik Yuki sembari menunjukkan jam di tangannya.
"Ma-maaf. A-aku ha-harus mengantar adikku ke sekolah dulu, ma-maafkan aku!" Kenan membungkuk beberapa kali. Gagapnya datang saat ia harus berhadapan dengan gadis cantik seperti Yuki.
"Ish! Ya, sudah. Cepat! Aku tidak ingin terlambat." Ia melempar kunci mobil miliknya yang ditangkap gelagapan oleh Kenan.
Yuki dan kedua sahabatnya gegas masuk ke dalam mobil dan duduk dengan tenang. Mereka bercanda riang di dalam mobil, berceloteh ini dan itu tanpa mengacuhkan Kenan yang berkonsentrasi mengemudi.
Sesekali remaja laki-laki itu melirik ketiganya dari kaca spion tengah. Ia akan gugup jika Yuki melirik balik ke arahnya. Entahlah, biasanya perasaan gugup dan gagapnya akan timbul jika ia berhadapan dengan gadis yang ia sukai.
Namun Yuki, bukanlah gadis itu, tapi saat berhadapan dengannya penyakit Kenan pasti kambuh. Mobil melaju menuju sekolah. Kenan mengemudi dengan hati-hati. Beruntung, saat Ibunya masih ada dan mengelola toko bersama, ia sering mengantarkan pesanan pelanggan menggunakan mobil.
"Pulang sekolah tunggu di parkiran, sepedamu masih di rumahku, bukan?" titah Yuki yang hanya diangguki kepala oleh Kenan.
"Pegang saja kuncinya, kau boleh menggunakannya untuk hal darurat, tapi kau dilarang membawanya pulang ke rumahmu!" Yuki gegas berbalik dan berjalan lebih dulu bersama dua temannya meninggalkan Kenan yang masih berdiri di dekat mobil.
"Kau tidak takut dia akan membawa kabur mobilmu ... atau menjualnya?" tanya salah satu teman Yuki sambil berjalan memasuki area sekolah.
Yuki mengangkat bahu tak acuh, entah kenapa dia percaya pada Kenan. Dia yakin Kenan bukan tipe pengkhianat.
"Mungkin jika dia teman berandal itu, aku akan percaya, tapi dia Kenan! Siswa teladan yang nyaris tak pernah membuat masalah." Ia tersenyum bangga. Hatinya ikut berdesir saat menyebutkan namanya.
"Apa kau mulai jatuh hati padanya? Kau memujinya berlebihan," goda temannya melirik yang lain meminta dukungan.
"Benar, kau tidak biasanya seperti ini. Siswa populer saja kau sebut berandal, tapi Kenan ... yang hanya seorang sampah kau ...." Ia bergidik, tapi Yuki tak acuh. Ketiganya tertawa, berceloteh riang seperti biasanya.
Diam-diam Kenan yang masih memperhatikan ketiganya tersenyum. Ia dapat mendengar dengan jelas obrolan mereka meskipun pelan dan dalam jarak yang jauh.
"Terima kasih sudah mempercayaiku," gumamnya sebelum memasukkan kunci tersebut ke dalam saku.
"Hei! Kenapa kau tersenyum sendiri? Kau sehat?" Regan, teman akrab Kenan meletakkan punggung tangannya di dahi laki-laki itu, "tidak panas. Suhu tubuhmu normal saja, tapi kenapa aku merasa aneh berada di dekatmu?" lanjutnya bergumam sendiri.
Kenan meremas pelan kepala temannya. Ia merasa gemas, tapi ....
"Aw ... aw ... sakit sekali! Kau menyakitiku!" Ia menepis tangan Kenan yang masih menempel di kepalanya, "argh! Tanganmu keras sekali! Apa kau masih normal? Kenapa seperti membentur batu atau kayu?" Ia mengangkat tangan Kenan dan menelitinya baik-baik.
Dicubitnya kulit tangan Kenan dan ditekan-tekan dengan jari telunjuknya.
"Ini masih kulit dan daging sama sepertiku, tapi kenapa tadi keras sekali seperti batu?" Terheran-heran dia dibuatnya.
Kenan sendiri tidak merespon. Ia pikir Regan hanya bercanda, dan tidak menganggapnya serius. Kenan belum menyadari perubahan dalam dirinya. Ada sesuatu yang beda dalam tubuhnya, tapi Kenan tidak mengetahui itu.
"Sudahlah, berhenti bercanda! Sebaiknya kita masuk karena sebentar lagi bel akan berbunyi," ajak Kenan merangkul bahu Regan dan membawanya berjalan bersama.
Masih sama seperti biasa, pandangan orang-orang terhadapnya masih seperti kemarin. Sinis, tak acuh, tak peduli, tak pernah dianggap ada, keberadaannya hanya sampah yang tak layak berada dalam lingkungan sosial mereka.
Kenan tak acuh, ia terus saja melanjutkan langkah dengan nyaman. Bersenda gurau bersama Regan, hanya dia teman setia yang tak pernah memandang kasta rendah seperti dirinya.
Prok ... prok ... prok!
Suara tepuk tangan menggema di dalam kelas saat Kenan tiba di ambang pintu. Teddi, siswa populer, ketua tim basket, yang berbeda satu tingkat di atasnya berjalan dengan kedua tangan bertepuk.
Di belakangnya mengekor tiga orang yang mereka sebut sebagai kaki tangan Teddi.
"Waw ... waw ... waw ...!" serunya menghentikan langkah dan berkacak pinggang di depan Kenan, "kudengar kemarin ada yang melompat dari atap gedung sekolah. Kukira kau sudah mati, ternyata ... kau kuat juga, ya." Ia memandang rendah Kenan yang bergeming di tempatnya.
"Terima kasih atas pujian kalian. Sekarang, apa aku bisa lewat?" ucap Kenan tanpa ada rasa takut sedikit pun di hatinya.
Regan membelalak, biasanya Kenan akan membungkuk dan menundukkan kepala dalam-dalam saat Teddi menghampirinya. Namun, yang di depan matanya kini, sepertinya bukan Kenan. Jasadnya memang Kenan, tapi jiwanya bukan.
"Wah ... sekarang Sampah ini sudah mulai berani!" cibir Teddi mencari dukungan pada tiga temannya dan juga siswa yang ada dalam kelas itu. Semua siswa tertawa, menertawakan Kenan tepatnya.
Beruntung, saat Teddi hendak melangkah maju, bel berbunyi dan itu membuat Kenan bernapas lega.
"Tunggu saja! Aku pasti akan bermain denganmu!" katanya sebelum keluar dari kelas Kenan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 90 Episodes
Comments
Edy Sulaiman
sepertinya ada sesuatu yg berada dlm tubuh kenan kekuatan kah atau apa? hanya author yg tahu...
2024-05-06
0
Regilius
Dan dibalas oleh Kenan "Ya, aku akan bermain denganmu juga"
2022-05-06
2
Jimmy Avolution
Jossss....
2022-04-05
1