“Anu Jayadipa, aku mau menjenguk Wanapati, apa dia baik-baik saja. Emm, aku mendapat kabar dari Ni Luh kalau Wanapati digigit ular!” sahut Lembah Manah memberanikan diri.
“Lalu kamu mau apa? Mengobati Wanapati? Tabib Lee saja tak sanggup, apalagi kacung kampret seperti kamu, mending kamu kembali menyapu halaman!” gertak Jayadipa dengan mendorong tubuh Lembah Manah.
“Emm kalau boleh Jayadipa, aku mau melihat keadaan Wanapati!” Lembah Manah tetap memaksa hendak memasuki kamar Wanapati.
“Siapa itu Jayadipa!” Terdengar suara dari dalam kamar yang tak lain adalah Nata yang tengah mendampingi Wanapati.
“Ini si kacung kampret ingin menjenguk Wanapati!” jawab Jayadipa ketus.
Mendengar keributan di depan kamar Wanapati, Ki Tunggul mencoba untuk mendekati mereka bertiga. Sementara Sesepuh Anggada hanya terdiam di dalam pondokannya.
“Kenapa ini, ada apa?” tanya Ki Tunggul terkejut.
“Ini guru si Lembah Manah mau menjenguk Wanapati, tapi saya tolak karena sepertinya dia cuma mau mengejek kita!” kilah Jayadipa menjawab pertanyaan Ki Tunggul.
“Sudah-sudah, biarkan saja Lembah Manah masuk, lagi pula kalian juga berteman kan!” seru Ki Tunggul menengahi keributan itu.
Mereka berempat memasuki kamar Wanapati untuk sekadar menengok keadaan temannya. Lembah Manah memberanikan diri untuk meraih pergelangan tangan kiri Wanapati.
Diperiksanya tiap detak jantung Wanapati, lalu, pemuda itu membuka mata Wanapati yang enggan untuk terbuka secara normal.
Tak berselang lama, Lembah Manah memeriksa bekas luka gigitan ular itu dan berkata, “emm, tak salah lagi, ini pasti gigitan ular kepala merah!”
Sontak, tiga orang yang duduk di belakangnya kaget bercampur heran. Mengapa Lembah Manah bisa tahu dalam sekali periksa? Sedangkan Tabib Lee yang ahli dalam pengobatan saja tak mampu mendeteksi racun di tubuh Wanapati.
“Bagaimana kau bisa tahu kacung kampret? Memang benar, kemarin Wanapati digigit ular yang berkepala merah. Aku sendiri yang mengusir ular itu agar menjauh dari kami!” seru Jayadipa terkejut.
“Kenapa Lembah Manah bisa mengetahui tentang racun ini!” lirih Ki Tunggul menyipitkan matanya seraya memandangi tubuh Lembah Manah.
“Anu Jayadipa. Emm ,bolehkah aku minta tolong. Berikan alat yang kusebutkan!” pinta Lembah Manah memegangi keningnya. “Jarum, kunyit, potongan kain dan dua tempayan berisi air!”
“Tunggu sebentar, aku akan mencarikan alat yang kau butuhkan,” sahut Jayadipa seraya berlari mencari beberapa alat yang diminta Lembah Manah.
Jayadipa meminta bantuan Mbok Pani untuk mencari bahan yang diminta Lembah Manah. Tak membutuhkan waktu lama, Jayadipa kembali ke kamar Wanapati setelah mendapat alat-alat itu.
“Ini kacung kampret, semua alat yang kau butuhkan,” seru Jayadipa sesaat setelah memasuki pondokan Wanapati.
“Emm terima kasih Jayadipa!” sahut Lembah Manah meraih jarum yang di berikan Jayadipa.
Lembah Manah menusukkan jarum itu ke bagian kunyit yang telah di iris melintang. Lalu, pemuda itu menusukkan jarum di samping luka bekas gigitan ular pada kaki kanan Wanapati. Wanapati sedikit merespons dengan menggerakkan kakinya.
“Emm, maaf ya Wanapati!” seru Lembah Manah menghentikan tusukannya.
Dengan tempayan yang telah di isi air, Lembah Manah mengeluarkan semua racun dari luka Wanapati. Pemuda itu menggunakan sedikit kanuragan pada tangan kanannya tanpa diketahui oleh tiga orang di belakangnya.
Setelah seluruh racun ular itu keluar, Lembah Manah membasuh luka Wanapati dengan potongan kain yang dibasahi air dalam tempayan yang satunya lagi.
“Coba guru perhatikan racun itu!” ucap Lembah Manah menunjukkan tempayan yang berisi racun ular.
“Benar Lembah, racun itu berwarna merah!” sahut Ki Tunggul kagum atas kebolehan Lembah Manah.
Wanapati sedikit tersadar dari masa kritisnya setelah seluruh racun ular kepala merah itu di keluarkan Lembah Manah. Pemuda itu hendak beranjak dari tidurnya, tetapi dicegah oleh Lembah Manah.
