Dalam beberapa menit semua cokelat sudah masuk ke dalam perut, aku menepuk-nepuk perutku yang sedikit terlihat mengembul.
“Aku tidak menyangka kamu bisa menghabiskan cokelat itu dalam sekejap.” Alex memandang heran, mengambil keranjang yang berada di sampingku.
“Aku akan mengembalikan ini ke dapur, kamu tunggu disini saja.”
“Tunggu! Aku ikut juga.”
“Tapi perutmu kan masih penuh, kalau bergerak berlebihan nanti sakit.”
Aku melihat ke arah perutku, ini memang kenyataan bahwa perutku penuh, tapi rasanya aku sama sekali belum kenyang dan masih ingin menjelajah.
“Aku masih bisa berjalan kok, dan juga apa kamu pernah mendengar kalimat ini? Kantong perut untuk manisan itu berbeda!” Aku dengan bangga menepuk pelan dadaku.
“.... Baru pertama kali aku mendengarnya....”
Sekali lagi diberikan tatapan heran oleh anak kecil, itu memberikan luka ke luka lama. Aku mencoba menahan lagi mengigit bibir, dan turun dari kursi lalu berjalan lebih awal dibanding Alex menuju dapur, Alex tentu dengan mudah dapat menyusulku dengan kaki bakat tingginya itu.
Setelah hampir dekat dengan dapur, Alex memintaku tetap di radius lima meter dari dapur, dan dia mengendap-endap menaruh keranjang itu kembali di atas meja. Itu berhasil dan dengan cepat dia berlari ke tempatku. Aku melihatnya sedikit berkeringat.
“Kerja yang bagus-“
Mengelap keringatnya dengan sapu tanganku, membuat teringat bagaimana ibu di dunia nyata mengelap keringatku setelah berlari-lari bermain bersama dirinya. Aku rindu dengan momen itu, sambil mengelap keringat Alex di pelipisnya tanpa sadar membuatku tersenyum. Mata Alex terbelalak dan menjadi salah tingkah.
“Tad-tadi kamu bilang mencuri adalah hal yang jahat, kenapa jadi bilang kerja bagus-“
Mulutnya bergerak-gerak tanpa suara, menyusun kata-kata yang tak dapat kudengar, padahal aku tepat berada di depannya.
“Apa kamu tidak menyadari bahwa para koki tahu kita mengambil permen itu, mereka tahu karena aku mengomelimu sewaktu itu.”
Ya itu benar, saat aku berpidato panjang itu dari balik tembok mereka menguping, para koki dan pelayan mengangakan lebar mulutnya setelah aku selesai bicara. Mungkin mereka akan menganggap aku adalah anak yang dewasa karena aku anak sang Duke, tapi apa mereka tidak berpikir itu adalah hal yang aneh untuk anak yang baru hidup selama empat tahun di dunia ini?
Aku melipatkan tangan di dada sambil mendengus kesal.
“Maafkan aku tidak menyadarinya, Sella.” Mata sayu Alex membuatku merasa bersalah memberi pidato itu kepadanya di hadapan para koki dan pelayan.
“Kamu tidak perlu meminta maaf, Alex. Itu salahku yang mengatakan hal yang menyinggungmu di depan para koki dan pelayan. Aku minta maaf.”
“.....Eh??...”
“....Eh?...” sahutku juga.
Sebentar! Sepertinya arah obrolan kami keluar dari pemahaman masing-masing. Aku diam menatap Alex, begitu juga dengan Alex, dia sepertinya juga menungguku berbicara.
“...”
“Jadi... apa kita akhiri saja pembicaraan tentang itu dan melanjutkan tujuan awal?” tawarku dengan senyuman kaku, malu aku diintip oleh para koki dan pelayan. Mereka juga tampaknya bingung mendengarnya.
“A-ayo.” gagap Alex menjawabnya sambil mengulurkan tangannya, aku menyambut uluran itu dengan canggung dan pergi meninggalkan tempat itu.
Kami melanjutkan perjalanan dengan suasana hening.
Biasanya aku menyukai suasana hening, tapi tidak kalau sedang berduaan dengan seseorang, itu membuatku berpikir, ‘apa yang sedang dipikirkannya mengenai diriku?’. Membuatku resah setengah mati.
“Selanjutnya kita mau kemana?”
“Hmm...” Aku berpikir sejenak.
“Aku juga kurang tahu rumah ini karena selalu berada di kamar...bagaimana kalau kita masuk asal saja? Misalnya ayo kita masuk kesini.” Tunjuk ke arah pintu sebelah kami dan aku menarik Alex, akhirnya kami berada tepat di depan pintu ini.
“Apa kamu yakin?” tanya Alex dengan wajah cemasnya, meskipun sedang cemas tetap saja masih tampan nan imut.
“Tenang saja..!”
