Aku dan Papa duduk di sofa dan diikuti Count beserta anaknya.
“Tidak apa-apa, Tuan Kardel. Saya hanya baru selesai makan bersama putriku.” Papa membalas sapaan Tuan Count Kardel Chrysos sambil mendelik ke arahku Papa melanjutkan ucapannya.
“Ada masalah apa sampai Count datang ke sini tanpa kabar? Sampai-sampai aku tidak menyambut kalian,” kata lanjut Papaku, sepertinya Papa dengan tuan Kardel berteman akrab.
“Keramahanmu masih saja sama ya, Tuan Marlis.” Ia ikut tersenyum ramah.
Sementara diriku masih bingung dengan perasaan tidak enak barusan. Disaat aku masih berkelut soal firasat itu, pembicaraan kedua pria karib ini memasuki obrolan serius tentang wilayah masing-masing. Yang aku tahu dari pembicaraan ini mereka menjalani relasi pertukaran sumber daya alam. Wilayah Count Kardel Chrysos, Sophia mempunyai pertambangan yang melimpah ruah. Akan tetapi tanah diwilayah Sophia kurang subur sehingga mereka sering kali mengalami gagal panen. Sedangkan wilayah Papaku yaitu Duke Marlis Forest, Foredest mempunyai tanah yang subur sehingga dapat banyak memproduksi bahan pangan. Dalam relasi ini kedua wilayah setuju akan saling membantu, Sophia yang membutuhkan makanan dan Foredest membantu wilayah disekitar nya dengan imbalan hasil pertambangan.
Aku mulai merasa bosan di pangkuan Papa sambil mendengar obrolan serius mereka, mendengus kesal tanpa kusadari dan kedua pria yang sedang serius-seriusnya sekarang memandangiku bingung.
“Sella, apakah kamu bosan?” Papaku menunduk untuk melihat aku yang sedang berada di pangkuannya. Aku menggeleng kepala menandakan aku tidak bosan. Ya padahal benar aku bosan, karena hanya diam dan tak tahu harus menimbrung bagaimana? Kalau aku langsung membalas bahasan mereka, posisiku pasti akan 100% merepotkan dan sekarang aku hanya ingin pergi dari ruang tamu ini tercegah karena Papa memangku diriku.
Ya, pasti aku merasa bosan sekali. Untungnya Tuan Kardel langsung menanggapi kebosananku ini.
“Kalau Nona berkenan, anak saya Alex bisa menemani Anda bermain. Walau umur kalian terpaut tiga tahun, saya yakin Anda bisa akrab dengan putra saya.”
Sudah kuduga dia akan bicara seperti itu, aku bisa akrab dengan putramu, tapi masalahnya apa putramu itu bisa akrab dengan diriku yang sudah lebih tua darinya?
Papa menatap Alex dengan tatapan mengancam 'jangan dekat-dekat dengan putriku', aku yang tidak ditatap saja merasa bulu kuduk berdiri, apalagi orang yang sedang ditatap langsung.
Aku seperti harus memilih pilihan, keluar bersamanya atau tetap disini. Itu pilihan sulit, tapi aku memikirkan untuk ke masa depan nanti dan keputusanku adalah tetap berada di ruangan ini.
“Itu tidak perlu, Tuan Kardel. Saya akan tetap disini bersama Ayah.”
Aku mengganti panggilan Papa dihadapan orang lain agar tidak terlalu anak manja, tapi raut wajah Papa ku mengatakan hal yang lain. Yaitu sedih karena aku tiba-tiba mengganti nama panggilannya. Ya, mau bagaimana lagi, aku tidak mau di anggap terlalu manja oleh orang lain, tolong mengertilah ...!
Kenyataan berkata lain, sepertinya Papaku menganggap bahwa aku sedang marah dan malah membujukku untuk bermain di taman bersama anak Tuan Kardel. Apa Papaku bermaksud supaya tidak marah padanya lagi dan meminta maaf dengan cara mengizinkanku bermain?
Padahal tadi dia menasehatiku untuk tidak dekat dengan anak Count ...
“Saya bisa menamani anda bermain, Nona Kisella,” ujar Alex, ternyata bisa berbicara juga. Kukira dia anak yang pemalu, karena dari tadi aku sama sekali tidak mendengarnya berbicara.
Aku mendelik melihat mata Papa sedang menatapku, kalau di umpakan bak mata kucing yang memelas. Aku tidak tega melihat ini, pasrah dan mengangguk setuju.
...***...
Akhirnya setelah sekian lama di dunia mimpi ini aku bisa ke taman ini, yang selama ini aku hanya memandangi dari balik jendela. Aku bisa menyembutnya lama karena kalau ini benar dunia mimpi berarti di dunia nyata sudah jalan beberapa hari, kan? Yah, itupun kalau benar dunia mimpi ... misalnya bukan dunia mimpi aku merasa lama karena rasa sakit di tubuh ini waktu seakan berjalan lambat sekali, menyesakkan. Aku merasa kasihan terhadap anak ini karena selama empat tahun terus merasakan sakit ini.