“Kenapa aku ada di sini? Apa yang terjadi? Kacung kampret kenapa kamu masuk kamarku?” Banyak pertanyaan dari Wanapati yang butuh jawaban.
“Emm Wanapati, sekarang kamu jangan bicara dan jangan bergerak dulu, nanti biar pertanyaanmu Jayadipa yang menjawab!” seru Lembah Manah tersenyum lega dan menyodorkan potongan ruas bambu yang diambil dari saku bajunya bagian dalam. “Anu, ini diminum Wanapati, ini adalah ramuan pemulihan tenaga!”
“Semoga saja nanti sore tubuhmu akan pulih dan segera sembuh,” tambahnya.
Wanapati meminum ramuan yang di berikan oleh Lembah Manah. Tiga tegukan pemuda itu meminum ramuan buatan Lembah Manah dan meringis karena menahan rasa pahit ramuan itu.
Sementara tiga orang di belakang Lembah Manah—Ki Tunggul, Jayadipa dan Nata hanya bisa membelalakkan matanya sambil menelan ludah, melihat Lembah Manah dengan tenang menangani Wanapati.
Meski Wanapati sering mengganggu Lembah Manah, tetapi Lembah Manah tetap menganggap Wanapati sebagai temannya.
***
Hari menjelang sore, Wanapati telah bangun dari tempat tidurnya. Pemuda itu terkejut setelah menyadari sembuh dari racun gigitan ular kepala merah.
“Jayadipa, Nata, siapa yang menyembuhkanku? Apakah si kacung kampret?” tanya Wanapati kepada kedua temannya yang setia menunggu di dalam kamar.
“Iya benar Wanapati, Lembah Manah telah mengeluarkan seluruh racun dari tubuhmu!” jawab Jayadipa dengan kepala tertunduk.
“Aku juga tak percaya Lembah Manah bisa menguasai ilmu pengobatan dan racun!” timpal Nata menambahkan.
“Sampaikan rasa terima kasihku pada Lembah Manah, guru!” pinta Wanapati kepada Ki Tunggul yang hendak menyambangi Lembah Manah di dapur.
Sementara itu, Lembah Manah tengah menyantap makan sorenya di dapur perguruan, pemuda itu terhenti sejenak ketika merasakan ada seseorang yang hendak menghampirinya.
“Lembah, bagaimana kamu bisa menguasai ilmu pengobatan?” tanya Ki Tunggul yang masuk melewati pintu dimana Lembah Manah duduk di depannya.
“Anu guru, maaf. Sewaktu membersihkan perpustakaan, Lembah membaca kitab ilmu pengobatan, Lembah berpikir ilmu itu akan berguna nantinya,” jawab Lembah Manah.
“Oh begitu, maafkan aku yang telah mencurigaimu yang tidak-tidak. Terima kasih telah menyelamatkan Wanapati,” sahut Ki Tunggul seraya keluar dari dapur. “Dia juga mengucapkan terima kasihnya padamu, dan berjanji tak akan memanggilmu dengan sebutan kacung kampret lagi!”
Lembah Manah hanya tersenyum dan mengangguk dengan mulut yang masih penuh makanan.
***
Seminggu berlalu begitu cepat, banyak pelajaran yang didapatkan oleh Lembah Manah ketika berada di perguruan, walaupun itu adalah hukuman dari Ki Tunggul.
“Lembah! Hukumanmu telah selesai, kau boleh pulang ke rumahmu!” seru Ki Tunggul menemui Lembah Manah di dalam kamarnya.
“Baiklah Ki, Lembah mohon maaf jika terlalu lancang. Lembah tidak akan mengulangi lagi!” sahut Lembah Manah beranjak dari duduknya. “Lembah mohon pamit, Ki!”
Pagi itu juga, Lembah Manah pergi meninggalkan Perguruan Jiwa Suci milik Ki Tunggul. Pemuda itu hendak menuju rumahnya di bagian ujung timur desa dengan berjalan kaki.
Dengan melangkah pelan, pemuda itu pulang menuju rumahnya. Melewati jalanan tanah berbatu dengan kanan dan kiri pohon mahoni besar yang membuat hawa menjadi sejuk, hingga sampai kediamannya.
“Dari mana saja kau, Lembah!” seru seorang perempuan tua yang tengah duduk di teras rumah yang tidak terlalu besar. “Ibu khawatir mencarimu seminggu ini!”
“Anu, Bu. Lembah terkena hukuman dari Ki Tunggul!” sahut Lembah Manah menjelaskan bahwa dirinya tak pulang selama seminggu karena mendapat hukuman.
“Ya sudah!” ucap Purwandari—Ibu Lembah Manah menghela napas pelan. “Bantu ibu memetik cabai!”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 152 Episodes
Comments
◄⏤͟͞✥≛⃝⃕💞༄⍟Mᷤbᷡah_Atta࿐
Laannjjuutt thorrr 👌💪💪
2022-10-13
0
◄⏤͟͞✥≛⃝⃕💞༄⍟Mᷤbᷡah_Atta࿐
Jooosssssss...!! 👍👍
2022-10-13
0
lukman
👍💪💪
2022-08-08
3