Segenap tenaga aku mendorong pintu itu. Yap, aku tidak menghasilkan apapun. Pintu terbuka berkat sekali dorongan Alex, lagi-lagi ada garam yang jatuh pada luka masa laluku. Aku menahannya dan masuk ke ruangan itu.
Gelap, berdebu, dan sunyi. Kata yang tepat untuk menggambarkan ruangan yang hanya berisi lukisan-lukisan maupun karya seni lainnya, apa ini gudang karya seni? Aku mulai jalan ke arah lemari persegi panjang, sepertinya itu lemari kaca yang tertutupi debu.
“Berdebu sekali ... apa pelayan tidak pernah membersihkan ini?”
Kusentuh lemari kaca yang berdebu tebal, sampai-sampai saat aku menyentuhnya debu itu berpindah tempat ke tanganku, dan terlihat sekali tanda aku menyentuhnya, garis kecil.
“Mungkin mereka tidak mendapat izin dari tuan Marlis untuk menyentuh ruangan ini.” sahut Alex yang berada di belakangku, dia mengikutiku bagaikan seorang penjaga.
“Kalau pun itu benar, kenapa Papa melarangnya dan tidak mengunci ruangan ini? Seharusnya kalau ruangan rahasia di kunci, lalu tampaknya tidak seperti ruangan rahasia.”
“Itu... masuk akal, tapi ya, Sella. Ruangan yang dilarang masuk bukan hanya ruangan rahasia, tapi itu berlaku jika ruangan tersebut memiliki kenangan sendiri terhadap pemiliknya maupun orang dekatnya, bisa saja ini adalah ruangan yang memiliki banyak kenangan terhadap tuan Marlis.”
Bodoh sekali aku ini... padahal aku yang memberi tahu ke Alex bahwa manusia memiliki rahasia yang ingin disimpan sendiri, kata-kata itu juga berlaku untuk Papa, kan? Karena Papa juga manusia.
Aku termenung memikirkan itu juga aku lakukan, aku merahasiakan bahwa aku ini bukanlah Kisella Forest, tapi jiwa yang bernama Bunga.
“Rasanya seperti senjata makan tuan..”
Aku melanjutkan jalan ke pojokan ruangan, meskipun di pojok cahaya dari jendela membuat aku dapat melihat lukisan yang ditutup kain putih yang sudah berdebu. Rasa penasaranku meningkat dan aku tarik perlahan kain itu agar debunya tidak melayang-layang di udara.
Sekejap aku terkesiap melihat lukisan ini, lukisan ini ... sangat indah. Seorang wanita yang cantik jelita, matanya yang berwarna emas menatap lembut ke arah pelukis lukisan ini, rambut hitam lembut yang digerai ke samping dan ke belakang, pose yang sangat anggun.
“Duchess Sellia...” kata-kata yang keluar dari mulut Alex yang juga tampak menggagumi lukisan ini. Dan menyadarkan fakta bahwa wanita cantik jelita nan terasa lembut walau hanya melihat lukisan, ini adalah ibu Kisella Forest, Duchess Sellia Forest.
“Kamu tahu ibu ... ku?” tanyaku penuh keraguan, meragukan kalau itu ibu diriku sebenarnya melainkan ibu tubuh Kisella Forest
“Iya, dia adalah sesosok wanita yang luar biasa dikenal kelembutannya. Dia juga sangat baik kepadaku-...”
Sampai Alex tidak bisa melanjutkan kata-kata menyadarkan ku bahwa dia tidak ingin berada di ruangan ini dan membahas ibu Sella.
“Ruangan ini sangat berdebu membuatku sesak, mari kita keluar.”
Aku mengembalikan letak kain yang sudah ditarik, sebaik mungkin sampai lukisan itu tertutup sepenuhnya dan berjalan ke arah pintu tanpa menoleh ke lukisan itu lagi.
Padahal beliau bukanlah ibu asliku, tapi mengapa hati ku terasa seperih ini ...?
Alex pun menutup kembali pintu ruangan di mana ada lukisan ibuku.
“Sepertinya matahari ingin segera tenggelam. Bagaimana kalau kita akhiri ini dan kembali ke ruang tamu?” tawarku kepada Alex.
“Pilihan yang tepat.”
“Baiklah, mari kita kembali.” Sekarang aku menggenggam tangan Alex secara normal, mungkin tindakan ini membuat hatiku sedikit terobati.
Langit yang berwarna senja, para pelayan yang mulai menyalakan lilin di sepanjang lorong, aku dan Alex kembali ke ruang tamu dengan sunyi yang masih membawa perasaan, canggung dan sedihnya masing-masing.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 54 Episodes
Comments
Ev-
semangat kakak❤
2020-10-08
1
Tya Gunawan
selalu bikin penasaran
2020-05-23
1
ria rif'ah restiani
penasaran sih... next
2020-05-21
1