Jemariku menyentuh lembut bunga-bunga yang tertanam rapi dan terpelihara dengan baik. Aku merasakan angin menghembus dan menyentuh wajahku membuat rambut sebahu ini ikut bergoyang begitu pun dengan rok dari gaun yang kupakai, ini adalah kenyamanan yang tiada tertanding oleh apapun, kubalik badan dan melihat seorang anak laki di bawah langit biru yang sedang memancarkan sinarnya membuat rambut perak dan jubah putihnya tampak memikat. Akan tetapi, karena dirinya sedang tersenyum masam keindahan tersebut berkurang.
Kupandang dia dalam cukup lama, dia termenung dalam pikirannya sambil menatap kakinya yang sedang menginjak rumput. Aku mencoba memahaminya, memandang kakiku, aku tidak merasa ada apa-apa. Bodohnya aku baru menyadari bahwa dia sedang berkecamuk di dalam pikirannya sendiri.
“Sepertinya Anda sedang kesulitan memikirkan sesuatu ya, Tuan Alex.” Aku mencoba menyadarkannya dari lamunannya, dia langsung terkesiap mendengar aku berbicara.
“Maafkan saya, Nona Kisella. Saya ...”
Dia menjeda ucapannya menandakan dia enggan melanjutkan pembicaraan.
“Tidak perlu diceritakan juga tidak apa-apa, Tuan Alex. Karena setiap manusia pasti memiliki masalah dan rahasia di dalam dirinya masing-masing.”
Dia melongo melihat diriku setelah mengatakan hal itu. Aku mengerutkan kening, sebenarnya apa yang dipikirkan anak ini. Ekspresinya tidak bisa kutebak.
“Itu benar sekali, Nona Kisella.” Alex tersenyum lega, sepertinya beban pikirannya sedikit terangkat.
Aku merasa telah merubah anak ini, tapi apa itu? Wajah muramnya sudah tidak terlihat lagi, mata biru lautnya sekarang hanya bertukar tatapan dengan mata rubyku.
“A, apa Tuan Alex menyukai pohon?”
Aku mendapat bahan pembicaraan yang tepat karena dia hanya diam seribu bahasa melihatku.
“Alex.”
“Apa?” Aku bingung mendengar dia mengucapkan namanya sendiri.
“Maksud saya Anda bisa memanggil saya Alex saja.” Matanya mengatakan ini serius, sehingga aku tidak bisa berdalih, namun mana mungkin aku menyerah secepat itu.
“Tapi ... bukankah itu tidak sopan ..?” Aku meletakan dan menumpuk kedua tangan di atas perut dan tersenyum kaku.
“Tidak masalah karena aku akan memanggilmu Sella, apakah diperbolehkan?” Dia tidak meghiraukan ucapanku dan malah berbalik menanyakan itu.
Keringat di pelipisku mengalir lurus jatuh ketanah, aku masih memutar otak agar bisa menyelesaikan masalah ini secara sopan dan natural, usahaku berbuah pahit. Mata anak ini berbinar-binar membuat hati nuraniku berkata lain.
“... Baiklah, panggil aku sesukamu, Alex.” Aku hanya bisa menjawab itu sambil tersenyum kaku lagi, tidak disangka dia menunjukan wajah bersinar membuktikan ia sangat senang.
Menghela napas membiarkan masalah ini karena kupikir nanti saat aku sudah besar, Alex akan melupakan hal yang terjadi disini.
Aku dan Alex melanjutkan jalan-jalan ditaman ini bersama, bedanya dengan yang tadi adalah Alex awalnya berjalan mengikutiku di belakang sekarang sejajar denganku dan mengandeng tanganku dengan ringannya. Aku menuruti keinginannya ini, karena aku yang lebih tua daripadamu! (umur mental).
“Aku ingin ke pohon itu.” Tunjukku ke pohon besar yang selalu dilihat dari kamarku. Aku ingin sekali bersandar di pohon itu sambil membaca buku di bawahnya.
“Sella ... bukannya aku tidak mau, tapi ayahmu menyuruh kita hanya bermain ditaman saja.”
Dia menghentikan langkahnya memperlihatkan wajah sedih karena tidak bisa mengikuti keinginan dan membuatku menyerah.
Taman dan halaman rumah letaknya berbeda, kalau halaman rumsh di depan sedangkan taman di samping. Aku memandang jauh pohon itu, pertemuan kita masih jauh ya ... pohon.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 54 Episodes
Comments
Tya Gunawan
kereen banget
2020-05-23
2
Nirvana
kamu berubah.. wkwk
2020-05-22
3
ria rif'ah restiani
thor, rambut sella sebahu apa sepinggul?
2020-05-21
1